Selasa, 06 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 13 Pelukan Terakhir Ratu


Pelukan Terakhir Ratu

          Hingga azan subuh berkumandang, aku belum juga dapat memejamkan mata. Pintu kamar ku diketuk Bapak, membangunkan ku. Bapak masih membangunkan untuk mengajak solat berjamaah. Aku yang masih terjaga, keluar kamar untuk membasuh wajah dengan air wudu lagi. Untuk sedikit mengurangi sisa air mata di mata. Tapi seperti apa ku sembunyikan, Bapak merasakannya. Selesai solat Bapak menemui ku di kamar, mengusap rambut dan wajah ku. Aku mencium tangan Bapak dan memeluknya. Aku merasa tenang dan sangat membutuhkan dukungan. Kami berdua tidak berkata apa-apa. Hingga setetes air mata mengalir menyentuh wajah ku. Aku melihat wajah Bapak, ternyata Bapak pun sedih.
          “Bapak kenapa”, tanya ku sambil mengajak duduk di sisi ranjang ku.
          “Bunga sedih karena Ratu semalam?”, tanya Bapak yang membuat ku cukup kaget.
          Aku menganggukkan kepala.
          “Kalian bertiga adalah cahaya hidup Bapak. Bapak hanya bisa berdoa yang terbaik untuk kalian”, ucap Bapak.
          Aishi masuk ke kamar ku, menyusul Ratu yang agak merasa aneh dengan melihat aku dan Bapak yang tidak seperti biasanya.
          “Bunga hari ini keluar jam berapa? Aku mau ke sekolah Aishi untuk mengurus pendaftarannya”, tanya Ratu.
          “Hari ini ingin di rumah, ada tulisan yang harus diselesaikan segera”, jawab ku.
          Ratu memperhatikan mata ku yang sembab, tapi tak bertanya apa-apa. Ratu mencium tangan Bapak dan memeluknya. Lalu memeluk ku agak lama dengan membisikkan permintaan maaf. Aku tak mengerti maaf untuk apa? Lalu Ratu pergi sendiri, Aishi bermain di kamar ku. Melihat-lihat buku bergambar dan mencorat-coret buku tulis.
          Sambil menemani Aishi, aku membaca sebuah buku yang harus aku resensi. Buku tentang pendidikan anak yang baru ku beli. Mendidik anak merupakan bagian dari ibadah yang semestinya dikaji sejak mulai beranjak dewasa, tidak hanya saat baru mau menikah. Membaikkan akhlaq kita untuk menyiapkan generasi yang lebih baik. Sebab pendidikan yang terbaik adalah keteladanan. Anak yang sangat mudah meniru apa yang dilakukan orang di sekitarnya.
          Sudah lebih dari dua jam, Ratu belum juga pulang. Bapak pun merasa ada yang aneh, Bapak terlihat kuatir walau berusaha disembunyikan. Bapak terus memperhatikan jalan, duduk di depan toko sambil membaca dengan sesekali melihat ke jalan. Mungkin kuatir dengan prosedur pendaftaran Aishi yang belum memiliki akta lahir.
          Aku memandikan Aishi lalu kembali mengajaknya kembali bermain di kamar, telepon genggam ku berdering dari nomor telepon genggam Ratu. Aku mengucap salam yang dijawab oleh suara seorang laki-laki.
          “Kami dari rumah sakit ingin mengabari mba Ratu tadi menjadi salah satu korban kecelakaan, tolong jika ada yang mengetahui pihak keluarga dikabari”, ucap seseorang diujung telepon yang membuat ku kaget.
          Aku dan Bapak segera menuju rumah sakit, Neni menjaga Aishi di rumah. Saat aku memasuki rumah sakit, mata ku berkaca-kaca. Lalu aku masuk ruangan rawat darurat, ada beberapa korban kecelakaan lain. Aku melihat perempuan dengan kerudung hijau yang ada bercak darah. Aku menyentuh tangannya pelan, ada perasaan takut yang menguasai hati ku. Menyadari kedatangan ku, Ratu membuka matanya. Ratu berusaha tersenyum melihat Bapak dan aku.
          “Apa yang sakit?”, tanya Bapak.
          “Kakak butuh apa sekarang?”, tanya ku lagi dengan senyum yang ku paksakan.
          “Aku minta air minum”, jawab Ratu pelan.
          Lalu segera aku keluar ruangan, mencari dokter untuk menanyakan keadaan Ratu dan membeli air minum di kantin.
          “Ada cidera tulang belakang, Ratu masih kritis. Kami belum bisa menangani segera sampai keadaannya tubuhnya lebih stabil. Sementara perbanyak air minum dan buah”, kata dokter muda yang menangani Ratu.
          Aku duduk di kursi tunggu depan ruangan Ratu. Aku tak kuat menahan tangisan ku, aku khawatir sekali dengannya. Cidera tulang belakang setahu ku akan fatal. Aku menutup wajah ku. Seseorang yang duduk di sebelah ku menyapa.
          “Bunga, ada apa disini?”, tanya seseorang yang ku tahu itu Ari.
          “Ratu...”, jawab ku singkat.
          “Aku menemani ibu ku yang baru bisa pulang besok”, jelas Ari tanpa ku tanya.
          Aku pamit untuk memberi air minum pada Ratu, Ari mengikuti ke dalam. Senyum Ratu lebih ceria melihat aku masuk dengan Ari. Sedikit yang bisa diminum dari air yang ku bawa, Ratu kesulitan untuk minum. Ari tersenyum menyapa Ratu seperti biasa tidak terjadi apa-apa. Lama kami berdiam memperhatikan Ratu yang memejamkan mata tanpa tidur. Seorang perawat masuk ke ruangan untuk memindahkan Ratu ke kamar rawat. Setelah di kamar rawat, dokter muda tadi menemui ku dan Bapak. Ari pun ikut mendengarkan penjelasan dokter itu di depan ruang kamar Ratu.
          Kita diminta untuk banyak berdoa, berharap keajaiban. Karena memang untuk kasus ini butuh banyak dukungan. Aku hanya nyilu merasakan sakit yang dirasakan Ratu. Dia tidak pernah mengeluh apapun yang dirasakan. Aku minta Bapak menemani Ratu, karena aku ingin solat hajat menenangkan hati ku yang tidak menentu. Ari pamitan untuk ke ruangan ibunya.
          Selesai solat aku kembali ke ruangan Ratu. Ratu masih tertidur, aku membaca Al Qur’an pelan agar tak mengganggu istirahatnya yang dikelilingi banyak selang di tubuhnya. Bapak yang lelah tertidur di kursi depan. Aku tak tega melihat Bapak harus istirahat di kursi, tapi Bapak tak mau pulang. Menjelang isya, Ari datang lagi dengan membawa makanan. Ari tahu aku sering lupa makan. Bapak pun makan bersama kami, Ratu hanya makan buah yang tadi magrib ku berikan walau tak sampai habis.
          Setelah kami makan, Ari mengajak kami bicara tentang banyak hal selama belajar berkebun. Ini tentu sangat menghibur Bapak untuk mengalihkan kekhawatiran kami. Ari juga bercerita tentang ibunya yang telah sehat. Ibunya kambuh penyakitnya saat berpikir keras. Saat sudah lebih stabil pikirannya, kondisi kesehatannya juga lebih stabil. Menjelang jam 10, aku mulai mengantuk. Sebelumnya aku menghubungi Neni untuk menanyakan keadaan Aishi.
          “Assalamu’alaikum, Neni. Aishi sudah tidur?”.
          “Wa’alaikumsalam. Sudah, bagaimana keadaan kak Ratu?”.
          “Minta doanya, cidera tulang belakang. Aku pun tidak terlalu mengerti, aku hanya minta tolong jaga Aishi. Besok pagi aku akan pulang agar Aishi tidak bingung”.
          Aku tutup sambungan telepon, aku melihat Ratu ingin bicara. Aku mendekatkan wajah ke wajah Ratu.
          “Bunga, Ari masih disini?”.
          “Iya, dia di depan. Perlu ku panggil”.
          Bapak dan Ari ku minta masuk ruangan.
          “Bapak, kalau Ratu duluan boleh ya?”.
          “Duluan apa?”, tanya Bapak tidak mengerti.
          “Duluan menghadap Allah”, jawab Ratu dengan senyum.
          “Kakak kenapa ngomong gitu?”, tanya ku dengan agak marah.
          “Ari, masih mau menjadi teman Aishi?”, tanya Ratu.
          Ari mengangguk dan tersenyum.
          “Jadi ayah tuk Aishi dengan menikah dengan Bunga ya?”, pinta Ratu.
          “Insya Allah jika Bunga juga menginginkan”.
          “Bunga hanya tidak enak menikah sebelum aku menikah, Aishi juga lahir tanpa ayah. Bunga tidak punya alasan untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Bunga saja memaafkan ku yang sudah membuatnya sempat berhenti menulis karena kehamilan Aishi waktu itu”.
          Aku hanya diam, tak ingin banyak berpendapat. Ari pun terlihat tidak enak, kemudian pamitan setelah Ratu kembali tertidur. Aku dan Bapak tertidur juga.
          Walau tidak nyenyak, aku memaksa untuk memejamkan mata. Aku memikirkan apa yang tadi dikatakan Ratu. Ratu hanya ingin seorang ayah untuk bisa menemani Aishi tumbuh. Dan Ratu seperti tak punya pilihan untuk menikah. Keadaanya yang tidak seperti perempuan lain. Sebelum azan subuh, aku mendengar Ratu mengigau. Ratu terus menyebut Allah dengan air mata yang mengalir di sela kelopak matanya. Aku pegang tangannya yang lemah. Mencoba menyadarkannya.
          Bapak ikut terbangun mendengar suara Ratu. Tak lama, suara Ratu makin pelan dan lambat. Tangannya ku rasa mulai menjadi dingin dan saat takbir azan berkumandang, suar Ratu hilang dengan hembusan terakhirnya. Aku memeluk Ratu yang tak lagi merasakan dan membalas pelukan ku. Bapak mencium kening Ratu dan menitikkan air mata untuk berdoa dalam hatinya.
          Ari datang untuk mengajak kami solat subuh berjamaah. Melihat Bapak saat membuka pintu untuk Ari, Ari tahu Ratu telah pergi. Ari melaporkan ke seorang perawat lalu mengajak kami solat subuh berjamaah di kamar saja. Air mata ku tak tertahan, seketika terus mengalir. Aku menguatkan hati mengurus jenazah Ratu. Bapak menghubungi Neni di rumah untuk mengabari para warga di masjid untuk minta disolatkan dan dimakamkan pagi ini.
          Sampai di rumah, Aishi ku lihat duduk di ranjang ku. Dia marah pada ku mengapa tak pulang semalam? Aku memeluknya dengan menangis tersedu.
          “Maafkan Bunbun ya, Bunda pergi tidak lagi kembali. Aishi tetap melanjutkan mimpi Bunda untuk jadi soliha ya...”.
          Aku mengajak Aishi untuk melihat Bundanya terkhir kali. Hingga dimakamkan, Aishi tidak menampakkan kesedihan. Aishi sangat tenang, entah seperti mengerti untuk tidak rewel. Mencium Bundanya pun hanya sebentar lalu mengucap salam. Aku yang benar-benar tidak kuat melihat Aishi mendapat cobaan seluar biasa ini. Aku terus berdoa agar Aishi juga bisa menjadi orang luar biasa agar dapat menjadi amal Ratu yang tidak terputus sebagai anak solih.
          Para warga banyak sekali yang ikut mengantarkan, mereka sangat mengagumi Ratu sebagai seorang perempuan yang hidup dengan seorang tanpa suami namun begitu peduli dengan tetangga. Sering tetangga yang diketahuinya butuh bantuan, Ratu mengumpulkan sumbangan untuk membantunya. Mukena masjid yang kotor sering dicucinya atau diganti baru. Ratu sangat disukai anak-anak sekitar yang sering mendapat hadiah kecil jika pulang mangaji melewati toko.
          Kepergian Ratu mengajarkan aku untuk terus berbuat kebaikan sekecil apapun yang kita mampu sebagai bekal menghadap Pencipta. Mungkin menurut kita itu hal kecil, tapi sangat berarti untuk orang lain yang membutuhkan.
          Aku minta Neni membawa pulang Aishi lebih dulu, aku ingin berbicara dalam hati dengan Ratu. Aishi tetap ingin bersama ku, lalu Bapak dan Neni ku minta pulang saja. Para warga satu persatu pulang. Aku melihat Bapak dan Ibu Zaki bersama Ari menyalami Bapak. Ari hanya mengangguk menyapa ku. Aku hanya tersenyum.
          Air mata ku masih mengalir menatap pemakaman Ratu yang sederhana. Aku mengingat semua kebaikannya dan berdoa semoga Allah menerima dan mengampuni kesalahannya. Kesalahan itu telah diperbaiki dengan menjadi seorang perempuan luar biasa.
          “Bunbun, Ai laper. Kita pulang ya. Besok kita kesini lagi”, pinta Aishi yang membuat ku beranjak.
          Sekilas aku melihat Ari di seberang jalan, memperhatikan ku. Tapi aku terus berjalan ke rumah. Setelah di rumah, Bapak meminta ku menemani Aishi makan.
          “Waktu pulang, Bapak bertemu orang tua Ari. Mereka memberi makanan ini, katanya Ari kuatir Bunga lupa makan”, kata Bapak.
          “Bapak dan Neni sudah makan?”, tanya ku sambil menyiapkan makan untuk Aishi yang sudah duduk di sebelah ku.
          Bapak mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Neni duduk menemani ku dengan sebuah buku. Neni masih sangat senang membaca.
          “Buku apa Neni?”, tanya ku
          “Pernikahan, kemarin aku bertemu dengan seseorang di masjid. Dia memberi ini”, cerita Neni.
          “Wah, manis sekali. Jika Neni sudah dapatkan lelaki solih, boleh kapan saja untuk pergi bersama dengannya”, kata ku yang sedikit bahagia mendengar cerita Neni barusan.
          “Aku sudah tidak memiliki keluarga selain, Bapak, Bunga dan Aishi. Aku ingin tetap disini, masih ingin tetap belajar hidup”, kata Neni.
          “Belajar hidup bisa dimana saja”, jawab ku.
          “Disini jadi sekolah hidup buat ku, aku tidak pernah merasa sebagai pegawai. Lebih menjadi saudara, yang punya hak sama. Aku disekolahkan dan boleh membeli buku apa saja dan mengikuti berbagai kegiatan yang membuat aku berarti. Sejak aktif di remaja masjid aku lebih percaya diri. Ternyata cobaan dari orang tua ku tidak ada apa-apanya dibandingkan yang lain. Dengan melihat kehidupan orang lain, kita lebih bisa menghargai kehidupan yang kita miliki”, curahan hati Neni yang membuat ku terharu dan tersenyum padanya.
          “Jadi ijinkan aku tetap menjadi bagian keluarga ini”, pinta Neni.
          Aku menggenggam tangannya. Melihatnya sekarang jauh lebih dewasa, kegemaran membaca dan bersosial membuatnya seperti sekarang.
          “Semoga yang kita lakukan ini berkah”, doa ku.
          “Aamiin...”, doa Neni lirih.
          Setelah kami makan, aku dan Neni merapikan barang-barang Ratu. Yang masih baik akan disumbangkan, sesekali air mata ku mengalir. Mengingat pelukan terakhirnya kemarin pagi, membuat ku ingin memeluk Neni. Neni hanya menepuk pundak ku, Aishi bermain sendiri dengan boneka ikan yang pernah dibelikan Ratu.
          Sering kita tidak menyadari arti sesuatu saat dia ada, namun saat sudah pergi baru menyadari artinya. Aku hanya memikirkan Aishi, aku harus tetap bergerak untuk dia bertahan. Bukan ingin sekedar menjadi keluarga,tapi juga membuat Aishi memiliki kualitas hidup yang baik. Diantara barang-barang Ratu, aku sangat terkesima dengan foto kami sekeluarga yang tersimpan cantik. Sebuah tulisan di sela pigura fotonya.
          “Bapak, Ratu, Bunga, Aishi dan Neni...
          Keluarga baru yang indah.. Alhamdulillah
          Semoga Ibu baik-baik dimana pun, suami ku yang Allah siapkan dan suami Bunga yang telah hadir dengan sinar matahari kami ingin dapat melengkapi cerita Aishi...”.
          Membacanya membuat air mata ku kembali mengalir, Ratu tak pernah bercerita tentang ini. Ku pikir dia baik-baik saja, tapi aku terlambat untuk tahu. Hanya amal jariyah yang dibutuhkannya sekarang. Dari ilmu dan kesolihan Aishi yang menerangi Ratu.
          Diam ku agak lama, membuat aku tidak sadar Aishi di belakang ku ingin memeluk. Aku menyambutnya dengan mengusap sisa air mata di wajah ku. Neni hanya tersenyum melihat kami.
          “Besok kita akan ke sekolah, Aishi ya...”, ucap ku pada Aishi sambil melepas pelukannya.
          Aishi hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu mengambil foto di pangkuan ku untuk dibawa ke atas meja di sisi ranjang. Aishi terlihat mengantuk, dia merebahkan tubuh kecilnya di atas ranjang lalu tertidur. Aku dan Neni menyelesaikan pekerjaan merapikan barang-barang Ratu. Ratu orang yang sangat rapi dalam merawat barang, semua yang disimpannya dalah barang yang memang benar-benar digunakannya. Tidak ada yang sia-sia tersimpan. Aku dan Neni mengeluarkan barang-barang dari dalam kamar. Aku melihat Bapak membuat ku segelas teh manis hangat. Bapak memberikan pada ku dan Neni. Kami duduk di halaman belakang. Malam sudah mulai meninggi, bintang berkerlip menghiasi langit.
          “Terasa rumah ini jadi lebih luas”, ucap Neni setelah meminum tehnya.
          Aku hanya tersenyum melihat Neni. Bapak duduk di atas kursi, ku sandarkan kepala di lututnya. Bapak pun seperti biasa mengusap kepala ku.
          “Bunga...”, panggil Bapak pelan.
          “Iya, Pak”, jawab ku sambil menghadapkan wajah pada Bapak.
          “Bapak semakin khawatir dengan Aishi, Bunga bisa bantu?”.
          “Bantu apa, Pak?”.
          “Menikahlah, untuk bisa mengangkat Aishi sebagai anak asuh. Bapak ingin Aishi tetap bisa merasakan keluarga. Itupun jika Bunga telah siap untuk menikah”, pinta Bapak yang sekali lagi mengusap kepala ku.
          Aku mengangguk saja, melihat bintang biru yang cerah.
          “Bapak sudah mencari informasi untuk pengasuhan anak, harus yang sudah menikah atau berumur di atas 30 tahun. Aishi belum punya surat kelahiran karena kemarin belum bisa mengurusnya. Jadi untuk sekolah butuh surat-surat itu”.
          Neni yang duduk di sebelah ku menggenggam tangan ku.
          “Maaf kalau aku ikut bicara, tetap niatkan pernikahan karena Allah. Dengan itu lebih mudah melaluinya. Walau memang kami semua berharap Bunga dapat segera mengambil keputusan itu”, ucap Neni.

          Ratu telah membaikkan diri dari ulat hingga menjadi kupu-kupu cantik, perjalanan hidup yang tak pernah kita tahu ujungnya. Kupu-kupu cantik itu akan kembali pada Penciptanya setelah melakukan tugas terbaik dalam hidupnya. Mengindahkan dunia dengan sebuah karya. Ratu Mawar, ku titip sebuah doa agar selalu menyertai mu sebuah cinta dari Maha Cinta. Terima kasih telah mengajari kehidupan untuk ku...
         
         











Tidak ada komentar:

Posting Komentar