Bunga yang melengkapi Matahari
Sepekan ini kegiatan ku sudah berjalan seperti biasa,
kuliah dan menulis. Tidak terasa sudah akhir semester, tahun ke dua ku. Pagi
ini, aku libur. Aku ingin berkebun lagi di halaman belakang rumah dengan Bapak
dan Aishi. Aishi sudah akan sekolah di taman kanak-kanak. Aishi semakin pintar
bicara dan bacaan Al Qur’an sudah mulai lancar.
Setelah lelah berkebun, kita
membicarakan dimana dan seperti apa esok saat Aishi masuk ke sekolah. Bapak pun
juga membicarakan pernikahan ku...
“Bunga, Bapak bisa bicara tentang
dirimu?”
“Bunga kenapa, Pak?”, jawab ku lalu
menyelesaikan makan ku
“Beberapa waktu kemarin, Ari pernah
menyampaikan ketertarikannya pada Bunga. Hanya karena Bunga kurang sehat, hal
ini jadi tertunda. Sekarang Ari jarang ke rumah karena diminta untuk
mengembangkan usaha keluarganya di luar kota. Semalam Ari menghubungi Bapak
lagi menanyakan bagaimana keadaan Bunga? Bunga sendiri bagaimana perasaannya
pada Ari?”.
“Bunga merasa memang ada sesuatu
dengan Ari sejak bertemu kembali di desa. Hanya karena Bunga tidak mau
melanjutkan perasaan yang tidak jelas jadi Bunga pun biasa-biasa saja”.
“Ratu dan Neni, Bapak minta untuk
istikhoroh. Mohon petunjuk jika memang dia baik untuk perjalanan Bunga, agar
dimudahkan”.
Aku hanya diam, tak tahu harus
menjawab apa?
“Bapak ingin dapat mengantarkan putri
Bapak menyempurnakan Addinnya”.
Perkataan Bapak kali ini amat
menghujam hati ku. Aku masih merasa belum yakin dengan perasaan ku sendiri.
Dua hari setelah obrolan pernikahan
dengan Bapak, aku lebih banyak diam. Aku terus berpikir dengan keadaan ku dan
keadaan rumah. Istikhoroh ku juga belum ada jawaban. Aku masih belum yakin dan
mendapat tanda dia benar untuk ku.
Aku ke perpustakaan kampus, mungkin
ini sebuah pelarian untuk sedikit melupakan penat. Aku membuat kesibukan yang
lebih dari biasanya. Perjalanan ku di sepeda mini ku pun tak ku biarkan memikirkan
itu. Ku berusaha mengalihkan dengan rencana-rencana yang bisa ku lakukan.
Tapi bagaimana pun, aku harus bisa
menghadapi ini. Sejauh apapun aku berlari, kenyataan akan pernikahan itu
seperti bayangan yang selalu mengikuti. Senja hari ini, aku butuh suasana baru.
Aku duduk di halaman belakang rumah, membaca buku catatan perjalanan seorang
back packer yang berkeliling dunia. Aku ingin bisa menjelajahi bumi lain untuk
selalu dapat bersyukur dengan apa yang ku miliki. Ke tempat-tempat marginal dan
jauh dari nuansa pariwisata yang sering ku dengar menjadi tempat yang tidak
baik.
Beberapa hari ini, bunga mawar yang
Bapak tanam sedang merekah. Mawar putih yang sederhana dan sangat cantik. Ku
tak tega memetiknya, karena itu artinya menyegerakan dia layu dan mati. Biarkan
bunga itu menjadi pengindah mata dan penyenang hati.
“Bapak duduk di sebelah Bunga ya?”,
sapa Bapak yang mengusap kepala ku.
Aku lalu tersenyum menyingkirkan daun
kering yang ada di tempat yang akan Bapak duduki. Aku selalu senang saat Bapak
mengusap kepala ku dengan lembut. Rasa sayangnya Bapak menyentuh sampai ke
hati.
“Bapak minta maaf, beberapa hari
setelah membicarakan tentang Ari itu Bunga terlihat lebih diam dan banyak
sendiri”, ucap Bapak dengan tatapan teduhnya.
Ku sentuh tangannya yang makin menua,
mata ku berkaca tiba-tiba.
“Bunga belum dapat jawaban Allah harus
bagaimana?”, ucap ku tertahan.
“Perasaan Bunga sendiri terhadap Ari
bagaimana?”.
“Bunga sendiri juga tidak mengerti.
Bunga belum siap untuk memiliki lelaki seperti Ari. Bunga sedikit tahu tentang
Ari sebelum bertemu di desa, Ari pernah bercerita tentang seorang perempuan di
hatinya”, hati ku perih untuk melanjutkan cerita, setetes air mata mengalir tak
tertahan.
“Bapak ingat, pertama kali kita
membicarakan pernikahan Bunga berat menerima karena ingin Ratu menikah dulu.
Tidak mudah mencari lelaki yang mau menerima keadaan Ratu. Kalau Bapak benar,
Bunga juga merasa sesuatu dengan Ari tapi belum bisa menerima masa lalunya?”,
ucap Bapak, mengeratkan pegangan tangan ku.
Kerudung ku terkena hembusan angin
pelan, aku memegang jantung ku yang berdegup pelan namun nyeri. Aku menutup
wajah di lutut ku. Bapak melingkarkan lengannya di bahu ku. Aku pun terisak...
Menahan perasaan ini sendirian membuat
ku menangis seperti anak kecil. Bapak hanya diam, tak berkata apapun. Tidak
juga memaksa aku berhenti, sampai aku lega menumpahkan air mata. Kami berdua
hanya diam diselimuti senja yang makin menjingga.
“Bunbun, kenapa?”, tanya Aishi
tiba-tiba memeluk lengan ku.
Aishi tak pernah melihat ku menangis,
aku segera mengusap sisa air mata dan tersenyum memeluknya.
“Maaf kan aku, Bunga. Mungkin aku tak
pantas meminta mu karena kesalahan ku dulu. Aku hanya merasa kehadiran mu bisa
melengkapi ku. Seperti bunga yang hadir mewarnai matahari disini”, ucap Ari
yang entah sejak kapan berada di belakang ku.
“Aku bermain dengan Aishi, tiba-tiba
Aishi mengajak kesini. Tak sengaja aku melihat dan mendengar obrolan Bapak dan
Bunga. Mungkin aku terlalu percaya diri, lupa dengan keadaan ku yang tidak
sebanding dengan Bunga”, lanjut Ari pelan.
Bapak berdiri menghampiri Ari lalu
menyalaminya. Mengajak kami bicara di ruang depan. Sebentar lagi azan magrib,
kami bersiap solat berjamaah. Aku menenangkan hati, ku basuh wajah dengan air
wudu sambil terus beristigfar. Setelah solat, kami membaca Al Qur’an lebih
cepat dari biasanya. Bapak mengajak kami makan bersama, Aishi mencairkan
suasana di meja makan. Hati ku lebih ringan melihat tingkah lucu Aishi yang
sekarang sudah tidak mau diperlakukan seperti anak kecil. Maunya serba
sendiri...
Selesai solat isya, Bapak, Ari, Ratu
dan Aku berbicara di ruang depan. Aishi seharian belum tidur, dia ditemani Neni
tidur lebih awal.
Bapak sangat membantu ku malam ini,
bangga dan bahagia memiliki Bapak yag dapat membantu anaknya. Bapak sepenuhnya
memberikan ku pilihan, karena Bapak tahu aku tak mungkin dipaksa. Bapak ingin
aku menjalani pilihan ku dan bisa bertanggungjawab atas pilihan-pilihan ku.
Didikan Bapak membuat aku lebih mandiri dari teman sebaya ku.
“Ari dan Bunga sudah sama-sama bisa
memilih dalam bersikap. Sepertinya memang ada yang harus kita bicarakan
bersama”, kata teduh Bapak yang biasanya pendiam ini membuat aku dan Ratu
terdiam.
“Sebelumnya saya minta maaf pada
Bapak, kak Ratu dan Bunga. Saya membuat keadaan kurang nyaman ini. Ijinkan saya
bercerita lengkap tentang pertemuan dengan Bunga”, pinta Ari pada Bapak.
Bapak mengangguk dan tersenyum
mengijinkan.
“Terima kasih. Saat itu kelahiran
Aishi, saya bertemu Bunga di bidan. Saya menemani Bulan yang akan melahirkan
anak kami. Kami memiliki anak di luar pernikahan, saya merasa dihukum Allah.
Saat itu saya masih SMA. Saya diasingkan keluarga ke desa sebagai bentuk
tanggung jawab, Bulan berjuang sendiri menjaga kehamilannya. Karena fisiknya
yang masih belum sepenuhnya matang dan belum siap menjadi ibu, terjadi
pendarahan yang menyebabkan kematian ibu dan anak. Saya yang paling terpukul,
Allah mempertemukan saya dengan Bunga. Entah mengapa saya menumpahkan sesak
hati padanya yang tidak saya kenal saat itu. Mungkin saya pikir dia tidak akan
menyebarkan masalah saya ini karena tidak akan ada gunanya”, ucap Ari terhenti
dengan menghela napas panjang.
Ari menangkupkan tangan di depan
wajahnya, mencoba menenangkan diri untuk melanjutkan cerita. Ratu mengenggam
tangan ku. Bapak menatap keseriusan Ari.
“Selama di desa saya memohon petunjuk
untuk jadi orang yang lebih baik, saya menyelesaikan sekolah hanya tingkat SMA
di desa. Lalu menumpang dengan kepala desa dengan membantu pekerjaan di ladang
semampunya. Hingga saya ditemukan novel Bunga yang menceritakan kisah saya.
Dari sini saya mengenal nama Bunga Melati, saya diajarkan untuk mengambil
hikmah dari setiap kehidupan orang lain sebagai pelajaran. Saya merasa
bersyukur masalah saya menjadi pelajaran untuk orang lain. Saya belajar untuk
terus memperbaiki diri untuk menebus kesalahan saya. Saya berdoa untuk dapat
kesempatan bertemu Bunga dengan cara yang indah”, Ari terdiam kembali dengan
sedikit senyuman.
“Bunga datang dan lubang di hati saya
seperti terlengkapi. Bertahun tidak bertemu, Bunga menjadi sangat dewasa.
Kecintaan terhadap anak-anak membuat saya semakin mengaguminya. Tapi saya sadar
siapa saya bila dibandingkan dengan Bunga yang punya prestasi luar biasa. Saya
minta maaf telah memiliki rasa yang belum tepat”, ucap Ari tertunduk dengan
hela napas yang berat.
“Bapak kira ini bukan tentang pantas
atau tidak, hanya proses penyesuaian. Bunga juga mengalami penyesuaian.
Sehingga kita mantapkan hati dulu, jangan sampai keputusan kita hanya karena
perasaan. Semoga Allah memberi kita petunjuk terbaik. Bapak berterima kasih Ari
sudah menjaga Bunga untuk tidak menunjukkan perasaan yang berlebihan. Sehingga
Ari memperlakukan Bunga sewajarnya”, kata Bapak.
“Saya juga meminta maaf tentang semua
hal yang telah saya lakukan selama ini kepada Bunga. Saya terlalu tidak percaya
diri untuk menyampaikan perhatian langsung sehingga dengan mengirim
hadiah-hadiah penyemangat itu menjadi cara menyampaikan. Saya takut Bunga tidak
mau bersahabat lagi bila tahu saya mengaguminya. Tapi karena kertas yang
kemarin tertinggal disini, tandanya saya harus berani mengakui bahwa “aku ingin
menjadi bintang mu”. Walau mungkin Bunga sedikit terganggu dengan itu”, ucap
Ari tulus.
“Aku minta maaf...”, lanjut Ari lagi.
“Butuh waktu untuk menjawab, Bapak
minta Ari lebih sabar untuk menunggu lagi”.
Ari mengangguk, sekilas dia menatap ku
seperti ingin jawaban ku. Lalu Ari berpamitan, Bapak merangkulnya dan menyalami
seperti anaknya sendiri.
Setelah pertemuan malam itu, Ari
terlihat jarang ke kampus. Beberapa pekan mendapat tugas untuk membuka cabang
usaha keluarganya di luar kota. Kesibukannya membuat ku merasa ada yang hilang.
Tapi sekali lagi aku tak bisa menceritakannya, walau Bapak dan Ratu membaca ada
sesuatu yang terjadi. Aku lebih tampak menyibukkan diri.
Sudah lama aku tak mengajak Aishi
berjalan-jalan keluar. Aku kali ini mengajaknya menengok bayi mba Lusi yang
masih lucu-lucunya.
“Ai, kemarin kecil kayak adek ini?”,
tanya Aishi yang membuat ku tersenyum.
Ku usap rambut Aishi yang dikepang, aku
menatapnya dengan rasa sayang yang melimpah. Aku sangat menyayangi peri kecil
yang memberi warna dalam hidup ku. Telepon genggam mba Lusi berdering, mba Lusi
yang sedang di kamar mandi meminta ku menjawab teleponnya. Bu Zaki, seingat ku
ini nama ibunda Ari.
“Assalamu’alaikum...”, sapa ku.
“Wa’alaikumussalam, Lusi. Ibu mendadak
pingsan di rumah dan sekarang di ICU. Tolong datang untuk menemani Ibu, dari
tadi belum sadar. Bapak perlu bantuan, terima kasih”, jawab seorang lelaki,
yang mungkin itu Pak Zaki.
“Saya teman mba Lusi, dia sedang di
kamar mandi. Nanti saya sampaikan mba Lusi”.
“Oh, ya. Terima kasih banyak.
Assalamu’alaikum”, lalu telepon terputus.
“Siapa yang telepon?”, tanya mba Lusi
saat datang.
“Pak Zaki, beliau meminta mba menemani
Ibu yang sedang di ICU”, jawab ku pelan.
“Innalillahi, suami ku belum pulang.
Kalau Bunga tidak sibuk, tolong temani aku ya”, pinta mba Lusi.
Aku mengangguk dan kami pun bergegas
ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, aku tak masuk ruangan Bu Zaki.
Hanya mba Lusi, aku di luar menjaga putri mba Lusi dan Aishi. Dari kaca jendela
ruangan aku melihat beberapa selang membelalai di sekitar Bu Zaki. Tak lama,
Pak Zaki menyadari kehadiran ku. Lalu Pak Zaki mengajak masuk melihat Bu Zaki
yang mulai sadar walau masih belum bisa diajak bicara.
Aishi dan putri mba Lusi ku tidurkan
di ruangan khusus anak. Di dalam ruangan yang dingin aku tak bisa banyak
bicara. Aku masih teringat saat kehilangan Khonsa. Mba Lusi memperkenalkan ku
pada Bu Zaki yang hanya tersenyum kecil. Bu Zaki mengulurkan tangannya pada ku,
seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku mendekatkan wajah pada Bu Zaki. Ini
pertama kalinya aku berbicara langsung dengan Bu Zaki, walau sedang tidak sehat
tetapi beliau tampak sangat berkharisma. Aku merasa seperti anaknya.
“Bunga lebih cantik”, ucap Bu Zaki
pelan.
Aku tersenyum dan mengusap punggung
tangannya yang mulai menua walau masih halus. Setelah Bu Zaki tertidur, aku dan
mba Lusi hendak berpamitan. Aishi dan putri mba Lusi sudah mulai rewel karena
lapar dan letih. Pak Zaki sendirian menunggu istrinya.
Di perjalanan mba Lusi mengajak makan
dan bercerita tentang keluarga Bu Zaki yang banyak tak diketahui orang. Mba
Lusi sebagai pegawai terlama dan kepercayaan Bu Zaki amat kenal betul. Dan kali
ini mba Lusi menceritakannya pada ku...
“Bu Zaki sakit kanker rahim, karena
itu tidak bisa mengandung. Dengan putri ku dia begitu memanjakan. Hampir semua
peralatan dan kebutuhan ku melahirkan diberikan beliau. Dan mas Ari adalah anak
yang diasuhnya sejak kecil”, saat mendengar kata-kata ini aku menghentikan
suapan ke Aishi. Aku cukup kaget.
“Ya, mas Ari bukan anak kandung. Mas
Ari diangkat dari sebuah panti asuhan anak yang menampung anak-anak dari
kehamilan yang tidak diinginkan. Saat SMA melakukan kesalahan yang tidak ada
yang tahu. Mas Ari harus tinggal di tempat berbeda selama beberapa tahun untuk
menebus kesalahannya itu. Sejak mengurus mas Ari, kanker rahimnya tidak
dirasakannya. Mungkin kebahagiaan dan keberkahan mengurus anak yatim. Dan
semalam kambuh lagi tanpa ampun, Bu Zaki terlalu memikirkan keadaan mas Ari
selama berpisah tempat. Mas Ari begitu bertanggung jawab dengan kesalahannya hingga
tak juga pulang. Baru mau pulang setelah Bu Zaki mengatakan keadaan
penyakitnya. Beberapa pekan lalu, mas Ari mengatakan niatnya untuk menikah.
Namun, mas Ari bilang belum percaya diri meminta perempuan itu karena perempuan
itu tahu masa lalunya. Walau begitu, mas Ari sangat mengharap Allah memberi
jalan untuknya yang ingin dapat menjadi solih bersama perempuan itu”, mba Lusi
menghentikan ceritanya untuk mengayunkan gendongannya.
Dalam diam ku, ini alasan mengapa Ari
waktu di desa pulang ke kota mendadak. Dan alasan mengapa dia tinggal di desa
itu sebagai bentuk hukuman pengasingan setelah zina. Selama di desa proses
pendewasaan dan perubahan Ari begitu luar biasa. Mungkin karena terlalu merasa
bersalah atas kematian Bulan dan anaknya. Ditambah merasa membuat kedua orang
tua angkatnya yang begitu baik harus menanggung juga kesalahannya. Pikiran ku
berputar-putar menyambung tiap potongan kehidupan Ari yang begitu seperti
roller coaster.
“Aku diminta menyampaikan tadi,
bisakah Bunga menolong Bu Zaki?”, tanya mba Lusi.
“Bantu apa, mba?”, kata ku serius.
“Perempuan yang diceritakan itu,
adalah Bunga”, ucap mba Lusi sambil memegang tangan ku.
“Iya aku tahu, tapi aku belum yakin”,
jawab ku.
“Apa karena kesalahannya itu Bunga
tidak bisa memaafkan? Aku ingat salah satu tulisan mu, Allah saja Maha
Pengampun. Kita yang juga banyak dosa terlalu angkuh untuk memaafkan orang lain
yang melakukan kesalahan pada kita”.
“Bukan mba, hati ku belum yakin untuk
dapat memenuhi harapannya menjadikannya solih. Aku pun masih belajar, jika aku
yang mengajarkan suami bagaimana jadinya?”.
“Pernikahan adalah saling melengkapi.
Bunga melengkapi Matahari”, ucap mba Lusi tegas.
Kami pulang setelah obrolan itu. Di
rumah aku hanya mengantar Aishi yang telah tertidur ke kamarnya lalu aku
beranjak untuk tidur. Mata ku yang mulai berat tak juga dapat tertidur, aku
masih memikirkan obrolan tadi dengan mba Lusi dan meraba perasaan ku sendiri.
Aku tidak mengerti posisi ku sekarang dimana?
Hingga tengah malam, aku hanya
membolak-balikkan badan. Aku berjalan keluar kamar mengambil segelas air minum
dan berwudu. Saat melewati kamar Ratu, kembali ku dengar isak tangisnya.
Mengingatkan saat Aishi masih dalam kandungan. Ratu selalu menyimpan perasaan hatinya
hanya untuk Penciptanya. Aku terduduk di sisi sebelah pintu, terharu mendengar
doa-doa yang dimintanya...
“Terima kasih, untuk menghadirkan
Aishi dalam kehidupan kami. Wahai Maha Baik, mudahkan hati Bunga menerima Ari.
Ari laki-laki yang baik dan terlihat sangat menyayangi Aishi. Hamba belum bisa
memberinya seorang ayah yang baik. Sedangkan Aishi semakin besar akan sangat
membutuhkan peran ayah. Daftar sekolah juga membutuhkan surat-surat yang
menjadi bukti status Aishi...”, kemudian hanya istigfar dan sesekali isak
tangis yang terdengar.
Air mata ku menitik terus, aku masuk
ke kamar dan solat tahajud. Ku sertakan solat hajat sebelum witir, sepanjang
solat air mata ku tak henti mengalir. Aku tidak tahu harus meminta apa? Selain
dikuatkan melewati ini. Aku teringat niat ku menikah tidak hanya sekedar
penggugur kewajiban. Tapi lebih karena kebermanfaatan untuk menebar kebaikan
bagi semesta. Tidak ku sangka jadi serumit ini. Aku mengingat beberapa kakak
kelas yang menikah karena terlanjur mengandung atau hanya sekedar status. Mereka
begitu mudah mnegambil keputusan menikah. Apa mereka pernah memikirkan dan
meniatkan pernikahan ini akan membawa mereka kemana nantinya?
Berjalannya
waktu membuat tanggung jawab bertambah. Bukan hanya karena cinta kita menikah,
tapi karena ibadah melengkapi kehidupan. Menentukan orang yang tepat untuk kita
ajak berlari bersama mencintai Maha Cinta kita. Orang yang akan menjadi teladan
anak-anak kita nantinya. Dan mengucap ikrar pernikahan yang begitu sakral.
Sebuah ikrar yang kita lingkar untuk menua bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar