Senja
di Ufuk
Hampir dua
hari aku tergeletak di ranjang Rumah Sakit, yang baru ku tahu jaraknya selama
dua jam perjalanan dari desa. Rumah sakit ini sangat sederhana, para dokter dan
perawatnya ramah. Namun, tiap kali aku tanya keadaan Khonsa hanya senyuman yang
mereka beri. Abdi, Ari dan Rima yang menemani ku pun tidak bercerita apa-apa.
Dokter mengatakan, nanti sore aku sudah bisa pulang bersama Khonsa.
Saat Abdi
dan Ari pergi membeli makan siang, Rima mendekat. Seperti ada yang ingin
disampaikan. Aku melihat tas Ari tergeletak tidak tertutup dengan baik. Ada
sebuah buku yang terlihat. Sebelum Rima bercerita, aku meminta Rima
mengambilkan buku yang warna sampulnya ku kenal.
“Ini novel
Senyum Pelangi pada Rintik Hujan, karya Bunga”, ucap Rima membaca judul buku
bersampul biru.
“Setahu
ku, memang kak Ari dan kak Rizki pembaca novel karya Bunga. Eh, ada sebuah
kertas jatuh”, ucap Rima lagi sambil memungut kertas itu.
Rima
terdiam membacanya, beberapa detik terdiam. Lalu memberikan buku dan selembar
kertas itu pada ku. Aku menerimanya dengan bertanya-tanya sikap Rima.
Rintik, adalah diri mu Bunga
dalam taman hati
Pelangi, adalah diri ku yang
kembali cemerlang dengan rintik
Matahari menyempurnakan
pencahayaan pelangi lebih indah
Diam ku, sebuah doa menanti mu
hadir mendengar gerimis hati ku
Lama tak ku temui, sebab aku
malu akan noktah yang diri mu tahu
Namun ternyata pertemuan
singkat di antara rintik hujan pagi itu,
Mengajari aku memahami mu
Lewat karya mu aku mengenal mu
Bersama itu juga aku berharap,
Sebuah doa Matahari untuk Bunga
“Terima kasih telah hadir
sedetik mengindahkan hari, walau aku bukan pelangi yang seindah kedipan mata,
aku ingin jadi pelangi untuk mu rintik”
Bunga untuk Matahari
Aku diam,
mencoba membaca ulang. Memahami maksud tulisan ini. Kebingungan ku terbaca
Rima. Sambil menyentuh jemari ku, Rima bercerita.
“Bunga,
aku memang tidak terlalu mengenal Ari. Suatu hari, aku membahas Ari saat ada
acara pernikahan di desa. Kami semua pemuda membantu acara itu. Setelah ijab
qobul pengantin, aku tak sengaja melihat Ari menitikkan air matanya. Aku
penasaran, aku coba tanyakan pada kak Rizki. Keesokan harinya, aku tahu bahwa
usianya kini telah tidak lagi berbelas, usia kepala dua. Ari mengingat
kesalahan yang pernah dilakukannya, ada keinginan untuk menikah. Namun karena
kesalahan masa lalunya itu, dia berpikir apa ada perempuan soliha yang mau
menerima keadaannya? Entah apa masalahnya itu? Kak Rizki tak enak hati menanyakan”,
Rima menghela napas.
Aku yang
mengetahui sedikit masalahnya, hanya menatap Rima tanpa kata.
“Saat kak
Rizki mengajak kak Ari ke kota untuk membeli bahan-bahan untuk di ladang, kak
Ari terlihat senang sekali melihat sebuah toko buku di seberang jalan. Setelah
urusan kak Rizki selesai, kak Ari mengajak mengunjungi toko buku itu. Sebuah
novel terbaru yang cukup terkenal, membuat kak Ari membaca ringkasan cerita di
halaman belakang dan membaca profil penulisnya. Kak Ari langsung membeli novel
yang judulnya Perempuan Awan. Dalam cerita itu ada bagian yang membuat kak Ari
meminjamkan aku buku itu. Entah bagian yang mana yang disukainya, tapi aku suka sekali dengan tulisan yang sederhana dan
ada hikmah tiap ceritanya. Sejak itu, aku sering melihat kak Ari
menabung hasil panen untuk membeli buku karya-karya Bunga.Awalnya aku dan kak
Rizki berpikir mungkin ini kekaguman biasa. Tapi…”, seketika pintu kamar tempat
ku dirawat di ketuk, sehingga menghentikan ucapan Rima.
“Assalamu’alaikum..Tadi
aku dan Abdi sempat bertemu dokter yang merawat Bunga, Alhamdulillah besok
sudah bisa pulang”, ucap Ari sambil menyerahkan dua kotak makan untuk ku dan
Rima.
Aku dan
Rima hanya tersenyum.Setelah aku merasa cukup enak berjalan, aku meminta Rima
menjenguk Khonsa.Rima yang ragu, terlihat Rima menatap bertanya pada Abdi dan
Ari akhirnya mau juga mengantar.Aku berjalan perlahan dengan dipegangi Rima dan
diikutiAbdi dan Ari. Saat masuk ke ruangan dengan pendingin ruangan yang cukup,
aku melangkah pelan menatap seorang gadis kecil tertidur di ranjang. Cantiknya
karena belum terpengaruh sengatan dunia. Aku teringat Aishi, inspirasi ku
menjadi seorang perempuan yang ingin punya arti. Aku sentuh tangannya.
Dingin... Kedua orang tua Khonsa terduduk tanpa senyum. Aku menatap sekeliling,
seisi ruangan diam. Aku duduk di kursi sebelah ranjang Khonsa, aku genggam
tangannya lebih erat. Ku perhatikan lebih dalam wajahnya yang tak bergerak.
“Mengapa
tak ada napas yang menghembus dari rongga dadanya? Mengapa denyut nadi
tangannya tak bergerak?”, aku mencoba meyakinkan apa yang ku rasakan.
Air mata
ku seketika menitik, saat Rima memeluk ku dari belakang. Dan berkata...
“Khonsa
kembali pada Penciptanya, sejam lalu saat Bunga masih tertidur”, ucap Rima
pelan sambil mengenggam tangan ku yang bergetar.
“Innalillahi
wa inna ilahi roji’un”, hanya kalimat itu yang mampu ku ucap, air mata ku
kembali menitik.
Dalam diam
ku pandangi wajah suci ini, aku hanya berbicara pada hati ku yang kini terasa
perih. Walau belum lama aku dekat dengan si kecil Khonsa, tapi aku bisa melihat
keindahan Maha Karya sang Pencipta pada tutur dan lakunya. Khonsa selalu
mengucap
“Bismillahirrohmanirrohim”,
tiap kali melakukan sesuatu. Makan, minum, melangkah, membaca Al-Qur’an atau
bacaan anak yang pernah ku ajarkan. Itu yang orang tuanya ajarkan padanya. Dua
orang tua sederhana yang luar biasa mendidik anak.
Maha
Pencipta terlalu mencintainya, hingga tak ingin dia terpanggang sengatan dunia.
Tetap menjadi bidadari bunga surga yang mewangikan dan mengindahkan. Kedua orang
tua Khonsa tak meratap berlebihan, mereka tahu Penciptanya menjaga agar Khonsa
menjadikan orang tuanya tamu Allah di surga nanti. Aku membalikkan badan,
mendekap Rima untuk menahan repihan hati ku. Aku tak boleh memperburuk suasana,
kedua orang tua Khonsa saja berusaha tabah.
Setelah
beberapa menit, aku berusaha mengendalikan diri. Sekali lagi ku tatap bidadari
bunga surga di hadapan ku. Ku kecup keningnya agak lama, ini terakhir kalinya.
Ku usap rambutnya yang lurus dan seperti biasa menyentuh hidungnya.
“Ayo, kita
pulang...”, ucap ku pada Rima.
Kami
pulang dengan ambulans, sepanjang jalan tak ku tanya dan tak dijelaskan apa
yang terjadi dengan Khonsa. Langit senja menyelimuti perjalanan kami sore ini.
Semburat langit di ufuk menunjukkan kepatuhan pada Penciptanya. Tak pernah
bertanya dan protes atas tugas kehidupan yang dijalani. Doa dan usaha yang
beriringan hanya pelengkap tugas penghambaan, semua sudah tertulis oleh Maha
Pengatur Hidup.
Setelah
sampai, kami mengurus pemakaman Khonsa malam ini juga. Ketabahan dan keikhlasan
kedua orang tua Khonsa begitu mengagumkan, mereka tetap turut mengurus Khonsa
terakhir kalinya. Pelajaran hidup yang sangat berharga. Di kota yang tak lagi
sedikit para perempuan yang tidak menginginkan anak, dengan mudahnya membuang
anaknya. Tak merasa sedih apalgi bersalah. Padahal anak-anak yang terlahir itu
tidak mengharap terlahir begitu, hanya mengharap kehadiran tangisannya disambut
dengan tawa keluarga yang menantinya.
Keesokan
hari, aku melewati pagi di teras rumah Rima. Memandang hamparan hijau
dihadapanku beberapa minggu lalu. Kini sudah mulai menguning. Sebentar lagi
akan masuk musim panas, beberapa dedaunan mulai berguguran meranggas tanah.
Lembaran daun yang terhempas tanah itu, begitu damai meninggalkan tempatnya
menghijau. Sekarang harus beralih menguraikan diri dengan tanah. Itulah titah
sang Maha Hidup, tak pernah sekalipun alam ini tak menurutinya. Apalagi
protes...
Rima
menemani ku dengan secangkir teh manis hangat yang dibuatnya, duduk di samping
ku. Rima sudah cukup mengenal ku. Hanya dengan teman duduk di samping ku, aku
merasa lebih baik. Hangatnya mentari yang menghapus jejak embun tak membuat ku
tersenyum pagi ini. Senyuman Khonsa membuat ku terus memaknai kehidupan yang
sesingkat menghijaunya daun di tangkai pohon.
Untuk
beberapa saat aku dan Rima hanya menikmati pemandangan pagi yang semakin cerah
saat matahari mulai naik setinggi tombak. Ada seorang ibu dan bapak datang
menanyakan Matahari, Ari yang mengabdikan diri di surau desa. Kedua orang tua
ini tampak orang kota yang berada. Rima tentu saja merasa ganjil melihatnya.
Tapi Rima dan aku masuk ke dalam rumah untuk solat duha, setelah memberi arah
ke surau.
Setelah
itu aku kembali beraktifitas di kebun bersama Abdi, Fatir dan para warga. Jalan
yang kami lewati, juga melewati arah surau. Beberapa detik aku melihat Ari
menangis mencium tangan bapak yang tadi datang menanyakannya pada ku. Kejadian
ini tak ada yang melihat, karena aku segera berpaling. Aku tak mau mencampuri
urusan orang lain, karena tak semua orang suka dicampuri urusannya.
Tengah
hari, Bu Siti dan Bu Joy datang menemui kami di kebun. Kita makan siang di
gubuk yang memang dibuat untuk istirahat para petani. Sedap sekali, makanan
hangat ditambah suasana perkebunan yang sejuk semilir anginnya.
“Semalam
Abdi baru mengabari keadaan Bunga yang sempat di rumah sakit, itu pun kalau
bukan ibu yang menghubungi duluan. Mengapa tidak ada yang mengabari? Kami
bertanggungjawab penuh atas penelitian ini”, kata Bu Joy memulai pembicaraan.
“Kami langsung
mengambil keputusan untuk mengakhiri penelitian ini lebih awal. Jika data yang
diperlukan cukup. Kita segera buat laporannya”, lanjut Bu Siti yang terlihat
khawatir.
“Maaf, Bu.
Saya yang tidak ingin merepotkan, sakit saya tidak parah. Saya kira ini biasa
menjadi bagian dari penelitian”, jawab ku.
“Tapi
mungkin kita perlu siapkan, musim sudah akan berganti. Data penelitian kita
tidak sama nantinya jika dipaksakan. Ini bisa dijadikan pertimbangan lain kita
mempercepat program”, kata Abdi menambahkan.
Obrolan
siang ini akhirnya menjadikan pekan ini adalah pekan terakhir kami disini. Aku
merasa ada yang hilang. Walau belum terlalu lama disini, aku telah merasa
menyatu dengan hamparan hijau ini...
“Setiap
pertemuan adalah persiapan pada perpisahan, dunia masih berputar. Karena
putaran itu menuntut perubahan segera, tidak terlena pada kenyamanan. Terus
memperbaiki diri dengan perubahan yang ada”, tulis ku di lembaran buku ku.
Matahari
di langit bergerak seolah lambat, perlahan menuju peraduan. Aku pulang ke rumah
Rima langsung bersegera ke surau, tidak seperti biasanya anak-anak belum mulai
membaca Al-qur’an. Aku melihat Ari dan kedua orang tua yang ku lihat tadi pagi
berjalan dari halaman belakang.
“Rima dan
Bunga tolong dampingi anak-anak di surau, saya mau mengantar kedua orang tua
saya ke rumah Pak Rasyid”, ucap Ari dengan senyuman yang tak seceria biasanya.
Aku dan
Rima mengangguk dan bersalaman dengan Ibunda Ari. Kami pun jadi tahu jika kedua
orang itu adalah orang tua Ari. Aku dan Rima memulai baca Al-qur’an hingga
menjelang magrib. Aku merasa ada ruang hampa saat melihat anak-anak bermain
setelah membaca Al-qur’an di teras surau. Aku ingat dulu sering merasa malas
saat disuruh Bapak mengaji. Pura-pura tertidur atau sakit jadi alasan agar tidak
berangkat. Yah, Bapak dan Ibu dulu sangat jarang ku lihat membaca Al-qur’an.
Sehingga aku pun merasa malas. Tapi sekarang aku bersyukur, bacaan Al-qur’an ku
lebih baik. Mengajar anak-anak pun bisa, karena itu agak sedih bila melihat
orang seusia ku atau lebih tua dari ku masih belum lancar membaca Al-qur’an.
“Kak Ari
kenapa belum ke surau juga ya? Kan mau masuk waktu magrib?”, tanya Rima
tiba-tiba duduk di samping ku.
“Eh iya,
mungkin urusannya belum selesai”, jawab ku singkat.
Abdi yang
sampai duluan di surau langsung azan. Tak beberapa lama, para warga
satu-persatu datang memenuhi barisan solat. Ari dan Ayahnya datang bersamaan
dengan Pak Rasyid. Jika saja umat Islam bisa sekompak jama’ah solat, tidak
membedakan antar golongan, insya Allah umat Islam akan lebih baik keadaanya.
Akan disegani posisinya karena semakin taat pada Penciptanya ditandai dengan
kuatnya jama’ah. Bacaan solat yang dibacakan Pak Rasyid saat mengimami kami
membuat hati ku berdesir. Angin senja semilir diantara kami, membelai dengan
lembut. Senja kali ini terasa berbeda, aku menitikkan sebutir air di sudut
mata. Aku akan merasa kehilangan desa yang indah ini.
Seusai
solat, Pak Rasyid mengumumkan bahwa hari ini Ari berpamitan untuk kembali ke
rumah orang tuanya. Ibunda Ari sedang sakit, berharap Ari dapat menemaninya.
Sekilas titik air mata di sudut mata Ari tampak oleh ku. Hanya aku yang
melihat... Semua orang yang mengenal kebaikan Ari selama disini larut dengan
rasa haru masing-masing. Suasana surau seketika dingin, surau ini kehilangan
kehangatan mataharinya. Semua warga menyalami Ari, para Bapak dan pemuda
memeluknya erat. Para Ibu dan gadis menangkupkan kedua tangan di dada. Mengucap
maaf dan terima kasih. Semua warga berharap Ari dapat kembali lagi ke desa,
walau hanya sekedar menjenguk sebentar.
“Semoga
kita bisa bertemu lagi di tengah keriuhan, Bunga”, ucap Ari saat aku pun
mendekat untuk meminta maaf.
Aku hanya
tersenyum. Lalu aku dan Rima kembali ke rumah untuk membantu Ibu Rasyid yang
tampak sibuk dengan perpisahan mendadak ini. Setelah berkumpul di surau, para
warga berkumpul kembali di halaman depan rumah Pak Rasyid untuk mengantar
kepergian Ari bersama keluarganya. Semua heran dengan keadaan Ari yang tampak
sangat berada, mengapa mau tinggal di desa selama ini. Bekerja di kebun dan
kandang ayam. Tak banyak memang yang tahu bagaimana sebenarnya kehidupan Ari.
Yang warga tahu adalah Ari pemuda baik yang solih terhadap Penciptanya dan
solih terhadap lingkungannya.
Pak Rasyid
duduk di teras rumahnya, bersama dengan Rizki. Mereka terdiam tanpa kata
memandang hamparan kebun milik Pak Rasyid yang selama ini dirawat Ari. Rima dan
aku datang dengan teh manis hangat.
“Aku
seperti kehilangan teman sepermainan, tidak seru lagi sekarang tanpa Ari.
Biasanya kami banyak melakukan banyak percobaan untuk membuat hasil panen
meningkat dan berkualitas”, ucap Rizki.
“Bapak
juga tidak bisa berkata apa-apa. Ari sudah terlalu lama meninggalkan
keluarganya. Ari tak pernah sama sekali bercerita teentang dirinya. Yang dia selalu
bilang, hanya ingin memperbaiki kesalahannya dengan menanam kebaikan. Walau
hanya sebutir benih tanaman. Beberapa kali ada Bapak-bapak yang melamar Ari
untuk putrinya, namun dengan tenang Ari menjawab jika Ari belum merasa pantas
menikah. Semua warga tentu heran, karena yang kami lihat Ari adalah pemuda
baik”, cerita Pak Rasyid dengan napas berat.
“Katanya
suatu hari pada ku, ada bunga yang dia tunggu kehadirannya. Sekuntum bunga yang
akan mengajarkan menjadi suami yang solih dan keberadaan Ari melengkapi
hidupnya. Aku mengartikan itu sebuah penantian, Ari ingin punya arti dan
perempuan itu dapat mendampingi untuk menua bersama”, lanjut Rizki.
Matahari terbenam di senja yang sendu, di
ufuk langit menitik sebuah asa. Matahari mendung itu telah mengabdikan dirinya
menjadi penghangat sekitarnya. Bersama angin menyanyikan nyanyian alam. Lembut
menyemarakkan bukit dan langit. Bersyukur, kesempatan memperbaiki diri masih
ada. Sang Maha Lembut menghembuskan cintaNya menyambut permohonan ampunan dari
hambaNya. Menggantikan dengan guguran daun yang meleburkan diri dengan tanah.
Mengajari jutaan hikmah yang mendewasakan di tiap denting detik yang berlalu.
Sinar matahari itu indah di tiap sela cahayanya. Dengarkah dirimu, kemuliaan
orang yang berlari memohon ampunan menuju Penciptanya. Tak sebanding dengan
angkuh ahli ibadah. Sebab Pencipta hanya melihat laku yang bergerak di hati.
Semoga sinar mu tetap menghangatkan relung..
Bunga
untuk Matahari senja di ufuk langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar