Kamis, 17 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 10 Bintang itu Terbit di November


Bintang itu Terbit di November

          Pagi ini aku membuka hari dengan doa kecil di saat sujud tahajud ku. Doa kecil yang bisa membantu ku menemukan bintang yang dapat memimpin ku dan membantu ku mengembangkan potensi yang ku miliki untuk dapat lebih banyak manfaat bagi dunia.
          “Wahai Maha Cinta, aku tak bisa melihat hati yang tulus mencinta Mu. Aku tak bisa mendengar kata yang tulus mencari ku dalam keriuhan sorak dunia.Aku menanti bintang yang dapat melengkapi separuh Addin ku dan menua bersama dalam kebaikan. Ikhlaskan aku melewati penantian ini”, doa Bunga untuk Bintang.
          Aku juga merindukan kebun bunga di halaman belakang, dengan alat tanam yang ku punya.Sambil bermain tanah dengan Aishi.Tanah yang cukup basah karena embun semalam membuat permainan ku dengan Aishi jadi seru.Bapak yang ikut membantu ku juga banyak tertawa melihat cucu kecilnya berlumuran tanah di wajah dan tangannya.
          “Bunda dan tante Neni buat sarapan dulu ya, Ai dengan Bunbun dan kakek disini ya”, sapa Ratu saat tahu putrinya asik bermain bersama ku.
          Neni sangat membantu kami disini, dia suka sekali menguji resep masakan yang baru diketahuinya.Di majalah atau televisi, resep masakan mudah sekali di dapat.
          Halaman belakang ini rajin dirawat Bapak. Aku dan ratu sudah tak ingin Bapak terlalu sibuk di usia senjanya. Agar dapat menikmati ibadah dan kehidupan social di jama’ah masjid dekat rumah kami.Jadi Bapak memanfaatkan halaman belakang untuk menanan beberapa tanaman yang jika hasilnya baik dapat di jual di toko kami.Ketelatenan Bapak membuat toko kami lebih dikenal dengan toko hijau, karena menjual produk yang kami tanam sendiri dan masih segar baru dipetik. Walau memang jenisnya belum banyak karena lahan di kota tak seluas di desa.
          Matahari mulai meninggi.Aku dan Bapak membersihkan badan lalu kemudian solat duha.Aishi pun mandi dan berganti pakaian bersih. Kami akan sarapan special masakan neni dariresepterbarunya. Udang asam manis yang sangat menggugah selera makan kami. Setelah lelah berkebun lalu makan itu sangat nikmat sekali.
          “Di desa kemarin juga, Ibu Rasyid istri kepala desa yang ku tempati rumahnya juga sangat jago masak.Masakannya selalu membuat lapar, walau belum saatnya makan”, kisah ku mengingat pengalaman kemarin.
          “Alhamdulillah, Neni semakin mahir memasak.Aku pun kalah jauh dengannya.Memang melakukan sesuatu yang kita sukai akan membuat kita bahagia dan mahir di bidang yang kita sukai itu”, puji Ratu menyelesaikan sarapan dihadapannya sambil menyuapi Aishi yang sangat suka makan makanan laut.
          “Saya ingin punya arti kak, yang paling mudah dilakukan untuk keluarga adalah memasak dengan penuh cinta”, canda Neni yang membuat kami tersenyum.
          Neni yang hampir setahun ini tinggal bersama kami sudah sangat seperti keluarga sendiri. Jika diantara kita ada yang sakit, Neni punya resep herbal ampuh warisan neneknya yang memang cocok untuk kami yang tak hampir tak pernah konsumsi obat pabrik. Waktu itu aku berhenti mengkonsumsi obat karena sudah tak ada efeknya lagi di badan ku. Sejak kecil sering sakit, karena itu badan ini jadi kebal terhadap obat yang sudah banyak masuk. Setelah tahu pengobatan Nabi dan herbal, alhamdulillah lebih cocok.
          Neni mengajarkan kami banyak hal tentang dapur, dia sangat telaten. Sedang aku hampir tak pernah ke dapur jika bukan waktu makan saja. Aku lebih senang duduk berjam-jam untuk menulis atau berjalan-jalan untuk inspirasi tulisan. Memang masih harus banyak belajar.
          Siang ini aku ingin pergi ke rumah pengelolaan zakat. Menemui mba Lusi, kakak kelas ku di kampus. Dia meminta ku datang sore ini.
          “Assalamu’alaikum, mba Lusi ada?”, sapa ku pada teller.
          “Wa’alaikumussalam, sebentar mba. Saya panggilkan dulu”.
          “Assalamu’alaikum, Bunga. Apa kabar?”, sambut mba Lusi sambil menyalami dan memeluk ku.
          “Wa’alaikumussalam, alhamdulillah baik. Mba sehat? Lama kita tidak bertemu, semakin cantik mba”, canda ku pada mba Lusi.
          “Ah, Bunga mulai lagi bercandanya. Ini karena aku sedang mengandung, jadi terlihat agak berbeda”, jelas mba Lusi yang tersipu.
          “Alhamdulillah, aku bisa jadi tante lagi. Memang terlihat berbeda perempuan yang sedang di doakan ribuan malaikat saat ikhlas mengandung anak. Apalagi saat melahirkan yang sangat luar biasa”.
          “Oya, Bunga masuk ke ruangan ku dulu. Aku pesan minuman dulu”.
          “Tidak perlu repot mba, aku sebentar saja disini”.
          “Sudah lama kita tak bertemu, ada banyak hal yang ingin ku ceritakan”.
          Aku memasuki ruangan di pintu kedua gedung ini. Warna yang jingga, semarak dan antusias membantu sesama. Semangat itu yang ku rasa. Saat masuk ke dalam ruangan yang tidak ku tutup pintunya itu, aku tak sengaja mendengar percakapan orang di ruang sebelah yang juga tak menutup pintunya.
          “Penyebaran paket sembako di daerah masih belum merata. Kita juga punya tugas membuat penerima zakat dapat mandiri dengan bantuan yang diterima. Tidak terus menerus mengharap bantuan. Kita perlu mendidik juga, seperti ajaran Rosulullah. Tidak hanya memberi materi, tapi juga bekal ilmu untuk mengembangkan diri dan usahanya”.
          Suara yang ku dengar tak asing, namun dengan intonasi agak berbeda. Aku tak berani memperhatikan pembicaraan yang bukan hak ku. Aku mau menutup ruangan mba Lusi, namun aku tak enak hati karena aku hanya sendiri di ruangan orang. Mba Lusi belum datang juga, aku melihat-lihat foto dinding dan majalah di atas meja.
          “Matahari...”, gumam ku agak kaget.
          “Maaf, lama. Tadi ada customer yang perlu ditemui”, ucap mba Lusi lalu menutup pintu
          “Eh, Bunga sudah lihat mas Ari?”, tanya mba Lusi yang melihat ku memegang foto keluarga staf dan karyawan rumah pengelolaan zakat ini.
          “Mas Ari adalah putra Pak Zaki pemilik kerajaan Al Khonsa. Kerajaan Al Khonsa adalah usaha sosiopreneur yang dirintis Bu Zaki. Beberapa bulan belakangan Bu Zaki sering sakit. Lalu beliau menjemput anaknya di desa yang telah tinggal sekitar dua tahun lamanya. Mas Ari ada di ruangan sebelah. Aku meminta mu datang untuk ku kenalkan padanya”, kisah mba Lusi yang membuat ku mengenyitkan dahi.
          “Mas Ari ternyata penggemar tulisan karya mu. Pasti dia senang sekali dapat bertemu dengan mu. Mas Ari sangat dingin, jarang bicara banyak dengan orang bila itu tidak penting”.
          “Hmm... Mba Lusi ini, kalau hanya menunjukkan diri bahwa aku penulis yang dikaguminya aku tak mau datang. Mba tahu sendiri kan, aku tak terlalu mau membuat orang mengenal ku. Aku ingin tetap normal menjalani hidup dan menikmati kegemaran ku menulis dengan mudah mencari inspirasi di setiap perjalanan ku”, ucap ku pada mba Lusi dengan nada agak kecewa.
          “Bunga, aku tidak bermaksud apa-apa. Kami satu kantor tak ada yang tahu permasalahan yang terjadi dalam keluarga Pak Zaki. Mas Ari ini baru kembali ke rumah setelah hampir tiga tahun di desa. Yang katanya menjadi petani, sampai Bu Zaki sakit karena terus memikirkan anak satu-satunya ini yang lama tak pulang. Setelah mas Ari tahu Ibu sakit dan ingin ada yang membantu di kantor, baru mas Ari kembali ke rumah. Kami semua staf Bu Zaki ingin dapat membantu, mas Ari ini sangat baik dan perhatian. Tapi seperti ada masalah yang ditutupi dengan sikap dinginnya itu”.
          Aku diam, memikirkan kata-kata mba Lusi. Aku tidak menyangka akan bertemu Ari lagi.
          Bulan ini, November hari pertama. Aku berbincang dengan mba Lusi hingga menjelang magrib. Setelah azan kami ke musola kantor. Perbincangan kami seputar manis asin pernikahan mba Lusi yang baru setahun. Aku belajar banyak darinya sore ini. Perempuan dan laki-laki saling melengkapi dan menyenangkan.
          Aku pulang selesai solat magrib, aku berjalan pelan menuju parkiran. Aku melihat ada seseorang yang berdiri di dekat sepeda ku, sambil menerima telepon di telepon genggamnya. Aku menunduk mengambil sepeda ku. Tiba-tiba aku disapa..
          “Assalamu’alaikum, Bunga”
          “Wa’alaikumussalam...”
          Masya Allah, Ari... Detak jantung ku mendadak berdegup lebih cepat.
          “Mau pulang? Aku antar bisa?”
          Aku tak sempat menjawab, Ari segera naik di atas sepeda ku dan memberikan kunci motornya pada ku. Aku diam menatapnya pergi begitu saja. Ada yang berbeda dari Ari yang ku lihat sekarang. Dia lebih ceria dan semakin tenang.
          Aku mengendarai motor Ari pelan sekali, sudah lama tak lagi mengendarai motor. Di jalan pulang, aku terus berpikir. Apa Ari tahu aku datang di ruangan Mba Lusi tadi? Mengapa dia mau-maunya bertukar kendaraan dengan ku. Dia semakin aneh, tak lagi menatap ku saat berbicara. Lebih sering tersenyum dengan melihat ke arah berbeda dengan ku.
          Setelah di rumah, Ari berpamitan dengan Bapak dan Ratu. Aishi juga diusap kepalanya. Pergi tanpa mengatakan apapun maksud dari apa yang dia lakukan.
          “Bunga, dia itu teman mu yang kemarin sempat mampir ke rumah dengan kedua orang tuanya saat Bunga di desa”.
          “Oh, ya?”, jawab ku singkat lalu segera masuk ke kamar.
          “Tunggu, Bunga. Aku melihat kebahagiaan di matanya, Bunga juga terlihat berbeda tadi. Aku senang melihatnya bila bersama mu...”.
          Deg... hati ku merasa aneh. Aku hanya menatap Ratu, lalu masuk ke kamar. Aku berwudu untuk solat isya. Selesai solat berjama’ah, aku masuk kamar lebih awal. Aku harus mengerjakan tugas tulisan yang tertunda. Aku melihat daftar tema tulisan yang ingin ku kerjakan. Kali ini aku mengambil napas berat...
          Cinta karena Allah, tema ini diminta untuk buletin remaja. Ah... Harus pekan depan di serahkan. Ini yang harus segera ku selesaikan. Aku menyalakan komputer dan menyalakan alunan murotal Al Qur’an Surat Arrohman. Dengan segelas teh manis hangat yang tadi ku seduh. Aku mulai menulis...

          Kata cinta mungkin dijadikan cerita terindah dalam tiap episode kehidupan seseorang. Makna cinta menjadi amat beragam, seperti pertanyaan “mengapa bentuk daun tidak serupa?”. Bentuk daun tidak serupa karena tergantung kebutuhannya terhadap matahari. Mungkin begitu juga dengan pemaknaan cinta. Jika berbicara tentang cinta karena Allah, ini sesuatu yang sulit ku jawab. Karena memahami kalimat ini tak semudah mengucapkannya. Mencintai orang tua karena Allah, misalnya tak dapat diartikan kita menuruti segala perintahnya yang mungkin tidak sesuai dengan kebenaran yang kita yakini. Kita tetap dapat memilih dan memilah apa yang kita lakukan. Mencinta adalah bertanggungjawab atas kehidupan orang yang kita cinta. Membuat kita semakin produktif berkarya dan semakin mendekat dengan Allah, Maha Cinta. Bila perasaan kita malah semakin membuat tidak berbuat apa-apa, terlebih semakin menjauhkan dengan Allah berarti itu bukan cinta. Cinta ada untuk melengkapi tugas kita sebagai manusia. Dengan cinta, kita akan mengingatkan dan diingatkan bila salah. Dengan cinta, akan mudah mengucap maaf dan terima kasih. Cinta akan mengajari tentang memberi dan bahagia. Cinta tidak berbatas antara aku dan kamu, lebih untuk semua yang ada di sekitar kita. Membahagiakan dan menyenangkan semua yang kita lakukan. Saat kita telah memberi yang terbaik dengan penuh semangat cinta, hasilnya pun akan luar biasa... Karena mencinta dan dicinta adalah bagian dari kebutuhan manusia, sepatutnya kita dapat memberi cinta itu di tempat terbaik di hati kita.

          Aku membaca sekali lagi tulisan ku, memastikan tidak ada yang janggal dan kesalahan ketik. Aku tersenyum mengakhiri bacaan ku pada tulisan ku ini. Besok pagi akan ku baca sekali lagi sebelum ku serahkan.
          “Cinta, indah dalam tiap karyanya”, ucap Ratu di belakang ku.
          “Eh iya, kak”, tanya ku sambil mengarahkan badan ke Ratu.
          “Seperti biasa, Bunga kalau sudah menulis tidak terlalu memperhatikan sekeliling. Bagaimana mau sadar aku datang?”, goda Ratu yang lalu duduk di sisi ranjang ku.
          “Aku ingin bertemu Ibu, apa kabarnya?”, ucap Ratu dengan mata berkaca.
          “Insya Allah baik, kakak sekarang punya Aishi. Aku pikir Aishi lebih butuh kakak”, hibur ku lalu memeluk Ratu.
          “Kak, kita tak pernah tahu rencana Allah. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Dengan melakukan yang terbaik, insya Allah hasil terbaik juga akan kita terima”.
          “Alhamdulillah, aku merasa lengkap dengan memiliki adik seperti mu. Aku titip Aishi ya, aku ingin Aishi tumbuh di tengah keluarga yang mengajarinya berani menghadapi tantangan hidup. Tidak sampai salah pilih dan jalan, menjadi Aisyah yang cerdas dan dapat bermanfaat untuk Islam”
          “Insya Allah, kak. Aku pun ingin memberi yang terbaik untuk anak-anak kita nanti. Cukup kita saja yang merasa kehilangan orang tua. Kita terus mohonkan ampun Bapak dan Ibu, mereka hanya belum tahu bagaimana menjadi orang tua. Dari situ kita belajar menjadi orang tua yang dapat mendidik anak dengan baik”.
          “Sekali lagi ku minta, jika Bunga telah menemukan seseorang yang dapat membantu menjadi soliha segerakan menikah...”.
          Aku menitikkan air mata, Ratu menjadi pengganti ibu ku selama ini. Menikah adalah proses yang panjang sehingga aku sangat hati-hati memaknai ibadah yang satu ini.
          Malam ini, aku sengaja tidur lebih awal. Aku membuka sedikit tirai jendela kamar, ingin dapat melihat bintang di celahnya.
          “Semoga Allah memilihkan yang terbaik dan memudahkan prosesnya”, doa ku sebelum tidur.


Mengingat mu di dalam diam ku.Hembusan angin di sekeliling ku membawa rona warna mu.Tawa dan senyum ini menari dengan bayang mu yang duduk di sebelah ku.Menyapa cerita ku pagi ini untuk bersama melangkah menatap senja.Ajari aku untuk bertahan menjaga kebaikan di jalan kebenaran.Berikan aku kesempatan memberi mu rasa yang sederhana dalam tiap kedip yang kamu miliki.Ijinkan aku menikmati hujan dengan mu. Memiliki hujan november ini bersama. Agar arti ku hanya satu di hati mu.
         







Tidak ada komentar:

Posting Komentar