Bintang itu Terbit di November
Pagi
ini aku membuka hari dengan doa kecil di saat sujud tahajud ku. Doa kecil yang
bisa membantu ku menemukan bintang yang dapat memimpin ku dan membantu ku mengembangkan
potensi yang ku miliki untuk dapat lebih banyak manfaat bagi dunia.
“Wahai
Maha Cinta, aku tak bisa melihat hati yang tulus mencinta Mu. Aku tak bisa
mendengar kata yang tulus mencari ku dalam keriuhan sorak dunia.Aku menanti
bintang yang dapat melengkapi separuh Addin ku dan menua bersama dalam
kebaikan. Ikhlaskan aku melewati penantian ini”, doa Bunga untuk Bintang.
Aku
juga merindukan kebun bunga di halaman
belakang, dengan alat tanam yang ku punya.Sambil bermain tanah dengan
Aishi.Tanah yang cukup basah karena embun semalam membuat permainan ku dengan
Aishi jadi seru.Bapak yang ikut membantu ku juga banyak tertawa melihat cucu
kecilnya berlumuran tanah di wajah dan tangannya.
“Bunda
dan tante Neni buat sarapan dulu ya, Ai dengan Bunbun dan kakek disini ya”,
sapa Ratu saat tahu putrinya asik bermain bersama ku.
Neni
sangat membantu kami disini, dia suka sekali menguji resep masakan yang baru
diketahuinya.Di majalah atau televisi, resep masakan mudah sekali di dapat.
Halaman
belakang ini rajin dirawat Bapak. Aku dan ratu sudah tak ingin Bapak terlalu
sibuk di usia senjanya. Agar dapat menikmati ibadah dan kehidupan social di
jama’ah masjid dekat rumah kami.Jadi Bapak memanfaatkan halaman belakang untuk
menanan beberapa tanaman yang jika hasilnya baik dapat di jual di toko kami.Ketelatenan
Bapak membuat toko kami lebih dikenal dengan toko hijau, karena menjual produk
yang kami tanam sendiri dan masih segar baru dipetik. Walau memang jenisnya
belum banyak karena lahan di kota tak seluas di desa.
Matahari
mulai meninggi.Aku dan Bapak membersihkan badan lalu kemudian solat duha.Aishi
pun mandi dan berganti pakaian bersih. Kami akan sarapan special masakan neni
dariresepterbarunya. Udang asam manis yang sangat menggugah selera makan kami.
Setelah lelah berkebun lalu makan itu sangat nikmat sekali.
“Di
desa kemarin juga, Ibu Rasyid istri kepala desa yang ku tempati rumahnya juga
sangat jago masak.Masakannya selalu membuat lapar, walau belum saatnya makan”,
kisah ku mengingat pengalaman kemarin.
“Alhamdulillah,
Neni semakin mahir memasak.Aku pun kalah jauh dengannya.Memang melakukan
sesuatu yang kita sukai akan membuat kita bahagia dan mahir di bidang yang kita
sukai itu”, puji Ratu menyelesaikan sarapan dihadapannya sambil menyuapi Aishi yang sangat
suka makan makanan laut.
“Saya
ingin punya arti kak, yang paling mudah dilakukan untuk keluarga adalah memasak
dengan penuh cinta”, canda Neni yang membuat kami tersenyum.
Neni yang hampir setahun ini tinggal
bersama kami sudah sangat seperti keluarga sendiri. Jika diantara kita ada yang
sakit, Neni punya resep herbal ampuh warisan neneknya yang memang cocok untuk
kami yang tak hampir tak pernah konsumsi obat pabrik. Waktu itu aku berhenti
mengkonsumsi obat karena sudah tak ada efeknya lagi di badan ku. Sejak kecil
sering sakit, karena itu badan ini jadi kebal terhadap obat yang sudah banyak
masuk. Setelah tahu pengobatan Nabi dan herbal, alhamdulillah lebih cocok.
Neni mengajarkan kami banyak hal
tentang dapur, dia sangat telaten. Sedang aku hampir tak pernah ke dapur jika
bukan waktu makan saja. Aku lebih senang duduk berjam-jam untuk menulis atau
berjalan-jalan untuk inspirasi tulisan. Memang masih harus banyak belajar.
Siang ini aku ingin pergi ke rumah
pengelolaan zakat. Menemui mba Lusi, kakak kelas ku di kampus. Dia meminta ku
datang sore ini.
“Assalamu’alaikum, mba Lusi ada?”,
sapa ku pada teller.
“Wa’alaikumussalam, sebentar mba. Saya
panggilkan dulu”.
“Assalamu’alaikum, Bunga. Apa kabar?”,
sambut mba Lusi sambil menyalami dan memeluk ku.
“Wa’alaikumussalam, alhamdulillah
baik. Mba sehat? Lama kita tidak bertemu, semakin cantik mba”, canda ku pada
mba Lusi.
“Ah, Bunga mulai lagi bercandanya. Ini
karena aku sedang mengandung, jadi terlihat agak berbeda”, jelas mba Lusi yang
tersipu.
“Alhamdulillah, aku bisa jadi tante
lagi. Memang terlihat berbeda perempuan yang sedang di doakan ribuan malaikat
saat ikhlas mengandung anak. Apalagi saat melahirkan yang sangat luar biasa”.
“Oya, Bunga masuk ke ruangan ku dulu.
Aku pesan minuman dulu”.
“Tidak perlu repot mba, aku sebentar
saja disini”.
“Sudah lama kita tak bertemu, ada
banyak hal yang ingin ku ceritakan”.
Aku memasuki ruangan di pintu kedua
gedung ini. Warna yang jingga, semarak dan antusias membantu sesama. Semangat
itu yang ku rasa. Saat masuk ke dalam ruangan yang tidak ku tutup pintunya itu,
aku tak sengaja mendengar percakapan orang di ruang sebelah yang juga tak
menutup pintunya.
“Penyebaran paket sembako di daerah
masih belum merata. Kita juga punya tugas membuat penerima zakat dapat mandiri
dengan bantuan yang diterima. Tidak terus menerus mengharap bantuan. Kita perlu
mendidik juga, seperti ajaran Rosulullah. Tidak hanya memberi materi, tapi juga
bekal ilmu untuk mengembangkan diri dan usahanya”.
Suara yang ku dengar tak asing, namun
dengan intonasi agak berbeda. Aku tak berani memperhatikan pembicaraan yang
bukan hak ku. Aku mau menutup ruangan mba Lusi, namun aku tak enak hati karena
aku hanya sendiri di ruangan orang. Mba Lusi belum datang juga, aku
melihat-lihat foto dinding dan majalah di atas meja.
“Matahari...”, gumam ku agak kaget.
“Maaf, lama. Tadi ada customer yang
perlu ditemui”, ucap mba Lusi lalu menutup pintu
“Eh, Bunga sudah lihat mas Ari?”,
tanya mba Lusi yang melihat ku memegang foto keluarga staf dan karyawan rumah
pengelolaan zakat ini.
“Mas Ari adalah putra Pak Zaki pemilik
kerajaan Al Khonsa. Kerajaan Al Khonsa adalah usaha sosiopreneur yang dirintis
Bu Zaki. Beberapa bulan belakangan Bu Zaki sering sakit. Lalu beliau menjemput
anaknya di desa yang telah tinggal sekitar dua tahun lamanya. Mas Ari ada di
ruangan sebelah. Aku meminta mu datang untuk ku kenalkan padanya”, kisah mba
Lusi yang membuat ku mengenyitkan dahi.
“Mas Ari ternyata penggemar tulisan
karya mu. Pasti dia senang sekali dapat bertemu dengan mu. Mas Ari sangat
dingin, jarang bicara banyak dengan orang bila itu tidak penting”.
“Hmm... Mba Lusi ini, kalau hanya
menunjukkan diri bahwa aku penulis yang dikaguminya aku tak mau datang. Mba
tahu sendiri kan, aku tak terlalu mau membuat orang mengenal ku. Aku ingin
tetap normal menjalani hidup dan menikmati kegemaran ku menulis dengan mudah
mencari inspirasi di setiap perjalanan ku”, ucap ku pada mba Lusi dengan nada
agak kecewa.
“Bunga, aku tidak bermaksud apa-apa.
Kami satu kantor tak ada yang tahu permasalahan yang terjadi dalam keluarga Pak
Zaki. Mas Ari ini baru kembali ke rumah setelah hampir tiga tahun di desa. Yang
katanya menjadi petani, sampai Bu Zaki sakit karena terus memikirkan anak
satu-satunya ini yang lama tak pulang. Setelah mas Ari tahu Ibu sakit dan ingin
ada yang membantu di kantor, baru mas Ari kembali ke rumah. Kami semua staf Bu
Zaki ingin dapat membantu, mas Ari ini sangat baik dan perhatian. Tapi seperti
ada masalah yang ditutupi dengan sikap dinginnya itu”.
Aku diam, memikirkan kata-kata mba
Lusi. Aku tidak menyangka akan bertemu Ari lagi.
Bulan ini, November hari pertama. Aku berbincang dengan
mba Lusi hingga menjelang magrib. Setelah azan kami ke musola kantor.
Perbincangan kami seputar manis asin pernikahan mba Lusi yang baru setahun. Aku
belajar banyak darinya sore ini. Perempuan dan laki-laki saling melengkapi dan
menyenangkan.
Aku pulang selesai solat magrib, aku
berjalan pelan menuju parkiran. Aku melihat ada seseorang yang berdiri di dekat
sepeda ku, sambil menerima telepon di telepon genggamnya. Aku menunduk mengambil sepeda ku. Tiba-tiba aku
disapa..
“Assalamu’alaikum, Bunga”
“Wa’alaikumussalam...”
Masya Allah, Ari... Detak jantung ku
mendadak berdegup lebih cepat.
“Mau pulang? Aku antar bisa?”
Aku tak sempat menjawab, Ari segera
naik di atas sepeda ku dan memberikan kunci motornya pada ku. Aku diam
menatapnya pergi begitu saja. Ada yang berbeda dari Ari yang ku lihat sekarang.
Dia lebih ceria dan semakin tenang.
Aku mengendarai motor Ari pelan
sekali, sudah lama tak lagi mengendarai motor. Di jalan pulang, aku terus
berpikir. Apa Ari tahu aku datang di ruangan Mba Lusi tadi? Mengapa dia
mau-maunya bertukar kendaraan dengan ku. Dia semakin aneh, tak lagi menatap ku
saat berbicara. Lebih sering tersenyum dengan melihat ke arah berbeda dengan
ku.
Setelah di rumah, Ari berpamitan
dengan Bapak dan Ratu. Aishi juga diusap kepalanya. Pergi tanpa mengatakan
apapun maksud dari apa yang dia lakukan.
“Bunga, dia itu teman mu yang kemarin
sempat mampir ke rumah dengan kedua orang tuanya saat Bunga di desa”.
“Oh, ya?”, jawab ku singkat lalu
segera masuk ke kamar.
“Tunggu, Bunga. Aku melihat
kebahagiaan di matanya, Bunga juga terlihat berbeda tadi. Aku senang melihatnya
bila bersama mu...”.
Deg... hati ku merasa aneh. Aku hanya
menatap Ratu, lalu masuk ke kamar. Aku berwudu untuk solat isya. Selesai solat
berjama’ah, aku masuk kamar lebih awal. Aku harus mengerjakan tugas tulisan
yang tertunda. Aku melihat daftar tema tulisan yang ingin ku kerjakan. Kali ini
aku mengambil napas berat...
Cinta karena Allah, tema ini diminta
untuk buletin remaja. Ah... Harus pekan depan di serahkan. Ini yang harus
segera ku selesaikan. Aku menyalakan komputer dan menyalakan alunan murotal Al
Qur’an Surat Arrohman. Dengan segelas teh manis hangat yang tadi ku seduh. Aku
mulai menulis...
Kata cinta mungkin dijadikan cerita
terindah dalam tiap episode kehidupan seseorang. Makna cinta menjadi amat
beragam, seperti pertanyaan “mengapa bentuk daun tidak serupa?”. Bentuk daun
tidak serupa karena tergantung kebutuhannya terhadap matahari. Mungkin begitu
juga dengan pemaknaan cinta. Jika berbicara tentang cinta karena Allah, ini
sesuatu yang sulit ku jawab. Karena memahami kalimat ini tak semudah
mengucapkannya. Mencintai orang tua karena Allah, misalnya tak dapat diartikan
kita menuruti segala perintahnya yang mungkin tidak sesuai dengan kebenaran
yang kita yakini. Kita tetap dapat memilih dan memilah apa yang kita lakukan.
Mencinta adalah bertanggungjawab atas kehidupan orang yang kita cinta. Membuat
kita semakin produktif berkarya dan semakin mendekat dengan Allah, Maha Cinta.
Bila perasaan kita malah semakin membuat tidak berbuat apa-apa, terlebih
semakin menjauhkan dengan Allah berarti itu bukan cinta. Cinta ada untuk
melengkapi tugas kita sebagai manusia. Dengan cinta, kita akan mengingatkan dan
diingatkan bila salah. Dengan cinta, akan mudah mengucap maaf dan terima kasih.
Cinta akan mengajari tentang memberi dan bahagia. Cinta tidak berbatas antara
aku dan kamu, lebih untuk semua yang ada di sekitar kita. Membahagiakan dan
menyenangkan semua yang kita lakukan. Saat kita telah memberi yang terbaik
dengan penuh semangat cinta, hasilnya pun akan luar biasa... Karena mencinta
dan dicinta adalah bagian dari kebutuhan manusia, sepatutnya kita dapat memberi
cinta itu di tempat terbaik di hati kita.
Aku membaca sekali lagi tulisan ku,
memastikan tidak ada yang janggal dan kesalahan ketik. Aku tersenyum mengakhiri
bacaan ku pada tulisan ku ini. Besok pagi akan ku baca sekali lagi sebelum ku
serahkan.
“Cinta, indah dalam tiap karyanya”,
ucap Ratu di belakang ku.
“Eh iya, kak”, tanya ku sambil
mengarahkan badan ke Ratu.
“Seperti biasa, Bunga kalau sudah
menulis tidak terlalu memperhatikan sekeliling. Bagaimana mau sadar aku
datang?”, goda Ratu yang lalu duduk di sisi ranjang ku.
“Aku ingin bertemu Ibu, apa kabarnya?”,
ucap Ratu dengan mata berkaca.
“Insya Allah baik, kakak sekarang
punya Aishi. Aku pikir Aishi lebih butuh kakak”, hibur ku lalu memeluk Ratu.
“Kak, kita tak pernah tahu rencana
Allah. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Dengan
melakukan yang terbaik, insya Allah hasil terbaik juga akan kita terima”.
“Alhamdulillah, aku merasa lengkap
dengan memiliki adik seperti mu. Aku titip Aishi ya, aku ingin Aishi tumbuh di
tengah keluarga yang mengajarinya berani menghadapi tantangan hidup. Tidak
sampai salah pilih dan jalan, menjadi Aisyah yang cerdas dan dapat bermanfaat
untuk Islam”
“Insya Allah, kak. Aku pun ingin
memberi yang terbaik untuk anak-anak kita nanti. Cukup kita saja yang merasa
kehilangan orang tua. Kita terus mohonkan ampun Bapak dan Ibu, mereka hanya
belum tahu bagaimana menjadi orang tua. Dari situ kita belajar menjadi orang
tua yang dapat mendidik anak dengan baik”.
“Sekali lagi ku minta, jika Bunga
telah menemukan seseorang yang dapat membantu menjadi soliha segerakan
menikah...”.
Aku menitikkan air mata, Ratu menjadi
pengganti ibu ku selama ini. Menikah adalah proses yang panjang sehingga aku
sangat hati-hati memaknai ibadah yang satu ini.
Malam ini, aku sengaja tidur lebih
awal. Aku membuka sedikit tirai jendela kamar, ingin dapat melihat bintang di
celahnya.
“Semoga Allah memilihkan yang terbaik
dan memudahkan prosesnya”, doa ku sebelum tidur.
Mengingat
mu di dalam diam ku.Hembusan angin di sekeliling ku membawa rona warna mu.Tawa
dan senyum ini menari dengan bayang mu yang duduk di sebelah ku.Menyapa cerita
ku pagi ini untuk bersama melangkah menatap senja.Ajari aku untuk bertahan
menjaga kebaikan di jalan kebenaran.Berikan aku kesempatan memberi mu rasa yang
sederhana dalam tiap kedip yang kamu miliki.Ijinkan aku menikmati hujan
dengan mu. Memiliki hujan november ini bersama. Agar
arti ku hanya satu di hati mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar