Selasa, 13 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 15 Warna-warni Cinta


Warna-warni Cinta
          Pernikahan kami berjalan indah, alhamdulillah semua dipermudah. Aishi sekolah seperti anak lainnya, kuliah ku dan pekerjaan Ari membuat kami saling melengkapi bila ada kekurangan. Kuliah, ku tutup dengan menjadi mahasiswa terbaik. Kemudian aku melanjutkan studi strata 2 untuk dapat mengambil kesempatan menjadi peneliti. Ari sebagai suami sangat mendukung, Aishi pun bergerak cepat menginjak Sekolah Dasar. Neni telah menikah dengan pemuda masjid yang menjadi keluarga baru kami. Ilyas namanya, menjadi asisten untuk beberapa pekerjaan Ari.
          Aku tidak menyangka cara Ari mencintai ku begitu sederhana dan sangat manis. Ari setiap pagi membuka mata selalu mengucapkan, “Assalamu’alaikum, Bunga ku”.
          Sebelum tidur selalu berdoa sambil mengusap kepala ku dan mengucap “Terima kasih telah menemani ku”.
          Tanpa ku sadari, wajah ku seketika memerah dan itu tak pernah bisa ku hilangkan. Dan Ari amat senang bila melihat aku terdiam tanpa bisa berkata-kata. Setiap kali ada tugas di luar kota antara aku atau Ari yang waktunya lebih dari tiga hari, maka kita pun mengusahakan untuk dapat saling menemani. Aishi sudah cukup bisa mengurus dirinya sendiri sehingga tidak terlalu membuat khawatir saat jauh.
          Pernikahan ku menginjak tahun ke lima, usia Aishi hampir sepuluh tahun. Dia semakin cantik dan lebih tergila-gila dengan buku bacaan. Suatu ketika, Aishi menangis tanpa sebab yang ku tahu sepulang ku dari kampus. Setelah mendengar cerita Bapak dan Neni, katanya buku yang dimilikinya sudah semua dibaca. Sedang yang di perpustakaan sekolah sudah tidak lagi dapat dipinjami karena ada renovasi penataan gedung. Mau meminta dibelikan, Aishi tak enak hati meminta pada ku atau Ari.
          Di tengah kesibukan kami, Ari selalu menyempatkan kami untuk berkunjung ke rumah senyum yang dibangun bersama teman-temannya untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Ari sering mengatakan, “cinta itu memberi untuk semua anak di sekitar kita”. Kecintaan Ari pada anak-anak membuatnya tak pernah sekalipun mempertanyakan kehamilan pada ku.
          Inilah warna-warni cinta, Ari tahu betul aku tidak lagi bisa menjadi seorang ibu biologis yang bisa mengandung karena suatu hari setelah beberapa bulan pernikahan kami, aku positif hamil. Allah berkehendak lain, aku pendarahan karena terlalu memforsir pekerjaan. Sejak itu diketahui aku sulit hamil lagi. Ari tak pernah mengubah caranya mencintai ku, setiap pagi dan malam masih melakukan hal yang sama.
          Suatu malam, aku tiba-tiba menangis saat mengetahui Aishi demam tinggi, aku panik langsung segera membawanya ke doter praktek dekat rumah yang langsung di rujuk ke rumah sakit. Ari terlambat ku hubungi, ini menyebabkannya marah. Marah yang belum pernah dilakukannya.
          “Mengapa Bunga tidak menghubungi ku dulu?”
          “Maaf, aku terlalu panik jadi tidak bisa berpikir apa-apa selain segera membawa Aishi. Bapak sedang di masjid, Neni berbelanja dan Ilyas pergi bersama mu. Aku tidak ingin menganggu kegiatan mu juga”.
          “Bunga, aku suami mu. Dan Aishi anak kita satu-satunya. Ijinkan aku berperan untuk keluarga”, ucap Ari dengan nada tertahan sambil menggenggam tangan ku.
          “Bunga terlalu mandiri hingga tidak mengijinkan aku menjadi suami yang baik”.
          Hati ku nyilu mendengar ungkapan kekecewaan Ari yang selama ini tidak pernah disampaikannya. Perasaan ku seketika ku tepis saat mendengar Aishi memanggil nama ku. Aishi menggigil, aku memegang erat tangannya yang hangat. Ari masih duduk di sisi ruang kamar inap Aishi. Ari memejamkan matanya, lalu berjalan memeluk ku dari belakang.
          “Bunga, aku minta maaf. Mungkin tidak tepat aku mengatakan hal tadi. Aku hanya kecewa pada diri ku sendiri yang belum mampu menjaga orang yang paling berarti dalam hidup ku”.
          Aku diam tidak menjawab apapun, pelukan Ari juga tidak ku sambut. Hingga pintu di ketuk Bapak, Ari melepas pelukannya. Bapak merasakan kami berdua dalam diam. Namun seperti biasa, Bapak tidak pernah berkomentar apapun.
          “Ari, tolong ajak Bunga istirahat di rumah. Besok kalian berdua harus bekerja. Biar Bapak dan Neni yang bergantian jaga di rumah sakit”, pinta Bapak yang berat ku terima.
          Saat berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat parkir, Ari tidak melepas genggamannya. Aku masih tidak tahu harus mengatakan apa? Sesampai di rumah, aku segera bersiap tidur. Ari terlihat mengerjakan sesuatu di depan meja komputer. Hampir satu jam, walau mata ku terpejam tapi belum juga aku dapat terlelap. Ari duduk di sebelah ku lalu mendekatkan wajahnya pada wajah ku. Diusapnya rambutku, napasnya terasa enggan untuk berhembus.
          “Bunga, terima kasih telah menemani ku. Menjadikan keluarga kita tempat belajar.Hanya saja, sering aku merasa kehilangan mu. Saat kita sedikit memiliki waktu bersama. Aku tahu Bunga sulit mengatur jadwal makan jika sedang sibuk, setiap aku makan ingin menghubungi. Tapi Bunga tidak pernah mengijinkan aku tuk sekedar bertanya tentang itu. Aku masih belum bisa mengerti bagaimana bentuk perhatian yang Bunga inginkan.Perhatian kecil ku terasa seperti menganggu kegiatan mu”, ucap Ari pelan tanpa menyadari aku masih terjaga dan mendengar semua yang dikatakannya.
          Tiba-tiba aku meneteskan air mata yang menyentuh ujung jari Ari. Telapak tangan Ari yang diletakkan dibawah pipi ku bergerak mengusap ujung mata ku yang ku buka untuk melihat wajah Ari yang sedikit kaget setelah menyadari aku belum tertidur.
          “Maafkan aku, kak”, ucap ku pada Ari.
          Setelah menikah, aku memanggilnya dengan kakak. Ari ku inginkan dapat menjadi seorang kakak buat ku. Tapi aku masih belum bisa menyesuaikan diri. Beberapa tahun bersama aku masih berproses untuk mengenal Ari, dia juga merasa hal yang sama. Tapi hal ini yang mewarnai cinta kita. Terus belajar tentang bagaimana dapat membahagiakannya.
          Waktu begitu pelan berjalan hingga tak terasa semua berjalan begitu saja. Aishi yang tumbuh menjadi remaja awal yang santun dan cantik membuat aku merasa harus menceritakan semua tentang hidupnya. Beberapa bulan lagi akan pembagian keterangan lulus untuk dapat melanjutkan sekolah ke SMP. Walau semua surat-surat terkait asal-usul Aishi sudah tercantum nama ku dan Ari sebagai formalitas. Aku ingin Aishi mengetahui yang sebenarnya, dia sekarang sudah cukup dapat mengerti. Aku dan Ari mengajaknya ke sebuah rumah singgah untuk anak terlantar yang seharusnya diasuh Negara. Ari membangun rumah singgah ini tak jauh dari rumah kami.
          Aishi dengan mudah bergaul dan bercerita banyak tentang dirinya pada beberapa anak yang tinggal disini. Aku dan Ari memandangi mereka dari ruangan pengurus yang tak terlihat dari tempat Aishi bermain dengan teman barunya. Aku melihat Aishi duduk disamping seorang anak laki-laki yang agak mengacuhkan Aishi dengan buku yang sedang dibacanya. Mba Lusi sebagai salah satu pengurus rumah singgah ini bercerita, anak itu special diantara yang lain. Dia masuk ke rumah singgah ini saat baru berusia 2 minggu. Ayahnya meninggal sesaat setelah kecelakaan kerja, ibunya yang kaget menyusul ayahnya setelah pendarahan dan melahirkan premature. Pihak keluarga tidak ada yang mengetahui keberadaannya, dan para tetangga menitipkannya disini. Namanya Taufiki Hudaya, anak yang cerdas.Lebih menyukai membaca dan bicara dengan para pengurus daripada bermain dengan teman sebayanya.
          Sesampainya di rumah, kami bertiga masak bersama dan makan bersama juga mengajak Bapak. Walau Bapak telah menua, tapi bila melihat Aishi Bapak selalu merasa muda bersemangat.
          Setelah kami makan, aku mengajak Aishi masuk ke dalam kamar. Ari duduk di sebelah kami. Bapak yang mengetahui apa yang akan kami katakan khawatir tidak dapat menahan haru untuk melihat Aishi jika menangis.
          Aku menggenggam tangannya, tersenyum melihat matanya yang cantik. Mengingatkan pada lekuk wajah Ratu.. Ah, bagaimana keadaan Ratu? Semoga Allah selalu merohmatinya.
          “Tadi Aishi kenalan dengan siapa saja di rumah singgah?”, tanya Ari.
          “Banyak, Ayah. Teman-teman disana baik, hanya Fiki yang sulit Ai ajak bicara. Kata teman yang lain, dia memang jarang bermain, senang membaca walau sudah berulang kali dibaca. Ada ya anak seperti itu?”, cerita Aishi penuh antusias.
          “Ai kan punya banyak buku yang sudah terbaca dan keadaannya bukunya masih baik, kalau Ai kasih teman-teman disana Bunbun ijinkan?”, pinta Ai sambil menggerakkan kakinya.
          Aishi selalu ceria jika mendapati sesuatu yang disukainya. Aku tersenyum mengangguk, kegemarannya memberi dan berbagi tak jauh beda dengan Ratu. Alhamdulillah.
          “Aishi tahu bagaimana keadaan anak-anak disana?”, Tanya Ari lagi karena tahu aku sulit memulai dari mana untuk menceritakan keadaan Aishi.
          “Kata mereka, mereka anak yang tidak pernah melihat ayah dan ibu. Mereka hanya mengenal teman-teman dan pengurus rumah. Karena itu mereka senang sekali bertemu Ayah Ari, mereka juga memanggil Ayah. Jadi kalau mereka ditanya, ayah yaitu Ayah Ari nya Aishi”, jelas Aishi dengan bangga.
          “Aishi bahagia dengan Ayah Ari dan Bunda Bunga?”, Tanya ku.
          “Alhamdulillah, Ayah Ari selalu mengajari bagaimana menjadi muslimah dan Bunda Bunga selalu menyediakan seluruh waktu dan cintanya untuk Aishi”, jawab Aishi.
          “Aishi, masih ingat dengan Bunda Ratu?”, Tanya ku pelan.
          “Iya, yang di foto itu kan?”, jawab Aishi polos.
          “Aishi masih ingat waktu dengan Bunda Ratu?”, Tanya ku lagi.
          “Sesekali, Aishi juga kadang ingin bertemu. Tapi tak mengerti mengapa tiba-tiba merindukannya. Kalau Aishi rindu, Aishi anggap rindu Bunda Bunga. Jadi cukup meluk Bunbun atau Ayah Ari juga sudah baikan”, jawab Aishi penuh dengan kepolosan anak-anak.
          Aku menghela napas panjang dan berusaha menahan tangis. Ari menggenggam tangan ku.
          “Sebenarnya Ayah Ari mau cerita sesuatu ke Aishi, seperti biasa Aishi mendengar hingga selesai lalu beri tanggapannya. Bagaimana?”.
          Aishi mengangguk antusias, dia selalu senang bila diceritakan sesuatu oleh Ari.
          “Pagi itu, Bunda Ratu mendapat ujian. Bunda Ratu ditipu oleh seorang teman yang selama ini berpura-pura baik. Bunda Ratu hamil tanpa suami. Tapi Bunda Ratu tidak ingin melakukan kesalahan kedua dengan membunuh anak ini. Jadi anak ini diasuh hingga besar. Singkat cerita, Bunda Ratu ingin dapat melengkapi hidup putrinya dengan seorang ayah yang dapat mendidik. Namun Allah berkehendak lain. Bunda Ratu mengalami kecelakaan. Bunda Ratu sempat meminta untuk Bunda Bunga menikah dengan seorang lelaki solih yang dicintainya..”.
          “Lelaki solih beruntung itu Ayah Matahari kan?”, sela Aishi tiba-tiba. Aishi masih belum menyadari yang diceritakan adalah dirinya.
          “Alhamdulillah, Bunda Bunga menikah juga dengan Ayah Ari”, ucap Ari sambil tersenyum menatap mata ku.
          “Dengan pernikahan ini, melengkapi keluarga Aishi”, tambah ku.
          “Apa putri itu Aishi, Bun?”, Tanya Aishi masih dengan senyuman.
          Aku hanya mengangguk.
          “Iya, Aishi tetap merasa Bunda Bunga dan Ayah Ari adalah kedua orang tua Ai. Allah menyuruh kita untuk bakti. Ai masih harus bersyukur kan, anak-anak tadi sama sekali tidak tahu asal-usul keluarganya”, ucap Aishi tanpa beban lalu memeluk aku dan Ari.
          Kekhawatiran ku berlebihan, Aishi anak special yang Allah titipkan. Aku hanya ingin dapat membantu dan menemaninya menjadi muslimah yang baik.
          Sejak hari ini, aku tidak lagi menceritakan masa lalunya. Aishi terus membuktikan dirinya tumbuh untuk kehidupannya esok. Bukan hidup untuk masa lalunya. Aku belajar menjadi ibu yang baik untuknya. Aishi juga sering menyempatkan untuk mengunjungi rumah singgah. Karena memang kebahagiaan Aishi saat dapat berbagi apapun yang dimilikinya.
          Seperti mentari yang terus terbit di tiap pagi, hidup kami juga berjalan cepat. Pertumbuhan Aishi menjadi seorang gadis remaja sangat menyenangkan untuk diamati. Neni dan Ilyas pun sudah memiliki dua anak perempuan yang cantik. Mereka berdua menjadi adik yang menyenangkan untuk menyemarakkan hidup Aishi. Di sekolah, Aishi selalu juara. Dia menyukai dunia tulis-menulis. Karena kesukaan yang sama, aku mudah untuk mencari topic pembicaraan.
         
         
          Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan berbagai warna lain menyemarakkan perjalanan menemani seorang pelangi yang tumbuh dihati kami. Pelangi Aishi, adalah bunga anugerah terindah dalam kehidupan yang sangat singkat ini. Pelangi Aishi adalah lambang secercah harapan diantara rintik yang semangat menyambut matahari. Tidak pernah menyalahkan guntur dan badai, tapi membelai dengan bersyukur pada Maha Hidup yang menghadirkan cintaNya dalam tiap rintik yang jatuh. Anginlah yang mengantarkan kesedihan menjadi warna-warni cinta. Bunga yang indah dengan pelangi dan matahari.
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar