Sabtu, 13 Oktober 2012

cinta cipta cita



Awal Romadon 1430, aku mengalami proses Leadership Advance Training Pelajar Islam Indonesia (PII). Perjalanan meninggalkan pulau dewata, kota Denpasar sendirian pertama kalinya. Hanya modal niat memperbaiki diri, bukan uang atau ilmu apapun. Atas Arrohman bisa terbang dengan sebuah pesawat ke ibu kota, Jakarta. Menjejakkan kaki di tugu monumen nasional dengan masih mengenakan seragam kantor. Ya, aku telah bekerja di sebuah Bank Perkreditan Rakyat yang katanya syari’ah. Bermuka tebal meminta ijin sepekan untuk dapat hadir di acara yang telah tertunda 2 tahun.
Proses pelatihan tidak sepenuhnya sesuai harapan, ingin kembali pulang karena masalah teknis yang cukup mempengaruhi kenyamanan. Diantara kecewa dan derai tangis, aku hubungi seorang teman yang memberikan mandat keberangkatan ku. “aku ingin pulang”, kata ku di ujung telpon. “Inget, Bali butuh kader instruktur. “Dimaklumi aja”, kata teman ku ini menghentikan derai di pipi. Dengan berat hati dan terserak ku coba menjalani proses.
Setelah dilantik, “inget ya, kiprah mu ditunggu di Bali”. Ucapan instruktur yang mendampingi ku ini seperti lemparan bongkahan gunung di pundak ku. Bali sebagai pulau dewata adalah ranah da’wah yang luar biasa. Sesampai di rumah kembali, badan ku ambruk kelelahan. Lelah pelatihan yang standar gizi apa adanya, istirahat tidak normal, perjalanan kereta Jakarta-Denpasar hampir 30 jam lebih. Badan ku kaget. Ditambah amanah yang harus ku jalani. Aku mencoba menata hidup yang berserakan. Repihan ku bangun untuk memperbaiki laku yang tersalah. Agar terus belajar istiqomah dalam kebaikan. Pelatihan ini menjadi titik balik aku “menemukan” Allah.
“Membangun repihan hati untuk menjadi ksatria langit”
Suasana hati dan kantor tempat ku bekerja sudah tak nyaman lagi, akhir bulan aku mengundurkan diri agar lebih mudah mengatur hidup. Sebab ternyata aku bukan orang yang sabar pada rutinitas yang monoton. Aku menemukan petualangan baru dalam hidup ku. Membuka lembaran bumi lain untuk belajar kehidupan. 2 bulan tanpa pekerjaan, ibu menawarkan untuk mengajar anak-anak sekitaran rumah dan menjaga sebuah toko buku Pak De.
Tangisan dan kelelahan pun tak hilang menyergap, anak-anak yang sulit diatur menguji kesabaran. Membaca di toko buku membuat semakin banyak aku membuka jendela dunia. Tak terasa 1 tahun perjalanan ini. Gempa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat membuat aku kembali menjejakkan langkah. Bersama tim Forum Indonesia Muda (FIM) angkatan 8. Perjalanan Denpasar-Jakarta dengan pesawat penerbangan terakhir membuat aku bermalam di musola bandara, karena tak ada kendaraan umum di tengah malam dan penjemput tak ada kabar. Jakarta-Padang dengan bus yang hampir 48 jam perjalanan. Serasa kaki menjadi tebal, tak banyak bergerak. Aku mendampingi anak-anak yang trauma bencana. Belajar sabar dan syukur dari apa yang kita lihat. Kembali ke jakarta dengan “angkot udara” alias hercules. Berasa relawan tingkat internasional... Sekembalinya aku mampir di kota kembang, Bandung. Tempat yang entah kenapa begitu indah di hati ku. Aku melewati detik ke 21 tahun yang indah disini. Kemudian ke tempat lahir ku Pasuruan, Jawa Timur. Tiap perjalanan selalu mengajarkan hal luar biasa untuk menjadi pribadi hebat.
Saat aku kembali ke rumah, aku fokus merintis pendidikan alternatif “education fun”, pembelajaran menyenangkan untuk privat. 2 tahun merintis pendidikan alternatif ditambah beberapa kali menjadi instruktur pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII) membangun benih kepedulian terhadap anak-anak. Anak yang mengalami boken heart, broken home n broken society. Aku ingin bisa punya peran dalam membangun anak yang mencari dirinya di tengah arus yang harus dilewati. Karena mereka juga berperan untuk membangun kebahagiaan dirinya tanpa harus meratapi keadaan lingkungan pembentuknya.
Tidak terus menerus menyalahkan keadaan, tapi mengubah keadaan jadi lebih baik dari sebelumnya.
Ketika taqdir memberikan jalan menjejak di kota Pelajar, Yogyakarta 1433 aku pun enggan melepas dunia anak-anak. Ada yang hilang bila tidak mengajar dan bertemu anak-anak. Membina sebuah panti asuhan di lereng merapi, diskusi masyarakat kampung bantaran kali Code, dan tentu saja belajar privat yang menyenangkan. Sepertinya aku diarahkan untuk mendedikasikan diri pada perempuan dan anak. Tiap permasalahan yang menyangkut perempuan dan anak, rasanya ingin segera eksekusi menyelesaikan. Sekolah Pasar sebagai pendidikan masyarakat melengkapi proses pemahaman ku terhadap pendidikan alternatif berbasis kebutuhan. Disini pun aku bertemu dengan para “Khodijah”, pengusaha perempuan yang mengabdikan hidup menjadi pahlawan keluarga. Pendidikan yang tak sekedar mengejar angka semata. Namun nilai-nilai menjadi manusia yang membesarkan kehidupan.
Membangun kerajaan Al Khonsa yang akan membuat peran perempuan kembali pada perannya membesarkan kehidupan anak-anak dunia. Agar anak tak kehilangan dirinya di tengah sahara kehidupan.
Membina Rumah Senyum untuk mencipta keluarga-keluarga yang indah. Ayah seperti Ibrohim dan Luqman, Bunda seperti Khodijah dan Hajar, anak luar biasa seperti Kholid bin Walid dan Muhammad Al Fatih juga Fatimah binti Muhammad. Anak biologis dan ideologis adalah investasi amal jariyah untuk penerus karya di dunia dan mewangikan di surga.
 Menjadikan Kampoeng Peladjar sebagai rumah belajar anak yang ingin menjejak mimpi dan berani mewujudkannya. Pelajar kreatif akan menjadikan masa depan bangsa lebih berani mewujudkan kebaikan. Bukan hanya karena keterbatasan kita menyerah, tapi karena tugas kita sebagai pembelajar hingga napas terkahir.

Impian akan menjadi indah bila dipersembahkan untuk mengabdi pada Maha Hidup dan kebermanfaatan pada kehidupan. Jejak kehidupan yang kita tinggalkan akan menjadi prasasti cinta pada Maha Cinta. Terima kasih cinta, telah mencintai ku dan mengajarkan makna cinta dalam karya.
Azzahro Jannah, mewangikan dunia dengan mengindahkan jejak langit di tiap langkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar