Benar, Bintang itu adalah
Matahari
Sudah dua bulan terlewati program yang
kami lakukan selesai. Semester ke empat ku kini, aku lebih banyak kajian
pustaka di perpustakaan. Sudah mulai jarang ke lapangan, aku mulai mencari
referensi untuk skripsi ku nanti. Aku ingin segera lulus kuliah dan melanjutkan
S.2 di luar negeri. Menjelajahi bagian bumi lain, seperti membuka halaman
selanjutnya dari buku yang kita baca. Setelah dapat ilmu di luar, kembali
membangun di negara sendiri. Menikmati hari tua di desa dengan anak-anak. Indah
sekali...
Pertemuan ku dengan Ari dan Abdi mulai
jarang. Kecuali Ari menyempatkan datang untuk Aishi yang menanyakannya setelah
beberapa hari tak bermain bersama. Aishi belum pernah ku lihat bisa sedekat ini
dengan orang lain selain keluarga yang setiap hari bersamanya. Ari memang
sederhana dan menyenangkan untuk Aishi.
Hari ini aku membutuhkan sebuah buku
yang dapat menjadi penenang hati ku. Hati ku mulai merasakan sesuatu yang aneh.
Aku takut ini sebuah kesalahan. Setelah semua yang terjadi belakangan ini,
semenjak di desa aku merasa ada yang berbeda dengan ku. Tanpa ku sadari aku
lebih lama untuk berkaca saat akan pergi, aku lebih sering menulis tentang
hati, membaca buku tentang menata hati dan aku lebih pendiam untuk berpikir apa
yang ku rasa dengan hati ku. Kali ini pun di tengah kesibukan yang sedikit
memberi waktu untuk sendiri, aku menyempatkan diri untuk ke toko buku
langganan.
“Mba Bunga, sudah lama tidak mampir”,
sapa Ibu penjaga toko.
“Iya, Bu. Kuliah saya sekarang lebih
padat”, jawab ku sambil menyalaminya.
“Buku mba Bunga selalu dicari orang
hampir setiap hari ada yang tanya. Saya jadi penasaran, masa saya yang menjual
malah belum pernah baca? Saat saya baca, saya melihat mba Bunga seperti saya
lihat sekarang”.
“Sekarang saya terlihat seperti apa,
Bu?”, tanya ku.
“Mba Bunga sederhana dan bersahaja.
Padahal sudah jadi penulis terkenal, masih senang bersepeda, berbelanja di
pasar, banyak yang menyukai tulisan mba tapi jarang ada yang tahu mba
penulisnya. Saya heran saja, tidak mungkin selamanya mba tidak diketahui orang”
“Iya, saya juga pernah memikirkannya.
Insya Allah jika saya sudah siap dan kondisinya memungkinkan untuk mengatakan
pada orang saya akan promosi buku-buku yang sudah saya terbitkan. Dengan maksud
agar orang mudah menemui saya. Saya hanya kuatir belum bisa menjaga hati dengan
popularitas”.
“Ada seorang lelaki yang Ibu
perhatikan selalu datang sepekan minimal sekali. Dia selalu menanyakan
buku-buku mba Bunga. Dia banyak cerita, katanya sudah punya semua tulisan mba
Bunga. Datang kesini hanya untuk melihat banyaknya buku yang terjual. Ibu pikir
dia orang penerbitan, tapi setelah berbicara lama Ibu jadi menilai dia mengagumi
mba Bunga”.
“Ibu bisa saja. Saya hanya ingin
membagi kebaikan yang saya mampu. Saya ingin mempunyai arti dalam hidup yang
telah diamanahkan. Saya ingin Allah mencintai saya”, ucap ku dengan mata agak
berkaca, lalu ku alihkan pandangan di tumpukan buku-buku psikologi.
“Mba Bunga mau cari buku apa?”
“Buku psikologi pendidikan di rak mana
ya?”
“Biasanya tentang pertanian, psikologi
dan pendidikan di rak 7”
“Bolehkan kita belajar ilmu selain
yang sedang kita pelajari?”, goda ku sambil tersenyum.
“Oya, lelaki tadi Ibu tanya namanya
Matahari. Semoga mba berjodoh dengan lelaki sederhana itu. Kalian berdua
serasi, sama-sama baiknya”, kata Ibu penjaga toko dengan menepuk bahu ku.
Aku hanya tersenyum menutupi kekagetan
ku. Lagi-lagi Matahari. Aku masih belum mengerti apa yang dia kerjakan? Setiap
bertemu, dia hanya diam. Kita bicara hanya seputar desa dan rumah pengelolaan
zakatnya. Walau sering ke rumah, dia hanya asik bermain dengan Aishi. Aku
keluar kota pun dia tetap ke rumah. Berarti dia tidak hanya ingin bertemu
dengan ku saja.
Aku jadi tidak berkonsentrasi membaca,
aku menarik napas panjang duduk di kursi sebelah kolam ikan di tengah toko buku
yang asri ini. Gemericik air di air terjun kecil buatan dan riak ikan
warna-warni di dalam kolamnya membuat ku tersenyum kecil. Buku yang ingin ku
baca hanya tertutup di pangkuan ku. Aku benar-benar belum menemukan rasa hati
ku, tiap kali ingat Ari aku ingin menangis entah kenapa?
Kali ini aku ingin berjalan kaki,
sehingga perjalanan ke toko buku dengan bus kota. Sesaat saat akan membayar
buku yang ku beli, awan mendung menggantung. Sepertinya akan hujan deras.
Padahal seingat ku harusnya bulan ini sudah tidak masuk musim hujan. Aku
menunggu bus di shelter terdekat, kembali ku baca buku yang baru ku beli.
Rintik gerimis mulai turun, hawa dingin berhembus pelan. Sebuah bus kota
jurusan rumah ku datang, aku berdiri dekat pintu masuk depan menunggu penumpang
turun lalu aku naik. Sekilas aku melihat seseorang dengan jaket biru dan tas
ransel hitam yang tak asing.
“Ari...”, kata ku dalam hati saat
sudah duduk dalam bus kota.
Ku lihat Ari juga menyadari kita
berpapasan tanpa menyapa, dia terlihat mencoba memastikan sesuatu ke dalam bus.
Tapi bus kota ini tak berhanti lama, bus kota melaju pelan menyusuri hujan yang
mulai deras. Aku memperhatikan rembesan air di sisi luar jendela bus. Sepanjang
jalan yang basah dan membuat orang banyak menghindari basah.
Sesampai di rumah, aku minta Ratu
menjemput di shelter bus kota terdekat. Aku bukannya ingin mengindari hujan,
hanya tak ingin jadi contoh tidak baik untuk Aishi yang dijewer Ratu. Lagipula
ada sebuah buku baru yang ku beli, sehingga aku tak mau buku ini rusak karena
basah.
Di rumah aku langsung masuk ke dalam
kamar setelah menyapa Neni di toko. Aku lupa jika ada janji dengan mba Lusi
yang melahirkan semalam. Aku ingin melihat keponakan baru ku itu. Diluar masih
hujan, walau tidak terlalu deras aku memilih untuk menumpang bus kota lagi. Aku
mengambil sebuah buku mendidik anak yang telah lama ku beli namun belum sempat
ku berikan mba Lusi.
“Bunga mau pergi lagi?”, tanya Ratu.
“Iya kak, aku lupa menjenguk mba Lusi
yang melahirkan semalam. Insya Allah magrib sudah di rumah”, pamit ku.
“Bunga, tadi Ari kesini lagi bermain
dengan Aishi seperti biasanya. Karena mulai mendung, Ari agak buru-buru pergi.
Katanya harus mencari buku penting hari ini juga. Ada selembar kertas dari
tasnya yang tercecer. Mungkin penting, aku tak berani membacanya. Bunga bawa
saja, nanti kalau bertemu dikembalikan”, kata Ratu sambil menyerahkan selembar
kertas biru yang tak asing buat ku.
Aku langsung memasukkan kertas itu ke
dalam tas ku, kemudian berangkat ke rumah bersalin. Hujan pun masih betah
menyelimuti kota, kembali hati ku terasa asing. Aku masih belum mengerti
mengapa hati ini seperti ini? Aku merasa sendiri di keramaian jalan, hujan ini
seolah mewakilkan hujan hati ku. Aku seperti anak kecil yang butuh payung untuk
dapat tenang di tengah hujan.
Sesampainya di rumah bersalin, aku
segera masuk ke ruangan mba Lusi sesuai petunjuk perawat penjaga. Wangi bedak
bayi menyeruak saat pintu yang ku ketuk terbuka. Suami mba Lusi menangkupkan
tangan di dadanya menyambut kedatangan ku. Aku pun mengkupkan tangan dan senyum
kecil. Lalu aku menghampiri bayi kecil di ranjang sebelah mba Lusi. Bahagianya
menjadi seorang Ibu. Lengkap sudah tugas kita sebagai perempuan... setelah
menjadi anak dan saudara, kita menjadi istri lalu seorang ibu. Manis sekali.
“Salaman dulu dong, Bunga. Masa ke
anak ku duluan?”, ucap mba Lusi yang heran dengan sikap ku yang terlalu menyukai
anak kecil.
“Eh, maaf mba. Hampir lupa”, jawab ku
tertawa lalu menyalami mba Lusi dan mengucapkan selamat menjadi ibu, karir
terpanjang tanpa gelar.
“Mengapa baru datang? Aku sudah
menunggu dari tadi pagi”, kata mba Lusi.
“Hampir saja aku lupa untuk datang,
karena main ke toko buku tadi pagi”.
“Baiklah, jika sudah bicara buku Bunga
akan lupa di bumi mana dia sekarang”, canda mba Lusi.
“Ini buku yang ingin ku berikan,
semoga manfaat”, ucap ku lalu menaruh buku itu di meja sisi ranjang mba Lusi.
“Terima kasih banyak, Bunga. Aku ingin
memeluk mu”, pinta mba Lusi yang mudah terharu.
Aku memeluknya sebentar lalu kemudian
bermain lagi dengan si kecil. Mba Lusi dan suaminya hanya tersenyum melihat
tingkah ku.
“Mungkin Bunga seharusnya kuliah
jurusan dokter anak atau guru. Lebih bagus lagi menikah segera”, goda mba Lusi
sambil tersenyum pada suaminya.
“Kalau pindah jurusan sudah terlanjur
cinta dengan tanah, sulit hilang. Kalau menikah saya sudah siap, gedung dan
catering juga. Hanya satu yang kurang...”
“Apa itu?”, tanya mba Lusi penasaran.
“Nama lelaki yang ku tulis di undangan
belum ada, jadi menunggu konfirmasi dulu ya”, canda ku membalas mba Lusi.
Pintu kamar yang tidak terlalu rapat
di tutup membuat seseorang membuka pintu setelah mengucap salam.
“Mas Ari, masuk mas”, sapa mba Lusi
yang kemudian suaminya menyalami dan memberikan tempat duduk.
Entah bercandaan kami tadi terdengar
atau tidak. Aku tersenyum menyapanya. Aku yang menggendong bayi ini tidak dapat
bergerak banyak, agar tidak membuatnya terbangun. Mba Lusi dan suaminya
mengajak Ari bicara tentang kantor pengelolaan zakat yang mereka pegang. Karena
aku tak tahu banyak, aku hanya mendengarkan dan sesekali ikut tertawa bila ada
yang lucu. Tak terasa matahari senja telah mengintip di celah jendela rumah
bersalin. Aku ingat untuk pulang magrib, aku ingin dapat membaca Al Qur’an
bersama di rumah.
“Mba Lusi, sudah sore. Aku pamit
pulang ya”, ucap ku sambil menyalami mba Lusi.
“Setelah melahirkan ini, aku ingin
fokus mengurus anak. Sehingga aku berhenti bekerja dulu. Kalau Bunga ada waktu,
mampirlah ke rumah. Aku tunggu”, pinta mba Lusi.
“Insya Allah, mba Lusi”, ucap ku.
“Saya juga pamit, ini hadiah kecil
dari saya untuk si kecil”, kata Ari lalu menaruhnya di atas buku yang ku
letakkan di meja samping ranjang.
Ari sempat terdiam melihat buku yang
ku beri. Ukuran hadiah Ari juga tak berbeda ukurannya. Aku dan Ari keluar kamar
bersamaan. Karena kami sama-sama menumpang bus kota, kami menunggu bersama di
shelter tepat di depan rumah bersalin. Seperti biasa, Ari tak banyak bicara.
Aku pun bingung mau bicara apa dengannya? Oh ya, aku ingat kertas yang
tertinggal di rumah. Aku buka tas ku, posisi kertas itu agak terlipat bagian
bawahnya. Ada tulisan “aku ingin menjadi bintang mu”. Aku terkesiap, apa benar
selama ini keanehan yang ku terima ini darinya?
Aku jadi ragu untuk memberikan kertas
ini. Bus kota yang ku tunggu tiba, Ari berdiri mengajak ku masuk. Dia masuk
duluan untuk mencarikan aku tempat duduk. Di dalam bus kota, Ari berdiri sambil
membaca buku. Dia tetap nyaman dengan posisi satu tangan bergelantungan
memegang besi di atap bus kota. Aku menatap sisa-sisa hujan di sepanjang jalan
pulang. Setelah jarak rumah ku yang makin dekat, aku berdiri memberikan kertas
Ari yang tertinggal tadi di rumah lalu turun di shelter. Ari terlihat kaget
dengan pemberian kertas biru itu. Dia diam tak berkata apapun, kemudian
terduduk di kursi yang ku tinggal. Rumah Ari masih shelter bus kota lagi.
Sesaat setelah selesai solat berjamaah
dan membaca Al Qur’an bersama, aku masuk kamar. Badan ku agak lelah, seharian
beraktifitas di tengah hujan. Aku tertidur dan lupa untuk jika belum sempat
makan. Satu jam sebelum subuh, alarm ku berbunyi seperti biasa. Dengan kepala
agak berat dan hawa dingin yang tak biasa, aku berwudu untuk solat tahajud dan
witir. Seusai solat aku beristigfar seperti yang pernah di contohkan Nabi
Muhammad, lalu membaca Surat Arrohman dan Almulk. Menjelang subuh, hawa dingin
semakin menjadi. Aku membangunkan Ratu dengan mengenakan jaket.
“Bunga, kenapa pakai jaket?”, tanya
Ratu yang masih mengusap wajahnya.
“Agak dingin, sepertinya badan ku
kelelahan. Tapi baik-baik saja kok”, jawab ku.
Selesai solat subuh, aku enggan
menulis. Aku ingin tertidur, dan aku tak sempat melepas mukena ku. Tak berapa
lama aku mendengar pintu di buka, dan tangan Ratu menyentuh dahi ku. Hanya saja
mata ku agak berat sehingga tak dapat bergerak. Ratu menyelimuti ku lalu keluar
kamar. Matahari pagi telah masuk di celah jendela kamar ku. Aku memaksakan diri
untuk bangun melepas mukena ku. Aku agak kaget Aishi menemani ku tidur di
sebelah ku. Ku cium pipinya yang tembam.
“Bunbun sakit ya, kata Bunda?”, kata
Aishi yang terbangun dengan ciuman ku barusan.
“Bunbun kecapaian saja, Aishi kenapa
disini?”.
“Bunda bilang, bunda mau pergi. Ai
disuruh disini”, jawaban Aishi yang lancar ini membuat ku tertawa.
“Kita ke depan cari kakek ya”, ajak ku
lalu mengambil baju ganti dan kerudung biru gelap.
“Bunga baik-baik saja?”, tanya Bapak
yang sedang membaca di meja depan toko.
“Iya, kak Ratu ke pasar katanya mau
cari buah dan mau masak sup ayam tuk Bunga”, tanya Neni yang melihat ku agak
pucat.
“Belakangan agak kecapaian dan kurang
istirahat saja”, jawab ku lalu duduk di samping Bapak.
“Bunga ku seduhkan susu putih hangat
ya?”, tanya Neni.
“Sebentar aku saja”, tolak ku, tak mau
merepotkan.
Aku menemani Bapak membaca sambil
melihat Aishi bermain di halaman depan toko. Tak lama Ratu datang dengan
belanjaan yang cukup banyak. aku mendekatinya untuk membantu membawakan, tapi
Ratu menolak. Ratu memberi sebagian belanjaan ke Neni untuk dibawa masuk. Aku
berjalan mengikuti mereka sampai dapur.
“Masih demam?”, tanya Ratu dengan
wajah datar dan lalu menyentuh dahi ku.
“Sedikit...”, jawab ku pelan.
“Aku tidak suka lihat Bunga sakit itu
karena, sama sekali tidak mau ke dokter apalagi minum obat. Ini buah dan sayur
harus banyak dimakan biar sehat. Kalau sakit, kuliah dan pekerjaan mu menulis
jadi terhambat”.
Tak biasanya Ratu marah seperti ini,
Ratu benar-benar ingin menjaga aku seperti Aishi. Aku hanya diam mendengarkan
kata-kata Ratu. Sesekali aku membantu mengupas atau memotong bahan masakan.
Belum berapa lama, kepala ku pening lagi. Aku tak mau membuat Ratu khawatir,
aku pura-pura mengajak Aishi ke kamar ku.
Aishi yang tahu aku tak sehat menurut
saja. Aishi mau diam tak banyak bicara duduk di samping ku yang ingin tertidur
lagi. Aku ber-istigfar beberapa kali lalu lelap tertidur.
Tidak berapa lama aku terbangun karena
ku dengar ada suara tamu di depan. Aku melihat Aishi tertidur dengan memeluk
bonekanya, mungkin Aishi bosan menemani ku tanpa melakukan apa-apa. Ku pegang
wajah ku yang hangat, selimut ini ku rasa Ratu yang memakaikannya lagi. Pelan
ku keluar kamar, melihat siapa yang datang?
“Assalamu’alaikum, istirahat saja
Bunga”, sapa tamu itu yang ternyata Ari.
“Wa’alaikummussalam”, jawab ku lalu
duduk.
Bapak juga ikut menemani duduk, aku
tak berpikir apapun. Ari sudah sangat akrab dengan Aishi ku pikir dia ingin
menemui Aishi. Baru sepuluh menit aku duduk, aku tak kuat untuk tetap berada
disini. Aku pamit untuk masuk kamar. Aku sempat melihat Ari ada yang ingin
disampaikannya. Tapi aku terlalu lemas untuk tetap menemaninya. Bapak
sepertinya mulai jelas melihat apa yang terjadi diantara kami. Sayup ku dengar
dari kamar, Bapak bicara serius dengan Ari. Sesekali menyebut nama ku.
Apa yang mereka bicarakan tak dapat
jelas ku dengar. Aku kembali merebahkan tubuh dan memutarkan murotal Arrohman
di layar komputer ku. Aku harus segera sehat, aku tidak enak menunda pekerjaan
ku.
Dua hari aktifitas ku sepenuhnya hanya
di kamar. Sesekali membaca atau menulis ringan. Ada beberapa film yang diangkat
dari kisah nyata juga menemani ku selama istirahat. Setelah merasa baikan, aku
minta Bapak mengantar ku kantor redaksi mengambil bahan editan. Sebentar kuliah
kemudian segera ku pulang.
Saat ku keluar kelas, aku melihat Abdi
sendirian berjalan menuju kantin.
“Sudah lulus kan, kak? Masih ada keperluan
di kampus?”, sapa ku.
“Iya, masih perlu kepustakaan dari
buku-buku disini dan diskusi dengan para dosen sebelum melanjutkan S.2”.
“Aku pamit duluan ya”.
“Pulang dengan kendaraan apa?
Sepertinya Bunga agak kurang sehat..”, tanya Abdi.
“Bapak sudah menjemput”.
“Oh iya, Ari beberapa hari ini
sepertinya ingin bertemu dengan Bunga. Tapi mungkin karena tahu Bunga kurang
sehat jadi ditunda”.
“Begitu ya? Kira-kira tentang apa
ya?”.
“Abdi, ayo kita bahas rencana kerja
kita...”, sapa seorang teman Abdi yang langsung membawa Abdi pergi dari hadapan
ku.
Aku berjalan ke parkiran depan. Bapak
sudah datang, aku mencium tangannya dan naik ke atas sepeda motor.
“Baru saja Bapak bertemu Ari, dia
menanyakan keadaan Bunga”.
Aku diam tak menjawab.
Berjalan
dengan keyakinan, apa yang kita lakukan adalah untuk membagi kebaikan. Aku
disini merasa tak mudah meraihnya namun tak juga mudah menerimanya. Aku hanya
perempuan yang tak terlalu berani menatap matahari jingga sendiri. Aku berharap
ada seseorang yang menemani, walau aku masih mencarinya. Dalam penantian ini,
aku ingin tetap bisa memberi dengan segenap cita yang ku miliki. Menahan lelah
saat langkah menghadapi tantangan hidup. Hanya tersenyum dalam hati yang
menguatkan aku hingga kini. Terima kasih bijaksana...
Hanya sekuntum bunga yang ingin
semerbaknya mengindahkan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar