1.
Hamparan Hijau itu dari Gelapnya Tanah
Seusai solat subuh,
aku meminta Rima menemaninya menikmati matahari pagi pertamanya di desa. Sejuk
sekali... Sesejuk senyum Bunga. Melihat hamparan hijau seperti karpet, Maha
Karya Penciptanya. Bunyi suara ayam yang menyambut semaraknya pagi ini, semilir
hawa pegunungan yang masih asri. Beberapa orang tampak baru berjalan menuju
ladang masing-masing. Walau para warga tak mengenal siapa aku, tapi disapa
dengan ramah. Aku pun, sumringah menjawab sapaan para warga. Ada sebuah ladang
yang menurut ku unik, luasnya yang hanya kurang lebih hanya lima are. Ditanami
berbagai macam tanaman yang berbeda, terlihat seperti rekayasa.
“Lucu ya, tidak
hanya satu macam tanaman”, ucap ku sambil mendekati tumbuhan cabe.
“Ini dijadikan
tanah percobaan kak Ari, dia bilang tak tahu apa-apa tentang menanam. Setelah
punya beberapa buku menanam yang dibeli, kak Ari mencobanya. Tanah ini milik
Bapak yang tidak tergarap karena bentuknya tidak rata. Hasil panennya pun untuk
kami sekeluarga. Karena itu tak jarang kami mengundang kak Ari makan bersama”,
cerita Rima yang menangkap kekaguman ku pada ide unik ini.
Aku berjalan
mengelilingi tumbuhan yang ditanam, mengingat betapa riangnya aku dan Ratu saat
bermain di sawah saat kecil. Kami berdua sering makan tanaman yang ditanam orang,
singkong, pisang, dan apa saja yang bisa dipetik. Bermain rumah-rumahan,
memasak dengan rumput dan daun-daun untuk makanannya. Permainan yang
imaginatif. Berjualan hasil masakan pun jadi adegan seru. Karena uang yang kami
gunakan adalah lembaran daun. Makin lebar punggung daun, makin besar
nominalnya. Aku dan Ratu bukan jenis anak yang suka bersaing, karena itu
beberapa teman kami menganggap tak menyenangkan bermain bersama. Mereka bermain
butuh pesaing, sebagai antagonis agar permainan bisa berlanjut ke pertengkaran
tidak penting. Aku tertawa kecil mengingat masa-masa kecil yang indah dengan
segala keindahannya.
“Hmm... indahnya
membuat teringat pada kenangan manis bersama kakakku”, ucap ku sambil membuka
tangan menghirup udara yang sejuk untuk memenuhi rongga paru-paru ku.
“Kalau tidak salah
ingat, dalam novel “Perempuan Awan”, Bunga menceritakan permainan anak-anak di
sawah. Tokoh utamanya Mawar dan Melati. Apa Mawar itu, Bunga? Dan Melati itu
kakak Bunga?”, tebak Rima sambil melakukan hal sama dengan ku.
“Iya, kakak ku
sumber inspirasi ku. Dia menjadi pengganti orang tua ku”, kisah ku yang menoleh
ke arah Rima.
“Dicerita itu,
Bapak dan Ibu mereka ada. Keluarga yang saling mendukung”, kata Rima mencoba
mengingat novel tulisan ku yang pernah di bacanya.
“Ah, masa iya?
Kapan terakhir Rima baca?”, goda ku pura-pura lupa.
“Kan Bunga yang
menulis, masa lupa? Benar kok, aku ingat. Karena cerita yang paling ku ingat
adalah saat, minggu pagi Mawar kecelakaan sepulang dari pantai. Saat itu sebuah
mobil menabraknya. Kaki Mawar pun patah dan harus dioperasi. Di situ adegan
yang mengharukan, karena Mawar harus berani operasi kaki untuk tetap bisa
berjalan. Walau berjalan itu sederhana, namun akan jadi luar biasa bila
disyukuri. Kalimat itu yang membuat aku belajar bersyukur sejak pertama
menginjakkan kaki sewaktu bangun tidur”, cerita Rima panjang.
Aku pun hanya
tersenyum. Tak semua cerita yang ku tuliskan adalah kisah yang pernah ku alami.
Terkadang yang aku tuliskan cerita yang ku inginkan terjadi. Aku mencari tempat
duduk di bawah pohon. Rima pun duduk di samping ku. Tanpa ku minta, Rima
bercerita tentang Ari.
“Hampir dua tahun,
kak Ari tinggal disini. Awalnya aku melihat dia seperti orang yang putus asa
tak tahu arah. Datang ke desa ini tanpa tujuan. Karena dia menolong Rizki yang
terpeleset membawa hasil panen. Rizki membawanya ke rumah. Bapak, Ibu, Rizki
dan aku mendengar kisahnya yang memilukan. Dia bercerita bukan untuk
dikasihani. Tapi dimaafkan dan diberi kesempatan memperbaiki hidup. Hampir tak
ada tempat yang menerima dia. Semua menyalahkan dan menganggap dia membawa
sial. Allah mengantarnya kesini karena ia ingin hidup di gunung saja. Aneh
sekali pikirannya. Mungkin karena terlalu putus asanya. Disana aku berpikir,
apa kecil sekali kemungkinan orang berubah baik untuk dimaafkan? Padahal,
setahu ku Allah saja Maha Pengampun. Kita seenaknya saja tidak memaafkan,
padahal besar kemungkinan kita juga berbuat salah dan belum tentu kita lebih
baik dari orang yang bersalah itu”, kisah Rima pada ku.
Aku pun jadi merenungkan
kata-kata Rima. Iya, tentu saja kita seharusnya mempercayai niat seseorang
berubah. Metamorposa seseorang dari ulat yang menggelikan menjadi kepak sayap
yang mewarnai awan.
Matahari sudah
mulai tinggi, aku mengajak Rima kembali ke rumah. Khawatir Bu Siti dan Bu Joy
mencari ku. Diperjalanan aku melihat Ari sedang berkebun dengan senangnya.
Sedetik kita bertemu pandang, lalu kami saling tersenyum menyapa dengan salam.
Lalu aku segera pamit pulang.
Setelah sampai di
rumah, ternyata sarapan telah siap dihidangkan. Wangi aroma masakan ini
menggugah selera perut yang lapar. Seusai sarapan, Bu Siti dan Bu Joy membagi
tugas Abdi, Fatir dan aku. Abdi assesment warga setempat, karena dia yang cukup
dikenal sehingga lebih mudah pendekatannya. Fatir dan aku berkeliling
perkebunan untuk melihat dan mendokumentasikan data yang bisa dijadikan objek
penelitian. Perjalanan kami hari ini ditemani Pak Rasyid, memperlihatkan
perkebunan.
Makan siang kami
habiskan di sebuah gubuk kecil, senangnya merasakan pemandangan lukisan Maha
Karya Pencipta. Kami membicarakan temuan-temuan kecil yang bisa kita jadikan
data. Menjelang matahari terbenam, kami bertiga membantu Ari menyiapkan kajian
hingga waktu isya’. Rutinitas ini kami lakukan selama satu pekan, setelah
data-data yang diperlukan selesai kami menyiapkan strategi pengelolaan lahan.
Bu Siti dan Bu Joy yang telah kaya teori dipertaruhkan kemampuannya untuk
menggunakan di lapangan. Kedua dosen pembimbing kami ini harus segera kembali
ke kota untuk mengurus beberapa hal keperluan kami selama disini.
Banyak hal yang
bisa ku pelajari dalam perjalanan ini. Kecerdasan sosial Fatir, intelegensia
Abdi yang ternyata amat membantu, keluarga Pak Rasyid yang sedemikian terbukan
dalam berbagai hal. Tak kurang seluruh denyut napas kehidupan disini
menginspirasi. Yang paling membuat ku terobati kerinduan pada Aishi adalah,
gadis kecil kerudung putih. Al-Khonsa, namanya mengingatkan ku pada seorang
sahabiyah di buku sejarah Rasulullah Muhammad Saw.
“Assalamu’alaikum..
Khonsa sudah makan?”, tanya ku setiap melihatnya.
“Wa’alakumussalam,
sudah”, jawab Khonsa dengan nada lucu agak kurang lancar.
Sepanjang membantu di surau, Khonsa
yang sering aku pangku. Diantara yang lain, dia yang paling kecil. Karenanya,
tidak terlalu aneh bila aku paling dekat dengannya. Tak jarang aku mengantarnya
pulang, walau sudah bersama ibunya. Rumah Khonsa hanya berbeda dua gang kecil.
Keramahan masyarakat disini membuat merasa seperti di rumah keluarga sendiri.
Tidak seperti biasanya, Khonsa kecil
tidak datang ke surau. Setelah ku tanya seorang anak yang ku tahu rumahnya tak
begitu jauh dari Khonsa, mengatakan dia sedang demam. Demam dari semalam tak
kunjung sembuh. Aku khawatir, setelah solat magrib aku bergegas pamit untuk
menjenguk Khonsa. Abdi yang melihat ku buru-buru, segera menyamakan langkah.
“Ada apa buru-buru?”, tanya Abdi tanpa
menatap ku.
“Ingat Khonsa kecil?, katanya dia
demam dari semalam. Aku mau ke rumahnya”, jawab ku yang juga tanpa menatap
Abdi.
“Aku ikut ya, tadi sore sebelum ke
surau aku melihat kedua orang tua Khonsa buru-buru ke kota mencari dokter.
Sempat ku dengar ingin meminta bantuan kita. Kita kan bukan dokter, jadi bapak
Khonsa urung mendekat. Aku tak berpikir jika yang sakit adalah Khonsa”.
Kami
berdua mempercepat langkah, karena ada teriakan minta tolong dan cahaya api
yang menyala persis di sebelah rumah Khonsa. Aku terdiam beberapa detik,
berpikir apa yang bisa dilakukan. Karena semua orang panik, aku mencoba tenang
agar ada yang mengkordinir keadaan. Rumah-rumah disini semua terbuat dari kayu
yang mudah terbakar, aku meminta para warga tenang dan segera mengambil air
terdekat. Beberapa menit api mulai mengecil. Namun Ibu Khonsa, berteriak nama Khonsa
berkali-kali.
“Khonsa... Khonsa... Khonsa masih di
dalam”.
Teriakan Ibu Khonsa membuat ku segera
menutup kerudung luar ku dengan jaket yang ku kenakan rapat. Abdi menhentikan
langkahnya, melihat ku tak lagi menyiram rumah yang terbakar. Tapi menyiram
diriku sendiri dengan air yang ku ambil. Abdi yang tak pernah menyalami
perempuan selain keluarganya itu segera menarik ujung jaket ku yang telah
basah. Tentu aku kaget, mengapa dia berani menarik ku?
“Apa yang mau kamu lakukan?”,
kata-kata Abdi tajam menatap ku.
“Aku tidak mungkin diam jika tahu anak
ku di dalam bahaya”, ketus ku sambil mengibaskan tangan kemudian berlari ke
dalam rumah Khonsa.
“Bunga...”, teriak Ari yang sayup
terdengar diantara reruntuhan rumah Khonsa.
Perlahan ku masuki
kamar depan yang menganga karena jilatan api, sedikit lagi api menyentuh badan
Khonsa yang menangis bingung di atas ranjangnya. Tanpa ku pedulikan sudut kayu
terbakar menggores lengan, panas. Aku mempercepat langkah menggendong Khonsa.
Jaket ku buka untuk menutupi separuh badan Khonsa. Aku memotong jalan dengan
melompati jendela yang sudah setengah hancur. Aku terhuyung berjalan menuju Ari
yang akan masuk menyusul ku ke dalam rumah. Lalu pingsan...
“Allah...”, ucap ku pelan, saat sadar.
Aku melihat Ari tertidur di samping ku. Rima dan Abdi di kursi tunggu yang
berbeda. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00. Ku buka alat yang membantu ku
bernapas.
“Masya Allah, aku belum solat isya”,
gumam ku. Aku berusaha untuk bangun, tapi badan ku nyeri. Aku baru ingat, tadi
setelah magrib aku dalam kebakaran di rumah Khonsa.
“Bagaimana keadaan Khonsa?”, batin ku.
Pelan-pelan ku coba
untuk berwudu dengan debu, merapikan penutup kepala dan selimut yang ku pakai.
Aku solat dengan posisi tidur, air mata ku mengalir. Allah masih memberi ku
kesempatan hidup. Aku bersyukur, walau aku masih mengkhawatirkan Khonsa. Semoga
dia baik-baik saja. Karena isak tangis ku, Ari terbangun. Melihat ku akhirnya telah
sadar dari beberapa jam tadi, Ari tersenyum.
“Alhamdulillah, Bunga baik-baik
saja?”, tanya Ari sambil mengusap sisa kantuk dan lelahnya.
“Alhamdulillah. Khonsa?”, tanya ku
kembali.
“Alhamdulillah, dia tepat waktu di
tangani”.
Mendengar kami berbicara, Abdi ikut
terbangun dan kemudian membangunkan Rima.
“Rima, Bunga sudah sadar”, ucap Abdi
yang mendekat ke tempat duduk Ari.
Rima menyusul, dan
segera memeluk Bunga.
“Alhamdulillah, kata dokter Bunga cuma
kekurangan oksigen. Jadi Bunga baik-baik saja kan?”, kata Rima yang langsung
melepas pelukannya karena aku mengaduh.
“Aku lupa jika punya infeksi
paru-paru, aku hanya ingat bagaimana bisa segera melarikan Khonsa”, jawab ku
pelan dengan sesekali memaksa menghirup napas ku yang nyeri.
“Sepanjang kamu tidak sadar tadi,
terus mengucap Allah. Apa yang terjadi?”, tanya Rima yang tampak khawatir.
“Kami pikir akan terjadi apa-apa. Rima
terus terisak melihat Bunga selemah tadi. Biasanya selalu riang tersenyum,
walau tergores pisau saat bantu di dapur”, tambah Abdi yang juga khawatir.
“Jangan hubungi keluarga dan Dosen
kita ya. Biar ceritanya nanti setelah bertemu. Agar mereka tidak khawatir”,
pinta ku pada Abdi.
“Kami tak sempat memikirkan itu.
Setelah membawa Bunga dan Khonsa, Fatir bersama warga lain membantu membereskan
puing kebakaran dan memberi tempat tidur sementara. Khonsa sekarang di ruang
khusus anak dengan ibunya. Tadinya hanya Rima yang menunggu mu, tapi kalau butuh
apa-apa biar mudah aku dan Abdi juga menemani”, jelas Ari.
Malam ini
aku kembali belajar menghargai kehidupan. Tak banyak yang bisa kita lakukan,
karena hidup terlalu singkat. Hanya memberikan yang terbaik yang bisa kita beri
dalam tiap detiknya. Ikhlas dalam menapaki terjal curamnya hidup. Kita tak
pernah tahu kapan akhir perjalanan ini? Tanpa ikhlas semua akan sia-sia.
Hamparan hijau itu dari gelapnya tanah. Keindahan hidup adalah memaknai hikmah
yang kita pijak. Terimakasih detik, akan hidup yang berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar