Rabu, 09 April 2014

Pelangi Aishi Bag.8 Senja di Ufuk

Senja di Ufuk
          Hampir dua hari aku tergeletak di ranjang Rumah Sakit, yang baru ku tahu jaraknya selama dua jam perjalanan dari desa. Rumah sakit ini sangat sederhana, para dokter dan perawatnya ramah. Namun, tiap kali aku tanya keadaan Khonsa hanya senyuman yang mereka beri. Abdi, Ari dan Rima yang menemani ku pun tidak bercerita apa-apa. Dokter mengatakan, nanti sore aku sudah bisa pulang bersama Khonsa.
          Saat Abdi dan Ari pergi membeli makan siang, Rima mendekat. Seperti ada yang ingin disampaikan. Aku melihat tas Ari tergeletak tidak tertutup dengan baik. Ada sebuah buku yang terlihat. Sebelum Rima bercerita, aku meminta Rima mengambilkan buku yang warna sampulnya ku kenal.
          “Ini novel Senyum Pelangi pada Rintik Hujan, karya Bunga”, ucap Rima membaca judul buku bersampul biru.
          “Setahu ku, memang kak Ari dan kak Rizki pembaca novel karya Bunga. Eh, ada sebuah kertas jatuh”, ucap Rima lagi sambil memungut kertas itu.
          Rima terdiam membacanya, beberapa detik terdiam. Lalu memberikan buku dan selembar kertas itu pada ku. Aku menerimanya dengan bertanya-tanya sikap Rima.

Rintik, adalah diri mu Bunga dalam taman hati
Pelangi, adalah diri ku yang kembali cemerlang dengan rintik
Matahari menyempurnakan pencahayaan pelangi lebih indah
Diam ku, sebuah doa menanti mu hadir mendengar gerimis hati ku
Lama tak ku temui, sebab aku malu akan noktah yang diri mu tahu
Namun ternyata pertemuan singkat di antara rintik hujan pagi itu,
Mengajari aku memahami mu
Lewat karya mu aku mengenal mu
Bersama itu juga aku berharap,
Sebuah doa Matahari untuk Bunga
“Terima kasih telah hadir sedetik mengindahkan hari, walau aku bukan pelangi yang seindah kedipan mata, aku ingin jadi pelangi untuk mu rintik”

Bunga untuk Matahari

          Aku diam, mencoba membaca ulang. Memahami maksud tulisan ini. Kebingungan ku terbaca Rima. Sambil menyentuh jemari ku, Rima bercerita.
          “Bunga, aku memang tidak terlalu mengenal Ari. Suatu hari, aku membahas Ari saat ada acara pernikahan di desa. Kami semua pemuda membantu acara itu. Setelah ijab qobul pengantin, aku tak sengaja melihat Ari menitikkan air matanya. Aku penasaran, aku coba tanyakan pada kak Rizki. Keesokan harinya, aku tahu bahwa usianya kini telah tidak lagi berbelas, usia kepala dua. Ari mengingat kesalahan yang pernah dilakukannya, ada keinginan untuk menikah. Namun karena kesalahan masa lalunya itu, dia berpikir apa ada perempuan soliha yang mau menerima keadaannya? Entah apa masalahnya itu? Kak Rizki tak enak hati menanyakan”, Rima menghela napas.
          Aku yang mengetahui sedikit masalahnya, hanya menatap Rima tanpa kata.
          “Saat kak Rizki mengajak kak Ari ke kota untuk membeli bahan-bahan untuk di ladang, kak Ari terlihat senang sekali melihat sebuah toko buku di seberang jalan. Setelah urusan kak Rizki selesai, kak Ari mengajak mengunjungi toko buku itu. Sebuah novel terbaru yang cukup terkenal, membuat kak Ari membaca ringkasan cerita di halaman belakang dan membaca profil penulisnya. Kak Ari langsung membeli novel yang judulnya Perempuan Awan. Dalam cerita itu ada bagian yang membuat kak Ari meminjamkan aku buku itu. Entah bagian yang mana yang disukainya, tapi aku suka sekali dengan tulisan yang sederhana dan ada hikmah tiap ceritanya. Sejak itu, aku sering melihat kak Ari menabung hasil panen untuk membeli buku karya-karya Bunga.Awalnya aku dan kak Rizki berpikir mungkin ini kekaguman biasa. Tapi…”, seketika pintu kamar tempat ku dirawat di ketuk, sehingga menghentikan ucapan Rima.
          “Assalamu’alaikum..Tadi aku dan Abdi sempat bertemu dokter yang merawat Bunga, Alhamdulillah besok sudah bisa pulang”, ucap Ari sambil menyerahkan dua kotak makan untuk ku dan Rima.
          Aku dan Rima hanya tersenyum.Setelah aku merasa cukup enak berjalan, aku meminta Rima menjenguk Khonsa.Rima yang ragu, terlihat Rima menatap bertanya pada Abdi dan Ari akhirnya mau juga mengantar.Aku berjalan perlahan dengan dipegangi Rima dan diikutiAbdi dan Ari. Saat masuk ke ruangan dengan pendingin ruangan yang cukup, aku melangkah pelan menatap seorang gadis kecil tertidur di ranjang. Cantiknya karena belum terpengaruh sengatan dunia. Aku teringat Aishi, inspirasi ku menjadi seorang perempuan yang ingin punya arti. Aku sentuh tangannya. Dingin... Kedua orang tua Khonsa terduduk tanpa senyum. Aku menatap sekeliling, seisi ruangan diam. Aku duduk di kursi sebelah ranjang Khonsa, aku genggam tangannya lebih erat. Ku perhatikan lebih dalam wajahnya yang tak bergerak.
          “Mengapa tak ada napas yang menghembus dari rongga dadanya? Mengapa denyut nadi tangannya tak bergerak?”, aku mencoba meyakinkan apa yang ku rasakan.
          Air mata ku seketika menitik, saat Rima memeluk ku dari belakang. Dan berkata...
          “Khonsa kembali pada Penciptanya, sejam lalu saat Bunga masih tertidur”, ucap Rima pelan sambil mengenggam tangan ku yang bergetar.
          “Innalillahi wa inna ilahi roji’un”, hanya kalimat itu yang mampu ku ucap, air mata ku kembali menitik.
          Dalam diam ku pandangi wajah suci ini, aku hanya berbicara pada hati ku yang kini terasa perih. Walau belum lama aku dekat dengan si kecil Khonsa, tapi aku bisa melihat keindahan Maha Karya sang Pencipta pada tutur dan lakunya. Khonsa selalu mengucap
          “Bismillahirrohmanirrohim”, tiap kali melakukan sesuatu. Makan, minum, melangkah, membaca Al-Qur’an atau bacaan anak yang pernah ku ajarkan. Itu yang orang tuanya ajarkan padanya. Dua orang tua sederhana yang luar biasa mendidik anak.
          Maha Pencipta terlalu mencintainya, hingga tak ingin dia terpanggang sengatan dunia. Tetap menjadi bidadari bunga surga yang mewangikan dan mengindahkan. Kedua orang tua Khonsa tak meratap berlebihan, mereka tahu Penciptanya menjaga agar Khonsa menjadikan orang tuanya tamu Allah di surga nanti. Aku membalikkan badan, mendekap Rima untuk menahan repihan hati ku. Aku tak boleh memperburuk suasana, kedua orang tua Khonsa saja berusaha tabah.
          Setelah beberapa menit, aku berusaha mengendalikan diri. Sekali lagi ku tatap bidadari bunga surga di hadapan ku. Ku kecup keningnya agak lama, ini terakhir kalinya. Ku usap rambutnya yang lurus dan seperti biasa menyentuh hidungnya.
          “Ayo, kita pulang...”, ucap ku pada Rima.
          Kami pulang dengan ambulans, sepanjang jalan tak ku tanya dan tak dijelaskan apa yang terjadi dengan Khonsa. Langit senja menyelimuti perjalanan kami sore ini. Semburat langit di ufuk menunjukkan kepatuhan pada Penciptanya. Tak pernah bertanya dan protes atas tugas kehidupan yang dijalani. Doa dan usaha yang beriringan hanya pelengkap tugas penghambaan, semua sudah tertulis oleh Maha Pengatur Hidup.
          Setelah sampai, kami mengurus pemakaman Khonsa malam ini juga. Ketabahan dan keikhlasan kedua orang tua Khonsa begitu mengagumkan, mereka tetap turut mengurus Khonsa terakhir kalinya. Pelajaran hidup yang sangat berharga. Di kota yang tak lagi sedikit para perempuan yang tidak menginginkan anak, dengan mudahnya membuang anaknya. Tak merasa sedih apalgi bersalah. Padahal anak-anak yang terlahir itu tidak mengharap terlahir begitu, hanya mengharap kehadiran tangisannya disambut dengan tawa keluarga yang menantinya.
          Keesokan hari, aku melewati pagi di teras rumah Rima. Memandang hamparan hijau dihadapanku beberapa minggu lalu. Kini sudah mulai menguning. Sebentar lagi akan masuk musim panas, beberapa dedaunan mulai berguguran meranggas tanah. Lembaran daun yang terhempas tanah itu, begitu damai meninggalkan tempatnya menghijau. Sekarang harus beralih menguraikan diri dengan tanah. Itulah titah sang Maha Hidup, tak pernah sekalipun alam ini tak menurutinya. Apalagi protes...
          Rima menemani ku dengan secangkir teh manis hangat yang dibuatnya, duduk di samping ku. Rima sudah cukup mengenal ku. Hanya dengan teman duduk di samping ku, aku merasa lebih baik. Hangatnya mentari yang menghapus jejak embun tak membuat ku tersenyum pagi ini. Senyuman Khonsa membuat ku terus memaknai kehidupan yang sesingkat menghijaunya daun di tangkai pohon.
          Untuk beberapa saat aku dan Rima hanya menikmati pemandangan pagi yang semakin cerah saat matahari mulai naik setinggi tombak. Ada seorang ibu dan bapak datang menanyakan Matahari, Ari yang mengabdikan diri di surau desa. Kedua orang tua ini tampak orang kota yang berada. Rima tentu saja merasa ganjil melihatnya. Tapi Rima dan aku masuk ke dalam rumah untuk solat duha, setelah memberi arah ke surau.
          Setelah itu aku kembali beraktifitas di kebun bersama Abdi, Fatir dan para warga. Jalan yang kami lewati, juga melewati arah surau. Beberapa detik aku melihat Ari menangis mencium tangan bapak yang tadi datang menanyakannya pada ku. Kejadian ini tak ada yang melihat, karena aku segera berpaling. Aku tak mau mencampuri urusan orang lain, karena tak semua orang suka dicampuri urusannya.
          Tengah hari, Bu Siti dan Bu Joy datang menemui kami di kebun. Kita makan siang di gubuk yang memang dibuat untuk istirahat para petani. Sedap sekali, makanan hangat ditambah suasana perkebunan yang sejuk semilir anginnya.
          “Semalam Abdi baru mengabari keadaan Bunga yang sempat di rumah sakit, itu pun kalau bukan ibu yang menghubungi duluan. Mengapa tidak ada yang mengabari? Kami bertanggungjawab penuh atas penelitian ini”, kata Bu Joy memulai pembicaraan.
          “Kami langsung mengambil keputusan untuk mengakhiri penelitian ini lebih awal. Jika data yang diperlukan cukup. Kita segera buat laporannya”, lanjut Bu Siti yang terlihat khawatir.
          “Maaf, Bu. Saya yang tidak ingin merepotkan, sakit saya tidak parah. Saya kira ini biasa menjadi bagian dari penelitian”, jawab ku.
          “Tapi mungkin kita perlu siapkan, musim sudah akan berganti. Data penelitian kita tidak sama nantinya jika dipaksakan. Ini bisa dijadikan pertimbangan lain kita mempercepat program”, kata Abdi menambahkan.
          Obrolan siang ini akhirnya menjadikan pekan ini adalah pekan terakhir kami disini. Aku merasa ada yang hilang. Walau belum terlalu lama disini, aku telah merasa menyatu dengan hamparan hijau ini...
          “Setiap pertemuan adalah persiapan pada perpisahan, dunia masih berputar. Karena putaran itu menuntut perubahan segera, tidak terlena pada kenyamanan. Terus memperbaiki diri dengan perubahan yang ada”, tulis ku di lembaran buku ku.
          Matahari di langit bergerak seolah lambat, perlahan menuju peraduan. Aku pulang ke rumah Rima langsung bersegera ke surau, tidak seperti biasanya anak-anak belum mulai membaca Al-qur’an. Aku melihat Ari dan kedua orang tua yang ku lihat tadi pagi berjalan dari halaman belakang.
          “Rima dan Bunga tolong dampingi anak-anak di surau, saya mau mengantar kedua orang tua saya ke rumah Pak Rasyid”, ucap Ari dengan senyuman yang tak seceria biasanya.
          Aku dan Rima mengangguk dan bersalaman dengan Ibunda Ari. Kami pun jadi tahu jika kedua orang itu adalah orang tua Ari. Aku dan Rima memulai baca Al-qur’an hingga menjelang magrib. Aku merasa ada ruang hampa saat melihat anak-anak bermain setelah membaca Al-qur’an di teras surau. Aku ingat dulu sering merasa malas saat disuruh Bapak mengaji. Pura-pura tertidur atau sakit jadi alasan agar tidak berangkat. Yah, Bapak dan Ibu dulu sangat jarang ku lihat membaca Al-qur’an. Sehingga aku pun merasa malas. Tapi sekarang aku bersyukur, bacaan Al-qur’an ku lebih baik. Mengajar anak-anak pun bisa, karena itu agak sedih bila melihat orang seusia ku atau lebih tua dari ku masih belum lancar membaca Al-qur’an.
          “Kak Ari kenapa belum ke surau juga ya? Kan mau masuk waktu magrib?”, tanya Rima tiba-tiba duduk di samping ku.
          “Eh iya, mungkin urusannya belum selesai”, jawab ku singkat.
          Abdi yang sampai duluan di surau langsung azan. Tak beberapa lama, para warga satu-persatu datang memenuhi barisan solat. Ari dan Ayahnya datang bersamaan dengan Pak Rasyid. Jika saja umat Islam bisa sekompak jama’ah solat, tidak membedakan antar golongan, insya Allah umat Islam akan lebih baik keadaanya. Akan disegani posisinya karena semakin taat pada Penciptanya ditandai dengan kuatnya jama’ah. Bacaan solat yang dibacakan Pak Rasyid saat mengimami kami membuat hati ku berdesir. Angin senja semilir diantara kami, membelai dengan lembut. Senja kali ini terasa berbeda, aku menitikkan sebutir air di sudut mata. Aku akan merasa kehilangan desa yang indah ini.
          Seusai solat, Pak Rasyid mengumumkan bahwa hari ini Ari berpamitan untuk kembali ke rumah orang tuanya. Ibunda Ari sedang sakit, berharap Ari dapat menemaninya. Sekilas titik air mata di sudut mata Ari tampak oleh ku. Hanya aku yang melihat... Semua orang yang mengenal kebaikan Ari selama disini larut dengan rasa haru masing-masing. Suasana surau seketika dingin, surau ini kehilangan kehangatan mataharinya. Semua warga menyalami Ari, para Bapak dan pemuda memeluknya erat. Para Ibu dan gadis menangkupkan kedua tangan di dada. Mengucap maaf dan terima kasih. Semua warga berharap Ari dapat kembali lagi ke desa, walau hanya sekedar menjenguk sebentar.
          “Semoga kita bisa bertemu lagi di tengah keriuhan, Bunga”, ucap Ari saat aku pun mendekat untuk meminta maaf.
          Aku hanya tersenyum. Lalu aku dan Rima kembali ke rumah untuk membantu Ibu Rasyid yang tampak sibuk dengan perpisahan mendadak ini. Setelah berkumpul di surau, para warga berkumpul kembali di halaman depan rumah Pak Rasyid untuk mengantar kepergian Ari bersama keluarganya. Semua heran dengan keadaan Ari yang tampak sangat berada, mengapa mau tinggal di desa selama ini. Bekerja di kebun dan kandang ayam. Tak banyak memang yang tahu bagaimana sebenarnya kehidupan Ari. Yang warga tahu adalah Ari pemuda baik yang solih terhadap Penciptanya dan solih terhadap lingkungannya.
          Pak Rasyid duduk di teras rumahnya, bersama dengan Rizki. Mereka terdiam tanpa kata memandang hamparan kebun milik Pak Rasyid yang selama ini dirawat Ari. Rima dan aku datang dengan teh manis hangat.
          “Aku seperti kehilangan teman sepermainan, tidak seru lagi sekarang tanpa Ari. Biasanya kami banyak melakukan banyak percobaan untuk membuat hasil panen meningkat dan berkualitas”, ucap Rizki.
          “Bapak juga tidak bisa berkata apa-apa. Ari sudah terlalu lama meninggalkan keluarganya. Ari tak pernah sama sekali bercerita teentang dirinya. Yang dia selalu bilang, hanya ingin memperbaiki kesalahannya dengan menanam kebaikan. Walau hanya sebutir benih tanaman. Beberapa kali ada Bapak-bapak yang melamar Ari untuk putrinya, namun dengan tenang Ari menjawab jika Ari belum merasa pantas menikah. Semua warga tentu heran, karena yang kami lihat Ari adalah pemuda baik”, cerita Pak Rasyid dengan napas berat.
          “Katanya suatu hari pada ku, ada bunga yang dia tunggu kehadirannya. Sekuntum bunga yang akan mengajarkan menjadi suami yang solih dan keberadaan Ari melengkapi hidupnya. Aku mengartikan itu sebuah penantian, Ari ingin punya arti dan perempuan itu dapat mendampingi untuk menua bersama”, lanjut Rizki.
         
          Matahari terbenam di senja yang sendu, di ufuk langit menitik sebuah asa. Matahari mendung itu telah mengabdikan dirinya menjadi penghangat sekitarnya. Bersama angin menyanyikan nyanyian alam. Lembut menyemarakkan bukit dan langit. Bersyukur, kesempatan memperbaiki diri masih ada. Sang Maha Lembut menghembuskan cintaNya menyambut permohonan ampunan dari hambaNya. Menggantikan dengan guguran daun yang meleburkan diri dengan tanah. Mengajari jutaan hikmah yang mendewasakan di tiap denting detik yang berlalu. Sinar matahari itu indah di tiap sela cahayanya. Dengarkah dirimu, kemuliaan orang yang berlari memohon ampunan menuju Penciptanya. Tak sebanding dengan angkuh ahli ibadah. Sebab Pencipta hanya melihat laku yang bergerak di hati. Semoga sinar mu tetap menghangatkan relung..

Bunga untuk Matahari senja di ufuk langit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar