Persahabatan Sederhana
Alhamdulillah, hari ini aku kembali ke
kampus. Menjalani proses sebagai akademisi yang kembali belajar dengan
teori-teori. Aku bersemangat tuk kembali diskusi dan bertanya tentang banyak
hal. Aku sempatkan mencium kening Aishi sebelum berangkat. Aku pun mencium pipi
Bapak yang kaget dengan sikap ku yang tidak seperti biasanya. Aku mengayuh
sepeda mini ku, hanya 30 menit untuk sampai di kampus. Aku menyapa pak satpam
yang tampak lesu, sehingga dia pun tersenyum melihat ku.
Pak Satpam yang biasa ku panggil Pak
Pras ini amat mengagumkan ku. Setiap kali ada kesempatan ngobrol, beliau selalu
membahas buku atau bacaan yang baru dibacanya. Padahal di kelas ku, hampir tak
ada teman yang bisa ku ajak untuk bercerita buku bacaan. Mereka masih terlalu
sibuk mengejar nilai dan popularitas. Nilai yang dicari hanya dengan mengutip
bagian yang terkait dengan mata kuliah. Selebihnya, kering tanpa makna. Aku
biasanya akan mencari kakak kelas di perpustakaan yang sedang asik diajak
bicara tentang suatu topik. Paling beruntung jika yang punya waktu adalah dosen
muda yang masih tinggi semangat idealismenya. Pak Pras juga amat menyenangkan.
Taman depan fakultas terlihat agak kering,
musim berganti membuat semua berubah. Kemampuan kita untuk dapat beradaptasi
pun diuji. Aku ke ruang akademik untuk melihat jadwal kuliah yang akan ku ambil
semester ini. Masih sedikit mahasiswa yang datang pagi ini. Aku sayup mendengar
Bu Siti di ruangan sebelah, walau telah berumur Bu Siti adalah orang yang
memiliki integritas. Menjaga kebenaran di tengah arus yang tidak mendukung,
bukanlah hal mudah.
“Semester ini sebaiknya di seleksi
ketat terkait beasiswa. Saya dapat laporan, semester kemarin mahasiswa yang
mendapat beasiswa adalah yang mampu dan tidak punya semangat belajar. Kita jadi
tidak mendukung mahasiswa berprestasi untuk lebih mudah dalam urusan
administrasi” kata Bu Siti yang membuat ku tersenyum kagum.
Segera
setelah menyelesaikan administrasi, aku keluar gedung fakultas. Aku mencium
aroma tanah yang basah karena
baru
hujan. Di balik pintu
kaca terlihat hujan yang cukup deras. Sudah lama rasanya aku tak bertemu hujan,
aku tersenyum menyentuh air yang jatuh di ujung atap. Banyak berdoa saat hujan
yang sedang menumpahkan kasih sayangNya…
“Hujan
selalu menyenangkan tanah yang merindukannya”, batin ku.
“Assalamu’alaikum,
Bunga..”, sapa seseorang di sebelah ku, yang ternyata itu Ari.
“Wa’alaikumussalam,
eh Ari.. Ada disini?”, sapa ku agak kaget.
“Walau
aku bukan mahasiswa boleh kan aku ke sini?”
Ada
sebuah mobil putih berhenti di depan kami, saat dibuka kacanya ternyata Abdi
yang mau mengajak Ari masuk ke dalam mobil. Ari mengeluarkan sebuah payung
lipat dari dalam mobil Abdi dan membukanya untuk ku. Setelah itu langsung pergi
dengan Abdi.
Aku
yang masih belum mengerti dengan sikapnya, berjalan pelan ke parkiran sepeda.
Aku mengenakan mantel dan menikmati hujan yang membasahi kota. Indah sekali
kota yang basah dengan hujan hari ini. Perlahan ku kayuh sepeda ku untuk
menikmati perjalanan, walau percik air membasahi sebagian rok ku. Sesampai di
rumah, Ratu menjewer telinga ku karena menerobos hujan. Dari kecil, saat
bermain hujan Ratu adalah tokoh antagonis yang tak suka melihat ku basah.
Katanya seperti kucing liar yang terperosok ke genangan air. Tapi, buat ku
kemarahan Ratu adalah caranya menunjukkan cintanya pada ku. Aku selalu
menikmati rengekan ku yang mengaduh kesakitan. Bapak hanya menggelengkan kepala
melihat ku yang sudah sebesar ini masih diperlakukan begitu oleh Ratu. Aishi
pun geli tertawa melihat keadaan ku.
“Kalau
Bunda sampai lihat Aishi main hujan, Bunda juga akan jewer Aishi”, ucap Ratu
setelah aku masuk kamar mandi.
“Kenapa
ga boleh, Bun?”, Tanya Aishi polos.
“Bunda
mau Aishi selalu bersih, kalau main hujan nanti seperti kucing liar yang
terperosok ke genangan air. Jadi jelek”, jelas Ratu pada Aishi yang belum
pernah melihat kucing basah.
Selesai
berganti pakaian, telepon genggam ku berdering.
Abdi..
“Assalamu’alaikum,
ada apa kak?”, sapa ku.
“Wa’alaikummussalam,
Bunga dimana?”.
“Di
rumah, ada yang bisa dibantu?”.
“Bu
Siti mengajak Ari untuk program konservasi desa, kita sudah pegang bahannya.
Tinggal kita gunakan saja kebutuhan apa yang diperlukan. Semester ini aku dan
Fatir menyiapkan ujian skripsi dan wisuda. Aku meminta Bu Siti untuk mengajak
mu lagi, apa kamu bisa?”.
“Berapa
lama?”.
“Satu
semester, nanti jika ada perkembangan kita akan evaluasi lagi. Insya Allah
semester depan aku dan Fatir bisa focus di desa. Nanti, aku dan Bu Siti akan
mampir ke rumah mu untuk membahas ini lebih jelas”.
“Baiklah,
aku tunggu”.
“Sampai
ketemu nanti malam, insya Allah. Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikummussalam”.
Aku
kembali membuka komputer
ku. Ku ingin menulis lagi, hujan selalu memberi inspirasi. Baru satu jam aku
menulis, kepala ku terasa berat. Mata ku ingin beristirahat, aku simpan data
tulisan yang ku dapat lalu berbaring meringkuk di ranjang dengan rintik gerimis
yang menyejukkan di balik tembok kamar.
Bu
Siti datang setelah solat isya, kemudian Abdi dan Ari menyusul kemudian. Kami
membahas kelanjutan program di desa. Nanti setiap akhir pekan kita akan ke
desa. Langkah apa yang akan kita lakukan selama pendampingan ini juga kita
bahas.
“Kita
selain melakukan penelitian terhadap lahan pertanian, kita juga bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas
pertanian di sana sesuai kemampuan kita. Jadi tidak sekedar menerima, ada
sesuatu yang kita berikan. Ibu berharap kita dapat semakin bermanfaat untuk
masyarakat. Jangan sampai karena kita merasa lebih berpendidikan kita tidak
menganggap pengalaman petani yang telah bertahun-tahun menyentuh tanah. Ada
proses belajar anatar kita dengan para petani. Dedikasi mereka terhadap
pekerjaan yang sering tidak dianggap penting. Padahal petani adalah salah satu
pahlawan pangan kita”, ucap Bu Siti sebelum pamit pulang lebih dulu.
“Ku
sempat membaca tulisan Bu Siti di majalah Agro kampus. Kekecewaan terhadap
beberapa oknum peneliti dan mahasiswa
yang dianggap beliau hanya “mengeksploitasi” daerah binaan. Kita merasa arogan
karena status pendidikan. Bu Siti berharap kita menjadi pelanjut generasi yang
menjaga semangat membangun. Karena banyak keluhan para birokrat yang beliau
kenal, katanya petani itu tidak dapat diajak berdiskusi. Padahal temuan kita di
lapangan tidak seperti itu. Mungkin bahasa yang digunakan sebagai pendekatan
yang perlu diperbaiki”, jelas Abdi.
“Iya,
bagaimana pun kita yang harus menyesuaikan diri dengan pihak terkait. Bukannya
memaksakan orang lain mengikuti cara kita. Walau pun kita tetap memiliki
prinsip sendiri yang tidak bisa dilanggar”, sahut ku.
“Aku
juga masih prihatin dengan keadaan petani yang masih lebih sering mendapat
jenis bantuan berupa barang-barang konsumsi atau sebatas alat. Padahal mereka
juga butuh pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Di
tengah obrolan Aishi keluar kamar, menyapa ku dan seisi ruangan dengan mainan
barunya. Aku melihat Ari senang sekali melihat Aishi. Ari bisa bermain dengan
Aishi hingga membuatnya tertawa. Aku baru tahu Aishi senang digoda seperti itu.
Hingga Aishi tertidur di pangkuan Ari. Ari tampak dewasa menggendong Aishi.
Pelan aku mengambil Aishi dari tangan Ari, Ratu keluar kamarnya melihat ku dan
Ari lalu tersenyum. Aku lalu membawa Aishi ke dalam kamarnya.
“Maaf
ya, Aishi merepotkan. Saya Bundanya, kakak Bunga”, sapa Ratu pada Abdi dan Ari
“Saya
Abdi, kakak kelas Bunga di kampus”.
“Saya
Ari, teman Bunga waktu di desa
kemarin”.
“Kalau
tidak salah, Ari pernah mampir ke sini sebelumnya dengan kedua orang tuanya ya?”,
tebak Ratu.
“Iya,
kak”
Aku
keluar kamar, lalu Abdi dan Ari berpamitan.
Aku
bersiap tidur, kakak kembali mengajak ku bicara sebelum tidur.
“Indah
sekali jika, Aishi bisa tumbuh bersama orang tua yang lengkap dan bisa saling
menyayangi. Kakak senang melihat waktu Bunga mengambil Aishi dari Ari”.
Ah..
Ratu kembali membuat ku berpikir. Aku tak mau menjadi tidak produktif
memikirkan hal ini. Aku meyakini, Pencipta ku telah menyiapkan taqdir ku
lengkap hingga aku kembali padaNya.
Mau
tidak mau, aku jadi sering bertemu dengan Ari. Program kampus ini juga menjadi
bagian rumah pengelolaan zakat yang dikembangkan keluarga Ari. Zakat produktif
untuk para petani dapat mengembangkan pertaniannya dengan pendidikan. Tidak terasa telah
berjalan delapan pekan kami melakukan pendampingan.
Saat
makan siang bersama dengan Bu Siti dan Abdi, kita mengevaluasi hasilkerja
pendampingan beberapapekan yang telah berjalan. Alhamdulillah, perkembangan
para petani akan kesadaran meningkatkan ilmu tentang bertani meningkat. Kita
sudah mengawali dengan membangun perpustakaan buku di rumah Pak Rasyid untuk
dijadikan taman bacaan warga. Anak-anak juga senang dengan membaca katanya
mereka lebih mudah memahami pelajaran di sekolah. Anak-anak disini mendapat
manfaat untuk terus melanjutkan kebanggan menjadi anak petani yang pintar dan
akan melanjutkan perjuangan kedua orang tuanya.
Setelah
menyelesaikan laporan evaluasi pada Bu Siti yang puas dengan perkembangan
pengabdian masyarakat yang kami lakukan, kita membahas kelanjutan program ini
ke depannya seperti apa?
“Sejauh
ini Ibu melihat, kita sudah membuat
kesadaran akan belajar meningkat.
Kita tidak mungkin mendampingi terus. Sehingga harus dibangun kemandirian,
dengan begitu tanpa kita disana program akan terus dapat dilanjutkan oleh
penduduk sekitar sendiri. Besok kita dapat mengembangkan program di tempat
lainnya”, kata Bu Siti dengan tersenyum.
“Dengan
bekerja sama kita jadi bekerja
lebih mudah. Rumah pengelolaan zakat milik Ari juga amat membantu, sekaligus
program kita juga membantu Rumah pengelolaan zakat itu makin meningkat
kualitasnya. Karena para donatur puas dengan hasil kerja kita”, puji Abdi.
“Kita
hidup itu saling merepotkan”, canda Ari yang membuat kami semua tersenyum.
“Oya,
ada yang selalu ingin ku tanyakan. Selain karena Ari pernah tinggal di desa,
alasan apa yang membuat pendanaan program kita di desa oleh rumah pengelolaan
zakat Ari itu mudah membantu kita?”, tanya ku.
“Ada
sebuah artikel yang pernah ku baca. Tentang perkembangan jeruk dari luar negeri.
Awalnya, bentuk dan rasa jeruknya kusam dan amat asam. Beberapa akademisi yang
peduli dengan kelanjutan jeruk hasil penanaman petani local melakukan gerakan
cinta produk dalam negeri. Orang-orang yang mengatakan ketidaksukaannya
terhadap jeruk ini disebut pengkhianat negeri. Tentu tidak terima, apa hubungan
makan jeruk dengan mencintai negeri? Dengan membeli jeruk itu, para petani jadi
memiliki modal untuk terus melakukan percobaan hingga menemukan cara penanaman
jeruk yang baik sehingga kualitasnya akan meningkat. Dan benar, setelah
berjalan beberapa tahun, para petani jeruk ini telah dapat ijin untuk mengirim
ke berbagai Negara. Kita pun dengan mudah mendapatkannya sekarang, dimana-mana
jeruk itu menguasai pasar buah yang ada”, cerita Ari membuat kami menjadi
semangat.
(inspirasi
dari petani pejuang jeruk sunkis)
“Yah,
kita masih kurang memperhatikan produk dalam negeri. Jauh lebih bangga dengan
produk luar negeri. Padahal belum tentu itu baik bagi kita”, sahut Abdi.
“Jadi
semakin semangat untuk meningkatkan kualitas produksi local kita. Kita tidak
boleh berhenti dalam titik kasihan, tapi ada langkah nyata yang bisa lakukan
sesuai dengan kapasitas kemampuan kita”, sambung ku.
Kami
berbincang hingga menjelang azan asar. Kemudian kami berpamitan dan kembali ke
rumah masing-masing. Aku mengambalikan payung Ari, tapi Ari hanya tersenyum lalu
pergi dengan mengatakan, “untuk mu saja, Bunga…”.
Aku
masih belum mengerti dengan sikap Ari yang menurut ku aneh itu. Tapi aku
bertanya dengan siapa aku tidak tahu. Aku hanya diam dan berusaha tidak
memikirkannya.
Hari demi hari yang kami lalui, begitu
sederhana persahabatan yang ditawarkan Ari. Dia tak jarang datang ke rumah
hanya untuk memberi sebungkus coklat untuk Aishi dan beberapa buku bergambar
untuk mainan Aishi. Di rumah pengelolaan zakat miliknya, aku menjadi tamu yang
diistimewakan oleh beberapa pegawai selain mba Lusi yang telah mengenal ku. Aku
tak pernah tahu mengapa? Semua pegawai disini memang ramah, hanya saja keramahan
yang ku terima seperti agak berbeda dengan yang lain. Di kampus, Ari sering
datang hanya untuk minta ditemani ke perpustakaan atau sekedar makan siang.
Walau Abdi juga selalu ikut, aku tetap merasa aneh. Sejak Ari sering ke kampus,
aku sering menerima hadiah kecil di meja kerja ku. Meja kerja ku di ruangan
majalah kampus tempat ku mengedit tulisan yang masuk redaksi. Hadiah kecil
berupa setangkai bunga, kata-kata motifasi yang sering tepat dengan suasana
hati ku, film atau buku yang sedang ku butuhkan. Hanya ada kata “aku ingin
menjadi bintang mu”. Awalnya aku tidak nyaman, karena hadiah-hadiah kecil ini
tanpa nama. Berkali-kali ku coba cari tahu, tapi belum ada hasilnya. Aku pun
mencoba berdamai dengan keadaan. Di desa, Ari benar-benar terlihat diam dan
cuek.
Aku benar-benar bingung dengan
sikapnya. Beberapa kali dia datang tiba-tiba, saat hujan membawakan payung,
jaket atau apapun. Karena itu sempat ku pikir hadiah-hadiah kecil itu darinya.
Tapi aku tak punya bukti untuk bertanya padanya. Saat dia ada pekerjaan lain
sehingga tidak bertemu, aku merasa ada yang hilang. Entah apa? Aku hanya bisa
bertanya pada Allah, pemilik hati ku. Aku tak mau salah mengerti dengan
kebaikannya. Aku hanya ingin persahabatan ini karena Allah. Sehingga aku dan
dia tetap menjaga hati masing-masing.
Aku
hanya tersenyum kecil saat angin menyanyikan lagu alam, ketika semilir malam
hadir menyelimuti. Sebelum memejamkan mata menutup hari, aku berdoa untuk
diterimanya jerih ku hari ini sebagai bakti cinta ku pada Sang Maha Cinta. Juga
berdoa agar esok aku lebih tertata dalam menentukan pilihan. Hati ku yang kini
merasakan sesuatu, tolong dijaga. Agar tak salah laku dan kata. Walau tiap kali
mengingat tingkahnya, aku merasa indah. Tapi ku tahu ini belum saatnya... Aku
hanya ingin rasa yang diberkahi.
Tepian
hati sekuntum bunga yang menanti bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar