Selasa, 01 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 6 Matahari Itu Tak Lagi Tertutup Hujan

6Matahari Itu Tak Lagi Tertutup Hujan Liburan semester genap, aku libur hampir tiga bulan. Dosen ku yang menjadi peneliti dan pengabdi daerah pegunungan sudut provinsi mengajak untuk menjadi pendamping penelitiannya. Segara ku sambut dengan antusias, tak mudah mendapat tawaran sebaik ini. Bu Siti Aisyah dan Bu Joy, dosen yang cukup punya kiprah dan pengaruh di universitas. Kedua dosen ini banyak yang tidak menyukainya sebab terlalu disiplin. Tapi bagi ku ini tantangan yang menyenangkan. Bu Siti usianya separuh baya, berjilbab rapat dan bersahaja menjabat sebagai pembimbing akademik ku. Sedang Bu Joy adalah dosen muda yang cantik dengan jilbab gradasi manis. Aku di sini bersama tiga teman ku yang lain. Fatir Ahmad, kakak kelas ku yang menjadi salah satu pengurus organisasi Islam ekstra kampus. Satu lagi, Abdillah yang memiliki prestasi akademik segudang. Kedua kakak kelas ku itu memang agak berbeda dunia. Fatir organisatoris sekali hingga hampir jarang terlihat di kelas. Namun dia selalu bisa mempertahankan nilai, sehingga para dosen sering kewalahan berhadapan dengannya. Selalu berhasil melobi dosen untuk ijin mengikuti kegiatan organisasinya yang padat dengan jaminan nilai yang akan dipertahankannya. Sekali saja nilainya jatuh, semua dosen sepakat untuk tidak memberi kesempatan melanjutkan kuliah. Sebegitu menantangnya hidup seorang Fatir yang ku dengar di kampus sangat dingin ini. Sedikit berbicara, selalu ditunggu-tunggu pendapatnya. Namun sekali bicara, tak jarang membuat semua terpengaruh dengan pendapat-pendapatnya yang argumentatif. Seorang lagi, Abdillah adalah lelaki yang orientasi kuliah untuk mengejar prestasi sebanyak-banyaknya. Sedikit lebih ramah, namun memang ia selalu berusaha memanfaatkan waktu untuk belajar. Berjalan di seputaran kampus sering ku lihat dia sambil membaca buku. Mereka berdua sedang menyusun skripsi dengan bimbingan Bu Siti. Ini tahun terakhir mereka kuliah. Aku pun sempat bertanya-tanya, mengapa aku yang dipilih Bu Siti untuk mendampinginya. Seusai solat subuh, aku menumpang bis kota menuju kampus yang jaraknya tiga puluh menit mengendarai sepeda mini ku. Aku masih menggunakan sepeda mini untuk kuliah, bersepeda menjadi hiburan buat ku. Melihat kehidupan lebih dekat dan jelas. Sesampai di depan Fakultas Pertanian, aku melihat Bu Siti dan Bu Joy duduk di kursi depan sambil membaca. Tak jauh aku melihat Abdi dan Fatir datang hampir bersamaan, lalu mereka bersalaman. Setelah aku menyalami kedua dosen panutan ku, kita langsung menaiki mobil milik Bu Siti yang dikendarai Fatir. Sebelahnya Abdi menjadi navigator, sebab desa yang kami tuju adalah desa yang diberdayakannya beberapa bulan belakangan. Selama hampir dua jam perjalanan, kami membicarakan apa-apa saja yang akan kami lakukan dua bulan disana. Tempat itu dipilih karena penggarapan tanah di lahan pegunungan agak jarang tersentuh. Kondisi masyarakatnya memprihatinkan, banyak yang mencari peruntungan di kota. Tak jarang mereka malah menggelandang karena tak memiliki keahlian. Yang masih bertahan di desa ini hanya mereka yang takut menantang hidup. Bu Siti dan Bu Joy mendapat rekomendasi dari Abdi. Kami bertiga yang akan membantu masyarakat disini berkembang. Karena Bu Siti dan Bu Joy tak memungkinkan untuk dua bulan penuh disini, karena sesekali harus kembali ke kota. “Ibu memilih Bunga untuk program ini, karena Bunga satu-satunya mahasiswa beasiswa yang benar-benar menjaga nilai prestasi di kampus. Ibu belum menemukan mahasiswa seperti kalian bertiga lagi. Padahal program ini berkesempatan untuk dua mahasiswa lagi. Ibu mendikusikan ini dengan Bu Joy dan beberapa dosen lain. Mahasiswa sekarang kuliah hanya menggugurkan kewajiban saja. Tak berani berpikir inovatif. Terjebak dengan budaya yang menumpulkan kreatifitas”, jelas Bu Siti sambil menatap jendela mobil. “Sayang sekali jika kuliah tidak mencipta karya, ketika lulus nanti malah menjadi beban negara sebab tak mampu melewati hidup yang penuh tantangan. Ibu harap, kalian bertiga dapat bermanfaat di masyarakat. Terutama yang terpinggirkan oleh jaman. Sebisa mungkin menularkan kepedulian pada teman-teman kalian. Kita hidup tak hanya untuk kita sendiri, karena orang besar adalah orang yang membesarkan kehidupan orang lain”, sahut Bu Joy. “Insya Allah...”, jawab ku singkat. “Bunga juga harus terus menulis, seperti kata Pramoedya Ananta Toer “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dengan tulisan, saat kita sudah tak lagi hidup tulisan kita akan tetap hidup menghidupi hidup”, sela Fatir yang ucapanya bermakna amat dalam. Aku mengangguk dan tersenyum. Aku pun bertanya tentang gambaran masyarakat di sana. Setelah sampai, kami menuju Pak Rasyid kepala desa. Keluarganya sangat ramah, Pak Rasyid memiliki dua orang anak. Rizki, berusia dua puluh tahun. Tak melanjutkan sekolah karena jauh dan lebih memilih membantu ayahnya. Jarang ku lihat kini seorang anak yang masih mau membantu ayahnya. Rima, berusia sebaya dengan ku. Juga hanya membantu di ladang. Rata-rata anak disini bersekolah hingga tingkat SMP. Untuk duduk di tingkat di SMA harus pindah ke dua desa sebelah. Aku senang sekali dapat sekamar dengan Rima. Gadis kecil ini manis sekali, sangat santun dalam balutan jilbabnya yang anggun. Fatir dan Abdi sekamar dengan Rizki, Bu Siti dan Bu Joy di kamar tengah. Kedatangan kami disambut dengan santap siang yang begitu menggugah selera. Istri Pak Rasyid sangat mahir memasak. Seusai makan kami menyapa warga desa yang tinggal disini tak lebih dari seratus orang. Ada sebuah surau yang digunakan untuk balai desa, tempat berkumpulnya warga. Kami disambut seorang lelaki muda, yang di sapa akrab oleh Abdi. “Assalamu’alaikum, Ari apa kabar?”, sapa Abdi sambil merangkul lelaki yang tampak tak asing bagi ku. “Wa’alaikumussalam, alhamdulillah baik. Abdi sendiri baik?”, jawab lelaki yang ku tahu namanya Ari. “Alhamdulillah menjadi lebih baik bila ke desa ini bertemu dengan mu”, goda Abdi. “Perkenalkan, ini Bu Siti dan Bu Joy salah satu dosen hebat. Ini Fatir teman sekelas dan Bunga adik kelas ku. Insya Allah kita bertiga akan tinggal disini. Kita harap Ari bisa membantu”, jelas Abdi yang diikuti dengan senyum mengiyakan pada pertemuan pertama kami. Ari adalah pemuda yang menjaga surau ini. Sehari-hari berkebun palawija dan beternak ayam. Setiap asar hingga isya’, Ari bersama Pak Rasyid mengajar membaca Al-Qur’an. Dari anak-anak hingga lansia. Ari tampak berbeda dari penduduk asli, tapi kebersahajaannya membuat kami tak banyak tahu bagaimana kehidupan sebelumnya. Hingga sore kami berkeliling melihat tempat-tempat yang akan kami kelola. Beberapa warga yang melihat kedatangan kami segera menyalami tanpa tahu kami siapa dan dari mana? Keramahan yang tak mudah ku dapat selama meninggalkan rumah tempat aku tumbuh besar. Saat magrib aku ke surau bersama Fatir dan Abdi, aku merindukan membaca Al-Qur’an bersama di rumah. “Padahal baru saja aku sehari meninggalkan Aishi, tapi aku sudah sangat merindukannya. Ada seorang anak berusia tiga tahunan, lucu sekali mengenakan kerudung putih. Aku ingat, Aishi belum memiliki kerudung. Padahal semakin cantik nantinya”, batin ku menatap anak itu. “Bunga, kenapa?”, tanya Abdi yang melihat ku tersenyum melihat tingkah anak-anak yang berlarian. “Anak kerudung putih itu, mirip keponakan di rumah. Lucunya membuat aku merindukannya”, jelas ku. Beberapa menit lagi azan, Fatir menawarkan diri untuk menjadi mu’azin. Ari pun tersenyum memberi kesempatan. Kesadaran ibadah warga disini cukup baik. Saat azan, hampir semua aktifitas terhenti. Semua berkumpul untuk solat berjamaah di surau. Pak Rasyid meminta antara Abdi atau Fatir mengimami solat. Namun mereka berdua memberi kesempatan Pak Rasyid saja. Kami pun khusyu’ dalam solat. Walau ada beberapa anak kecil, mereka tidak berteriak atau menangis yang membuat gaduh. Anak-anak disini semua tenang. Hampir jarang aku melihat gadis menampakkan rambutnya. Pemudanya juga tak banyak yang hanya duduk-duduk, semua giat bekerja siang hari untuk istirahat beribadah malam hari. Aku merasa sejuk di hati ini, berada di tengah orang-orang yang menghargai hidupnya untuk terus melakukan yang terbaik. Selesai solat isya’, Rima mengajak ku untuk memanggil Ari untuk makan malam di rumah. Rizki belum kembali dari kota membeli pupuk. Perintah Bu Rasyid untuk dapat menemani kami. “Kak Ari, Ibu meminta untuk datang makan malam. Kakak kan dari kota, pasti lebih bisa nyambung jika berbicara dengan tamu Bapak”, kata Rima sambil sedikit menunduk. “Insya Allah, saya bereskan surau sebentar. Oya, kamu Bunga Mawar? Penulis beberapa cerpen dan novel Perempuan Awan?”, ucap Ari pada ku. “Hmm.. Iya, Kak Ari tahu saya darimana?”, tanya ku. “Kita pernah berjumpa di rumah bidan hampir tiga tahun lalu, jika masih ingat. Aku Matahari yang bercerita tentang Bulan”, penjelasan Ari membuat aku menyipitkan mata. Seolah tak mempercayai, aku bertemu lagi dengan Matahari yang dulunya tertutup mendung kesedihan karena penyesalan. Aku hanya tersenyum. Lalu berpamitan ke rumah Pak Rasyid duluan. Selama di jalan aku tersenyum geli mengingat beberapa tahun lalu. “Bunga pernah bertemu Kak Ari? Aku tak mengerti, matahari, bulan, bunga mawar, perempuan awan. Apa itu semua?”, tanya Rima tak mengerti. “Nanti setelah makan malam, aku akan bercerita tentang ku. Besok, Rima bercerita tentang hidupmu. Kita bantu Ibu dulu...”, ajak ku pada Rima menuju dapur. Seperti makan siang tadi, masakan Bu Rasyid memang mantap. Suasana kehangatan seperti keluarga sendiri. Tak lama kemudian, Rizki datang. Langsung bergabung makan bersama. “Wah, harga pupuk cepat sekali berubah. Dan pasokan mulai sulit. Ada apa ya?”, cerita Rizki sambil mengambil sepiring nasi. “Banyak faktor, ada yang memang karena bahan baku yang sulit dicari atau memang ada yang salah dalam distribusi”, jawab Bu Siti. Kami pun berbincang sesaat setelah santap malam. Semua tentang pertanian, bagaimana dan seperti apa cara kerja petani disini. Ini bagian dari assesment pembacaan dan pemetaan kondisi. Selama seminggu pertama kita akan kumpulkan data-data untuk kita kaji dan pelajari. Agar minggu kedua sudah dapat solusi yang dapat dipraktekkan. “Oya, aku tadi ke toko buku langganan, aku beli novel terbaru judulnya “Senyum Pelangi pada Rintik Hujan” tulisan Bunga Mawar”, kata Rizki sambil mengeluarkan sebuah novel dari dalam ransel. Semua yang ada di meja sedikit kaget dan penasaran. Bunga hanya senyum tanpa makna. Selama ini tidak ada yang mengetahui Bunga Mawar penulis novel Perempuan Awan adalah dirinya. Nama Bunga Mawar terlalu sederhana, lagipula Bunga tak pernah mau tampil untuk launching bukunya. Sampul bukunya dan data penulis tak pernah memajang fotonya. Dari seisi ruangan hanya Ari yang tahu.Jadi Ari pun hanya tersenyum melihat ketidaktahuan seisi ruangan. “Rizki tanya dengan Bunga, isi cerita novel itu”, goda Ari pura-pura belum tahu. “Oh, Bunga sudah baca? Saya salah satu pembaca karya-karya Bunga Mawar yang sederhana dan mudah dimengerti. Hanya selalu membuat saya bertanya, alasan menceritakan beberapa potongan yang terkadang terlalu rumit”, kata Rizki dengan antusias. “Bunga Mawar itu Bunga yang ada bersama kita sekarang”, sela Ari yang membaca bagian belakang sampul novel itu. “Wah...”, seisi ruangan terkesiap. Bu Siti dan Bu Joy pun tak menyangka, ternyata mahasiswanya adalah penulis yang dikagumi karya-karyanya. Fatir lebih kaget, dia ingat tadi di perjalanan berangkat mengingatkan untuk menulis. Belum satu tulisannya pun yang dipublikasikan. Abdi tersenyum kagum, Bunga akhirnya menjelaskan. “Saya ingin karya saya yang dikenal, bisa menjelajah dunia. Mengubah dunia dengan jejak kecil saya. Saya masih perlu banyak belajar, setiap tulisan saya selalu didiskusikan lalu melewati editan yang cukup ketat. Saya khawatir jika tidak dijaga bersama, nilai yang disampaikan hanya dari subjektifitas persepsi saya. Dengan begini, saya berharap pembaca akan kritis membangun karya. Bukan mainstream figur, saya ingin tetap bisa berbelanja ke pasar dan bermain di sawah tanpa ada yang mengenal saya”, jelas Bunga yang berusaha menjaga hati dan tersenyum sederhana. “Tapi sebagaimana pun menyimpan, pasti ketahuan juga. Ari bisa tahu ini tulisan Bunga dari mana?”, tanya Abdi yang heran melihat sahabatnya selama ini di desa. “Saya pernah bersama Rizki ke kota seperti biasa membeli kebutuhan menanam. Tak jauh ada sebuah toko buku yang baru buka. Aku dan Rizki melihat-lihat sebentar. Rak terdepan ada novel “Perempuan Awan”, ku buka daftar isi dan sampul belakang. Di daftar isi adalah judul “gerimis milik Matahari untuk Bulan”. Isinya adalah kisah pertemuan ku dan Bunga beberapa tahun lalu. Yang pada saat itu bercerita tentang Bulan”, cerita Ari. “Pantas tadi di surau kak Ari bilang, Matahari, Bulan, Bunga Mawar, Perempuan Awan. Jadi ini maksudnya?”, tebak Rima tiba-tiba. “Saya minta maaf jika menceritakan itu, niat saya ingin menjadi hikmah untuk pembaca”, kata ku agak tak enak hati. “Kan sudah ada di catatan kaki, permintaan maaf itu. Saya berharap jadi penebus kesalahan. Justru saya berterimakasih, bisa menjadi inspirasi menulis seorang Bunga Mawar”, pujian Ari makin membuat Bunga tak enak hati. Malam itu istimewa untuk semua, banyak disekitar kita yang tidak kita ketahui. Dan banyak hal juga yang dapat menjadi inspirasi. Rima pun banyak bertanya tentang dunia menulis pada Bunga di kamar. Dengan senang hati, Bunga bercerita pengalamannya. Hanya menuliskan apa yang dilihat, didengar, dipikir dan dirasa. Bunga pun merasa perlu banyak belajar lagi. Bunga hanya meniatkan tulisannya dapat menjadi mutiara hikmah bagi yang ingin menyelami. Sesaat setelah Rima tertidur, Bunga mengambil catatan kecilnya dan menulis... Lama tak berjumpa dengan matahari itu, banyak yang berubah padanya. Kemarin ia tampak mendung dan tak bercahaya sebab ketersesatannya. Kini ia menyinari diri sekitarnya dengan kebaikan. Esok mungkin ia akan dirindukan pepohonan. Ku petik sebuah ayat cinta, “maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?”. Lembar Arrahman yang berulang hingga tiga puluh kali. Pencipta kita hanya inginkan kita menjadi pribadi yang baik dengan membaikkan laku. Air mata penyesalan dan berusaha membaikkan diri lebih wangi daripada keangkuhan pada gempita kebaikan diri. Tetaplah berusaha menyinari diri dan sekitarmu untuk persembahan hidup bagi Pencipta kita. Tak akan sia-sia perbaikan diri jika dilalui dengan ikhlas dalam makna. Terima kasih Maha Cinta, aku masih dijaga... Diantara gemintang malam, Bunga meniti syukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar