Rabu, 02 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 7 Hamparan Hijau itu dari Gelapnya Tanah

1.      Hamparan Hijau itu dari Gelapnya Tanah
Seusai solat subuh, aku meminta Rima menemaninya menikmati matahari pagi pertamanya di desa. Sejuk sekali... Sesejuk senyum Bunga. Melihat hamparan hijau seperti karpet, Maha Karya Penciptanya. Bunyi suara ayam yang menyambut semaraknya pagi ini, semilir hawa pegunungan yang masih asri. Beberapa orang tampak baru berjalan menuju ladang masing-masing. Walau para warga tak mengenal siapa aku, tapi disapa dengan ramah. Aku pun, sumringah menjawab sapaan para warga. Ada sebuah ladang yang menurut ku unik, luasnya yang hanya kurang lebih hanya lima are. Ditanami berbagai macam tanaman yang berbeda, terlihat seperti rekayasa.
“Lucu ya, tidak hanya satu macam tanaman”, ucap ku sambil mendekati tumbuhan cabe.
“Ini dijadikan tanah percobaan kak Ari, dia bilang tak tahu apa-apa tentang menanam. Setelah punya beberapa buku menanam yang dibeli, kak Ari mencobanya. Tanah ini milik Bapak yang tidak tergarap karena bentuknya tidak rata. Hasil panennya pun untuk kami sekeluarga. Karena itu tak jarang kami mengundang kak Ari makan bersama”, cerita Rima yang menangkap kekaguman ku pada ide unik ini.
Aku berjalan mengelilingi tumbuhan yang ditanam, mengingat betapa riangnya aku dan Ratu saat bermain di sawah saat kecil. Kami berdua sering makan tanaman yang ditanam orang, singkong, pisang, dan apa saja yang bisa dipetik. Bermain rumah-rumahan, memasak dengan rumput dan daun-daun untuk makanannya. Permainan yang imaginatif. Berjualan hasil masakan pun jadi adegan seru. Karena uang yang kami gunakan adalah lembaran daun. Makin lebar punggung daun, makin besar nominalnya. Aku dan Ratu bukan jenis anak yang suka bersaing, karena itu beberapa teman kami menganggap tak menyenangkan bermain bersama. Mereka bermain butuh pesaing, sebagai antagonis agar permainan bisa berlanjut ke pertengkaran tidak penting. Aku tertawa kecil mengingat masa-masa kecil yang indah dengan segala keindahannya.
“Hmm... indahnya membuat teringat pada kenangan manis bersama kakakku”, ucap ku sambil membuka tangan menghirup udara yang sejuk untuk memenuhi rongga paru-paru ku.
“Kalau tidak salah ingat, dalam novel “Perempuan Awan”, Bunga menceritakan permainan anak-anak di sawah. Tokoh utamanya Mawar dan Melati. Apa Mawar itu, Bunga? Dan Melati itu kakak Bunga?”, tebak Rima sambil melakukan hal sama dengan ku.
“Iya, kakak ku sumber inspirasi ku. Dia menjadi pengganti orang tua ku”, kisah ku yang menoleh ke arah Rima.
“Dicerita itu, Bapak dan Ibu mereka ada. Keluarga yang saling mendukung”, kata Rima mencoba mengingat novel tulisan ku yang pernah di bacanya.
“Ah, masa iya? Kapan terakhir Rima baca?”, goda ku pura-pura lupa.
“Kan Bunga yang menulis, masa lupa? Benar kok, aku ingat. Karena cerita yang paling ku ingat adalah saat, minggu pagi Mawar kecelakaan sepulang dari pantai. Saat itu sebuah mobil menabraknya. Kaki Mawar pun patah dan harus dioperasi. Di situ adegan yang mengharukan, karena Mawar harus berani operasi kaki untuk tetap bisa berjalan. Walau berjalan itu sederhana, namun akan jadi luar biasa bila disyukuri. Kalimat itu yang membuat aku belajar bersyukur sejak pertama menginjakkan kaki sewaktu bangun tidur”, cerita Rima panjang.  
Aku pun hanya tersenyum. Tak semua cerita yang ku tuliskan adalah kisah yang pernah ku alami. Terkadang yang aku tuliskan cerita yang ku inginkan terjadi. Aku mencari tempat duduk di bawah pohon. Rima pun duduk di samping ku. Tanpa ku minta, Rima bercerita tentang Ari.
“Hampir dua tahun, kak Ari tinggal disini. Awalnya aku melihat dia seperti orang yang putus asa tak tahu arah. Datang ke desa ini tanpa tujuan. Karena dia menolong Rizki yang terpeleset membawa hasil panen. Rizki membawanya ke rumah. Bapak, Ibu, Rizki dan aku mendengar kisahnya yang memilukan. Dia bercerita bukan untuk dikasihani. Tapi dimaafkan dan diberi kesempatan memperbaiki hidup. Hampir tak ada tempat yang menerima dia. Semua menyalahkan dan menganggap dia membawa sial. Allah mengantarnya kesini karena ia ingin hidup di gunung saja. Aneh sekali pikirannya. Mungkin karena terlalu putus asanya. Disana aku berpikir, apa kecil sekali kemungkinan orang berubah baik untuk dimaafkan? Padahal, setahu ku Allah saja Maha Pengampun. Kita seenaknya saja tidak memaafkan, padahal besar kemungkinan kita juga berbuat salah dan belum tentu kita lebih baik dari orang yang bersalah itu”, kisah Rima pada ku.
Aku pun jadi merenungkan kata-kata Rima. Iya, tentu saja kita seharusnya mempercayai niat seseorang berubah. Metamorposa seseorang dari ulat yang menggelikan menjadi kepak sayap yang mewarnai awan.
Matahari sudah mulai tinggi, aku mengajak Rima kembali ke rumah. Khawatir Bu Siti dan Bu Joy mencari ku. Diperjalanan aku melihat Ari sedang berkebun dengan senangnya. Sedetik kita bertemu pandang, lalu kami saling tersenyum menyapa dengan salam. Lalu aku segera pamit pulang.
Setelah sampai di rumah, ternyata sarapan telah siap dihidangkan. Wangi aroma masakan ini menggugah selera perut yang lapar. Seusai sarapan, Bu Siti dan Bu Joy membagi tugas Abdi, Fatir dan aku. Abdi assesment warga setempat, karena dia yang cukup dikenal sehingga lebih mudah pendekatannya. Fatir dan aku berkeliling perkebunan untuk melihat dan mendokumentasikan data yang bisa dijadikan objek penelitian. Perjalanan kami hari ini ditemani Pak Rasyid, memperlihatkan perkebunan.
Makan siang kami habiskan di sebuah gubuk kecil, senangnya merasakan pemandangan lukisan Maha Karya Pencipta. Kami membicarakan temuan-temuan kecil yang bisa kita jadikan data. Menjelang matahari terbenam, kami bertiga membantu Ari menyiapkan kajian hingga waktu isya’. Rutinitas ini kami lakukan selama satu pekan, setelah data-data yang diperlukan selesai kami menyiapkan strategi pengelolaan lahan. Bu Siti dan Bu Joy yang telah kaya teori dipertaruhkan kemampuannya untuk menggunakan di lapangan. Kedua dosen pembimbing kami ini harus segera kembali ke kota untuk mengurus beberapa hal keperluan kami selama disini.
Banyak hal yang bisa ku pelajari dalam perjalanan ini. Kecerdasan sosial Fatir, intelegensia Abdi yang ternyata amat membantu, keluarga Pak Rasyid yang sedemikian terbukan dalam berbagai hal. Tak kurang seluruh denyut napas kehidupan disini menginspirasi. Yang paling membuat ku terobati kerinduan pada Aishi adalah, gadis kecil kerudung putih. Al-Khonsa, namanya mengingatkan ku pada seorang sahabiyah di buku sejarah Rasulullah Muhammad Saw.
“Assalamu’alaikum.. Khonsa sudah makan?”, tanya ku setiap melihatnya.
“Wa’alakumussalam, sudah”, jawab Khonsa dengan nada lucu agak kurang lancar.
          Sepanjang membantu di surau, Khonsa yang sering aku pangku. Diantara yang lain, dia yang paling kecil. Karenanya, tidak terlalu aneh bila aku paling dekat dengannya. Tak jarang aku mengantarnya pulang, walau sudah bersama ibunya. Rumah Khonsa hanya berbeda dua gang kecil. Keramahan masyarakat disini membuat merasa seperti di rumah keluarga sendiri.
          Tidak seperti biasanya, Khonsa kecil tidak datang ke surau. Setelah ku tanya seorang anak yang ku tahu rumahnya tak begitu jauh dari Khonsa, mengatakan dia sedang demam. Demam dari semalam tak kunjung sembuh. Aku khawatir, setelah solat magrib aku bergegas pamit untuk menjenguk Khonsa. Abdi yang melihat ku buru-buru, segera menyamakan langkah.
          “Ada apa buru-buru?”, tanya Abdi tanpa menatap ku.
          “Ingat Khonsa kecil?, katanya dia demam dari semalam. Aku mau ke rumahnya”, jawab ku yang juga tanpa menatap Abdi.
          “Aku ikut ya, tadi sore sebelum ke surau aku melihat kedua orang tua Khonsa buru-buru ke kota mencari dokter. Sempat ku dengar ingin meminta bantuan kita. Kita kan bukan dokter, jadi bapak Khonsa urung mendekat. Aku tak berpikir jika yang sakit adalah Khonsa”.
            Kami berdua mempercepat langkah, karena ada teriakan minta tolong dan cahaya api yang menyala persis di sebelah rumah Khonsa. Aku terdiam beberapa detik, berpikir apa yang bisa dilakukan. Karena semua orang panik, aku mencoba tenang agar ada yang mengkordinir keadaan. Rumah-rumah disini semua terbuat dari kayu yang mudah terbakar, aku meminta para warga tenang dan segera mengambil air terdekat. Beberapa menit api mulai mengecil. Namun  Ibu Khonsa, berteriak nama Khonsa berkali-kali.
          “Khonsa... Khonsa... Khonsa masih di dalam”.
          Teriakan Ibu Khonsa membuat ku segera menutup kerudung luar ku dengan jaket yang ku kenakan rapat. Abdi menhentikan langkahnya, melihat ku tak lagi menyiram rumah yang terbakar. Tapi menyiram diriku sendiri dengan air yang ku ambil. Abdi yang tak pernah menyalami perempuan selain keluarganya itu segera menarik ujung jaket ku yang telah basah. Tentu aku kaget, mengapa dia berani menarik ku?
          “Apa yang mau kamu lakukan?”, kata-kata Abdi tajam menatap ku.
          “Aku tidak mungkin diam jika tahu anak ku di dalam bahaya”, ketus ku sambil mengibaskan tangan kemudian berlari ke dalam rumah Khonsa.
          “Bunga...”, teriak Ari yang sayup terdengar diantara reruntuhan rumah Khonsa.
Perlahan ku masuki kamar depan yang menganga karena jilatan api, sedikit lagi api menyentuh badan Khonsa yang menangis bingung di atas ranjangnya. Tanpa ku pedulikan sudut kayu terbakar menggores lengan, panas. Aku mempercepat langkah menggendong Khonsa. Jaket ku buka untuk menutupi separuh badan Khonsa. Aku memotong jalan dengan melompati jendela yang sudah setengah hancur. Aku terhuyung berjalan menuju Ari yang akan masuk menyusul ku ke dalam rumah. Lalu pingsan...
          “Allah...”, ucap ku pelan, saat sadar. Aku melihat Ari tertidur di samping ku. Rima dan Abdi di kursi tunggu yang berbeda. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00. Ku buka alat yang membantu ku bernapas.
          “Masya Allah, aku belum solat isya”, gumam ku. Aku berusaha untuk bangun, tapi badan ku nyeri. Aku baru ingat, tadi setelah magrib aku dalam kebakaran di rumah Khonsa.
          “Bagaimana keadaan Khonsa?”, batin ku.
Pelan-pelan ku coba untuk berwudu dengan debu, merapikan penutup kepala dan selimut yang ku pakai. Aku solat dengan posisi tidur, air mata ku mengalir. Allah masih memberi ku kesempatan hidup. Aku bersyukur, walau aku masih mengkhawatirkan Khonsa. Semoga dia baik-baik saja. Karena isak tangis ku, Ari terbangun. Melihat ku akhirnya telah sadar dari beberapa jam tadi, Ari tersenyum.
          “Alhamdulillah, Bunga baik-baik saja?”, tanya Ari sambil mengusap sisa kantuk dan lelahnya.
          “Alhamdulillah. Khonsa?”, tanya ku kembali.
          “Alhamdulillah, dia tepat waktu di tangani”.
          Mendengar kami berbicara, Abdi ikut terbangun dan kemudian membangunkan Rima.
          “Rima, Bunga sudah sadar”, ucap Abdi yang mendekat ke tempat duduk Ari.
Rima menyusul, dan segera memeluk Bunga.
          “Alhamdulillah, kata dokter Bunga cuma kekurangan oksigen. Jadi Bunga baik-baik saja kan?”, kata Rima yang langsung melepas pelukannya karena aku mengaduh.
          “Aku lupa jika punya infeksi paru-paru, aku hanya ingat bagaimana bisa segera melarikan Khonsa”, jawab ku pelan dengan sesekali memaksa menghirup napas ku yang nyeri.
          “Sepanjang kamu tidak sadar tadi, terus mengucap Allah. Apa yang terjadi?”, tanya Rima yang tampak khawatir.
          “Kami pikir akan terjadi apa-apa. Rima terus terisak melihat Bunga selemah tadi. Biasanya selalu riang tersenyum, walau tergores pisau saat bantu di dapur”, tambah Abdi yang juga khawatir.
          “Jangan hubungi keluarga dan Dosen kita ya. Biar ceritanya nanti setelah bertemu. Agar mereka tidak khawatir”, pinta ku pada Abdi.
          “Kami tak sempat memikirkan itu. Setelah membawa Bunga dan Khonsa, Fatir bersama warga lain membantu membereskan puing kebakaran dan memberi tempat tidur sementara. Khonsa sekarang di ruang khusus anak dengan ibunya. Tadinya hanya Rima yang menunggu mu, tapi kalau butuh apa-apa biar mudah aku dan Abdi juga menemani”, jelas Ari.

          Malam ini aku kembali belajar menghargai kehidupan. Tak banyak yang bisa kita lakukan, karena hidup terlalu singkat. Hanya memberikan yang terbaik yang bisa kita beri dalam tiap detiknya. Ikhlas dalam menapaki terjal curamnya hidup. Kita tak pernah tahu kapan akhir perjalanan ini? Tanpa ikhlas semua akan sia-sia. Hamparan hijau itu dari gelapnya tanah. Keindahan hidup adalah memaknai hikmah yang kita pijak. Terimakasih detik, akan hidup yang berarti.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar