Senin, 05 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 13 Bunga yang melengkapi Matahari



 Bunga yang melengkapi Matahari

          Sepekan ini kegiatan ku sudah berjalan seperti biasa, kuliah dan menulis. Tidak terasa sudah akhir semester, tahun ke dua ku. Pagi ini, aku libur. Aku ingin berkebun lagi di halaman belakang rumah dengan Bapak dan Aishi. Aishi sudah akan sekolah di taman kanak-kanak. Aishi semakin pintar bicara dan bacaan Al Qur’an sudah mulai lancar.
          Setelah lelah berkebun, kita membicarakan dimana dan seperti apa esok saat Aishi masuk ke sekolah. Bapak pun juga membicarakan pernikahan ku...
          “Bunga, Bapak bisa bicara tentang dirimu?”
          “Bunga kenapa, Pak?”, jawab ku lalu menyelesaikan makan ku
          “Beberapa waktu kemarin, Ari pernah menyampaikan ketertarikannya pada Bunga. Hanya karena Bunga kurang sehat, hal ini jadi tertunda. Sekarang Ari jarang ke rumah karena diminta untuk mengembangkan usaha keluarganya di luar kota. Semalam Ari menghubungi Bapak lagi menanyakan bagaimana keadaan Bunga? Bunga sendiri bagaimana perasaannya pada Ari?”.
          “Bunga merasa memang ada sesuatu dengan Ari sejak bertemu kembali di desa. Hanya karena Bunga tidak mau melanjutkan perasaan yang tidak jelas jadi Bunga pun biasa-biasa saja”.
          “Ratu dan Neni, Bapak minta untuk istikhoroh. Mohon petunjuk jika memang dia baik untuk perjalanan Bunga, agar dimudahkan”.
          Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa?
          “Bapak ingin dapat mengantarkan putri Bapak menyempurnakan Addinnya”.
          Perkataan Bapak kali ini amat menghujam hati ku. Aku masih merasa belum yakin dengan perasaan ku sendiri.
          Dua hari setelah obrolan pernikahan dengan Bapak, aku lebih banyak diam. Aku terus berpikir dengan keadaan ku dan keadaan rumah. Istikhoroh ku juga belum ada jawaban. Aku masih belum yakin dan mendapat tanda dia benar untuk ku.
          Aku ke perpustakaan kampus, mungkin ini sebuah pelarian untuk sedikit melupakan penat. Aku membuat kesibukan yang lebih dari biasanya. Perjalanan ku di sepeda mini ku pun tak ku biarkan memikirkan itu. Ku berusaha mengalihkan dengan rencana-rencana yang bisa ku lakukan.
          Tapi bagaimana pun, aku harus bisa menghadapi ini. Sejauh apapun aku berlari, kenyataan akan pernikahan itu seperti bayangan yang selalu mengikuti. Senja hari ini, aku butuh suasana baru. Aku duduk di halaman belakang rumah, membaca buku catatan perjalanan seorang back packer yang berkeliling dunia. Aku ingin bisa menjelajahi bumi lain untuk selalu dapat bersyukur dengan apa yang ku miliki. Ke tempat-tempat marginal dan jauh dari nuansa pariwisata yang sering ku dengar menjadi tempat yang tidak baik.
          Beberapa hari ini, bunga mawar yang Bapak tanam sedang merekah. Mawar putih yang sederhana dan sangat cantik. Ku tak tega memetiknya, karena itu artinya menyegerakan dia layu dan mati. Biarkan bunga itu menjadi pengindah mata dan penyenang hati.
          “Bapak duduk di sebelah Bunga ya?”, sapa Bapak yang mengusap kepala ku.
          Aku lalu tersenyum menyingkirkan daun kering yang ada di tempat yang akan Bapak duduki. Aku selalu senang saat Bapak mengusap kepala ku dengan lembut. Rasa sayangnya Bapak menyentuh sampai ke hati.
          “Bapak minta maaf, beberapa hari setelah membicarakan tentang Ari itu Bunga terlihat lebih diam dan banyak sendiri”, ucap Bapak dengan tatapan teduhnya.
          Ku sentuh tangannya yang makin menua, mata ku berkaca tiba-tiba.
          “Bunga belum dapat jawaban Allah harus bagaimana?”, ucap ku tertahan.
          “Perasaan Bunga sendiri terhadap Ari bagaimana?”.
          “Bunga sendiri juga tidak mengerti. Bunga belum siap untuk memiliki lelaki seperti Ari. Bunga sedikit tahu tentang Ari sebelum bertemu di desa, Ari pernah bercerita tentang seorang perempuan di hatinya”, hati ku perih untuk melanjutkan cerita, setetes air mata mengalir tak tertahan.
          “Bapak ingat, pertama kali kita membicarakan pernikahan Bunga berat menerima karena ingin Ratu menikah dulu. Tidak mudah mencari lelaki yang mau menerima keadaan Ratu. Kalau Bapak benar, Bunga juga merasa sesuatu dengan Ari tapi belum bisa menerima masa lalunya?”, ucap Bapak, mengeratkan pegangan tangan ku.
          Kerudung ku terkena hembusan angin pelan, aku memegang jantung ku yang berdegup pelan namun nyeri. Aku menutup wajah di lutut ku. Bapak melingkarkan lengannya di bahu ku. Aku pun terisak...
          Menahan perasaan ini sendirian membuat ku menangis seperti anak kecil. Bapak hanya diam, tak berkata apapun. Tidak juga memaksa aku berhenti, sampai aku lega menumpahkan air mata. Kami berdua hanya diam diselimuti senja yang makin menjingga.
          “Bunbun, kenapa?”, tanya Aishi tiba-tiba memeluk lengan ku.
          Aishi tak pernah melihat ku menangis, aku segera mengusap sisa air mata dan tersenyum memeluknya.
          “Maaf kan aku, Bunga. Mungkin aku tak pantas meminta mu karena kesalahan ku dulu. Aku hanya merasa kehadiran mu bisa melengkapi ku. Seperti bunga yang hadir mewarnai matahari disini”, ucap Ari yang entah sejak kapan berada di belakang ku.
          “Aku bermain dengan Aishi, tiba-tiba Aishi mengajak kesini. Tak sengaja aku melihat dan mendengar obrolan Bapak dan Bunga. Mungkin aku terlalu percaya diri, lupa dengan keadaan ku yang tidak sebanding dengan Bunga”, lanjut Ari pelan.
          Bapak berdiri menghampiri Ari lalu menyalaminya. Mengajak kami bicara di ruang depan. Sebentar lagi azan magrib, kami bersiap solat berjamaah. Aku menenangkan hati, ku basuh wajah dengan air wudu sambil terus beristigfar. Setelah solat, kami membaca Al Qur’an lebih cepat dari biasanya. Bapak mengajak kami makan bersama, Aishi mencairkan suasana di meja makan. Hati ku lebih ringan melihat tingkah lucu Aishi yang sekarang sudah tidak mau diperlakukan seperti anak kecil. Maunya serba sendiri...
          Selesai solat isya, Bapak, Ari, Ratu dan Aku berbicara di ruang depan. Aishi seharian belum tidur, dia ditemani Neni tidur lebih awal.
          Bapak sangat membantu ku malam ini, bangga dan bahagia memiliki Bapak yag dapat membantu anaknya. Bapak sepenuhnya memberikan ku pilihan, karena Bapak tahu aku tak mungkin dipaksa. Bapak ingin aku menjalani pilihan ku dan bisa bertanggungjawab atas pilihan-pilihan ku. Didikan Bapak membuat aku lebih mandiri dari teman sebaya ku.
          “Ari dan Bunga sudah sama-sama bisa memilih dalam bersikap. Sepertinya memang ada yang harus kita bicarakan bersama”, kata teduh Bapak yang biasanya pendiam ini membuat aku dan Ratu terdiam.
          “Sebelumnya saya minta maaf pada Bapak, kak Ratu dan Bunga. Saya membuat keadaan kurang nyaman ini. Ijinkan saya bercerita lengkap tentang pertemuan dengan Bunga”, pinta Ari pada Bapak.
          Bapak mengangguk dan tersenyum mengijinkan.
          “Terima kasih. Saat itu kelahiran Aishi, saya bertemu Bunga di bidan. Saya menemani Bulan yang akan melahirkan anak kami. Kami memiliki anak di luar pernikahan, saya merasa dihukum Allah. Saat itu saya masih SMA. Saya diasingkan keluarga ke desa sebagai bentuk tanggung jawab, Bulan berjuang sendiri menjaga kehamilannya. Karena fisiknya yang masih belum sepenuhnya matang dan belum siap menjadi ibu, terjadi pendarahan yang menyebabkan kematian ibu dan anak. Saya yang paling terpukul, Allah mempertemukan saya dengan Bunga. Entah mengapa saya menumpahkan sesak hati padanya yang tidak saya kenal saat itu. Mungkin saya pikir dia tidak akan menyebarkan masalah saya ini karena tidak akan ada gunanya”, ucap Ari terhenti dengan menghela napas panjang.
          Ari menangkupkan tangan di depan wajahnya, mencoba menenangkan diri untuk melanjutkan cerita. Ratu mengenggam tangan ku. Bapak menatap keseriusan Ari.
          “Selama di desa saya memohon petunjuk untuk jadi orang yang lebih baik, saya menyelesaikan sekolah hanya tingkat SMA di desa. Lalu menumpang dengan kepala desa dengan membantu pekerjaan di ladang semampunya. Hingga saya ditemukan novel Bunga yang menceritakan kisah saya. Dari sini saya mengenal nama Bunga Melati, saya diajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap kehidupan orang lain sebagai pelajaran. Saya merasa bersyukur masalah saya menjadi pelajaran untuk orang lain. Saya belajar untuk terus memperbaiki diri untuk menebus kesalahan saya. Saya berdoa untuk dapat kesempatan bertemu Bunga dengan cara yang indah”, Ari terdiam kembali dengan sedikit senyuman.
          “Bunga datang dan lubang di hati saya seperti terlengkapi. Bertahun tidak bertemu, Bunga menjadi sangat dewasa. Kecintaan terhadap anak-anak membuat saya semakin mengaguminya. Tapi saya sadar siapa saya bila dibandingkan dengan Bunga yang punya prestasi luar biasa. Saya minta maaf telah memiliki rasa yang belum tepat”, ucap Ari tertunduk dengan hela napas yang berat.
          “Bapak kira ini bukan tentang pantas atau tidak, hanya proses penyesuaian. Bunga juga mengalami penyesuaian. Sehingga kita mantapkan hati dulu, jangan sampai keputusan kita hanya karena perasaan. Semoga Allah memberi kita petunjuk terbaik. Bapak berterima kasih Ari sudah menjaga Bunga untuk tidak menunjukkan perasaan yang berlebihan. Sehingga Ari memperlakukan Bunga sewajarnya”, kata Bapak.
          “Saya juga meminta maaf tentang semua hal yang telah saya lakukan selama ini kepada Bunga. Saya terlalu tidak percaya diri untuk menyampaikan perhatian langsung sehingga dengan mengirim hadiah-hadiah penyemangat itu menjadi cara menyampaikan. Saya takut Bunga tidak mau bersahabat lagi bila tahu saya mengaguminya. Tapi karena kertas yang kemarin tertinggal disini, tandanya saya harus berani mengakui bahwa “aku ingin menjadi bintang mu”. Walau mungkin Bunga sedikit terganggu dengan itu”, ucap Ari tulus.
          “Aku minta maaf...”, lanjut Ari lagi.
          “Butuh waktu untuk menjawab, Bapak minta Ari lebih sabar untuk menunggu lagi”.
          Ari mengangguk, sekilas dia menatap ku seperti ingin jawaban ku. Lalu Ari berpamitan, Bapak merangkulnya dan menyalami seperti anaknya sendiri.
          Setelah pertemuan malam itu, Ari terlihat jarang ke kampus. Beberapa pekan mendapat tugas untuk membuka cabang usaha keluarganya di luar kota. Kesibukannya membuat ku merasa ada yang hilang. Tapi sekali lagi aku tak bisa menceritakannya, walau Bapak dan Ratu membaca ada sesuatu yang terjadi. Aku lebih tampak menyibukkan diri.
          Sudah lama aku tak mengajak Aishi berjalan-jalan keluar. Aku kali ini mengajaknya menengok bayi mba Lusi yang masih lucu-lucunya.
          “Ai, kemarin kecil kayak adek ini?”, tanya Aishi yang membuat ku tersenyum.
          Ku usap rambut Aishi yang dikepang, aku menatapnya dengan rasa sayang yang melimpah. Aku sangat menyayangi peri kecil yang memberi warna dalam hidup ku. Telepon genggam mba Lusi berdering, mba Lusi yang sedang di kamar mandi meminta ku menjawab teleponnya. Bu Zaki, seingat ku ini nama ibunda Ari.
          “Assalamu’alaikum...”, sapa ku.
          “Wa’alaikumussalam, Lusi. Ibu mendadak pingsan di rumah dan sekarang di ICU. Tolong datang untuk menemani Ibu, dari tadi belum sadar. Bapak perlu bantuan, terima kasih”, jawab seorang lelaki, yang mungkin itu Pak Zaki.
          “Saya teman mba Lusi, dia sedang di kamar mandi. Nanti saya sampaikan mba Lusi”.
          “Oh, ya. Terima kasih banyak. Assalamu’alaikum”, lalu telepon terputus.
          “Siapa yang telepon?”, tanya mba Lusi saat datang.
          “Pak Zaki, beliau meminta mba menemani Ibu yang sedang di ICU”, jawab ku pelan.
          “Innalillahi, suami ku belum pulang. Kalau Bunga tidak sibuk, tolong temani aku ya”, pinta mba Lusi.
          Aku mengangguk dan kami pun bergegas ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, aku tak masuk ruangan Bu Zaki. Hanya mba Lusi, aku di luar menjaga putri mba Lusi dan Aishi. Dari kaca jendela ruangan aku melihat beberapa selang membelalai di sekitar Bu Zaki. Tak lama, Pak Zaki menyadari kehadiran ku. Lalu Pak Zaki mengajak masuk melihat Bu Zaki yang mulai sadar walau masih belum bisa diajak bicara.
          Aishi dan putri mba Lusi ku tidurkan di ruangan khusus anak. Di dalam ruangan yang dingin aku tak bisa banyak bicara. Aku masih teringat saat kehilangan Khonsa. Mba Lusi memperkenalkan ku pada Bu Zaki yang hanya tersenyum kecil. Bu Zaki mengulurkan tangannya pada ku, seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku mendekatkan wajah pada Bu Zaki. Ini pertama kalinya aku berbicara langsung dengan Bu Zaki, walau sedang tidak sehat tetapi beliau tampak sangat berkharisma. Aku merasa seperti anaknya.
          “Bunga lebih cantik”, ucap Bu Zaki pelan.
          Aku tersenyum dan mengusap punggung tangannya yang mulai menua walau masih halus. Setelah Bu Zaki tertidur, aku dan mba Lusi hendak berpamitan. Aishi dan putri mba Lusi sudah mulai rewel karena lapar dan letih. Pak Zaki sendirian menunggu istrinya.
          Di perjalanan mba Lusi mengajak makan dan bercerita tentang keluarga Bu Zaki yang banyak tak diketahui orang. Mba Lusi sebagai pegawai terlama dan kepercayaan Bu Zaki amat kenal betul. Dan kali ini mba Lusi menceritakannya pada ku...
          “Bu Zaki sakit kanker rahim, karena itu tidak bisa mengandung. Dengan putri ku dia begitu memanjakan. Hampir semua peralatan dan kebutuhan ku melahirkan diberikan beliau. Dan mas Ari adalah anak yang diasuhnya sejak kecil”, saat mendengar kata-kata ini aku menghentikan suapan ke Aishi. Aku cukup kaget.
          “Ya, mas Ari bukan anak kandung. Mas Ari diangkat dari sebuah panti asuhan anak yang menampung anak-anak dari kehamilan yang tidak diinginkan. Saat SMA melakukan kesalahan yang tidak ada yang tahu. Mas Ari harus tinggal di tempat berbeda selama beberapa tahun untuk menebus kesalahannya itu. Sejak mengurus mas Ari, kanker rahimnya tidak dirasakannya. Mungkin kebahagiaan dan keberkahan mengurus anak yatim. Dan semalam kambuh lagi tanpa ampun, Bu Zaki terlalu memikirkan keadaan mas Ari selama berpisah tempat. Mas Ari begitu bertanggung jawab dengan kesalahannya hingga tak juga pulang. Baru mau pulang setelah Bu Zaki mengatakan keadaan penyakitnya. Beberapa pekan lalu, mas Ari mengatakan niatnya untuk menikah. Namun, mas Ari bilang belum percaya diri meminta perempuan itu karena perempuan itu tahu masa lalunya. Walau begitu, mas Ari sangat mengharap Allah memberi jalan untuknya yang ingin dapat menjadi solih bersama perempuan itu”, mba Lusi menghentikan ceritanya untuk mengayunkan gendongannya.
          Dalam diam ku, ini alasan mengapa Ari waktu di desa pulang ke kota mendadak. Dan alasan mengapa dia tinggal di desa itu sebagai bentuk hukuman pengasingan setelah zina. Selama di desa proses pendewasaan dan perubahan Ari begitu luar biasa. Mungkin karena terlalu merasa bersalah atas kematian Bulan dan anaknya. Ditambah merasa membuat kedua orang tua angkatnya yang begitu baik harus menanggung juga kesalahannya. Pikiran ku berputar-putar menyambung tiap potongan kehidupan Ari yang begitu seperti roller coaster.
          “Aku diminta menyampaikan tadi, bisakah Bunga menolong Bu Zaki?”, tanya mba Lusi.
          “Bantu apa, mba?”, kata ku serius.
          “Perempuan yang diceritakan itu, adalah Bunga”, ucap mba Lusi sambil memegang tangan ku.
          “Iya aku tahu, tapi aku belum yakin”, jawab ku.
          “Apa karena kesalahannya itu Bunga tidak bisa memaafkan? Aku ingat salah satu tulisan mu, Allah saja Maha Pengampun. Kita yang juga banyak dosa terlalu angkuh untuk memaafkan orang lain yang melakukan kesalahan pada kita”.
          “Bukan mba, hati ku belum yakin untuk dapat memenuhi harapannya menjadikannya solih. Aku pun masih belajar, jika aku yang mengajarkan suami bagaimana jadinya?”.
          “Pernikahan adalah saling melengkapi. Bunga melengkapi Matahari”, ucap mba Lusi tegas.
          Kami pulang setelah obrolan itu. Di rumah aku hanya mengantar Aishi yang telah tertidur ke kamarnya lalu aku beranjak untuk tidur. Mata ku yang mulai berat tak juga dapat tertidur, aku masih memikirkan obrolan tadi dengan mba Lusi dan meraba perasaan ku sendiri. Aku tidak mengerti posisi ku sekarang dimana?
          Hingga tengah malam, aku hanya membolak-balikkan badan. Aku berjalan keluar kamar mengambil segelas air minum dan berwudu. Saat melewati kamar Ratu, kembali ku dengar isak tangisnya. Mengingatkan saat Aishi masih dalam kandungan. Ratu selalu menyimpan perasaan hatinya hanya untuk Penciptanya. Aku terduduk di sisi sebelah pintu, terharu mendengar doa-doa yang dimintanya...
          “Terima kasih, untuk menghadirkan Aishi dalam kehidupan kami. Wahai Maha Baik, mudahkan hati Bunga menerima Ari. Ari laki-laki yang baik dan terlihat sangat menyayangi Aishi. Hamba belum bisa memberinya seorang ayah yang baik. Sedangkan Aishi semakin besar akan sangat membutuhkan peran ayah. Daftar sekolah juga membutuhkan surat-surat yang menjadi bukti status Aishi...”, kemudian hanya istigfar dan sesekali isak tangis yang terdengar.
          Air mata ku menitik terus, aku masuk ke kamar dan solat tahajud. Ku sertakan solat hajat sebelum witir, sepanjang solat air mata ku tak henti mengalir. Aku tidak tahu harus meminta apa? Selain dikuatkan melewati ini. Aku teringat niat ku menikah tidak hanya sekedar penggugur kewajiban. Tapi lebih karena kebermanfaatan untuk menebar kebaikan bagi semesta. Tidak ku sangka jadi serumit ini. Aku mengingat beberapa kakak kelas yang menikah karena terlanjur mengandung atau hanya sekedar status. Mereka begitu mudah mnegambil keputusan menikah. Apa mereka pernah memikirkan dan meniatkan pernikahan ini akan membawa mereka kemana nantinya?


          Berjalannya waktu membuat tanggung jawab bertambah. Bukan hanya karena cinta kita menikah, tapi karena ibadah melengkapi kehidupan. Menentukan orang yang tepat untuk kita ajak berlari bersama mencintai Maha Cinta kita. Orang yang akan menjadi teladan anak-anak kita nantinya. Dan mengucap ikrar pernikahan yang begitu sakral. Sebuah ikrar yang kita lingkar untuk menua bersama.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar