Kamis, 15 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 16 Pelangi Menemukan Hatinya

Pelangi Menemukan Hatinya

          Pagi ini, alhamdulillah Aishi diterima di universitas yang dekat dengan tempat tinggal kami. Aishi memang tidak kami biasakan untuk bersaing tapi lebih memberikan yang terbaik dari miliknya. Kami, orang tua asuh Aishi yang amat menyayanginya. Ari dan aku mendidiknya seperti anak-anak yang kami urus di rumah singgah. Berkarya yang terbaik di bidang yang diminati. Lama aku tidak lagi menemani Aishi beraktifitas, di rumah singgah atau di kantor Ayah Arinya. Kami hanya bertemu dan bercerita di rumah menjelang tidur, saling menyiapkan keperluan esok. Memberi pelukan terhangat untuknya dan dari Ayah Arinya menjadi ritual seru setiap harinya.
          Saat kami duduk bersama di meja makan, Aishi memegang tangan Bapak. Aishi memandang Kakek yang amat mencintainya, seperti meminta persetujuan sebelum bicara. Aku dan Neni yang selesai menghidangkan sarapan saling bertatapan. Setelah semua duduk, Aishi meminta waktu untuk bicara. Ari memberikan kesempatan itu dengan sebuah anggukan.
          “Bismillah, Ai minta Ayah, Bunbun, merestui kalau Ai menikah”, ucap Ai dengan tatapan serius ke arah ku.
          Aku dan Ari tersenyum, aku mengusap rambutnya.
          “Ai menyukai siapa?”, tanya Ari.
          “Fiki, Yah”, jawab Aishi.
          “Taufiki Hudaya yang tinggal di rumah singgah?”, sahut ku agak senang mendengar nama itu.
          Aishi mengangguk.
          “Aishi yakin untuk menikah sekarang?”, tanya Ari lagi.
          “Dari awal bertemu, Ai sudah mengagumi sikapnya yang tegar menghadapi hidup. Sehingga tidak ada alasan untuk menyalahkan keadaan Ai yang seperti ini. Ai lebih banyak bersyukur dan merasa menemukan potensi menulis dengan berdiskusi bersamanya. Kekaguman ini menjadi besar hingga Ai tidak sengaja membaca sebuah tulisannya Fiki tentang perasaan kami yang sama-sama dapat saling melengkapi dan mendukung. Ai sering kesulitan dengan pelajaran hitungan dan Fiki begitu mudah mengajari Ai. Fiki kesulitan menejemahkan bahasa dan sastra dan Ai sangat senang menjelaskan padanya. Daripada perasaan ini jadi sebuah kesalahan, Ai minta dihalalkan. Fiki juga sudah bisa menafkahi dirinya dengan menjadi penulis lepas dan membuka usaha sendiri. Itu tanda dia sudah sanggup bertanggungjawab dengan kehidupannya”, pendapat Aishi tentang Fiki begitu jelas.
          “Karena Ai anak Ayah Ari dan Bunbun, mungkin ini alasan ketidakberanian Fiki meminta Ai. Ai mau saat kuliah nanti tenang karena tidak ada lagi yang akan mengganggu setelah mengetahui Ai sudah menikah. Ai sudah istikhoroh dan meminta pendapat Kakek sebelum meminta Ayah Ari dan Bunbun”, sambung Aishi.
          “Sekarang kita sarapan dulu, Ayah akan cari saat yang tepat untuk bicara dari hati ke hati dengan Fiki. Bunbun dan Bapak bantu berdoa minta yang terbaik”, ucap Ari.
          Selesai sarapan, semua orang rumah pergi untuk beraktifitas. Aku merasa telah lama tidak membuka sekotak kenangan yang Ratu tinggalkan untuk ku dan Aishi. Beberapa foto kami, setitik air di sudut mata ku mengalir pelan.
          “Ratu, Ai sudah besar sekarang. Insya Allah menjadi seorang wanita soliha yang memuliakan mu dengan kebaikannya. Dalam waktu dekat, dia akan menikah dan membangun istananya. Ai semakin cantik dengan kecerdasan dan keikhlasannya berjuang untuk anak-anak di rumah singgah...”.
          Aku tak mampu lagi berkata-kata, air mata ku semakin deras mengalir. Saat Ari memeluk ku dari belakang, setelah mendengar keberadaan ku di kamar. Aku merindukan Ratu.
          “Kakak mengapa belum berangkat?”, tanya ku tanpa melepas pelukannya yang menenangkan.
          “Ada yang tertinggal, hingga aku merasa harus kembali”.
          Aku mengusap air mata ku yang mengalir, Ari menatap mata ku seperti mencari sesuatu.
          “Aku merasa ada sesuatu yang tertinggal, di mata mu aku menemukannya”, ucap Ari lalu mencium kening ku lama sekali.
          Kami berdua hanya diam dalam pelukan beberapa saat. Ari baru melepas pelukannya setelah melihat aku agak tenang dan tidak lagi menitikkan air mata.
          “Bunga masih seperti bunga ku yang dulu. Lamanya kebersamaan kita tidak mengubah cara Bunga mencintai aku dan Aishi”, ucap Ari sambil tersenyum.
          “Aku ingin Bunga menemani berbicara pada Fiki nanti siang di rumah senyum ya”, pinta Ari pada ku, yang ku jawab hanya anggukan kecil.
          Aku ke halaman belakang rumah, melihat Bapak masih senang berkebun. Menghijaukan suasana. Aku membantu mencabuti rumput liar yang tumbuh disekitar tanaman yang Bapak rawat. Bapak tersenyum melihat ku. Aku merasa sudah tua sekarang, sudah tidak lagi nyaman duduk di bawah matahari berlama-lama. Bapak merasakan tubuh ku belakangan agak sering mudah lelah. Walau Bapak telah di usia senja, tapi masih mampu melakukan banyak hal dibandingkan aku.
          “Istirahat di tempat teduh, Bunga dari dulu tidak pernah kuat berjemur di bawah matahari”, kata Bapak, yang langsung ku jalan menuju kursi di bawah pohon.
          Aku minum seteguk dari botol minuman Bapak di meja. Melihat Bapak masih semangat memberi arti hidup. Bapak sering bilang, “Jika besok Bapak akan menghadap Allah, selagi masih sempat Bapak mau menanam bibit kebaikan sekecil apapun”. Ari datang lalu duduk di samping ku dengan membawa hadiah kecil.
          “Aku ingin memberikan ini pada Fiki”, kata Ari saat memperlihatkan sekotak hadiah.
          Aku membukanya, dan mengamati buku-buku yang dulu pernah aku beri padanya setelah menikah. Buku itu tersimpan rapi tanpa pernah aku tahu dimana diletakkan Ari. Aku tersenyum, bahagia memiliki suami yang begitu istimewa.
          “Semoga Fiki bisa menerimanya”, kata Ari.
          Bapak duduk di samping ku, kebiasaan mengusap kepala ku dengan lembut belum juga hilang. Walau aku sudah tidak lagi semuda dulu, aku masih sangat senang.
          “Apa Bapak merasakan apa yang Bunga rasakan sekarang, sewaktu tahu aku dilamar Ari?”, tanya ku.
          “Bapak sempat merasa takut kehilangan. Sebab ketika itu, Ratu sudah tidak ada. Bapak hanya memiliki Bunga dan Aishi. Tapi memang kita mengasuh anak sebagai amal ibadah. Bukan untuk dimiliki”, jawab Bapak.
          “Satu sisi, Bunga merasa senang. Alhamdulillah, Bunga mengantar Aishi menjadi soliha. Namun juga sedih, rumah ini akan sepi tanpanya”, ucap ku dengan wajah murung.
          “Ya, Bunga syukuri sudah menjadi orang tua terbaik untuk Aishi. Aishi sangat mencintai kita”, hibur Bapak.
          Matahari beranjak siang, setelah solat Duhur aku dan Ari bersiap ke rumah senyum. Hanya berjalan kaki lima menit kami berdua telah memasuki halaman rumah senyum. Rumah senyum ini tidak pernah berubah sejak berdiri, kecuali anak-anak yang menempatinya. Anak-anak yang sudah mampu mencari penghasilan sendiri banyak memilih untuk mengontrak rumah. Tinggal beberapa anak saja yang memang masih mau mengabdi membantu disini. Sebab persoalan anak yang butuh perlindungan seolah tidak ada habisnya.
          Ari mengecat seluruh rumah dengan warna kebiruan, warna yang hampir sama dengan rumah kami. Warna biru adalah kesukaan kami, biru tenang dan bijak. Siang ini, anak-anak masih di sekolah. Hanya Fiki dan dua anak lagi yang sedang terlihat sibuk mengurus rintisan usaha baru mereka. Kami memang berusaha membangun semangat wirausaha. Rumah senyum sebagai rumah singgah juga difungsikan sebagai laboratorium dan tempat memasarkan produk yang dijual anak-anak.
          Fiki menjadi penanggungjawab usaha penyewaan dan perbaikan komputer menggunakan ruang depan rumah sebagai ruang kerja. Usaha yang dijalankan Fiki sangat membantu ekonomi pribadinya dan rumah senyum.
          “Assalamu’alaikum”, sapa ku dan Ari hampir bersamaan.
          “Wa’alaikumussalam”, jawab mereka serempak, lalu menyambut menyalami Ari.
          Aku tersenyum dengan menangkupkan tangan.
          “Apa kabar, Ayah dan Bunda? Seminggu ini tidak terlihat mengunjungi kami”, sapa Fiki ramah.
          “Iya, Bunda sedang sok sibuk”, goda Ari sambil memandang ku.
          “Fiki dan adik-adik disini sehat?”, tanya ku mengalihkan.
          “Alhamdulillah, setelah kita merintis usaha komputer semua terasa dimudahkan Allah”, jawab Fiki.
          “Ayah bisa minta waktu untuk ngobrol sebentar sambil makan di warung depan?”, ajak Ari pada Fiki.
          “Oh iya, Yah. Saya merapikan buku yang tadi saya gunakan”.
          Ari, aku dan Fiki duduk di salah satu sudut warung makan depan rumah. Kami menikmati makanan sambil bicara banyak hal tentang keadaan rumah singgah. Sebagian anak berat meninggalkan rumah singgah setelah lulus sekolah. Karena program disini hanya sampai SMA, jadi jika ada yang ingin kuliah tapi juga ingin tetap tinggal dengan syarat harus memiliki penghasilan untuk dapat membantu kebutuhan adik-adiknya yang lain. Ari mengajarkan anak-anak untuk dapat mandiri, berusaha sendiri dengan disertai doa. Sehingga anak-anak belajar bertanggungjawab pada kehidupannya. Kita tidak mungkin dapat menemani sepanjang hidupnya. Keterampilan menjalani hidup adalah proses penting yang dilewati. Tanpa keterampilan, anak-anak akan terus menggantungkan hidup pada lain.
          Setelah selesai makan, Ari langsung bicara tentang Aishi.
          “Menurut Fiki, Aishi seperti apa?”.
          “Maksud Ayah apa?”, tanya Fiki tidak mengerti.
          “Sebagai temannya, Fiki sudah mengenalnya. Lama sekali bahkan”.
          “Aishi soliha dan cerdas. Semangat berjuang untuk anak-anak begitu tinggi, hingga tak jarang melupakan dirinya sendiri”.
          “Apakah Fiki telah siap menikah?”, tanya Ari lagi, aku hanya memperhatikan raut wajah Ari yang mendadak sedih.
          “Niat ada tentu, Yah. Tapi Fiki sadar harus memiliki penghasilan yang cukup untuk dapat menafkahi”, jawab Fiki dengan tertunduk.
          “Jika hanya masalah rejeki, masih bisa diupayakan. Modal penting adalah keyakinan pada Maha Pemberi Rejeki dan semangat berusaha. Tanpa itu, kita tidak akan memiliki apapun”, terang Ari.
          Fiki hanya mengangguk, matanya sedikit berkaca dengan air mata.
          “Bagaimana jika Fiki, Ayah minta untuk menikahi Aishi?”.
          Seketika wajah Fiki memandang Ari dan aku, kini air mata itu jelas menetes.
          “Apa Ayah tidak salah? Fiki tidak memiliki orang tua jelas, kuliah belum lulus dengan penghasilan masih cukup untuk sendiri. Apa Ayah melihat Fiki bisa menjadi imam untuk Aishi?”.
          “Ayah tidak salah, sama sekali tidak melihat keadaan Fiki. Karena Ayah dan Bunda melihat kedekatan Fiki dengan Aishi, tidak ada salahnya untuk menjalin keberkahan. Teruskan kuliah dan usaha yang Fiki kerjakan, menikah bukan alasan kita berhenti berjuang. Justru kita semakin kuat berjuang. Insya Allah, kita melihat Fiki mampu menjadi imam Aishi”.
          Fiki terdiam, memandang meja terlihat sedang berpikir keras.
          “Jika Fiki belum siap, Fiki bisa istikhorohkan dulu. Kita sama-sama berdoa minta petunjuk, agar pilihan kita karena ibadah pada Allah”, ucap ku memecah kebisuan Fiki.
          “Iya, kita berdoa. Semoga dimudahkan”, sambung Ari.
          Lalu kami bertiga kembali ke rumah senyum, sambil berpamitan kembali pulang ke rumah. Saat aku dan Ari melangkah keluar pintu rumah senyum, Fiki mengejar kami.
          “Ayah, Bunda. Apa ini doa Fiki?”, tanyanya pada kami yang sekarang membuat kami bingung.
          “Fiki sudah meminta Aishi pada Allah sejak pertama bertemu, Fiki ingin bisa berjuang bersama. Tapi Fiki terlalu tidak percaya diri meminta Aishi pada Ayah dan Bunda yang begitu baik”.
          Ari langsung memeluk Fiki, Fiki yang sungkan pada kami juga membalas pelukan Ari.
          “Alhamdulillah”, ucap kami bertiga hampir bersamaan.
         

          Indah sekali, ketika cinta bersambut. Saling mencinta karena ibadah pada Allah. Dilengkapi dengan kepekaan dan pengertian orang sekitar kita untuk memudahkan jalannya. Menari dan menyanyikan kesyukuran. Terik jingga yang hadir sesaat setelah rintik, yang melengkapi lengkung pelangi. Menyemarakkan hari... Cinta, seraut makna tiada tepi. Dicipta sebagai hembusan angin yang menemani pantai. Seluruh napas yang terhembus adalah bukti cinta sang Maha. Terima kasih, menghampiri dalam berkah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar