Selasa, 22 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 11 Persahabatan Sederhana


Persahabatan Sederhana
          Alhamdulillah, hari ini aku kembali ke kampus. Menjalani proses sebagai akademisi yang kembali belajar dengan teori-teori. Aku bersemangat tuk kembali diskusi dan bertanya tentang banyak hal. Aku sempatkan mencium kening Aishi sebelum berangkat. Aku pun mencium pipi Bapak yang kaget dengan sikap ku yang tidak seperti biasanya. Aku mengayuh sepeda mini ku, hanya 30 menit untuk sampai di kampus. Aku menyapa pak satpam yang tampak lesu, sehingga dia pun tersenyum melihat ku.
          Pak Satpam yang biasa ku panggil Pak Pras ini amat mengagumkan ku. Setiap kali ada kesempatan ngobrol, beliau selalu membahas buku atau bacaan yang baru dibacanya. Padahal di kelas ku, hampir tak ada teman yang bisa ku ajak untuk bercerita buku bacaan. Mereka masih terlalu sibuk mengejar nilai dan popularitas. Nilai yang dicari hanya dengan mengutip bagian yang terkait dengan mata kuliah. Selebihnya, kering tanpa makna. Aku biasanya akan mencari kakak kelas di perpustakaan yang sedang asik diajak bicara tentang suatu topik. Paling beruntung jika yang punya waktu adalah dosen muda yang masih tinggi semangat idealismenya. Pak Pras juga amat menyenangkan.
          Taman depan fakultas terlihat agak kering, musim berganti membuat semua berubah. Kemampuan kita untuk dapat beradaptasi pun diuji. Aku ke ruang akademik untuk melihat jadwal kuliah yang akan ku ambil semester ini. Masih sedikit mahasiswa yang datang pagi ini. Aku sayup mendengar Bu Siti di ruangan sebelah, walau telah berumur Bu Siti adalah orang yang memiliki integritas. Menjaga kebenaran di tengah arus yang tidak mendukung, bukanlah hal mudah.
          “Semester ini sebaiknya di seleksi ketat terkait beasiswa. Saya dapat laporan, semester kemarin mahasiswa yang mendapat beasiswa adalah yang mampu dan tidak punya semangat belajar. Kita jadi tidak mendukung mahasiswa berprestasi untuk lebih mudah dalam urusan administrasi” kata Bu Siti yang membuat ku tersenyum kagum.
          Segera setelah menyelesaikan administrasi, aku keluar gedung fakultas. Aku mencium aroma tanah yang basah karena baru hujan. Di balik pintu kaca terlihat hujan yang cukup deras. Sudah lama rasanya aku tak bertemu hujan, aku tersenyum menyentuh air yang jatuh di ujung atap. Banyak berdoa saat hujan yang sedang menumpahkan kasih sayangNya…
          “Hujan selalu menyenangkan tanah yang merindukannya”, batin ku.
          “Assalamu’alaikum, Bunga..”, sapa seseorang di sebelah ku, yang ternyata itu Ari.
          “Wa’alaikumussalam, eh Ari.. Ada disini?”, sapa ku agak kaget.
          “Walau aku bukan mahasiswa boleh kan aku ke sini?”
          Ada sebuah mobil putih berhenti di depan kami, saat dibuka kacanya ternyata Abdi yang mau mengajak Ari masuk ke dalam mobil. Ari mengeluarkan sebuah payung lipat dari dalam mobil Abdi dan membukanya untuk ku. Setelah itu langsung pergi dengan Abdi.
          Aku yang masih belum mengerti dengan sikapnya, berjalan pelan ke parkiran sepeda. Aku mengenakan mantel dan menikmati hujan yang membasahi kota. Indah sekali kota yang basah dengan hujan hari ini. Perlahan ku kayuh sepeda ku untuk menikmati perjalanan, walau percik air membasahi sebagian rok ku. Sesampai di rumah, Ratu menjewer telinga ku karena menerobos hujan. Dari kecil, saat bermain hujan Ratu adalah tokoh antagonis yang tak suka melihat ku basah. Katanya seperti kucing liar yang terperosok ke genangan air. Tapi, buat ku kemarahan Ratu adalah caranya menunjukkan cintanya pada ku. Aku selalu menikmati rengekan ku yang mengaduh kesakitan. Bapak hanya menggelengkan kepala melihat ku yang sudah sebesar ini masih diperlakukan begitu oleh Ratu. Aishi pun geli tertawa melihat keadaan ku.
          “Kalau Bunda sampai lihat Aishi main hujan, Bunda juga akan jewer Aishi”, ucap Ratu setelah aku masuk kamar mandi.
          “Kenapa ga boleh, Bun?”, Tanya Aishi polos.
          “Bunda mau Aishi selalu bersih, kalau main hujan nanti seperti kucing liar yang terperosok ke genangan air. Jadi jelek”, jelas Ratu pada Aishi yang belum pernah melihat kucing basah.
          Selesai berganti pakaian, telepon genggam ku berdering. Abdi..
          “Assalamu’alaikum, ada apa kak?”, sapa ku.
          “Wa’alaikummussalam, Bunga dimana?”.
          “Di rumah, ada yang bisa dibantu?”.
          “Bu Siti mengajak Ari untuk program konservasi desa, kita sudah pegang bahannya. Tinggal kita gunakan saja kebutuhan apa yang diperlukan. Semester ini aku dan Fatir menyiapkan ujian skripsi dan wisuda. Aku meminta Bu Siti untuk mengajak mu lagi, apa kamu bisa?”.
          “Berapa lama?”.
          “Satu semester, nanti jika ada perkembangan kita akan evaluasi lagi. Insya Allah semester depan aku dan Fatir bisa focus di desa. Nanti, aku dan Bu Siti akan mampir ke rumah mu untuk membahas ini lebih jelas”.
          “Baiklah, aku tunggu”.
          “Sampai ketemu nanti malam, insya Allah. Assalamu’alaikum”.
          “Wa’alaikummussalam”.
          Aku kembali membuka komputer ku. Ku ingin menulis lagi, hujan selalu memberi inspirasi. Baru satu jam aku menulis, kepala ku terasa berat. Mata ku ingin beristirahat, aku simpan data tulisan yang ku dapat lalu berbaring meringkuk di ranjang dengan rintik gerimis yang menyejukkan di balik tembok kamar.
          Bu Siti datang setelah solat isya, kemudian Abdi dan Ari menyusul kemudian. Kami membahas kelanjutan program di desa. Nanti setiap akhir pekan kita akan ke desa. Langkah apa yang akan kita lakukan selama pendampingan ini juga kita bahas.
          “Kita selain melakukan penelitian terhadap lahan pertanian, kita juga bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas pertanian di sana sesuai kemampuan kita. Jadi tidak sekedar menerima, ada sesuatu yang kita berikan. Ibu berharap kita dapat semakin bermanfaat untuk masyarakat. Jangan sampai karena kita merasa lebih berpendidikan kita tidak menganggap pengalaman petani yang telah bertahun-tahun menyentuh tanah. Ada proses belajar anatar kita dengan para petani. Dedikasi mereka terhadap pekerjaan yang sering tidak dianggap penting. Padahal petani adalah salah satu pahlawan pangan kita”, ucap Bu Siti sebelum pamit pulang lebih dulu.
          “Ku sempat membaca tulisan Bu Siti di majalah Agro kampus. Kekecewaan terhadap beberapa oknum peneliti dan mahasiswa yang dianggap beliau hanya “mengeksploitasi” daerah binaan. Kita merasa arogan karena status pendidikan. Bu Siti berharap kita menjadi pelanjut generasi yang menjaga semangat membangun. Karena banyak keluhan para birokrat yang beliau kenal, katanya petani itu tidak dapat diajak berdiskusi. Padahal temuan kita di lapangan tidak seperti itu. Mungkin bahasa yang digunakan sebagai pendekatan yang perlu diperbaiki”, jelas Abdi.
          “Iya, bagaimana pun kita yang harus menyesuaikan diri dengan pihak terkait. Bukannya memaksakan orang lain mengikuti cara kita. Walau pun kita tetap memiliki prinsip sendiri yang tidak bisa dilanggar”, sahut ku.
          “Aku juga masih prihatin dengan keadaan petani yang masih lebih sering mendapat jenis bantuan berupa barang-barang konsumsi atau sebatas alat. Padahal mereka juga butuh pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
          Di tengah obrolan Aishi keluar kamar, menyapa ku dan seisi ruangan dengan mainan barunya. Aku melihat Ari senang sekali melihat Aishi. Ari bisa bermain dengan Aishi hingga membuatnya tertawa. Aku baru tahu Aishi senang digoda seperti itu. Hingga Aishi tertidur di pangkuan Ari. Ari tampak dewasa menggendong Aishi. Pelan aku mengambil Aishi dari tangan Ari, Ratu keluar kamarnya melihat ku dan Ari lalu tersenyum. Aku lalu membawa Aishi ke dalam kamarnya.
          “Maaf ya, Aishi merepotkan. Saya Bundanya, kakak Bunga”, sapa Ratu pada Abdi dan Ari
          “Saya Abdi, kakak kelas Bunga di kampus”.
          “Saya Ari, teman Bunga waktu di desa kemarin”.
          “Kalau tidak salah, Ari pernah mampir ke sini sebelumnya dengan kedua orang tuanya ya?”, tebak Ratu.
          “Iya, kak”
          Aku keluar kamar, lalu Abdi dan Ari berpamitan.
          Aku bersiap tidur, kakak kembali mengajak ku bicara sebelum tidur.
          “Indah sekali jika, Aishi bisa tumbuh bersama orang tua yang lengkap dan bisa saling menyayangi. Kakak senang melihat waktu Bunga mengambil Aishi dari Ari”.
          Ah.. Ratu kembali membuat ku berpikir. Aku tak mau menjadi tidak produktif memikirkan hal ini. Aku meyakini, Pencipta ku telah menyiapkan taqdir ku lengkap hingga aku kembali padaNya.
          Mau tidak mau, aku jadi sering bertemu dengan Ari. Program kampus ini juga menjadi bagian rumah pengelolaan zakat yang dikembangkan keluarga Ari. Zakat produktif untuk para petani dapat mengembangkan pertaniannya dengan pendidikan. Tidak terasa telah berjalan delapan pekan kami melakukan pendampingan.
          Saat makan siang bersama dengan Bu Siti dan Abdi, kita mengevaluasi hasilkerja pendampingan beberapapekan yang telah berjalan. Alhamdulillah, perkembangan para petani akan kesadaran meningkatkan ilmu tentang bertani meningkat. Kita sudah mengawali dengan membangun perpustakaan buku di rumah Pak Rasyid untuk dijadikan taman bacaan warga. Anak-anak juga senang dengan membaca katanya mereka lebih mudah memahami pelajaran di sekolah. Anak-anak disini mendapat manfaat untuk terus melanjutkan kebanggan menjadi anak petani yang pintar dan akan melanjutkan perjuangan kedua orang tuanya.
          Setelah menyelesaikan laporan evaluasi pada Bu Siti yang puas dengan perkembangan pengabdian masyarakat yang kami lakukan, kita membahas kelanjutan program ini ke depannya seperti apa?
          “Sejauh ini Ibu melihat, kita sudah membuat kesadaran akan belajar meningkat. Kita tidak mungkin mendampingi terus. Sehingga harus dibangun kemandirian, dengan begitu tanpa kita disana program akan terus dapat dilanjutkan oleh penduduk sekitar sendiri. Besok kita dapat mengembangkan program di tempat lainnya”, kata Bu Siti dengan tersenyum.
          “Dengan bekerja sama kita jadi bekerja lebih mudah. Rumah pengelolaan zakat milik Ari juga amat membantu, sekaligus program kita juga membantu Rumah pengelolaan zakat itu makin meningkat kualitasnya. Karena para donatur puas dengan hasil kerja kita”, puji Abdi.
          “Kita hidup itu saling merepotkan”, canda Ari yang membuat kami semua tersenyum.
          “Oya, ada yang selalu ingin ku tanyakan. Selain karena Ari pernah tinggal di desa, alasan apa yang membuat pendanaan program kita di desa oleh rumah pengelolaan zakat Ari itu mudah membantu kita?”, tanya ku.
          “Ada sebuah artikel yang pernah ku baca. Tentang perkembangan jeruk dari luar negeri. Awalnya, bentuk dan rasa jeruknya kusam dan amat asam. Beberapa akademisi yang peduli dengan kelanjutan jeruk hasil penanaman petani local melakukan gerakan cinta produk dalam negeri. Orang-orang yang mengatakan ketidaksukaannya terhadap jeruk ini disebut pengkhianat negeri. Tentu tidak terima, apa hubungan makan jeruk dengan mencintai negeri? Dengan membeli jeruk itu, para petani jadi memiliki modal untuk terus melakukan percobaan hingga menemukan cara penanaman jeruk yang baik sehingga kualitasnya akan meningkat. Dan benar, setelah berjalan beberapa tahun, para petani jeruk ini telah dapat ijin untuk mengirim ke berbagai Negara. Kita pun dengan mudah mendapatkannya sekarang, dimana-mana jeruk itu menguasai pasar buah yang ada”, cerita Ari membuat kami menjadi semangat.
(inspirasi dari petani pejuang jeruk sunkis)
          “Yah, kita masih kurang memperhatikan produk dalam negeri. Jauh lebih bangga dengan produk luar negeri. Padahal belum tentu itu baik bagi kita”, sahut Abdi.
          “Jadi semakin semangat untuk meningkatkan kualitas produksi local kita. Kita tidak boleh berhenti dalam titik kasihan, tapi ada langkah nyata yang bisa lakukan sesuai dengan kapasitas kemampuan kita”, sambung ku.
          Kami berbincang hingga menjelang azan asar. Kemudian kami berpamitan dan kembali ke rumah masing-masing. Aku mengambalikan payung Ari, tapi Ari hanya tersenyum lalu pergi dengan mengatakan, “untuk mu saja, Bunga…”.
          Aku masih belum mengerti dengan sikap Ari yang menurut ku aneh itu. Tapi aku bertanya dengan siapa aku tidak tahu. Aku hanya diam dan berusaha tidak memikirkannya.
          Hari demi hari yang kami lalui, begitu sederhana persahabatan yang ditawarkan Ari. Dia tak jarang datang ke rumah hanya untuk memberi sebungkus coklat untuk Aishi dan beberapa buku bergambar untuk mainan Aishi. Di rumah pengelolaan zakat miliknya, aku menjadi tamu yang diistimewakan oleh beberapa pegawai selain mba Lusi yang telah mengenal ku. Aku tak pernah tahu mengapa? Semua pegawai disini memang ramah, hanya saja keramahan yang ku terima seperti agak berbeda dengan yang lain. Di kampus, Ari sering datang hanya untuk minta ditemani ke perpustakaan atau sekedar makan siang. Walau Abdi juga selalu ikut, aku tetap merasa aneh. Sejak Ari sering ke kampus, aku sering menerima hadiah kecil di meja kerja ku. Meja kerja ku di ruangan majalah kampus tempat ku mengedit tulisan yang masuk redaksi. Hadiah kecil berupa setangkai bunga, kata-kata motifasi yang sering tepat dengan suasana hati ku, film atau buku yang sedang ku butuhkan. Hanya ada kata “aku ingin menjadi bintang mu”. Awalnya aku tidak nyaman, karena hadiah-hadiah kecil ini tanpa nama. Berkali-kali ku coba cari tahu, tapi belum ada hasilnya. Aku pun mencoba berdamai dengan keadaan. Di desa, Ari benar-benar terlihat diam dan cuek.
          Aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Beberapa kali dia datang tiba-tiba, saat hujan membawakan payung, jaket atau apapun. Karena itu sempat ku pikir hadiah-hadiah kecil itu darinya. Tapi aku tak punya bukti untuk bertanya padanya. Saat dia ada pekerjaan lain sehingga tidak bertemu, aku merasa ada yang hilang. Entah apa? Aku hanya bisa bertanya pada Allah, pemilik hati ku. Aku tak mau salah mengerti dengan kebaikannya. Aku hanya ingin persahabatan ini karena Allah. Sehingga aku dan dia tetap menjaga hati masing-masing.

          Aku hanya tersenyum kecil saat angin menyanyikan lagu alam, ketika semilir malam hadir menyelimuti. Sebelum memejamkan mata menutup hari, aku berdoa untuk diterimanya jerih ku hari ini sebagai bakti cinta ku pada Sang Maha Cinta. Juga berdoa agar esok aku lebih tertata dalam menentukan pilihan. Hati ku yang kini merasakan sesuatu, tolong dijaga. Agar tak salah laku dan kata. Walau tiap kali mengingat tingkahnya, aku merasa indah. Tapi ku tahu ini belum saatnya... Aku hanya ingin rasa yang diberkahi.
          Tepian hati sekuntum bunga yang menanti bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar