Pelukan Terakhir Ratu
Hingga azan subuh berkumandang, aku
belum juga dapat memejamkan mata. Pintu kamar ku diketuk Bapak, membangunkan
ku. Bapak masih membangunkan untuk mengajak solat berjamaah. Aku yang masih
terjaga, keluar kamar untuk membasuh wajah dengan air wudu lagi. Untuk sedikit
mengurangi sisa air mata di mata. Tapi seperti apa ku sembunyikan, Bapak
merasakannya. Selesai solat Bapak menemui ku di kamar, mengusap rambut dan wajah
ku. Aku mencium tangan Bapak dan memeluknya. Aku merasa tenang dan sangat
membutuhkan dukungan. Kami berdua tidak berkata apa-apa. Hingga setetes air
mata mengalir menyentuh wajah ku. Aku melihat wajah Bapak, ternyata Bapak pun
sedih.
“Bapak kenapa”, tanya ku sambil
mengajak duduk di sisi ranjang ku.
“Bunga sedih karena Ratu semalam?”,
tanya Bapak yang membuat ku cukup kaget.
Aku menganggukkan kepala.
“Kalian bertiga adalah cahaya hidup
Bapak. Bapak hanya bisa berdoa yang terbaik untuk kalian”, ucap Bapak.
Aishi masuk ke kamar ku, menyusul Ratu
yang agak merasa aneh dengan melihat aku dan Bapak yang tidak seperti biasanya.
“Bunga hari ini keluar jam berapa? Aku
mau ke sekolah Aishi untuk mengurus pendaftarannya”, tanya Ratu.
“Hari ini ingin di rumah, ada tulisan
yang harus diselesaikan segera”, jawab ku.
Ratu memperhatikan mata ku yang
sembab, tapi tak bertanya apa-apa. Ratu mencium tangan Bapak dan memeluknya.
Lalu memeluk ku agak lama dengan membisikkan permintaan maaf. Aku tak mengerti
maaf untuk apa? Lalu Ratu pergi sendiri, Aishi bermain di kamar ku. Melihat-lihat
buku bergambar dan mencorat-coret buku tulis.
Sambil menemani Aishi, aku membaca
sebuah buku yang harus aku resensi. Buku tentang pendidikan anak yang baru ku
beli. Mendidik anak merupakan bagian dari ibadah yang semestinya dikaji sejak
mulai beranjak dewasa, tidak hanya saat baru mau menikah. Membaikkan akhlaq
kita untuk menyiapkan generasi yang lebih baik. Sebab pendidikan yang terbaik
adalah keteladanan. Anak yang sangat mudah meniru apa yang dilakukan orang di
sekitarnya.
Sudah lebih dari dua jam, Ratu belum
juga pulang. Bapak pun merasa ada yang aneh, Bapak terlihat kuatir walau
berusaha disembunyikan. Bapak terus memperhatikan jalan, duduk di depan toko
sambil membaca dengan sesekali melihat ke jalan. Mungkin kuatir dengan prosedur
pendaftaran Aishi yang belum memiliki akta lahir.
Aku memandikan Aishi lalu kembali
mengajaknya kembali bermain di kamar, telepon genggam ku berdering dari nomor
telepon genggam Ratu. Aku mengucap salam yang dijawab oleh suara seorang
laki-laki.
“Kami dari rumah sakit ingin mengabari
mba Ratu tadi menjadi salah satu korban kecelakaan, tolong jika ada yang
mengetahui pihak keluarga dikabari”, ucap seseorang diujung telepon yang
membuat ku kaget.
Aku dan Bapak segera menuju rumah
sakit, Neni menjaga Aishi di rumah. Saat aku memasuki rumah sakit, mata ku
berkaca-kaca. Lalu aku masuk ruangan rawat darurat, ada beberapa korban
kecelakaan lain. Aku melihat perempuan dengan kerudung hijau yang ada bercak
darah. Aku menyentuh tangannya pelan, ada perasaan takut yang menguasai hati
ku. Menyadari kedatangan ku, Ratu membuka matanya. Ratu berusaha tersenyum
melihat Bapak dan aku.
“Apa yang sakit?”, tanya Bapak.
“Kakak butuh apa sekarang?”, tanya ku
lagi dengan senyum yang ku paksakan.
“Aku minta air minum”, jawab Ratu
pelan.
Lalu segera aku keluar ruangan,
mencari dokter untuk menanyakan keadaan Ratu dan membeli air minum di kantin.
“Ada cidera tulang belakang, Ratu
masih kritis. Kami belum bisa menangani segera sampai keadaannya tubuhnya lebih
stabil. Sementara perbanyak air minum dan buah”, kata dokter muda yang
menangani Ratu.
Aku duduk di kursi tunggu depan
ruangan Ratu. Aku tak kuat menahan tangisan ku, aku khawatir sekali dengannya.
Cidera tulang belakang setahu ku akan fatal. Aku menutup wajah ku. Seseorang
yang duduk di sebelah ku menyapa.
“Bunga, ada apa disini?”, tanya seseorang
yang ku tahu itu Ari.
“Ratu...”, jawab ku singkat.
“Aku menemani ibu ku yang baru bisa
pulang besok”, jelas Ari tanpa ku tanya.
Aku pamit untuk memberi air minum pada
Ratu, Ari mengikuti ke dalam. Senyum Ratu lebih ceria melihat aku masuk dengan
Ari. Sedikit yang bisa diminum dari air yang ku bawa, Ratu kesulitan untuk
minum. Ari tersenyum menyapa Ratu seperti biasa tidak terjadi apa-apa. Lama
kami berdiam memperhatikan Ratu yang memejamkan mata tanpa tidur. Seorang
perawat masuk ke ruangan untuk memindahkan Ratu ke kamar rawat. Setelah di
kamar rawat, dokter muda tadi menemui ku dan Bapak. Ari pun ikut mendengarkan
penjelasan dokter itu di depan ruang kamar Ratu.
Kita diminta untuk banyak berdoa,
berharap keajaiban. Karena memang untuk kasus ini butuh banyak dukungan. Aku
hanya nyilu merasakan sakit yang dirasakan Ratu. Dia tidak pernah mengeluh
apapun yang dirasakan. Aku minta Bapak menemani Ratu, karena aku ingin solat
hajat menenangkan hati ku yang tidak menentu. Ari pamitan untuk ke ruangan ibunya.
Selesai solat aku kembali ke ruangan
Ratu. Ratu masih tertidur, aku membaca Al Qur’an pelan agar tak mengganggu
istirahatnya yang dikelilingi banyak selang di tubuhnya. Bapak yang lelah
tertidur di kursi depan. Aku tak tega melihat Bapak harus istirahat di kursi,
tapi Bapak tak mau pulang. Menjelang isya, Ari datang lagi dengan membawa
makanan. Ari tahu aku sering lupa makan. Bapak pun makan bersama kami, Ratu
hanya makan buah yang tadi magrib ku berikan walau tak sampai habis.
Setelah kami makan, Ari mengajak kami
bicara tentang banyak hal selama belajar berkebun. Ini tentu sangat menghibur
Bapak untuk mengalihkan kekhawatiran kami. Ari juga bercerita tentang ibunya
yang telah sehat. Ibunya kambuh penyakitnya saat berpikir keras. Saat sudah
lebih stabil pikirannya, kondisi kesehatannya juga lebih stabil. Menjelang jam
10, aku mulai mengantuk. Sebelumnya aku menghubungi Neni untuk menanyakan
keadaan Aishi.
“Assalamu’alaikum, Neni. Aishi sudah
tidur?”.
“Wa’alaikumsalam. Sudah, bagaimana
keadaan kak Ratu?”.
“Minta doanya, cidera tulang belakang.
Aku pun tidak terlalu mengerti, aku hanya minta tolong jaga Aishi. Besok pagi
aku akan pulang agar Aishi tidak bingung”.
Aku tutup sambungan telepon, aku
melihat Ratu ingin bicara. Aku mendekatkan wajah ke wajah Ratu.
“Bunga, Ari masih disini?”.
“Iya, dia di depan. Perlu ku panggil”.
Bapak dan Ari ku minta masuk ruangan.
“Bapak, kalau Ratu duluan boleh ya?”.
“Duluan apa?”, tanya Bapak tidak
mengerti.
“Duluan menghadap Allah”, jawab Ratu
dengan senyum.
“Kakak kenapa ngomong gitu?”, tanya ku
dengan agak marah.
“Ari, masih mau menjadi teman Aishi?”,
tanya Ratu.
Ari mengangguk dan tersenyum.
“Jadi ayah tuk Aishi dengan menikah
dengan Bunga ya?”, pinta Ratu.
“Insya Allah jika Bunga juga
menginginkan”.
“Bunga hanya tidak enak menikah
sebelum aku menikah, Aishi juga lahir tanpa ayah. Bunga tidak punya alasan
untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Bunga saja memaafkan ku yang sudah
membuatnya sempat berhenti menulis karena kehamilan Aishi waktu itu”.
Aku hanya diam, tak ingin banyak
berpendapat. Ari pun terlihat tidak enak, kemudian pamitan setelah Ratu kembali
tertidur. Aku dan Bapak tertidur juga.
Walau tidak nyenyak, aku memaksa untuk
memejamkan mata. Aku memikirkan apa yang tadi dikatakan Ratu. Ratu hanya ingin
seorang ayah untuk bisa menemani Aishi tumbuh. Dan Ratu seperti tak punya
pilihan untuk menikah. Keadaanya yang tidak seperti perempuan lain. Sebelum
azan subuh, aku mendengar Ratu mengigau. Ratu terus menyebut Allah dengan air
mata yang mengalir di sela kelopak matanya. Aku pegang tangannya yang lemah.
Mencoba menyadarkannya.
Bapak ikut terbangun mendengar suara
Ratu. Tak lama, suara Ratu makin pelan dan lambat. Tangannya ku rasa mulai
menjadi dingin dan saat takbir azan berkumandang, suar Ratu hilang dengan
hembusan terakhirnya. Aku memeluk Ratu yang tak lagi merasakan dan membalas
pelukan ku. Bapak mencium kening Ratu dan menitikkan air mata untuk berdoa
dalam hatinya.
Ari datang untuk mengajak kami solat
subuh berjamaah. Melihat Bapak saat membuka pintu untuk Ari, Ari tahu Ratu
telah pergi. Ari melaporkan ke seorang perawat lalu mengajak kami solat subuh
berjamaah di kamar saja. Air mata ku tak tertahan, seketika terus mengalir. Aku
menguatkan hati mengurus jenazah Ratu. Bapak menghubungi Neni di rumah untuk
mengabari para warga di masjid untuk minta disolatkan dan dimakamkan pagi ini.
Sampai di rumah, Aishi ku lihat duduk
di ranjang ku. Dia marah pada ku mengapa tak pulang semalam? Aku memeluknya
dengan menangis tersedu.
“Maafkan Bunbun ya, Bunda pergi tidak
lagi kembali. Aishi tetap melanjutkan mimpi Bunda untuk jadi soliha ya...”.
Aku mengajak Aishi untuk melihat
Bundanya terkhir kali. Hingga dimakamkan, Aishi tidak menampakkan kesedihan.
Aishi sangat tenang, entah seperti mengerti untuk tidak rewel. Mencium Bundanya
pun hanya sebentar lalu mengucap salam. Aku yang benar-benar tidak kuat melihat
Aishi mendapat cobaan seluar biasa ini. Aku terus berdoa agar Aishi juga bisa
menjadi orang luar biasa agar dapat menjadi amal Ratu yang tidak terputus
sebagai anak solih.
Para warga banyak sekali yang ikut
mengantarkan, mereka sangat mengagumi Ratu sebagai seorang perempuan yang hidup
dengan seorang tanpa suami namun begitu peduli dengan tetangga. Sering tetangga
yang diketahuinya butuh bantuan, Ratu mengumpulkan sumbangan untuk membantunya.
Mukena masjid yang kotor sering dicucinya atau diganti baru. Ratu sangat
disukai anak-anak sekitar yang sering mendapat hadiah kecil jika pulang mangaji
melewati toko.
Kepergian Ratu mengajarkan aku untuk
terus berbuat kebaikan sekecil apapun yang kita mampu sebagai bekal menghadap
Pencipta. Mungkin menurut kita itu hal kecil, tapi sangat berarti untuk orang
lain yang membutuhkan.
Aku minta Neni membawa pulang Aishi
lebih dulu, aku ingin berbicara dalam hati dengan Ratu. Aishi tetap ingin
bersama ku, lalu Bapak dan Neni ku minta pulang saja. Para warga satu persatu
pulang. Aku melihat Bapak dan Ibu Zaki bersama Ari menyalami Bapak. Ari hanya
mengangguk menyapa ku. Aku hanya tersenyum.
Air mata ku masih mengalir menatap
pemakaman Ratu yang sederhana. Aku mengingat semua kebaikannya dan berdoa
semoga Allah menerima dan mengampuni kesalahannya. Kesalahan itu telah
diperbaiki dengan menjadi seorang perempuan luar biasa.
“Bunbun, Ai laper. Kita pulang ya.
Besok kita kesini lagi”, pinta Aishi yang membuat ku beranjak.
Sekilas aku melihat Ari di seberang
jalan, memperhatikan ku. Tapi aku terus berjalan ke rumah. Setelah di rumah,
Bapak meminta ku menemani Aishi makan.
“Waktu pulang, Bapak bertemu orang tua
Ari. Mereka memberi makanan ini, katanya Ari kuatir Bunga lupa makan”, kata
Bapak.
“Bapak dan Neni sudah makan?”, tanya
ku sambil menyiapkan makan untuk Aishi yang sudah duduk di sebelah ku.
Bapak mengangguk dan masuk ke dalam
kamar. Neni duduk menemani ku dengan sebuah buku. Neni masih sangat senang
membaca.
“Buku apa Neni?”, tanya ku
“Pernikahan, kemarin aku bertemu
dengan seseorang di masjid. Dia memberi ini”, cerita Neni.
“Wah, manis sekali. Jika Neni sudah
dapatkan lelaki solih, boleh kapan saja untuk pergi bersama dengannya”, kata ku
yang sedikit bahagia mendengar cerita Neni barusan.
“Aku sudah tidak memiliki keluarga
selain, Bapak, Bunga dan Aishi. Aku ingin tetap disini, masih ingin tetap
belajar hidup”, kata Neni.
“Belajar hidup bisa dimana saja”,
jawab ku.
“Disini jadi sekolah hidup buat ku,
aku tidak pernah merasa sebagai pegawai. Lebih menjadi saudara, yang punya hak
sama. Aku disekolahkan dan boleh membeli buku apa saja dan mengikuti berbagai
kegiatan yang membuat aku berarti. Sejak aktif di remaja masjid aku lebih percaya
diri. Ternyata cobaan dari orang tua ku tidak ada apa-apanya dibandingkan yang
lain. Dengan melihat kehidupan orang lain, kita lebih bisa menghargai kehidupan
yang kita miliki”, curahan hati Neni yang membuat ku terharu dan tersenyum
padanya.
“Jadi ijinkan aku tetap menjadi bagian
keluarga ini”, pinta Neni.
Aku menggenggam tangannya. Melihatnya
sekarang jauh lebih dewasa, kegemaran membaca dan bersosial membuatnya seperti
sekarang.
“Semoga yang kita lakukan ini berkah”,
doa ku.
“Aamiin...”, doa Neni lirih.
Setelah kami makan, aku dan Neni
merapikan barang-barang Ratu. Yang masih baik akan disumbangkan, sesekali air
mata ku mengalir. Mengingat pelukan terakhirnya kemarin pagi, membuat ku ingin
memeluk Neni. Neni hanya menepuk pundak ku, Aishi bermain sendiri dengan boneka
ikan yang pernah dibelikan Ratu.
Sering kita tidak menyadari arti
sesuatu saat dia ada, namun saat sudah pergi baru menyadari artinya. Aku hanya
memikirkan Aishi, aku harus tetap bergerak untuk dia bertahan. Bukan ingin
sekedar menjadi keluarga,tapi juga membuat Aishi memiliki kualitas hidup yang
baik. Diantara barang-barang Ratu, aku sangat terkesima dengan foto kami
sekeluarga yang tersimpan cantik. Sebuah tulisan di sela pigura fotonya.
“Bapak, Ratu, Bunga, Aishi dan Neni...
Keluarga baru yang indah..
Alhamdulillah
Semoga Ibu baik-baik dimana pun, suami
ku yang Allah siapkan dan suami Bunga yang telah hadir dengan sinar matahari
kami ingin dapat melengkapi cerita Aishi...”.
Membacanya membuat air mata ku kembali
mengalir, Ratu tak pernah bercerita tentang ini. Ku pikir dia baik-baik saja,
tapi aku terlambat untuk tahu. Hanya amal jariyah yang dibutuhkannya sekarang.
Dari ilmu dan kesolihan Aishi yang menerangi Ratu.
Diam ku agak lama, membuat aku tidak
sadar Aishi di belakang ku ingin memeluk. Aku menyambutnya dengan mengusap sisa
air mata di wajah ku. Neni hanya tersenyum melihat kami.
“Besok kita akan ke sekolah, Aishi
ya...”, ucap ku pada Aishi sambil melepas pelukannya.
Aishi hanya mengangguk dan tersenyum.
Lalu mengambil foto di pangkuan ku untuk dibawa ke atas meja di sisi ranjang.
Aishi terlihat mengantuk, dia merebahkan tubuh kecilnya di atas ranjang lalu
tertidur. Aku dan Neni menyelesaikan pekerjaan merapikan barang-barang Ratu.
Ratu orang yang sangat rapi dalam merawat barang, semua yang disimpannya dalah
barang yang memang benar-benar digunakannya. Tidak ada yang sia-sia tersimpan.
Aku dan Neni mengeluarkan barang-barang dari dalam kamar. Aku melihat Bapak
membuat ku segelas teh manis hangat. Bapak memberikan pada ku dan Neni. Kami
duduk di halaman belakang. Malam sudah mulai meninggi, bintang berkerlip
menghiasi langit.
“Terasa rumah ini jadi lebih luas”,
ucap Neni setelah meminum tehnya.
Aku hanya tersenyum melihat Neni.
Bapak duduk di atas kursi, ku sandarkan kepala di lututnya. Bapak pun seperti
biasa mengusap kepala ku.
“Bunga...”, panggil Bapak pelan.
“Iya, Pak”, jawab ku sambil
menghadapkan wajah pada Bapak.
“Bapak semakin khawatir dengan Aishi, Bunga
bisa bantu?”.
“Bantu apa, Pak?”.
“Menikahlah, untuk bisa mengangkat
Aishi sebagai anak asuh. Bapak ingin Aishi tetap bisa merasakan keluarga.
Itupun jika Bunga telah siap untuk menikah”, pinta Bapak yang sekali lagi
mengusap kepala ku.
Aku mengangguk saja, melihat bintang
biru yang cerah.
“Bapak sudah mencari informasi untuk
pengasuhan anak, harus yang sudah menikah atau berumur di atas 30 tahun. Aishi
belum punya surat kelahiran karena kemarin belum bisa mengurusnya. Jadi untuk
sekolah butuh surat-surat itu”.
Neni yang duduk di sebelah ku
menggenggam tangan ku.
“Maaf kalau aku ikut bicara, tetap
niatkan pernikahan karena Allah. Dengan itu lebih mudah melaluinya. Walau
memang kami semua berharap Bunga dapat segera mengambil keputusan itu”, ucap Neni.
Ratu
telah membaikkan diri dari ulat hingga menjadi kupu-kupu cantik, perjalanan
hidup yang tak pernah kita tahu ujungnya. Kupu-kupu cantik itu akan kembali
pada Penciptanya setelah melakukan tugas terbaik dalam hidupnya. Mengindahkan
dunia dengan sebuah karya. Ratu Mawar, ku titip sebuah doa agar selalu
menyertai mu sebuah cinta dari Maha Cinta. Terima kasih telah mengajari
kehidupan untuk ku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar