Jumat, 28 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag. 5 Kedua Bunda Cantikku dan Kakek Sabar ku



Kedua Bunda Cantikku dan Kakek Sabar ku
Hidup mengalir begitu cepat. Akhir tahun ajaran di SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Universitas terkemuka untuk penelitian pertanian ku. Yap, aku benar-benar bisa kuliah. Karena berbeda kota, aku meminta Bapak, Ratu dan Aishi ikut pindah di kota yang sama. Aku ingin tetap bersama dengan orang-orang yang ku cintai. Awalnya Bapak dan Ratu keberatan karena khawatir belum memiliki pekerjaan di tempat tinggal yang sama sekali baru. Tapi berkali-kali Allah membantu jalan keluar kami. Alhamdulillah, Bu Stefi memiliki teman yang dapat membantu kami selama di kota. Bapak tetap sesekali mudik ke rumah kami bila sedang masa tanam ataupun panen. Ratu membuka sebuah toko kecil di rumah kontrakan kami yang menjual kebutuhan sehari-hari. Semangat Ratu masih saja tinggi, peluang daerah kontrakan para mahasiswa membuat usaha kami lancar. Modal awal dari dana yang dikumpulkan dari donatur yang peduli dengan keadaan Ratu. Sedikit dari dana hasil menulis ku yang sering menjuarai perlombaan dan yang dimuat di media.
Dengan berwirausaha, Ratu tetap punya banyak waktu untuk Aishi yang semakin lincah. Aku pun bisa tetap kuliah dengan baik. Baru sebulan saja, kami telah memiliki seorang karyawati yang cukup rajin dan pintar. Neni namanya, ia harus berhenti sekolah karena kedua orang tuanya berpisah tak lagi mau mengurusnya. Aku pun di sela waktu mengajari beberapa pelajaran yang disukainya. Buku-buku bacaan yang menarik, sering ku hadiahkan saat gajian akhir bulan. Niat ku ingin mengembalikannya sekolah. Sayang kurang satu tahun lagi di SMA. Aku terus memupuk kepercayaan dirinya untuk berani bermimpi dan mewujudkannya. Neni sangat sederhana dan jujur. Aku kagum dengan semangatnya untuk tetap menghargai hidupnya yang terlihat porak poranda. Tapi Neni bisa menunjukkan keberanian melawan ketakutannya menjalani hidup. Ku perhatikan, Neni bisa sekuat ini karena rajin ibadah.
“Doa membuat saya masih bisa hidup sampai sekarang”, ucap Neni suatu hari saat ku goda hobinya mendoakan tiap orang yang di temuinya.
Aku sempat berpikir, mungkin tak akan kuat bertahan jika di posisi Neni. Kedua orang tuanya adalah tenaga kerja yang dipekerjakan di luar negeri. Tak pernah bertemu kedua orang tuanya sejak kecil diasuh oleh neneknya. Tak sepeser pun, Neni menerima nafkah kedua orang tuanya. Saat neneknya meninggal tahun lalu, hidup Neni makin suram. Neni bekerja apa saja untuk bertahan hidup, hampir saja Neni menjual dirinya karena sangat kelaparan. Beruntung Neni masih mengingat pesan neneknya.
“Perempuan yang baik untuk lelaki baik, jaga dirimu untuk kebaikan orang lain. Allah selalu bersama mu selama kamu mengingatnya”, kata-kata ini sering disebutkan nenek Neni.
Aku pun bertemu dengannya saat berjalan sepulang kuliah di dekat lampu merah, Neni terduduk lemah. Wajahnya pucat dan saat ku sentuh dahinya, terasa hangat. Tanpa berpikir panjang, aku membatalkan janji ku sore itu untuk segera membawanya ke dokter terdekat. Karena aku mengendarai sepeda mini, aku meminta seorang tukang ojek yang tak jauh mengantarkan ke dokter. Saat ke dokter, aku baru mengetahui namanya. Dokter bilang sakit maag akut. Dokter menyarankan untuk memakan makanan lembut dulu. Neni seperti adik ku sendiri, aku memeluknya. Tapi Neni menepis tangan ku.
“Saya belum mandi, entah berapa hari”, kata Neni sambil gemetar makan semangkok bubur.
“Kamu mau jadi adik ku?”, tanya ku padanya sambil menyentuh tangannya yang kurus.
       Wajahnya datar, dia melanjutkan makan tanpa mempedulikan aku yang memperhatikannya. Setelah dirawat dua hari, aku membawanya untuk tinggal bersama. Setelah satu hari tidak beraktifitas, Neni menawarkan untuk membantu pekerjaan rumah.
       “Saya mau tinggal disini jika diijinkan untuk membantu pekerjaan”, kata Neni setelah makan siang.
       Kami sekeluarga pun menyambut tawaran Neni. Kami senang sekali dapat membantu walau hanya seorang. Karena itu berarti kami bisa bermanfaat setara dengan membantu orang seluruh dunia. Neni tak kami paksakan, apa yang mampu dikerjakannya. Aku pun melihat semangat hidupnya, tak lagi lesu seperti aku pertama menemukannya. Saat yang kita lakukan memiliki arti untuk orang lain, kita sudah cukup merasa menjadi seorang manusia.
       Aishi mulai bisa berbicara patah-patah, ruang di hati kami selalu berwarna pelangi. Tawa dan tangis Aishi menjadi makanan pokok bagi hati kami. Aishi cepat sekali menirukan apa yang dilihat dan didengarnya. Ratu tak sembarangan memberi tontonan dan lagu untuk Aishi. Ratu meyakini, apa yang dilihat dan didengarnya akan menjadi karakter. Selelah apapun, Ratu berusaha menjaga makanan sehat untuk Aishi. Makanan yang beredar di luar, tak jarang menggunakan penyedap, pengawet dan pewarna. Sebutir nasi atau setetes air yang masuk ke dalam perut Aishi dijaga kehalalannya.
       “Sebutir nasi saja berasal dari keharaman, akan menjadi lumatan kemarahan Pencipta Aishi. Aku berusaha menjaganya. Aku ingin menebus keburukan dengan kebaikan”, jelas Ratu saat ku tanya mengapa ia sebegitu telitinya.
       “Bunda..”, panggil Aishi dengan nada manja.
       Aku dan Ratu menoleh bersamaan, aku pun memintanya memanggil Bunda Bunga.
       “Ai lapar..”, lanjut Aishi yang mendekati Ratu.
       “Mau makan dengan Bunbun atau Bunda?”, goda Ratu pada ku.
       Bunbun adalah kependekan dari Bunda Bunga. Ratu sering menggoda ku, karena sering kali apa yang ku pikir terlalu jauh. Ditambah betapa sayang aku dengan Aishi, membuat aku sudah belajar menjadi seorang ibu. Kegemaran ku yang berlebihan pada peralatan bayi dirasa aneh. Beberapa peralatan bayi milik Aishi ku simpan dalam kamar ku.
       “Bunga sudah ingin menikah?”, tanya Ratu saat menemani aku menyuapi Aishi.
       Aku pun kaget dengan pertanyaan itu, walau aku dan Ratu amat dekat tapi kami tak pernah sama sekali membahas tentang hati. Aku tak ingin membuat Ratu memikirkan hatinya. Jadi aku pun terbawa untuk memilih mendiamkan hati ku. Seketika Bapak duduk di sebelah ku sambil tersenyum, mengusap rambut ku seperti biasa. Bapak selalu mengerti, dengan usapan tangannya di rambut ku membuat ku nyaman.
“Jika Bunga sudah menemukan hati yang bisa menemani hari mu, Bapak siap menikahi mu. Tugas seorang ayah adalah memudahkan pernikahan anaknya yang telah siap”, ucap Bapak pelan.
“Bukan berarti aku sangat suka mengumpulkan perlatan bayi aku siap menikah. Aku berharap Ratu yang menikah duluan, lagi pula aku masih di tahun pertama kuliah. Aku belum memikirkan pernikahan”, jawab ku dengan tersenyum pada Bapak dan Ratu.
“Ratu atau Bunga adalah dua anak Bapak yang mana datang duluan pendampingnya itu yang menikah. Tak perlu mempertahankan budaya melangkahi kakak itu sebagai aib. Kuliah dan pernikahan bukanlah hal yang saling mengganggu jika kita bisa mengaturnya. Keduanya ibadah jadi saling melengkapi”, jelas Bapak.
“Iya, jika Bunga lebih dulu menemukannya aku akan sangat senang sekali. Kita saling mendoakan agar mendapat seorang yang siap menua bersama”, sahut Ratu sambil memegang pundak ku.
“Aamiin. Bunga belum menemukan orang itu, Pak. Minta doanya saja, Bunga sudah meniatkan pernikahan yang dapat saling tolong-menolong dalam kebaikan. Mungkin karena belum menemukan orang yang seperti itu, Bunga pun jadi belum berpikir menikah”, hati ku tiba-tiba ngilu.
“Bapak selalu mendoakan yang terbaik untuk Ratu, Bunga dan Pelangi. Kalian bertiga adalah hadiah Allah terindah”, ucap Bapak yang lalu menggendong Aishi untuk mengajak berjalan-jalan sore seusai makan.
Aku pun masuk ke dalam kamar untuk merapikan buku-buku yang akan ku jadikan referensi tulisan ku. Aku terdiam menatap sebuah foto di atas meja. Aku memperhatikan foto itu, Aishi memiliki dua bunda dan seorang kakek yang sabar. Kedua bundanya masih belum dimiliki hati manapun. Aku jadi memikirkan pernikahan. Sebenarnya aku agak takut memasuki dunia itu. Entah mungkin karena perjalanan ku kemarin. Perpisahan Bapak dan Ibu yang hingga kini tak juga jelas statusnya, Ratu yang menjadi single fighter merawat Aishi dan beberapa pengalaman hati orang lain.
“Mengapa istilahnya “jatuh cinta”? Apa cinta harus menyakitkan?”, batin ku.
Aku menatap jendela kamar ku yang selalu memberi kesempatan aku melihat matahari terbit. Sekarang sudah waktunya terbenam. Langit pun mulai merah dan agak gelap. Aku menghela napas.
“Aku terlahir untuk jadi pemenang, mengapa aku terlalu takut menatap matahari? Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. Aku ingin sebuah pernikahan yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin. Cinta seharusnya membuat kita semakin cinta pada Maha Pemilik Cinta. Cinta bukan hanya antara dua orang yang saling mencinta, namun cinta itu dapat dirasakan kebaikannya oleh sekitar. Bukan keinginan obsesif yang membuat kita tidak menjadi diri sendiri..”, tulis ku di selembar kertas yang ku tempel pada dinding kamar.
“Bunga, kok masih di kamar? Bapak sudah berangkat ke masjid, kita solat magrib berjama’ah. Neni dan Ai sudah siap”, panggil kakak dari pintu kamar ku.
Selesai solat magrib, Bapak segera pulang untuk menemani kami membaca Al-Qur’an bersama dan membaca tafsirnya. Saat magrib dan subuh, kami sekeluarga usahakan untuk bersama. Aku bersyukur dapat melakukan ini. Selain makan bersama, beribadah bersama juga semakin mengutkan hati kami untuk terus saling mendukung dalam kebaikan. Dengan sabarnya Bapak membacakan surat-surat pendek untuk Aishi. Aku mengajari Neni membaikkan bacaannya dan Ratu menemani Aishi menyimak bacaan Bapak. Seusai solat isya kami menyiapkan makan malam bersama.
Karena besok pagi aku ada penelitian ke desa, untuk bahan tugas ku. Aku menyegerakan tidur. Setelah berwudu lalu membaca doa aku merebahkan badan. Aku menatap langit yang penuh bintang dari sela jendela kamar. Sejenak ku teringat lagi, aku menanti sebuah bintang biru yang bisa saling berpijar untuk kebaikan. Menggenggam bintang biru, suatu saat nanti dia akan hadir. Aku tersenyum kecil memenuhi hati dengan rasa syukur.

Aku ingin menjadi setangkai bunga yang indahnya mewarnai taman hati. Wanginya membuat sekitar ku tersenyum bahagia. Namun tak sembarangan yang bisa menyentuh. Aku ingin ia adalah bintang biru yang mengerlingkan cahayanya dengan segenap hati untuk Penciptanya. Bukan hanya sekedar karena indah ku, tapi bintang biru itu menggenggam ku karena hanya dengan ku kita bisa berlari bersama menuju Arrahman dan Almulk. Ya, berlari mencintai Allah. Bersedia menua bersama, hanya aku di hatinya dan dia di hati ku. Hanya waktu yang memisahkan dalam kebaikan. Menjadi penebar kebaikan, bersama kita saling menguatkan. Untuk sekarang, aku akan menantinya dalam diam dan sepi. Akan ku gantung pinta ku diantara gemintang untuk meminta cahaya mu hadir di saat yang tepat. Bersabarlah hati...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar