Pernikahan Indah Karena Allah
Setelah kepergian Ratu, aku lebih
banyak menyibukkan diri dengan Aishi. Aku ingin Aishi tetap merasa ada yang
mencintainya. Kuliah dan urusan menulis aku fokuskan di rumah, akhir semester
ini hanya persiapan ujian. Aku pun mencari alternatif cara untuk mendaftarkan
Aishi sekolah di taman kanak-kanak yang mau menerimanya.
Jika benar-benar prosedurnya tidak
mendukung, aku yang akan menjadikan diri sebagai guru untuk Aishi. Aku tidak
siap bila Aishi harus “dihukum sosial” dengan lingkungan yang masih belum ramah
menerima keadaannya.
Saat aku mengajak Aishi solat magrib
berjamaah di masjid dekat rumah, kami melihat anak-anak mengaji Al Qur’an.
“Ai boleh belajar itu, Bunbun?”, tanya
Aishi sambil menarik tangan ku saat melangkah masuk masjid.
Aku menundukkan badan mensejajarkan
wajah dengan Aishi, ku rapikan kerudung yang sedikit miring.
“Selama baik, Ai boleh belajar apa
saja”.
“Assalamu’alaikum, Aishi apa kabar?”,
sapa seorang guru setelah selesai mengajar.
“Wa’alaikumussalam, alhamdulillah
baik”, jawab ku sambil menyalami guru yang ternyata ku kenal.
“Bunga?”, tanya guru itu yang ternyata
kak Rohma, kakak kelas waktu SMA.
“Subhanallah, kak Rohma yang dulu
pernah mengajari saya jilbab?”, jawab ku sambil merangkulnya.
Karena sudah masuk waktu solat, kami
solat berjamaah. Setelahnya mengajak kak Rohma mampir ke rumah ku. Lama tidak
bertemu, banyak cerita yang kami bagi.
“Berapa tahun kita tidak bertemu ya?”,
tanya ku.
“Setelah aku lulus SMA, 3 tahun yang
lalu”, jawab kak Rohma.
“Kak Rohma semakin cantik, sudah
berapa lama jadi pengajar di masjid?”, tanya ku sambil menyuguhkan secangkir
teh manis hangat dan beberapa kue.
“Ini karena bawaan bayi, hampir 6 bulan
aku ikut suami yang tinggal dekat sini. Kuliah ku sementara harus ditempuh
antar jemput suami. Magribnya aku sempatkan mengajar di masjid agar jadi
pendidikan dini anak ku”.
“Wah, kenapa kita belum pernah bertemu
ya?”.
“Bagaimana mau bertemu, Bunga jarang
di rumah dan sangat sibuk. Aku masih mengikuti tulisan-tulisanmu. Dan selalu
bahagia membaca tulisan yang semakin dewasa”, puji kak Rohma.
“Oya, aku turut berduka tentang Bunda
Aishi. Aku tidak menyangka dia adalah kakak dari Bunga”. Ucap kak Rohma.
Aku hanya tersenyum.
“Keadaan Aishi baik kan?”.
“Alhamdulillah, kak. Aishi jadi jarang
menangis manja. Mungkin mengerti keadaan kami sekarang”.
“Bunga, aku minta maaf jika kurang
sopan. Aku harap kamu mulai memikirkan pernikahan untuk memberikan peran
seorang ayah bagi Aishi”.
“Insya Allah, mohon doanya”.
Cukup lama kami berdua berbincang,
hingga suami kak Rohma menjemput. Kepergian kak Rohma dengan suaminya begitu
indah. Aku sempat terdiam lama memandang mereka berdua hingga benar-benar tak
lagi terlihat di ujung jalan. Bapak yang dari tadi melihat ku, mendekat dan
mengusap kepala.
“Sudah malam, Aishi belum mau tidur
sebelum Bunda Bunganya datang menemani”, ucap Bapak.
“Pak, apa Bapak meridoi Bunga menikah
untuk memberi peran ayah bagi Aishi?”, tanya ku.
“Bapak meridoi jika pernikahan itu
membuat Bunga bahagia juga”, ucap Bapak lalu membawa ku masuk ke dalam rumah.
Keesokan siang, aku masih berkutat
dengan komputer ku. Aku masih belum beradaptasi dengan keadaan yang meminta
waktu lebih banyak dengan Aishi di rumah. Aku keluar hanya untuk kuliah,
beruntung semester ini banyak dapat tugas observasi. Aishi selalu ku bawa untuk
membuatnya semakin mengetahui dunia. Urusan rumah semua ditangani Neni, Bapak
pun bisa fokus di jamaah masjid sebagai pengurus untuk menikmati ibadah di usia
senjanya.
Telepon genggam ku berdering, Ari...
“Assalamu’alaikum, Bunga”.
“Wa’alaikumussalam, ada yang bisa
dibantu?”, sapaan ku yang mendadak membuat jantung ku berdegup lebih kencang.
“Nanti malam ada agenda apa?”.
“Belakangan aku lebih banyak di rumah.
Insya Allah nanti tidak kemana-mana”.
“Insya Allah aku dan kedua orang tua
ku mau bersilaturohim, itu kalau Bunga mengijinkan”.
“Aku tidak punya alasan menolak orang
yang ingin menyambung kebaikan”.
“Baik, sampai bertemu nanti malam.
Insya Allah”.
Setelah sambungan telepon ditutup, aku
tersenyum. Ada seberkas cahaya bahagia, entah apa karena aku mulai menerima
Ari?
Malam pertemuan ini pun tiba, Ibunda
Ari memandang ku agak lama dengan senyuman tulus seorang ibu. Kami berbincang
tentang banyak hal, pekerjaan Ari dan keadaan Aishi sekarang. Hingga Ayah Ari
membuka pembicaraan...
“Tujuan kami bersilaturahim kali ini,
karena permintaan Ari sejak lama. Namun karena menunggu saat tepat, kami
berharap ini saat yang tepat untuk kembali meminta Bunga sebagai Bunga yang
mengindahkan keluarga kami”.
“Kami sangat menyambut baik, semua
keputusan sepenuhnya ada di Bunga”, jawab Bapak.
Aku menunduk lama, memilih kata yang
tepat untuk ku sampaikan. Namun Ari terlanjur khawatir akan jawaban ku.
“Jika menurut Bunga belum saatnya,
tidak perlu menjawabnya sekarang”, ucap Ari.
Bapak mengenggam tangan ku, Neni terus
mendengar pembicaraan kami di ruangan sebelah terus berdoa. Aishi yang belum
mengerti keadaan hanya memeluk lengan ku.
“Apa Bunga masih belum dapat menerima
keadaan ku dulu?”, tanya Ari.
“Bukan itu. aku hanya ragu bila aku
bukan menjadi perempuan pertama dalam hati suami ku”, kata ku dengan napas
berat.
“Itu artinya Bunga belum menerima
keadaan ku. Aku minta maaf untuk itu, tapi apa kita bisa mulai semua dari awal?
Aku ingin belajar solih bersama mu”, kata Ari.
“Memang aku akui, Ari sudah sangat
berubah dengan hijrah ke desa. Dengan hijrah itu Ari belajar kehidupan dengan
berusaha menjadi bermanfaat untuk orang lain sebagai pelengkap tugas ibadah
kita pada Pencipta kita. Yakinkan aku jadi tanda pendamping mu”.
“Bunga mengajari ku banyak hal,
melengkapi apa yang tidak mampu ku lakukan. Mendukung ku dengan semangat hidup
ini sebuah perjuangan menjaga kebaikan. Aku pun tidak punya alasan khusus
memilih mu, karena ku pikir mencintai tidak perlu alasan. Dengan sebuah alasan,
bila alasan itu tidak lagi ada artinya cinta itu hilang seketika. Mencintai
karena cantik, saat cantik itu hilang cintanya juga menghilang”.
Kata-kata Ari meyakinkan ku, membuat
hati ku bergetar. Seistimewa itu aku di hatinya. Aku menarik napas dalam-dalam.
“Bismillah, insya Allah saya bersedia
menemani Ari untuk menjadi solih bersama-sama”, kata ku yang disambut hamdalah
seisi ruangan.
Bapak memeluk ku dan membisikkan
ucapan terima kasih. Setetes air mata ku mengalir tanpa bisa ku tahan. Aku
ingat Ratu, indah bila masih bisa memeluk ku.
Ayahanda Ari menyarankan untuk
menyegerakan pernikahan dalam 2 pekan ke depan. Aku meminta untuk diadakan sederhana
di halaman masjid rumah dengan mengundang anak-anak rumah singgah yang ada di
dekat rumah dan anak-anak binaan rumah pengelolaan zakat milik keluarga Ari.
Semua persiapan diurus oleh keluarga Ari, aku hanya diminta untuk memilih
tawaran dari keluarga Ari.
Tidak ku sangka, aku harus melewati
persiapan pernikahan saat ujian akhir semester. Semakin repot dengan kembali
membaca bahan ujian. Tapi hati ku terasa lega, sekaligus berbunga. Alhamdulillah,
akhirnya aku sudah mengambil sebuah keputusan. Dan memang, jika masalah terus
digantung akan menjadi beban tersendiri.
Akad pernikahan kami diselenggarakan
setelah solat jum’at. Jama’ah solat jumat dan beberapa teman yang menyempatkan
hadir menjadi saksi ikatan pernikahan kami meramaikan ruang utama masjid.
Beberapa orang perempuan dan anak-anak di gedung sebelah masjid menemani aku.
Kami hanya menyaksikan lewat kamera yang disiapkan teman-teman yang bersedia
repot membantu acara.
Ari maju ke meja yang di taruh tepat
di tengah ruang utama masjid. Dengan pakaian putih, Ari melangkah dengan mantap
dan seulas senyum ku lihat. Ari duduk berhadapan dengan Bapak yang menggunakan
baju batik biru kesukaannya. Saksi, keluarga dan teman-teman seketika hening
saat khutbah nikah disampaikan oleh salah seorang teman Ayah Ari.
“Mengakhiri masa sendiri adalah
pertarungan luar biasa. Karena setan menangis sejadi-jadinya melihat sepasang
hati mensucikan cintanya dihadapan PenciptaNya. Tidak sekedar menghalalkan yang
sebelumnya haram, namun ada sebuah peradaban kecil yang disiapkan untuk
peradaban besar nantinya. Suami dan Istri adalah sebuah sistem yang saling
melengkapi dan saling mendukung untuk lebih mencintai Pencipta hati kita.
Kuatnya ikatan pernikahan menjaga kita dari keburukan yang akan timbul di
masyarakat. Bukan karena takut miskin kita menunda menikah, tapi karena
limpahan keberkahan yang akan semakin luar biasa. Kemarin berjuang sendiri,
kini berdua akan meningkatkan daya ungkit sehingga yang dihasilkan juga
prestasi yang tinggi”, isi khutbah nikah ini membuat setetes air bening
mengalir di sudut mata ku dan membuat Ari menggenangkan air matanya yang
tertahan.
Setelah khutbah nikah yang sangat
menggugah, Bapak menggenggam tangan Ari.
“Saya nikahkan putri saya, Bunga Mawar
binti Irfan dengan saudara Matahari bin Fulan dengan mahar sebuah mushaf Al
Qur’an dan sebuah cincin emas”, ucap Bapak yang segera diikuti Ari.
“Saya terima nikahnya Bunga Mawar
binti Irfan dengan mahar tersebut, tunai”, ucap Ari mantap.
Alhamdulillah, air mata ku
menggantung. Ku tahan sebisa mungkin, mba Lusi dan mba Rohma memeluk ku
berbarengan dengan mengucap doa selamat pada pengantin. Kedua mba ku ini
menangis terharu, Neni hanya menggenggam tangan ku karena Aishi dipangkuannya.
Beberapa jama’ah jumatan keluar masjid untuk melanjutkan aktifitas. Halaman
masjid yang sudah dihias indah menampilkan kesenian anak-anak rumah singgah.
Teman-teman terdekat kami datangi di tempat duduk masing-masing. Ari meminta
untuk kita yang mendatangi para undangan yang hadir. Aku pun senang tak harus
menjadi pajangan dan tontonan di depan.
Resepsi sederhana digelar setelah
solat asar di halaman masjid dengan penampilan kesenian anak-anak lain. Seluruh
hadiah pemberian para undangan kami bagikan pada seluruh anak-anak yang hadir.
Aku berharap, dapat menjadi bagian keluarga anak-anak ini. Ari pun tak
keberatan dengan permintaan ku. Ari merasa aku sangat memperhatikan anak-anak
sepertinya. Menjelang magrib, kami sekeluarga pulang. Ari dan Bapak hanya
mengganti pakaian lalu kembali ke masjid untuk solat berjama’ah.
Sesampai dirumah, setelah solat magrib
aku memeluk Aishi dalam-dalam. Aku merindukan Ratu di samping ku, melihat dan
menyaksikan aku menikah tadi. Aishi hampir tak bisa nyaman dengan posisinya di
pelukan ku.
“Bun, sakit...”, rintih Aishi yang
membuat aku melepas pelukan ku.
Aishi menghapus air mata yang mengalir
di pipi ku.
“Bunbun kangen Bunda ya?”, tebak
Aishi.
Aku hanya mengangguk pelan, mencium
seluruh wajah Aishi. Neni mengusap lengan ku pelan. Mengajak kami menyiapkan
makan malam untuk pertama kalinya Ari sebagai keluarga. Ari dan Bapak datang
dengan senyum mengembang, Bapak mencium kening dan mengusap kepala ku. Aishi
langsung menyambut Ari dan Bapak dengan mencium tangan mereka. Jika hal ini
dilihat langsung oleh Ratu, dia pasti sangat bahagia. Ari mengenggam tangan ku,
saat melihat aku terdiam memandang mereka.
Ari mengajak ku berdoa setelah
pernikahan di kamar, Ari memegang ubun-ubun ku dengan menitikkan air mata yang
mengiringi doa yang diucapnya. Aku pun larut haru mengamininya. Kemudian aku
dan Ari solat sunah 2 rokaat yang ditambah sujud syukur panjang yang dilakukan
Ari.
“Alhamdulillah, terima kasih telah
menjadi pendamping hidup ku Bunga”, ucap Ari sambil mengusap tangan ku.
“Terima kasih juga untuk memilih ku”,
jawab ku dengan seulas senyum.
Bersama matahari, bunga semakin mekar. Matahari pun
terlengkapi. Cinta ini hanya indah dengan sebuah ikatan suci yang memuliakan.
Meminta Sang Maha memberkahi tiap langkah. Menyempurnakan separuh addin. Saling
membantu menjadi solih dan berlari bersama mencintai Maha Cinta. Mensyukuri
pilihan pijakan terbaik yang telah diaturNya. Alhamdulillah, terima kasih
cinta... J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar