Selasa, 15 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 9 Merangkai Karangan Hati

Merangkai Karangan Hati Aku kembali menyelesaikan tugas terakhir disini, data yang diperlukan sudah dapat disiapkan menjadi laporan. Aku sempat teringat awal tinggal disini. Warga yang ramah, pemandangan yang memanjakan mata, udara yang sejuk, indah sekali... Pak Rasyid juga menceritakan beberapa peneliti lain yang pernah datang ke desa ini hanya untuk sekedar mengambil keuntungan pribadi. Datang untuk syarat kelulusan akademis, namun hampir tak pernah ada tindak lanjut yang berarti. Masyarakat hanya diperlakukan sebagai objek penelitian semata. Jika memang berkomitmen mengembangkan masyarakat, seharusnya setelah mendapat hasilnya ada tindak lanjut penyelesaian. Sehingga masyarakat juga merasakan manfaatnya. Aku jadi mengerti mengapa Abdi masih sering mengunjungi desa ini setelah Kuliah Kerja Nyata (KKN) angkatannya tahun lalu. Ini sebagai bentuk dedikasi pada apa yang dikerjakannya. Hari terakhir ku disini aku berpamitan dengan para warga yang selama ini membantu, peluk dan tangis haru mereka membuat aku, Abdi dan Fatir juga merasa kehilangan. Kami telah diterima dan sangat dimudahkan selama disini. Setelah berpamitan aku meminta Rima menemani ku berjalan-jalan sebentar menyusuri sungai kecil diantara perkebunan. Aku ingin menikmati sejuknya air sebelum pergi. Ku sentuh air dengan ujung jari tangan ku, lalu aku duduk di sisi batu hitam. Rima hanya duduk di bawah pohon bersandar meneruskan tulisannya. Iya, Rima sudah belajar menulis, katanya “dengan menulis hatinya merasa indah”. Senangnya, bila keberadaan kita dapat memberi manfaat untuk sekitar kita. Walau itu tak banyak yang mampu diberikan, namun ternyata tanpa disadari menjadi hal yang berarti untuk yang menerima. “Kami bertiga pamit, semoga kita bisa bertemu lagi”, ucap Abdi pamit pada Bapak Rasyid sambil merangkulnya bergantian dengan Fatir. Aku pun memeluk Ibu Rasyid agak lama, beliau seperti ibu ku sendiri. Sedari tadi Rima hanya diam dan terus menitikkan air matanya. Aku seperti sudah sangat dekat dengannya. Sepanjang hari selalu bersama. Aku menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir. “Rima baik-baik disini, insya Allah jika masih ada kesempatan kita bertemu lagi”, ucap ku sambil mengenggam tangannya. “Bunga kalau menikah ingat undang kami”, ucap Bapak yang ku jawab dengan senyuman kecil. Kami naik mobil jemputan universitas. Aku meminta untuk pelan saja mengendarai mobilnya. Aku masih ingin menghirup indahnya desa ini. Aku memandang rumah Pak Rasyid yang terlihat lebih hijau diantara rumah yang lainnya. Setelah itu aku menutup wajah ku dengan kain hijau, aku ingin menangis tanpa diketahui Abdi dan Fatir. Entah mengapa, kata Pak Rasyid tadi membuat ku tak enak hati. Ada setitik perih, tapi tak tahu mengapa. Pernikahan buat ku adalah sebuah perjalanan panjang bersama orang yang mau menua bersama. Sudut hati ku masih berharap Ratu menikah untuk memenuhi kebutuhan ayah bagi Aishi yang akan semakin besar. Aishi akan membutuhkan didikan ayah yang solih. Aku pernah mengalami masa tanpa ibu, walau tampak biasa tapi ada yang hilang dari ku. Aku dan Ratu menjadi perempuan yang hilang separuh hatinya. Didikan Bapak menguatkan kami untuk tetap memberi walau kita tak pernah diberi. Karena itu juga aku sangat memperhatikan anak-anak. Terutama pada anak-anak yang harus kehilangan orang tuanya. Usia ku belum genap kepala dua. Namun belakangan sudah sering ditanya atau di doakan segera menikah. Aku sendiri merasa belum menemukan seorang laki-laki yang bisa memberi segenggam cinta untuk mengajak ku berlari mencintai Maha Cinta. Aku terpejam, memikirkan hidup ku sendiri. Aku nyaris tak pernah memikirkan diri ku. Selama ini aku hanya ingin Bapak, Ratu dan Aishi bahagia dan tetap dalam ketaatan. Hingga aku melupakan bahwa aku juga punya kehidupan yang harus aku bina. Setelah sampai di rumah, aku melihat setangkai mawar putih di meja ruang tamu. Tak biasanya ada bunga di rumah. Walau aku menyukai bunga mawar, tapi hampir tak pernah aku membeli untuk dipajang di rumah. Menurut ku bunga akan indah bila tetap dalam komunitas sesama bunga dan tumbuh bersama batang serta akarnya. Bila dipetik, kita akan mempercepat layunya. Aku menyentuh bunga mawar ini dan mendekatkan ke wajah ku untuk menikmati wanginya. Tak berapa lama ada bunyi gemerincing mainan Aishi yang pernah ku belikan, Aishi lalu keluar kamar dan menyapa ku. “Bunbun...”, suaranya yang tak fasih membuat ku tersenyum “Assalamu’alaikum cinta ku, bunbun kangen..”, ucap ku sambil mencium pipinya yang tembam dan merangkul Aishi erat. Ratu yang mendengar suara ku langsung keluar dan memeluk ku. Setetes air mata mengalir dari sudut mata ku. Walau hanya beberapa bulan, kami saling merindukan. Karena hanya Ratu yang ku miliki dan hanya aku yang dimiliki Ratu. Bapak juga keluar dari kamarnya, ku cium punggung tangannya dan kedua pipinya. Karena sudah malam, aku menjanjikan bercerita pengalaman selama di desa besok pagi. Malam ini kami beristirahat, aku diminta tidur satu kamar dengan Ratu dan Aishi. Senyum ku menutup hari yang luar biasa ini. Alhamdulillah... Aku terjaga dari tidur ku, aku lihat jam dinding baru satu jam aku tertidur. Aku memikirkan pernikahan yang tak ku sadari membuat aku tiba-tiba terjaga. Ku coba memejamkan mata dan bertasbih agar kembali tidur. Namun, hati ku terus berputar. Ada apa sebenarnya? Aku tak pernah merasakan hal ini. Aku sekilas mengingat Ari waktu pertama kali sadar sewaktu di rumah sakit. “Astagfirullahal’azim...”, gumam ku. Apa ada sesuatu yang terjadi dengannya?, aku lalu mengambil air untuk berwudu. Aku hendak solat hajat dan tahajud agar hati ditenangkan Allah. Aku tertidur di atas sajadah, dan terbangun dengan panggilan azan subuh. Suara Ratu yang membangunkan ku juga menyadarkan aku harus segera solat subuh. “Subhanallah...”, ucap ku pelan. Kami solat subuh berjama’ah dan seperti biasa membaca Al Qur’an. Membaca Surah Arrohman membuat hati ku berdesir. Aku mengingat mimpi semalam, aku menikah. Aku terdiam mengingat lagi, apa arti mimpi itu? Aku melanjutkan kembali bacaan Al Qur’an kemudian membereskan sebagian barang yang belum ku atur sejak kepulangan semalam. Ratu masuk ke dalam ke kamar ku, ikut membantu menata beberapa barang yang selalu ku tempatkan di tempat yang sama. Ratu sangat mengenal ku yang amat pelupa ini. Jadi, agar barang-barang itu selalu ku ingat adalah dengan menyimpannya di tempat yang sama. Bila berpindah sudah tentu akan hilang dan akan sulit ditemukan. “Oya, kak. Kemarin di meja ada setangkai mawar putih yang masih segar. Tidak biasanya di rumah ada bunga”, tanya ku membuka obrolan. “Kami semua disini amat merindukan Bunga, karena Bunga senang dengan mawar putih Bapak tiap pagi ke pasar untuk membelinya. Kata Bapak “Bunga itu indah dan wangi seperti mu”. Kami juga tidak tahu bagaimana menghubungi mu. Jadi kami sering membicarakan mu saat sedang duduk berkumpul untuk sekedar mengobati kerinduan”, jawab Ratu. “Iya, kak. Aku pun rindu rumah. Terutama Aishi, disana ada seorang anak seumurannya. Sedikit terhibur, walau akhirnya harus sedih”, ucap ku sambil menerawang jendela kamar ku yang mulai memberi celah matahari pagi masuk. “Sedih? Ada apa?”, tanya Ratu. “Ada kebakaran di rumahnya, anak itu diambil kembali dengan Penciptanya setelah dua hari di rumah sakit”, ucap ku dengan nada agak sedih. “Allah sangat menyayanginya...”, ucap Ratu. “Oya. Bunga, kemarin ada teman Bunga yang datang silaturahim kesini dengan ibu dan bapaknya”, cerita Ratu sambil membantu ku menata barang. “Siapa?”, tanya ku lalu menghentikan pekerjaan ku untuk memperhatikan Ratu bicara. “Dia memperkenalkan diri sebagai Matahari, dia membawa beberapa buku karya Bunga. Aku lihat dia sangat mengagumi Bunga. Begitu antusias dia menceritakan pertemuan kalian di desa itu adalah jawaban dari doa-doanya”. “Maksud jawaban dari doa-doanya?”, tanya ku penasaran dan entah mengapa hati ku ada getaran aneh yang belum pernah ku rasa. “Sejak pertemuan pertama di kelahiran Aishi waktu itu, Matahari merasa pertemuan itu sudah diatur oleh Pemilik Hidup. Walau belum kenal dan tahu satu sama lain, kalian berdua bisa bercerita. Dan tiap kata yang disampaikan Bunga menjadi semangat tersendiri di saat Matahari sedang dalam titik terendah. Dia sempat menanyakan apa Bunga sudah memiliki pelabuhan hati?”, kisah Ratu yang terhenti dengan sebuah senyuman. “Kakak bilang apa?”, tanya ku lagi dengan mengeryitkan dahi. “Hmm... Aku pun tak tahu jelas isi hati Bunga, yang ku tahu dia sedang menanti seseorang yang mampu dia ajak berlari menuju Allah. Bunga memang banyak teman yang sering diajak ke rumah untuk diskusi atau sekedar mampir. Tapi teman khusus belum pernah ada yang dikenalkan. Setiap kali ditanya, selalu bilang belum bertemu bintang jatuh”, Ratu menghentikan pekerjaannya, mendekatkan diri pada ku dan menggenggam tangan ku lembut. “Bunga, aku menyayangi mu kerena hanya kita berdua yang bisa saling menguatkan satu sama lain. Untuk kebahagiaan Bapak dan Aishi, menikahlah dengan lelaki yang kamu rido agama dan akhlaqnya. Menyempurnakan Addin yang hanya bisa dipenuhi lewat pernikahan. Aku tak tahu hingga kapan bisa menemani mu, Bapak dan Aishi. Aku takut tak sempat menghadiahi seorang Ayah untuk Aishi yang akan segera dewasa. Bunga juga bunda untuk Aishi, jadi suami Bunga nantinya adalah Ayah untuknya” Kata-kata Ratu yang membuat aku meneteskan air mata, aku nyilu mendengarnya. Mengapa Ratu tiba-tiba berkata seolah akan pergi meninggalkan aku? Aku tak bisa menjawab apa-apa. Tenggorokan ku tercekat. Antara memenuhi anjuran menikah dan belum siapnya aku menerima seseorang untuk menemani sisa hidup ku. Aku hanya menatap wajah cantik Ratu, aku merasa apakah Ratu tak sempat merasakan apa itu cinta? Sehingga dia dengan mudah berkata seperti itu? Awalnya sibuk mengurusi ku, kemudian mengurus Aishi membuatnya tak sempat memikirkan dirinya yang mungkin juga kesepian. “Bunga, kita tak mungkin menyalahkan keadaan yang tidak sempurna. Yang bisa kita lakukan adalah menyikapi keadaan dengan cara yang sempurna”, kata Ratu lagi lalu memeluk ku hangat seperti biasa. Aku merasa ada yang berbeda dengan kata-kata Ratu barusan.Hingga aku tak mampu berkata apapun.Aku terdiam dan tak membalas pelukan Ratu.Pelukan Ratu lebih lama dari biasanya.Hingga Aishi merengek ingin dibuatkan sarapan, baru Ratu melepaskan pelukannya dan mengusap wajahnya yang sendu. Aku segera menyelesaikan pekerjaan ku di kamar, aku ingin segera menulis di layar computer ku.Telah lama aku tak bercerita dengan computer sederhana milik ku ini.Saat ku buka layar computer ku, ada sebuah gambar matahari yang terbit di sela pegunungan.Aku lupa, jika layar ini selalu ku beri gambar pemandangan tempat yang pernah ku datangi. Dan terakhir aku melihat matahari terbit saat mendaki tengah malam bersama teman-teman tim SAR yang ingin evakuasi pendaki yang kelelahan. Diam ku menatap pemandangan lukisan Maha Karya Pencipta, tercenung ku memikirkan kehidupan ku. Aku masih tak tahu harus melakukan apa? Bila berhubungan dengan Aishi, aku selalu berpikir keras.Aku ingin bisa memberi yang terbaik untuknya. Hingga Aishi berusia hampir menginjak tiga tahun, aku belum bisa memberikannya Ayah yang bisa mengajarkannya kehidupan. Beberapa lelaki yang ku kenalkan dengan Ratu selalu mundur saat tahu, Aishi adalah anak yang terlahir tanpa ayah.Walau Ratu memiliki rupa yang cantik, ternyata itu bukan ukuran.Ratu pun memiliki dasar agama dan akhlaq yang baik setelah kami terus belajar mempercantik diri dengan banyak belajar.Yah, mungkin tak mudah menerima masa lalu. Bukan rupa mu, yang kunanti bintang. Bukan pula gemerlap harta atau keturunan raja.Namun lebih pada hati yang dapat melengkapi kurang ku, dan aku pun dapat melengkapi mu. Kepak mu dapat melindungi kita dari sengat mentari dan deras hujan. Kerlip mu mengajari ku terus untuk bersyukur pada sang Maha. Ku kan tersenyum dengan keberadaan mu, diantara gemintang. Aku akan menemukan mu bersama dengan lembut ricik hujan di tepi sore. Bintang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar