Kali ini aku sudah menceritakan padanya, apa yang jadi
kesukaan dan yang tidak ku sukai. Dalam pembicaraan ini aku pun mengerti apa
dan bagaimana dirimu. Di tiap kegiatan atau komunitas yang membuat kita bertemu
kita jadi lebih berkomunikasi. Tak mudah memang awalnya, membenturkan beberapa
nilai dan sikap yang berbeda. Menurut ku ini mudah, tak jarang menurut mu ini
jadi rumit. Walau apa yang kita bahas selama berjam-jam ini hanya membahas
bagaimana menyamakan frekuensi bukannya pesoalan eksternal yang selama ini kita
perjuangkan bersama. Aku meyakini, bila kita telah mengenal diri, masalah di
luar diri akan mudah diselesaikan.
Karena dengan mengenal diri, kita mengetahui landasan
pijak. Dari mana, dimana dan mau kemana? Namun bagi sebagian orang, kita harus
profesional. Tanpa harus memahami satu sama lain dalam menjalankan tugas kerja
selama ini. Profesionalitas yang dipahami pun menjadi relatif, ada yang melihat
sebagai totalitas atau totaliter.
Totalitas yang aku pahami adalah mencurahkan segenap
kemampuan tenaga, pikiran dan hati dalam pekerjaan yang menjadi amanah.
Perhatikan kata amanah, sebab sering kali amanah ini diartikan beban kerja.
Saat kita menikamti amanah itu, jalan terjal atau landai akan menjadi seni
dalam bekerja. Namun bila kita artikan sebagai beban, maka cerahnya hari akan
terasa terik dan sejuknya hujan akan terasa dingin. Dan totalitas bukan
meninggalkan amanah lain yang juga kita pegang, seperti peran di keluarga dan
di masyarakat. Terlebih peran penghambaan untuk Pencipta kita.
Sedangkan totaliter mendekati otoriter dalam menjalani
pekerjaan, seketika meninggalkan peran di keluarga yang hanya mendapat porsi
sisa dari waktu yang kita miliki. Masyarakat juga kesulitan mendapati
kebermanfaatan kita untuk lingkungan. Atau mungkin, Pencipta kita menjadi hal
yang tidak lagi dipentingkan. Totaliter menuntut secara ekstrim untuk
memberikan diri sepenuhnya dalam lingkaran pekerjaan. Amanah yang indah menjadi
beban yang membatasi ruang kita bersosial dan meningkatkan kualitas diri. Jika
dalam sebuah pergerakan, kita pun butuh pemantapan ideologisasi dan ruh
perjuangan untuk mempertahankan apa yang kita yakini.
Keyakinan yang kita pilih menjadikan alasan memilih,
dalam tiap keputusan yang diambil. Perbedaan keyakinan ini dijembatani dengan
manajemen konflik yang selama masih dalam kerangka visi yang sama akan mudah
menyatukan walau harus berbeda sampul. Saat kita “hanya” mampu menjadi seorang
penarik becak untuk mengantarkan seseorang yang kita yakini mampu membawa
kebaikan, ya kita optimalkan diri di posisi dan wewenang yang kita miliki.
Memaksakan diri di bidang yang mampu kita jalani, bukan memaksakan diri di
bidang yang tidak kita nikmati.
Jika mampu menjadi panglima, kita optimalkan potensi
panglima untuk menguatkan pasukan. Jika mampu menjadi pasukan, optimalkan
menguatkan barisan. Jangan terjebak dengan konflik internal terus, sebab musuh
yang nyata adalah dari eksternal kita. Sebuah keniscayaan, untuk menjadi kuat
internal, kita harus meyakini musuh eksternal kita. Namun bila tidak menyadari
musuh eksternal itu, ya siap untuk internal yang rapuh.
*kembali
menjejakkan pada pilihan hati untuk siapa aku berjuang? ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar