Malam yang melewati tengah dari November dan
awal dari Muharrom, langit masih
mencurahkan cintanya dengan segenap hujan yang mengguyur kota gudeg. Langit
yang muram tanpa cahaya mentari, selaput awan menggantung air yang siap turun
menyentuh tanah. Beberapa sudut kota banjir dan tertutup gundukan sampah yang
tidak mengalir lancar. Prinsipnya, satu yang masuk satu juga yang harus
dikeluarkan agar alirannya lancar. Yang terjadi adalah curahan cinta awan
terlalu banyak, sehingga tanah tak siap menampung karena tanah yang ada hanya
menerima sedikit. Ciptaan bumi dan langit adalah Maha Karya yang seimbang,
penuh dengan perhitungan Penciptanya. Lalu apa yang membuat tatanan penciptaan
ini menjadi tidak seimbang lagi?
Sesaat sebelum hujan itu tumpah, selalu diawali
dengan panas terik yang mencekik. Namun kepergian tumpahan hujan hampir tak ku
lihat lengkung pelangi yang seharusnya melengkapi rintik. Pelangi masih enggan
menemui, ada proses yang harus dilaluinya. Membiarkan aku sendiri menanti di
sudut halte bis senja kota. Menyibakkan payung biru ku untuk kembali melangkah
menerjang rintik. Karena hidup seperti air yang mestinya selalu mengalir
menghidupkan semua yang dilalui.
Hujan di November ini milik kita, yang
inginkan pelangi di jeda rintik. Menemani perjalanan hijroh hati yang terus
berjuang melawan musuh dalam diri. Mengibarkan bendera langit di tiap langkah.
Dengan bermanfaat bagi orang lain, kita akan dapat mengoptimalkan diri menjadi
Abdi Maha Pencipta. Agar air kebaikan tidak berhenti karena sampah di hati yang
masih enggan menebar kebaikan.
Kebersyukuran, kesabaran, keikhlasan adalah
kualitas kerja yang mengiringi tiap jerih kita. Semua cara dan strategi yang
ada akan mampu menggetarkan pintu langit bila kita melibatkan Pencipta kita.
Walau harus jatuh tertatih dan berdarah, memperjuangkan kebaikan itu adalah
harga mahal yang dibeli untuk hijaunya taman surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar