Warna-warni Cinta
Pernikahan kami berjalan indah,
alhamdulillah semua dipermudah. Aishi sekolah seperti anak lainnya, kuliah ku
dan pekerjaan Ari membuat kami saling melengkapi bila ada kekurangan.
Kuliah, ku tutup dengan menjadi mahasiswa terbaik. Kemudian aku melanjutkan
studi strata 2 untuk dapat mengambil kesempatan menjadi peneliti. Ari sebagai
suami sangat mendukung, Aishi
pun bergerak cepat menginjak Sekolah Dasar. Neni telah menikah dengan pemuda
masjid yang menjadi keluarga baru kami. Ilyas namanya, menjadi asisten untuk
beberapa pekerjaan Ari.
Aku
tidak menyangka cara Ari mencintai ku begitu sederhana dan sangat manis. Ari setiap pagi
membuka mata selalu mengucapkan, “Assalamu’alaikum, Bunga ku”.
Sebelum
tidur selalu berdoa sambil mengusap kepala ku dan mengucap “Terima kasih telah
menemani ku”.
Tanpa
ku sadari, wajah ku seketika memerah dan itu tak pernah bisa ku hilangkan. Dan
Ari amat senang bila melihat aku terdiam tanpa bisa berkata-kata. Setiap kali
ada tugas di luar kota antara aku atau Ari yang waktunya lebih dari tiga hari,
maka kita pun mengusahakan untuk dapat saling menemani. Aishi sudah cukup bisa
mengurus dirinya sendiri sehingga tidak terlalu membuat khawatir saat jauh.
Pernikahan
ku menginjak tahun ke lima, usia Aishi hampir sepuluh tahun. Dia semakin cantik
dan lebih tergila-gila dengan buku bacaan. Suatu ketika, Aishi menangis tanpa
sebab yang ku tahu sepulang ku dari kampus. Setelah mendengar cerita Bapak dan
Neni, katanya buku yang dimilikinya sudah semua dibaca. Sedang yang di
perpustakaan sekolah sudah tidak lagi dapat dipinjami karena ada renovasi
penataan gedung. Mau meminta dibelikan, Aishi tak enak hati meminta pada ku
atau Ari.
Di
tengah kesibukan kami, Ari selalu menyempatkan kami untuk berkunjung ke rumah
senyum yang dibangun bersama teman-temannya untuk anak-anak yang kehilangan
orang tuanya. Ari sering mengatakan, “cinta itu memberi untuk semua anak di
sekitar kita”. Kecintaan Ari pada anak-anak membuatnya tak pernah sekalipun
mempertanyakan kehamilan pada ku.
Inilah
warna-warni cinta, Ari tahu betul aku tidak lagi bisa menjadi seorang ibu
biologis yang bisa mengandung karena suatu hari setelah beberapa bulan
pernikahan kami, aku positif hamil. Allah berkehendak lain, aku pendarahan
karena terlalu memforsir pekerjaan. Sejak itu diketahui aku sulit hamil lagi.
Ari tak pernah mengubah caranya mencintai ku, setiap pagi dan malam masih
melakukan hal yang sama.
Suatu
malam, aku tiba-tiba menangis saat mengetahui Aishi demam tinggi, aku panik
langsung segera membawanya ke doter praktek dekat rumah yang langsung di rujuk
ke rumah sakit. Ari terlambat ku hubungi, ini menyebabkannya marah. Marah yang
belum pernah dilakukannya.
“Mengapa
Bunga tidak menghubungi ku dulu?”
“Maaf,
aku terlalu panik jadi tidak bisa berpikir apa-apa selain segera membawa Aishi.
Bapak sedang di masjid, Neni berbelanja dan Ilyas pergi bersama mu. Aku tidak
ingin menganggu kegiatan mu juga”.
“Bunga,
aku suami mu. Dan Aishi anak kita satu-satunya. Ijinkan aku berperan untuk
keluarga”, ucap Ari dengan nada tertahan sambil menggenggam tangan ku.
“Bunga
terlalu mandiri hingga tidak mengijinkan aku menjadi suami yang baik”.
Hati
ku nyilu mendengar ungkapan kekecewaan Ari yang selama ini tidak pernah
disampaikannya. Perasaan ku seketika ku tepis saat mendengar Aishi memanggil
nama ku. Aishi menggigil, aku memegang erat tangannya yang hangat. Ari masih
duduk di sisi ruang kamar inap Aishi. Ari memejamkan matanya, lalu berjalan
memeluk ku dari belakang.
“Bunga,
aku minta maaf. Mungkin tidak tepat aku mengatakan hal tadi. Aku hanya kecewa
pada diri ku sendiri yang belum mampu menjaga orang yang paling berarti dalam
hidup ku”.
Aku
diam tidak menjawab apapun, pelukan Ari juga tidak ku sambut. Hingga pintu di
ketuk Bapak, Ari melepas pelukannya. Bapak merasakan kami berdua dalam diam.
Namun seperti biasa, Bapak tidak pernah berkomentar apapun.
“Ari,
tolong ajak Bunga istirahat di rumah. Besok kalian berdua harus bekerja. Biar
Bapak dan Neni yang bergantian jaga di rumah sakit”, pinta Bapak yang berat ku
terima.
Saat
berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat parkir, Ari tidak melepas
genggamannya. Aku masih tidak tahu harus mengatakan apa? Sesampai di rumah, aku
segera bersiap tidur. Ari terlihat mengerjakan sesuatu di depan meja komputer.
Hampir satu jam, walau mata ku terpejam tapi belum juga aku dapat terlelap. Ari
duduk di sebelah ku lalu mendekatkan wajahnya pada wajah ku. Diusapnya
rambutku, napasnya terasa enggan untuk berhembus.
“Bunga,
terima kasih telah menemani ku. Menjadikan keluarga kita tempat belajar.Hanya
saja, sering aku merasa kehilangan mu. Saat kita sedikit memiliki waktu
bersama. Aku tahu Bunga sulit mengatur jadwal makan jika sedang sibuk, setiap
aku makan ingin menghubungi. Tapi Bunga tidak pernah mengijinkan aku tuk
sekedar bertanya tentang itu. Aku masih belum bisa mengerti bagaimana bentuk
perhatian yang Bunga inginkan.Perhatian kecil ku terasa seperti menganggu
kegiatan mu”, ucap Ari pelan tanpa menyadari aku masih terjaga dan mendengar
semua yang dikatakannya.
Tiba-tiba
aku meneteskan air mata yang menyentuh ujung jari Ari. Telapak tangan Ari yang
diletakkan dibawah pipi ku bergerak mengusap ujung mata ku yang ku buka untuk
melihat wajah Ari yang sedikit kaget setelah menyadari aku belum tertidur.
“Maafkan
aku, kak”, ucap ku pada Ari.
Setelah
menikah, aku memanggilnya dengan kakak. Ari ku inginkan dapat menjadi seorang
kakak buat ku. Tapi aku masih belum bisa menyesuaikan diri. Beberapa tahun
bersama aku masih berproses untuk mengenal Ari, dia juga merasa hal yang sama.
Tapi hal ini yang mewarnai cinta kita. Terus belajar tentang bagaimana dapat
membahagiakannya.
Waktu
begitu pelan berjalan hingga tak terasa semua berjalan begitu saja. Aishi yang
tumbuh menjadi remaja awal yang santun dan cantik membuat aku merasa harus
menceritakan semua tentang hidupnya. Beberapa bulan lagi akan pembagian
keterangan lulus untuk dapat melanjutkan sekolah ke SMP. Walau semua
surat-surat terkait asal-usul Aishi sudah tercantum nama ku dan Ari sebagai
formalitas. Aku ingin Aishi mengetahui yang sebenarnya, dia sekarang sudah
cukup dapat mengerti. Aku dan Ari mengajaknya ke sebuah rumah singgah untuk
anak terlantar yang seharusnya diasuh Negara. Ari membangun rumah singgah ini
tak jauh dari rumah kami.
Aishi
dengan mudah bergaul dan bercerita banyak tentang dirinya pada beberapa anak
yang tinggal disini. Aku dan Ari memandangi mereka dari ruangan pengurus yang
tak terlihat dari tempat Aishi bermain dengan teman barunya. Aku melihat Aishi
duduk disamping seorang anak laki-laki yang agak mengacuhkan Aishi dengan buku
yang sedang dibacanya. Mba Lusi sebagai salah satu pengurus rumah singgah ini
bercerita, anak itu special diantara yang lain. Dia masuk ke rumah singgah ini
saat baru berusia 2 minggu. Ayahnya meninggal sesaat setelah kecelakaan kerja,
ibunya yang kaget menyusul ayahnya setelah pendarahan dan melahirkan premature.
Pihak keluarga
tidak ada yang mengetahui keberadaannya, dan para tetangga menitipkannya
disini. Namanya Taufiki Hudaya, anak yang cerdas.Lebih menyukai membaca dan bicara dengan
para pengurus daripada bermain dengan teman sebayanya.
Sesampainya di rumah,
kami bertiga masak bersama dan makan bersama juga mengajak Bapak. Walau Bapak
telah menua, tapi bila melihat Aishi Bapak selalu merasa muda bersemangat.
Setelah
kami makan, aku mengajak Aishi masuk ke dalam kamar. Ari duduk di sebelah kami.
Bapak yang mengetahui apa yang akan kami katakan khawatir tidak dapat menahan
haru untuk melihat Aishi jika menangis.
Aku
menggenggam tangannya, tersenyum melihat
matanya yang cantik. Mengingatkan pada lekuk wajah Ratu.. Ah, bagaimana keadaan
Ratu? Semoga Allah selalu merohmatinya.
“Tadi
Aishi kenalan dengan siapa saja di rumah singgah?”, tanya Ari.
“Banyak,
Ayah. Teman-teman disana baik, hanya Fiki yang sulit Ai ajak bicara. Kata teman
yang lain, dia memang jarang bermain, senang membaca walau sudah berulang kali dibaca.
Ada ya anak seperti itu?”, cerita Aishi penuh antusias.
“Ai
kan punya banyak
buku yang sudah terbaca dan keadaannya bukunya masih baik, kalau Ai kasih
teman-teman disana Bunbun ijinkan?”, pinta Ai sambil menggerakkan kakinya.
Aishi
selalu ceria jika mendapati sesuatu yang disukainya. Aku tersenyum mengangguk,
kegemarannya memberi
dan berbagi tak jauh beda dengan Ratu. Alhamdulillah.
“Aishi
tahu bagaimana
keadaan anak-anak disana?”, Tanya Ari lagi karena tahu aku sulit memulai dari
mana untuk menceritakan keadaan Aishi.
“Kata
mereka, mereka anak yang tidak pernah melihat ayah dan ibu. Mereka hanya
mengenal teman-teman dan pengurus rumah. Karena itu mereka senang sekali
bertemu Ayah Ari, mereka juga memanggil Ayah. Jadi kalau mereka ditanya, ayah
yaitu Ayah Ari nya Aishi”, jelas Aishi dengan bangga.
“Aishi
bahagia dengan Ayah Ari dan Bunda Bunga?”, Tanya ku.
“Alhamdulillah,
Ayah Ari selalu mengajari bagaimana menjadi muslimah dan Bunda Bunga selalu
menyediakan seluruh waktu dan cintanya untuk Aishi”, jawab Aishi.
“Aishi,
masih ingat dengan Bunda Ratu?”, Tanya ku pelan.
“Iya,
yang di foto itu kan?”, jawab Aishi polos.
“Aishi
masih ingat waktu dengan Bunda Ratu?”, Tanya ku lagi.
“Sesekali,
Aishi juga kadang ingin bertemu. Tapi tak mengerti mengapa tiba-tiba
merindukannya. Kalau Aishi rindu, Aishi anggap rindu Bunda Bunga. Jadi cukup
meluk Bunbun atau Ayah Ari juga sudah baikan”, jawab Aishi penuh dengan
kepolosan anak-anak.
Aku
menghela napas panjang dan berusaha menahan tangis. Ari menggenggam tangan ku.
“Sebenarnya
Ayah Ari mau cerita sesuatu ke Aishi, seperti biasa Aishi mendengar hingga
selesai lalu beri tanggapannya. Bagaimana?”.
Aishi
mengangguk antusias, dia selalu senang bila diceritakan sesuatu oleh Ari.
“Pagi
itu, Bunda Ratu mendapat ujian. Bunda Ratu ditipu oleh seorang teman yang
selama ini berpura-pura baik. Bunda Ratu hamil tanpa suami. Tapi Bunda Ratu tidak ingin melakukan
kesalahan kedua dengan membunuh anak ini. Jadi anak ini diasuh hingga besar.
Singkat cerita, Bunda Ratu ingin dapat melengkapi hidup putrinya dengan seorang
ayah yang dapat mendidik. Namun Allah berkehendak lain. Bunda Ratu mengalami
kecelakaan. Bunda Ratu sempat meminta untuk Bunda Bunga menikah dengan seorang
lelaki solih yang dicintainya..”.
“Lelaki
solih beruntung itu Ayah Matahari kan?”, sela Aishi tiba-tiba. Aishi masih
belum menyadari yang diceritakan adalah dirinya.
“Alhamdulillah,
Bunda Bunga menikah juga dengan Ayah Ari”, ucap Ari sambil tersenyum menatap
mata ku.
“Dengan
pernikahan ini, melengkapi keluarga Aishi”, tambah ku.
“Apa
putri itu Aishi, Bun?”, Tanya Aishi masih dengan senyuman.
Aku
hanya mengangguk.
“Iya,
Aishi tetap merasa Bunda Bunga dan Ayah Ari adalah kedua orang tua Ai. Allah
menyuruh kita untuk bakti. Ai masih harus bersyukur kan, anak-anak tadi sama
sekali tidak tahu asal-usul keluarganya”, ucap Aishi tanpa beban lalu memeluk
aku dan Ari.
Kekhawatiran
ku berlebihan, Aishi anak special yang Allah titipkan. Aku hanya ingin dapat
membantu dan menemaninya menjadi
muslimah yang baik.
Sejak
hari ini, aku tidak lagi menceritakan masa lalunya. Aishi terus membuktikan
dirinya tumbuh untuk kehidupannya esok. Bukan hidup untuk masa lalunya. Aku
belajar menjadi ibu yang baik untuknya. Aishi juga sering menyempatkan untuk
mengunjungi rumah singgah. Karena memang kebahagiaan Aishi saat dapat berbagi
apapun yang dimilikinya.
Seperti
mentari yang terus terbit di tiap pagi, hidup kami juga berjalan cepat.
Pertumbuhan Aishi menjadi seorang gadis remaja sangat menyenangkan untuk
diamati. Neni dan Ilyas pun sudah memiliki dua anak perempuan yang cantik.
Mereka berdua menjadi adik yang menyenangkan untuk menyemarakkan hidup Aishi.
Di sekolah, Aishi selalu juara. Dia menyukai dunia tulis-menulis. Karena
kesukaan yang sama, aku mudah untuk mencari topic pembicaraan.
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila,
ungu dan berbagai warna lain menyemarakkan perjalanan menemani seorang pelangi
yang tumbuh dihati kami. Pelangi
Aishi, adalah bunga anugerah terindah dalam kehidupan yang sangat singkat ini. Pelangi Aishi adalah lambang secercah harapan diantara rintik
yang semangat menyambut matahari. Tidak pernah menyalahkan guntur dan badai,
tapi membelai dengan bersyukur pada Maha Hidup yang menghadirkan cintaNya dalam tiap rintik
yang jatuh. Anginlah yang mengantarkan kesedihan menjadi warna-warni cinta.
Bunga yang indah dengan pelangi dan matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar