Senin, 22 Oktober 2012

karakter mu kini

Mendengar hal ini sekarang tak asing lagi. Di tengah krisis karakter, lebih tepatnya teladan. MenurutAdianHusaini, “Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-PerguruanTinggi”. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh “pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini. Maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa”. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bias dimaklumi. Sebab selama ini dirasakan proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan banyak yang menyebut pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.
Bahkan bias dikatakan, duniaPendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter. Atau jangan-jangan impian ini menjadi utopis ketika idealita berbentur realita?
Dr. Ratna Megawangi dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007) mencontohkan bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bias terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Harap maklum, konon orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN,  mungkinbagus!  Tapi, di lapangan, banyak yang bias menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu!  Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
Mohammad Natsir salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelumada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealism tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (AlgemeneMiddelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana.  Terkadang ia keliling kesejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadang kala perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Siapkah kita mengorbankan harta dan jiwa untuk sekedar menggantinya dengan wangi surga? Pendidik yang ku sebut sebagai salah satu ksatria Allah yang melanjutkan risalah kenabian. Mendidik dengan keteladanan.

Sepotong tugas sebagai mahasiswa yang merindukan pendidik teladan
Azzahro Jannah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar