Kamis, 08 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 14 Pernikahan Indah Karena Allah


Pernikahan Indah Karena Allah

          Setelah kepergian Ratu, aku lebih banyak menyibukkan diri dengan Aishi. Aku ingin Aishi tetap merasa ada yang mencintainya. Kuliah dan urusan menulis aku fokuskan di rumah, akhir semester ini hanya persiapan ujian. Aku pun mencari alternatif cara untuk mendaftarkan Aishi sekolah di taman kanak-kanak yang mau menerimanya.
          Jika benar-benar prosedurnya tidak mendukung, aku yang akan menjadikan diri sebagai guru untuk Aishi. Aku tidak siap bila Aishi harus “dihukum sosial” dengan lingkungan yang masih belum ramah menerima keadaannya.
          Saat aku mengajak Aishi solat magrib berjamaah di masjid dekat rumah, kami melihat anak-anak mengaji Al Qur’an.
          “Ai boleh belajar itu, Bunbun?”, tanya Aishi sambil menarik tangan ku saat melangkah masuk masjid.
          Aku menundukkan badan mensejajarkan wajah dengan Aishi, ku rapikan kerudung yang sedikit miring.
          “Selama baik, Ai boleh belajar apa saja”.
          “Assalamu’alaikum, Aishi apa kabar?”, sapa seorang guru setelah selesai mengajar.
          “Wa’alaikumussalam, alhamdulillah baik”, jawab ku sambil menyalami guru yang ternyata ku kenal.
          “Bunga?”, tanya guru itu yang ternyata kak Rohma, kakak kelas waktu SMA.
          “Subhanallah, kak Rohma yang dulu pernah mengajari saya jilbab?”, jawab ku sambil merangkulnya.
          Karena sudah masuk waktu solat, kami solat berjamaah. Setelahnya mengajak kak Rohma mampir ke rumah ku. Lama tidak bertemu, banyak cerita yang kami bagi.
          “Berapa tahun kita tidak bertemu ya?”, tanya ku.
          “Setelah aku lulus SMA, 3 tahun yang lalu”, jawab kak Rohma.
          “Kak Rohma semakin cantik, sudah berapa lama jadi pengajar di masjid?”, tanya ku sambil menyuguhkan secangkir teh manis hangat dan beberapa kue.
          “Ini karena bawaan bayi, hampir 6 bulan aku ikut suami yang tinggal dekat sini. Kuliah ku sementara harus ditempuh antar jemput suami. Magribnya aku sempatkan mengajar di masjid agar jadi pendidikan dini anak ku”.
          “Wah, kenapa kita belum pernah bertemu ya?”.
          “Bagaimana mau bertemu, Bunga jarang di rumah dan sangat sibuk. Aku masih mengikuti tulisan-tulisanmu. Dan selalu bahagia membaca tulisan yang semakin dewasa”, puji kak Rohma.
          “Oya, aku turut berduka tentang Bunda Aishi. Aku tidak menyangka dia adalah kakak dari Bunga”. Ucap kak Rohma.
          Aku hanya tersenyum.
          “Keadaan Aishi baik kan?”.
          “Alhamdulillah, kak. Aishi jadi jarang menangis manja. Mungkin mengerti keadaan kami sekarang”.
          “Bunga, aku minta maaf jika kurang sopan. Aku harap kamu mulai memikirkan pernikahan untuk memberikan peran seorang ayah bagi Aishi”.
          “Insya Allah, mohon doanya”.
          Cukup lama kami berdua berbincang, hingga suami kak Rohma menjemput. Kepergian kak Rohma dengan suaminya begitu indah. Aku sempat terdiam lama memandang mereka berdua hingga benar-benar tak lagi terlihat di ujung jalan. Bapak yang dari tadi melihat ku, mendekat dan mengusap kepala.
          “Sudah malam, Aishi belum mau tidur sebelum Bunda Bunganya datang menemani”, ucap Bapak.
          “Pak, apa Bapak meridoi Bunga menikah untuk memberi peran ayah bagi Aishi?”, tanya ku.
          “Bapak meridoi jika pernikahan itu membuat Bunga bahagia juga”, ucap Bapak lalu membawa ku masuk ke dalam rumah.
          Keesokan siang, aku masih berkutat dengan komputer ku. Aku masih belum beradaptasi dengan keadaan yang meminta waktu lebih banyak dengan Aishi di rumah. Aku keluar hanya untuk kuliah, beruntung semester ini banyak dapat tugas observasi. Aishi selalu ku bawa untuk membuatnya semakin mengetahui dunia. Urusan rumah semua ditangani Neni, Bapak pun bisa fokus di jamaah masjid sebagai pengurus untuk menikmati ibadah di usia senjanya.
          Telepon genggam ku berdering, Ari...
          “Assalamu’alaikum, Bunga”.
          “Wa’alaikumussalam, ada yang bisa dibantu?”, sapaan ku yang mendadak membuat jantung ku berdegup lebih kencang.
          “Nanti malam ada agenda apa?”.
          “Belakangan aku lebih banyak di rumah. Insya Allah nanti tidak kemana-mana”.
          “Insya Allah aku dan kedua orang tua ku mau bersilaturohim, itu kalau Bunga mengijinkan”.
          “Aku tidak punya alasan menolak orang yang ingin menyambung kebaikan”.
          “Baik, sampai bertemu nanti malam. Insya Allah”.
          Setelah sambungan telepon ditutup, aku tersenyum. Ada seberkas cahaya bahagia, entah apa karena aku mulai menerima Ari?
          Malam pertemuan ini pun tiba, Ibunda Ari memandang ku agak lama dengan senyuman tulus seorang ibu. Kami berbincang tentang banyak hal, pekerjaan Ari dan keadaan Aishi sekarang. Hingga Ayah Ari membuka pembicaraan...
          “Tujuan kami bersilaturahim kali ini, karena permintaan Ari sejak lama. Namun karena menunggu saat tepat, kami berharap ini saat yang tepat untuk kembali meminta Bunga sebagai Bunga yang mengindahkan keluarga kami”.
          “Kami sangat menyambut baik, semua keputusan sepenuhnya ada di Bunga”, jawab Bapak.
          Aku menunduk lama, memilih kata yang tepat untuk ku sampaikan. Namun Ari terlanjur khawatir akan jawaban ku.
          “Jika menurut Bunga belum saatnya, tidak perlu menjawabnya sekarang”, ucap Ari.
          Bapak mengenggam tangan ku, Neni terus mendengar pembicaraan kami di ruangan sebelah terus berdoa. Aishi yang belum mengerti keadaan hanya memeluk lengan ku.
          “Apa Bunga masih belum dapat menerima keadaan ku dulu?”, tanya Ari.
          “Bukan itu. aku hanya ragu bila aku bukan menjadi perempuan pertama dalam hati suami ku”, kata ku dengan napas berat.
          “Itu artinya Bunga belum menerima keadaan ku. Aku minta maaf untuk itu, tapi apa kita bisa mulai semua dari awal? Aku ingin belajar solih bersama mu”, kata Ari.
          “Memang aku akui, Ari sudah sangat berubah dengan hijrah ke desa. Dengan hijrah itu Ari belajar kehidupan dengan berusaha menjadi bermanfaat untuk orang lain sebagai pelengkap tugas ibadah kita pada Pencipta kita. Yakinkan aku jadi tanda pendamping mu”.
          “Bunga mengajari ku banyak hal, melengkapi apa yang tidak mampu ku lakukan. Mendukung ku dengan semangat hidup ini sebuah perjuangan menjaga kebaikan. Aku pun tidak punya alasan khusus memilih mu, karena ku pikir mencintai tidak perlu alasan. Dengan sebuah alasan, bila alasan itu tidak lagi ada artinya cinta itu hilang seketika. Mencintai karena cantik, saat cantik itu hilang cintanya juga menghilang”.
          Kata-kata Ari meyakinkan ku, membuat hati ku bergetar. Seistimewa itu aku di hatinya. Aku menarik napas dalam-dalam.
          “Bismillah, insya Allah saya bersedia menemani Ari untuk menjadi solih bersama-sama”, kata ku yang disambut hamdalah seisi ruangan.
          Bapak memeluk ku dan membisikkan ucapan terima kasih. Setetes air mata ku mengalir tanpa bisa ku tahan. Aku ingat Ratu, indah bila masih bisa memeluk ku.
          Ayahanda Ari menyarankan untuk menyegerakan pernikahan dalam 2 pekan ke depan. Aku meminta untuk diadakan sederhana di halaman masjid rumah dengan mengundang anak-anak rumah singgah yang ada di dekat rumah dan anak-anak binaan rumah pengelolaan zakat milik keluarga Ari. Semua persiapan diurus oleh keluarga Ari, aku hanya diminta untuk memilih tawaran dari keluarga Ari.
          Tidak ku sangka, aku harus melewati persiapan pernikahan saat ujian akhir semester. Semakin repot dengan kembali membaca bahan ujian. Tapi hati ku terasa lega, sekaligus berbunga. Alhamdulillah, akhirnya aku sudah mengambil sebuah keputusan. Dan memang, jika masalah terus digantung akan menjadi beban tersendiri.
          Akad pernikahan kami diselenggarakan setelah solat jum’at. Jama’ah solat jumat dan beberapa teman yang menyempatkan hadir menjadi saksi ikatan pernikahan kami meramaikan ruang utama masjid. Beberapa orang perempuan dan anak-anak di gedung sebelah masjid menemani aku. Kami hanya menyaksikan lewat kamera yang disiapkan teman-teman yang bersedia repot membantu acara.
          Ari maju ke meja yang di taruh tepat di tengah ruang utama masjid. Dengan pakaian putih, Ari melangkah dengan mantap dan seulas senyum ku lihat. Ari duduk berhadapan dengan Bapak yang menggunakan baju batik biru kesukaannya. Saksi, keluarga dan teman-teman seketika hening saat khutbah nikah disampaikan oleh salah seorang teman Ayah Ari.
          “Mengakhiri masa sendiri adalah pertarungan luar biasa. Karena setan menangis sejadi-jadinya melihat sepasang hati mensucikan cintanya dihadapan PenciptaNya. Tidak sekedar menghalalkan yang sebelumnya haram, namun ada sebuah peradaban kecil yang disiapkan untuk peradaban besar nantinya. Suami dan Istri adalah sebuah sistem yang saling melengkapi dan saling mendukung untuk lebih mencintai Pencipta hati kita. Kuatnya ikatan pernikahan menjaga kita dari keburukan yang akan timbul di masyarakat. Bukan karena takut miskin kita menunda menikah, tapi karena limpahan keberkahan yang akan semakin luar biasa. Kemarin berjuang sendiri, kini berdua akan meningkatkan daya ungkit sehingga yang dihasilkan juga prestasi yang tinggi”, isi khutbah nikah ini membuat setetes air bening mengalir di sudut mata ku dan membuat Ari menggenangkan air matanya yang tertahan.
          Setelah khutbah nikah yang sangat menggugah, Bapak menggenggam tangan Ari.
          “Saya nikahkan putri saya, Bunga Mawar binti Irfan dengan saudara Matahari bin Fulan dengan mahar sebuah mushaf Al Qur’an dan sebuah cincin emas”, ucap Bapak yang segera diikuti Ari.
          “Saya terima nikahnya Bunga Mawar binti Irfan dengan mahar tersebut, tunai”, ucap Ari mantap.
          Alhamdulillah, air mata ku menggantung. Ku tahan sebisa mungkin, mba Lusi dan mba Rohma memeluk ku berbarengan dengan mengucap doa selamat pada pengantin. Kedua mba ku ini menangis terharu, Neni hanya menggenggam tangan ku karena Aishi dipangkuannya. Beberapa jama’ah jumatan keluar masjid untuk melanjutkan aktifitas. Halaman masjid yang sudah dihias indah menampilkan kesenian anak-anak rumah singgah. Teman-teman terdekat kami datangi di tempat duduk masing-masing. Ari meminta untuk kita yang mendatangi para undangan yang hadir. Aku pun senang tak harus menjadi pajangan dan tontonan di depan.
          Resepsi sederhana digelar setelah solat asar di halaman masjid dengan penampilan kesenian anak-anak lain. Seluruh hadiah pemberian para undangan kami bagikan pada seluruh anak-anak yang hadir. Aku berharap, dapat menjadi bagian keluarga anak-anak ini. Ari pun tak keberatan dengan permintaan ku. Ari merasa aku sangat memperhatikan anak-anak sepertinya. Menjelang magrib, kami sekeluarga pulang. Ari dan Bapak hanya mengganti pakaian lalu kembali ke masjid untuk solat berjama’ah.
          Sesampai dirumah, setelah solat magrib aku memeluk Aishi dalam-dalam. Aku merindukan Ratu di samping ku, melihat dan menyaksikan aku menikah tadi. Aishi hampir tak bisa nyaman dengan posisinya di pelukan ku.
          “Bun, sakit...”, rintih Aishi yang membuat aku melepas pelukan ku.
          Aishi menghapus air mata yang mengalir di pipi ku.
          “Bunbun kangen Bunda ya?”, tebak Aishi.
          Aku hanya mengangguk pelan, mencium seluruh wajah Aishi. Neni mengusap lengan ku pelan. Mengajak kami menyiapkan makan malam untuk pertama kalinya Ari sebagai keluarga. Ari dan Bapak datang dengan senyum mengembang, Bapak mencium kening dan mengusap kepala ku. Aishi langsung menyambut Ari dan Bapak dengan mencium tangan mereka. Jika hal ini dilihat langsung oleh Ratu, dia pasti sangat bahagia. Ari mengenggam tangan ku, saat melihat aku terdiam memandang mereka.
          Ari mengajak ku berdoa setelah pernikahan di kamar, Ari memegang ubun-ubun ku dengan menitikkan air mata yang mengiringi doa yang diucapnya. Aku pun larut haru mengamininya. Kemudian aku dan Ari solat sunah 2 rokaat yang ditambah sujud syukur panjang yang dilakukan Ari.
          “Alhamdulillah, terima kasih telah menjadi pendamping hidup ku Bunga”, ucap Ari sambil mengusap tangan ku.
          “Terima kasih juga untuk memilih ku”, jawab ku dengan seulas senyum.


Bersama matahari, bunga semakin mekar. Matahari pun terlengkapi. Cinta ini hanya indah dengan sebuah ikatan suci yang memuliakan. Meminta Sang Maha memberkahi tiap langkah. Menyempurnakan separuh addin. Saling membantu menjadi solih dan berlari bersama mencintai Maha Cinta. Mensyukuri pilihan pijakan terbaik yang telah diaturNya. Alhamdulillah, terima kasih cinta... J




Tidak ada komentar:

Posting Komentar