Awal Romadon 1430, aku mengalami proses
Leadership Advance Training Pelajar Islam Indonesia (PII). Perjalanan
meninggalkan pulau dewata, kota Denpasar sendirian pertama kalinya. Hanya modal
niat memperbaiki diri, bukan uang atau ilmu apapun. Atas Arrohman bisa terbang
dengan sebuah pesawat ke ibu kota, Jakarta. Menjejakkan kaki di tugu monumen
nasional dengan masih mengenakan seragam kantor. Ya, aku telah bekerja di
sebuah Bank Perkreditan Rakyat yang katanya syari’ah. Bermuka tebal meminta
ijin sepekan untuk dapat hadir di acara yang telah tertunda 2 tahun.
Proses pelatihan tidak sepenuhnya sesuai
harapan, ingin kembali pulang karena masalah teknis yang cukup mempengaruhi
kenyamanan. Diantara kecewa dan derai tangis, aku hubungi seorang teman yang
memberikan mandat keberangkatan ku. “aku ingin pulang”, kata ku di ujung
telpon. “Inget, Bali butuh kader instruktur. “Dimaklumi aja”, kata teman ku ini
menghentikan derai di pipi. Dengan berat hati dan terserak ku coba menjalani
proses.
Setelah dilantik, “inget ya, kiprah mu
ditunggu di Bali”. Ucapan instruktur yang mendampingi ku ini seperti lemparan
bongkahan gunung di pundak ku. Bali sebagai pulau dewata adalah ranah da’wah
yang luar biasa. Sesampai di rumah kembali, badan ku ambruk kelelahan. Lelah
pelatihan yang standar gizi apa adanya, istirahat tidak normal, perjalanan
kereta Jakarta-Denpasar hampir 30 jam lebih. Badan ku kaget. Ditambah amanah
yang harus ku jalani. Aku mencoba menata hidup yang berserakan. Repihan ku
bangun untuk memperbaiki laku yang tersalah. Agar terus belajar istiqomah dalam
kebaikan. Pelatihan ini menjadi titik balik aku “menemukan” Allah.
“Membangun repihan hati untuk menjadi ksatria
langit”
Suasana hati dan kantor tempat ku bekerja
sudah tak nyaman lagi, akhir bulan aku mengundurkan diri agar lebih mudah
mengatur hidup. Sebab ternyata aku bukan orang yang sabar pada rutinitas yang
monoton. Aku menemukan petualangan baru dalam hidup ku. Membuka lembaran bumi
lain untuk belajar kehidupan. 2 bulan tanpa pekerjaan, ibu menawarkan untuk
mengajar anak-anak sekitaran rumah dan menjaga sebuah toko buku Pak De.
Tangisan dan kelelahan pun tak hilang
menyergap, anak-anak yang sulit diatur menguji kesabaran. Membaca di toko buku
membuat semakin banyak aku membuka jendela dunia. Tak terasa 1 tahun perjalanan
ini. Gempa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat membuat aku kembali
menjejakkan langkah. Bersama tim Forum Indonesia Muda (FIM) angkatan 8. Perjalanan
Denpasar-Jakarta dengan pesawat penerbangan terakhir membuat aku bermalam di
musola bandara, karena tak ada kendaraan umum di tengah malam dan penjemput tak
ada kabar. Jakarta-Padang dengan bus yang hampir 48 jam perjalanan. Serasa kaki
menjadi tebal, tak banyak bergerak. Aku mendampingi anak-anak yang trauma
bencana. Belajar sabar dan syukur dari apa yang kita lihat. Kembali ke jakarta
dengan “angkot udara” alias hercules. Berasa relawan tingkat internasional...
Sekembalinya aku mampir di kota kembang, Bandung. Tempat yang entah kenapa
begitu indah di hati ku. Aku melewati detik ke 21 tahun yang indah disini.
Kemudian ke tempat lahir ku Pasuruan, Jawa Timur. Tiap perjalanan selalu
mengajarkan hal luar biasa untuk menjadi pribadi hebat.
Saat aku kembali ke rumah, aku fokus merintis
pendidikan alternatif “education fun”, pembelajaran menyenangkan untuk privat. 2
tahun merintis pendidikan alternatif ditambah beberapa kali menjadi instruktur
pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII) membangun benih kepedulian terhadap
anak-anak. Anak yang mengalami boken heart, broken home n broken society. Aku
ingin bisa punya peran dalam membangun anak yang mencari dirinya di tengah arus
yang harus dilewati. Karena mereka juga berperan untuk membangun kebahagiaan dirinya
tanpa harus meratapi keadaan lingkungan pembentuknya.
Tidak terus menerus menyalahkan keadaan, tapi mengubah
keadaan jadi lebih baik dari sebelumnya.
Ketika taqdir memberikan jalan menjejak di
kota Pelajar, Yogyakarta 1433 aku pun enggan melepas dunia anak-anak. Ada yang
hilang bila tidak mengajar dan bertemu anak-anak. Membina sebuah panti asuhan
di lereng merapi, diskusi masyarakat kampung bantaran kali Code, dan tentu saja
belajar privat yang menyenangkan. Sepertinya aku diarahkan untuk mendedikasikan
diri pada perempuan dan anak. Tiap permasalahan yang menyangkut perempuan dan
anak, rasanya ingin segera eksekusi menyelesaikan. Sekolah Pasar sebagai
pendidikan masyarakat melengkapi proses pemahaman ku terhadap pendidikan
alternatif berbasis kebutuhan. Disini pun aku bertemu dengan para “Khodijah”,
pengusaha perempuan yang mengabdikan hidup menjadi pahlawan keluarga. Pendidikan
yang tak sekedar mengejar angka semata. Namun nilai-nilai menjadi manusia yang
membesarkan kehidupan.
Membangun kerajaan Al Khonsa yang akan membuat peran perempuan kembali pada perannya
membesarkan kehidupan anak-anak dunia. Agar anak tak kehilangan dirinya di
tengah sahara kehidupan.
Membina Rumah
Senyum untuk mencipta keluarga-keluarga yang indah. Ayah seperti Ibrohim
dan Luqman, Bunda seperti Khodijah dan Hajar, anak luar biasa seperti Kholid
bin Walid dan Muhammad Al Fatih juga Fatimah binti Muhammad. Anak biologis dan
ideologis adalah investasi amal jariyah untuk penerus karya di dunia dan
mewangikan di surga.
Menjadikan
Kampoeng Peladjar sebagai rumah
belajar anak yang ingin menjejak mimpi dan berani mewujudkannya. Pelajar
kreatif akan menjadikan masa depan bangsa lebih berani mewujudkan kebaikan.
Bukan hanya karena keterbatasan kita menyerah, tapi karena tugas kita sebagai
pembelajar hingga napas terkahir.
Impian akan menjadi indah bila dipersembahkan
untuk mengabdi pada Maha Hidup dan kebermanfaatan pada kehidupan. Jejak
kehidupan yang kita tinggalkan akan menjadi prasasti cinta pada Maha Cinta.
Terima kasih cinta, telah mencintai ku dan mengajarkan makna cinta dalam karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar