Minggu, 25 November 2012

november ceria


Malam yang melewati tengah dari November dan awal  dari Muharrom, langit masih mencurahkan cintanya dengan segenap hujan yang mengguyur kota gudeg. Langit yang muram tanpa cahaya mentari, selaput awan menggantung air yang siap turun menyentuh tanah. Beberapa sudut kota banjir dan tertutup gundukan sampah yang tidak mengalir lancar. Prinsipnya, satu yang masuk satu juga yang harus dikeluarkan agar alirannya lancar. Yang terjadi adalah curahan cinta awan terlalu banyak, sehingga tanah tak siap menampung karena tanah yang ada hanya menerima sedikit. Ciptaan bumi dan langit adalah Maha Karya yang seimbang, penuh dengan perhitungan Penciptanya. Lalu apa yang membuat tatanan penciptaan ini menjadi tidak seimbang lagi?
Sesaat sebelum hujan itu tumpah, selalu diawali dengan panas terik yang mencekik. Namun kepergian tumpahan hujan hampir tak ku lihat lengkung pelangi yang seharusnya melengkapi rintik. Pelangi masih enggan menemui, ada proses yang harus dilaluinya. Membiarkan aku sendiri menanti di sudut halte bis senja kota. Menyibakkan payung biru ku untuk kembali melangkah menerjang rintik. Karena hidup seperti air yang mestinya selalu mengalir menghidupkan semua yang dilalui.
Hujan di November ini milik kita, yang inginkan pelangi di jeda rintik. Menemani perjalanan hijroh hati yang terus berjuang melawan musuh dalam diri. Mengibarkan bendera langit di tiap langkah. Dengan bermanfaat bagi orang lain, kita akan dapat mengoptimalkan diri menjadi Abdi Maha Pencipta. Agar air kebaikan tidak berhenti karena sampah di hati yang masih enggan menebar kebaikan.
Kebersyukuran, kesabaran, keikhlasan adalah kualitas kerja yang mengiringi tiap jerih kita. Semua cara dan strategi yang ada akan mampu menggetarkan pintu langit bila kita melibatkan Pencipta kita. Walau harus jatuh tertatih dan berdarah, memperjuangkan kebaikan itu adalah harga mahal yang dibeli untuk hijaunya taman surga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar