Jumat, 25 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 12 Benar, Bintang itu adalah Matahari

 Benar, Bintang itu adalah Matahari
          Sudah dua bulan terlewati program yang kami lakukan selesai. Semester ke empat ku kini, aku lebih banyak kajian pustaka di perpustakaan. Sudah mulai jarang ke lapangan, aku mulai mencari referensi untuk skripsi ku nanti. Aku ingin segera lulus kuliah dan melanjutkan S.2 di luar negeri. Menjelajahi bagian bumi lain, seperti membuka halaman selanjutnya dari buku yang kita baca. Setelah dapat ilmu di luar, kembali membangun di negara sendiri. Menikmati hari tua di desa dengan anak-anak. Indah sekali...
          Pertemuan ku dengan Ari dan Abdi mulai jarang. Kecuali Ari menyempatkan datang untuk Aishi yang menanyakannya setelah beberapa hari tak bermain bersama. Aishi belum pernah ku lihat bisa sedekat ini dengan orang lain selain keluarga yang setiap hari bersamanya. Ari memang sederhana dan menyenangkan untuk Aishi.
          Hari ini aku membutuhkan sebuah buku yang dapat menjadi penenang hati ku. Hati ku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Aku takut ini sebuah kesalahan. Setelah semua yang terjadi belakangan ini, semenjak di desa aku merasa ada yang berbeda dengan ku. Tanpa ku sadari aku lebih lama untuk berkaca saat akan pergi, aku lebih sering menulis tentang hati, membaca buku tentang menata hati dan aku lebih pendiam untuk berpikir apa yang ku rasa dengan hati ku. Kali ini pun di tengah kesibukan yang sedikit memberi waktu untuk sendiri, aku menyempatkan diri untuk ke toko buku langganan.
          “Mba Bunga, sudah lama tidak mampir”, sapa Ibu penjaga toko.
          “Iya, Bu. Kuliah saya sekarang lebih padat”, jawab ku sambil menyalaminya.
          “Buku mba Bunga selalu dicari orang hampir setiap hari ada yang tanya. Saya jadi penasaran, masa saya yang menjual malah belum pernah baca? Saat saya baca, saya melihat mba Bunga seperti saya lihat sekarang”.
          “Sekarang saya terlihat seperti apa, Bu?”, tanya ku.
          “Mba Bunga sederhana dan bersahaja. Padahal sudah jadi penulis terkenal, masih senang bersepeda, berbelanja di pasar, banyak yang menyukai tulisan mba tapi jarang ada yang tahu mba penulisnya. Saya heran saja, tidak mungkin selamanya mba tidak diketahui orang”
          “Iya, saya juga pernah memikirkannya. Insya Allah jika saya sudah siap dan kondisinya memungkinkan untuk mengatakan pada orang saya akan promosi buku-buku yang sudah saya terbitkan. Dengan maksud agar orang mudah menemui saya. Saya hanya kuatir belum bisa menjaga hati dengan popularitas”.
          “Ada seorang lelaki yang Ibu perhatikan selalu datang sepekan minimal sekali. Dia selalu menanyakan buku-buku mba Bunga. Dia banyak cerita, katanya sudah punya semua tulisan mba Bunga. Datang kesini hanya untuk melihat banyaknya buku yang terjual. Ibu pikir dia orang penerbitan, tapi setelah berbicara lama Ibu jadi menilai dia mengagumi mba Bunga”.
          “Ibu bisa saja. Saya hanya ingin membagi kebaikan yang saya mampu. Saya ingin mempunyai arti dalam hidup yang telah diamanahkan. Saya ingin Allah mencintai saya”, ucap ku dengan mata agak berkaca, lalu ku alihkan pandangan di tumpukan buku-buku psikologi.
          “Mba Bunga mau cari buku apa?”
          “Buku psikologi pendidikan di rak mana ya?”
          “Biasanya tentang pertanian, psikologi dan pendidikan di rak 7”
          “Bolehkan kita belajar ilmu selain yang sedang kita pelajari?”, goda ku sambil tersenyum.
          “Oya, lelaki tadi Ibu tanya namanya Matahari. Semoga mba berjodoh dengan lelaki sederhana itu. Kalian berdua serasi, sama-sama baiknya”, kata Ibu penjaga toko dengan menepuk bahu ku.
          Aku hanya tersenyum menutupi kekagetan ku. Lagi-lagi Matahari. Aku masih belum mengerti apa yang dia kerjakan? Setiap bertemu, dia hanya diam. Kita bicara hanya seputar desa dan rumah pengelolaan zakatnya. Walau sering ke rumah, dia hanya asik bermain dengan Aishi. Aku keluar kota pun dia tetap ke rumah. Berarti dia tidak hanya ingin bertemu dengan ku saja.
          Aku jadi tidak berkonsentrasi membaca, aku menarik napas panjang duduk di kursi sebelah kolam ikan di tengah toko buku yang asri ini. Gemericik air di air terjun kecil buatan dan riak ikan warna-warni di dalam kolamnya membuat ku tersenyum kecil. Buku yang ingin ku baca hanya tertutup di pangkuan ku. Aku benar-benar belum menemukan rasa hati ku, tiap kali ingat Ari aku ingin menangis entah kenapa?
          Kali ini aku ingin berjalan kaki, sehingga perjalanan ke toko buku dengan bus kota. Sesaat saat akan membayar buku yang ku beli, awan mendung menggantung. Sepertinya akan hujan deras. Padahal seingat ku harusnya bulan ini sudah tidak masuk musim hujan. Aku menunggu bus di shelter terdekat, kembali ku baca buku yang baru ku beli. Rintik gerimis mulai turun, hawa dingin berhembus pelan. Sebuah bus kota jurusan rumah ku datang, aku berdiri dekat pintu masuk depan menunggu penumpang turun lalu aku naik. Sekilas aku melihat seseorang dengan jaket biru dan tas ransel hitam yang tak asing.
          “Ari...”, kata ku dalam hati saat sudah duduk dalam bus kota.
          Ku lihat Ari juga menyadari kita berpapasan tanpa menyapa, dia terlihat mencoba memastikan sesuatu ke dalam bus. Tapi bus kota ini tak berhanti lama, bus kota melaju pelan menyusuri hujan yang mulai deras. Aku memperhatikan rembesan air di sisi luar jendela bus. Sepanjang jalan yang basah dan membuat orang banyak menghindari basah.
          Sesampai di rumah, aku minta Ratu menjemput di shelter bus kota terdekat. Aku bukannya ingin mengindari hujan, hanya tak ingin jadi contoh tidak baik untuk Aishi yang dijewer Ratu. Lagipula ada sebuah buku baru yang ku beli, sehingga aku tak mau buku ini rusak karena basah.
          Di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar setelah menyapa Neni di toko. Aku lupa jika ada janji dengan mba Lusi yang melahirkan semalam. Aku ingin melihat keponakan baru ku itu. Diluar masih hujan, walau tidak terlalu deras aku memilih untuk menumpang bus kota lagi. Aku mengambil sebuah buku mendidik anak yang telah lama ku beli namun belum sempat ku berikan mba Lusi.
          “Bunga mau pergi lagi?”, tanya Ratu.
          “Iya kak, aku lupa menjenguk mba Lusi yang melahirkan semalam. Insya Allah magrib sudah di rumah”, pamit ku.
          “Bunga, tadi Ari kesini lagi bermain dengan Aishi seperti biasanya. Karena mulai mendung, Ari agak buru-buru pergi. Katanya harus mencari buku penting hari ini juga. Ada selembar kertas dari tasnya yang tercecer. Mungkin penting, aku tak berani membacanya. Bunga bawa saja, nanti kalau bertemu dikembalikan”, kata Ratu sambil menyerahkan selembar kertas biru yang tak asing buat ku.
          Aku langsung memasukkan kertas itu ke dalam tas ku, kemudian berangkat ke rumah bersalin. Hujan pun masih betah menyelimuti kota, kembali hati ku terasa asing. Aku masih belum mengerti mengapa hati ini seperti ini? Aku merasa sendiri di keramaian jalan, hujan ini seolah mewakilkan hujan hati ku. Aku seperti anak kecil yang butuh payung untuk dapat tenang di tengah hujan.
          Sesampainya di rumah bersalin, aku segera masuk ke ruangan mba Lusi sesuai petunjuk perawat penjaga. Wangi bedak bayi menyeruak saat pintu yang ku ketuk terbuka. Suami mba Lusi menangkupkan tangan di dadanya menyambut kedatangan ku. Aku pun mengkupkan tangan dan senyum kecil. Lalu aku menghampiri bayi kecil di ranjang sebelah mba Lusi. Bahagianya menjadi seorang Ibu. Lengkap sudah tugas kita sebagai perempuan... setelah menjadi anak dan saudara, kita menjadi istri lalu seorang ibu. Manis sekali.
          “Salaman dulu dong, Bunga. Masa ke anak ku duluan?”, ucap mba Lusi yang heran dengan sikap ku yang terlalu menyukai anak kecil.
          “Eh, maaf mba. Hampir lupa”, jawab ku tertawa lalu menyalami mba Lusi dan mengucapkan selamat menjadi ibu, karir terpanjang tanpa gelar.
          “Mengapa baru datang? Aku sudah menunggu dari tadi pagi”, kata mba Lusi.
          “Hampir saja aku lupa untuk datang, karena main ke toko buku tadi pagi”.
          “Baiklah, jika sudah bicara buku Bunga akan lupa di bumi mana dia sekarang”, canda mba Lusi.
          “Ini buku yang ingin ku berikan, semoga manfaat”, ucap ku lalu menaruh buku itu di meja sisi ranjang mba Lusi.
          “Terima kasih banyak, Bunga. Aku ingin memeluk mu”, pinta mba Lusi yang mudah terharu.
          Aku memeluknya sebentar lalu kemudian bermain lagi dengan si kecil. Mba Lusi dan suaminya hanya tersenyum melihat tingkah ku.
          “Mungkin Bunga seharusnya kuliah jurusan dokter anak atau guru. Lebih bagus lagi menikah segera”, goda mba Lusi sambil tersenyum pada suaminya.
          “Kalau pindah jurusan sudah terlanjur cinta dengan tanah, sulit hilang. Kalau menikah saya sudah siap, gedung dan catering juga. Hanya satu yang kurang...”
          “Apa itu?”, tanya mba Lusi penasaran.
          “Nama lelaki yang ku tulis di undangan belum ada, jadi menunggu konfirmasi dulu ya”, canda ku membalas mba Lusi.
          Pintu kamar yang tidak terlalu rapat di tutup membuat seseorang membuka pintu setelah mengucap salam.
          “Mas Ari, masuk mas”, sapa mba Lusi yang kemudian suaminya menyalami dan memberikan tempat duduk.
          Entah bercandaan kami tadi terdengar atau tidak. Aku tersenyum menyapanya. Aku yang menggendong bayi ini tidak dapat bergerak banyak, agar tidak membuatnya terbangun. Mba Lusi dan suaminya mengajak Ari bicara tentang kantor pengelolaan zakat yang mereka pegang. Karena aku tak tahu banyak, aku hanya mendengarkan dan sesekali ikut tertawa bila ada yang lucu. Tak terasa matahari senja telah mengintip di celah jendela rumah bersalin. Aku ingat untuk pulang magrib, aku ingin dapat membaca Al Qur’an bersama di rumah.
          “Mba Lusi, sudah sore. Aku pamit pulang ya”, ucap ku sambil menyalami mba Lusi.
          “Setelah melahirkan ini, aku ingin fokus mengurus anak. Sehingga aku berhenti bekerja dulu. Kalau Bunga ada waktu, mampirlah ke rumah. Aku tunggu”, pinta mba Lusi.
          “Insya Allah, mba Lusi”, ucap ku.
          “Saya juga pamit, ini hadiah kecil dari saya untuk si kecil”, kata Ari lalu menaruhnya di atas buku yang ku letakkan di meja samping ranjang.
          Ari sempat terdiam melihat buku yang ku beri. Ukuran hadiah Ari juga tak berbeda ukurannya. Aku dan Ari keluar kamar bersamaan. Karena kami sama-sama menumpang bus kota, kami menunggu bersama di shelter tepat di depan rumah bersalin. Seperti biasa, Ari tak banyak bicara. Aku pun bingung mau bicara apa dengannya? Oh ya, aku ingat kertas yang tertinggal di rumah. Aku buka tas ku, posisi kertas itu agak terlipat bagian bawahnya. Ada tulisan “aku ingin menjadi bintang mu”. Aku terkesiap, apa benar selama ini keanehan yang ku terima ini darinya?
          Aku jadi ragu untuk memberikan kertas ini. Bus kota yang ku tunggu tiba, Ari berdiri mengajak ku masuk. Dia masuk duluan untuk mencarikan aku tempat duduk. Di dalam bus kota, Ari berdiri sambil membaca buku. Dia tetap nyaman dengan posisi satu tangan bergelantungan memegang besi di atap bus kota. Aku menatap sisa-sisa hujan di sepanjang jalan pulang. Setelah jarak rumah ku yang makin dekat, aku berdiri memberikan kertas Ari yang tertinggal tadi di rumah lalu turun di shelter. Ari terlihat kaget dengan pemberian kertas biru itu. Dia diam tak berkata apapun, kemudian terduduk di kursi yang ku tinggal. Rumah Ari masih  shelter bus kota lagi.
          Sesaat setelah selesai solat berjamaah dan membaca Al Qur’an bersama, aku masuk kamar. Badan ku agak lelah, seharian beraktifitas di tengah hujan. Aku tertidur dan lupa untuk jika belum sempat makan. Satu jam sebelum subuh, alarm ku berbunyi seperti biasa. Dengan kepala agak berat dan hawa dingin yang tak biasa, aku berwudu untuk solat tahajud dan witir. Seusai solat aku beristigfar seperti yang pernah di contohkan Nabi Muhammad, lalu membaca Surat Arrohman dan Almulk. Menjelang subuh, hawa dingin semakin menjadi. Aku membangunkan Ratu dengan mengenakan jaket.
          “Bunga, kenapa pakai jaket?”, tanya Ratu yang masih mengusap wajahnya.
          “Agak dingin, sepertinya badan ku kelelahan. Tapi baik-baik saja kok”, jawab ku.
          Selesai solat subuh, aku enggan menulis. Aku ingin tertidur, dan aku tak sempat melepas mukena ku. Tak berapa lama aku mendengar pintu di buka, dan tangan Ratu menyentuh dahi ku. Hanya saja mata ku agak berat sehingga tak dapat bergerak. Ratu menyelimuti ku lalu keluar kamar. Matahari pagi telah masuk di celah jendela kamar ku. Aku memaksakan diri untuk bangun melepas mukena ku. Aku agak kaget Aishi menemani ku tidur di sebelah ku. Ku cium pipinya yang tembam.
          “Bunbun sakit ya, kata Bunda?”, kata Aishi yang terbangun dengan ciuman ku barusan.
          “Bunbun kecapaian saja, Aishi kenapa disini?”.
          “Bunda bilang, bunda mau pergi. Ai disuruh disini”, jawaban Aishi yang lancar ini membuat ku tertawa.
          “Kita ke depan cari kakek ya”, ajak ku lalu mengambil baju ganti dan kerudung biru gelap.
          “Bunga baik-baik saja?”, tanya Bapak yang sedang membaca di meja depan toko.
          “Iya, kak Ratu ke pasar katanya mau cari buah dan mau masak sup ayam tuk Bunga”, tanya Neni yang melihat ku agak pucat.
          “Belakangan agak kecapaian dan kurang istirahat saja”, jawab ku lalu duduk di samping Bapak.
          “Bunga ku seduhkan susu putih hangat ya?”, tanya Neni.
          “Sebentar aku saja”, tolak ku, tak mau merepotkan.
          Aku menemani Bapak membaca sambil melihat Aishi bermain di halaman depan toko. Tak lama Ratu datang dengan belanjaan yang cukup banyak. aku mendekatinya untuk membantu membawakan, tapi Ratu menolak. Ratu memberi sebagian belanjaan ke Neni untuk dibawa masuk. Aku berjalan mengikuti mereka sampai dapur.
          “Masih demam?”, tanya Ratu dengan wajah datar dan lalu menyentuh dahi ku.
          “Sedikit...”, jawab ku pelan.
          “Aku tidak suka lihat Bunga sakit itu karena, sama sekali tidak mau ke dokter apalagi minum obat. Ini buah dan sayur harus banyak dimakan biar sehat. Kalau sakit, kuliah dan pekerjaan mu menulis jadi terhambat”.
          Tak biasanya Ratu marah seperti ini, Ratu benar-benar ingin menjaga aku seperti Aishi. Aku hanya diam mendengarkan kata-kata Ratu. Sesekali aku membantu mengupas atau memotong bahan masakan. Belum berapa lama, kepala ku pening lagi. Aku tak mau membuat Ratu khawatir, aku pura-pura mengajak Aishi ke kamar ku.
          Aishi yang tahu aku tak sehat menurut saja. Aishi mau diam tak banyak bicara duduk di samping ku yang ingin tertidur lagi. Aku ber-istigfar beberapa kali lalu lelap tertidur.
          Tidak berapa lama aku terbangun karena ku dengar ada suara tamu di depan. Aku melihat Aishi tertidur dengan memeluk bonekanya, mungkin Aishi bosan menemani ku tanpa melakukan apa-apa. Ku pegang wajah ku yang hangat, selimut ini ku rasa Ratu yang memakaikannya lagi. Pelan ku keluar kamar, melihat siapa yang datang?
          “Assalamu’alaikum, istirahat saja Bunga”, sapa tamu itu yang ternyata Ari.
          “Wa’alaikummussalam”, jawab ku lalu duduk.
          Bapak juga ikut menemani duduk, aku tak berpikir apapun. Ari sudah sangat akrab dengan Aishi ku pikir dia ingin menemui Aishi. Baru sepuluh menit aku duduk, aku tak kuat untuk tetap berada disini. Aku pamit untuk masuk kamar. Aku sempat melihat Ari ada yang ingin disampaikannya. Tapi aku terlalu lemas untuk tetap menemaninya. Bapak sepertinya mulai jelas melihat apa yang terjadi diantara kami. Sayup ku dengar dari kamar, Bapak bicara serius dengan Ari. Sesekali menyebut nama ku.
          Apa yang mereka bicarakan tak dapat jelas ku dengar. Aku kembali merebahkan tubuh dan memutarkan murotal Arrohman di layar komputer ku. Aku harus segera sehat, aku tidak enak menunda pekerjaan ku.
          Dua hari aktifitas ku sepenuhnya hanya di kamar. Sesekali membaca atau menulis ringan. Ada beberapa film yang diangkat dari kisah nyata juga menemani ku selama istirahat. Setelah merasa baikan, aku minta Bapak mengantar ku kantor redaksi mengambil bahan editan. Sebentar kuliah kemudian segera ku pulang.
          Saat ku keluar kelas, aku melihat Abdi sendirian berjalan menuju kantin.
          “Sudah lulus kan, kak? Masih ada keperluan di kampus?”, sapa ku.
          “Iya, masih perlu kepustakaan dari buku-buku disini dan diskusi dengan para dosen sebelum melanjutkan S.2”.
          “Aku pamit duluan ya”.
          “Pulang dengan kendaraan apa? Sepertinya Bunga agak kurang sehat..”, tanya Abdi.
          “Bapak sudah menjemput”.
          “Oh iya, Ari beberapa hari ini sepertinya ingin bertemu dengan Bunga. Tapi mungkin karena tahu Bunga kurang sehat jadi ditunda”.
          “Begitu ya? Kira-kira tentang apa ya?”.
          “Abdi, ayo kita bahas rencana kerja kita...”, sapa seorang teman Abdi yang langsung membawa Abdi pergi dari hadapan ku.
          Aku berjalan ke parkiran depan. Bapak sudah datang, aku mencium tangannya dan naik ke atas sepeda motor.
          “Baru saja Bapak bertemu Ari, dia menanyakan keadaan Bunga”.
          Aku diam tak menjawab.


          Berjalan dengan keyakinan, apa yang kita lakukan adalah untuk membagi kebaikan. Aku disini merasa tak mudah meraihnya namun tak juga mudah menerimanya. Aku hanya perempuan yang tak terlalu berani menatap matahari jingga sendiri. Aku berharap ada seseorang yang menemani, walau aku masih mencarinya. Dalam penantian ini, aku ingin tetap bisa memberi dengan segenap cita yang ku miliki. Menahan lelah saat langkah menghadapi tantangan hidup. Hanya tersenyum dalam hati yang menguatkan aku hingga kini. Terima kasih bijaksana... 
          Hanya sekuntum bunga yang ingin semerbaknya mengindahkan kehidupan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar