Jumat, 25 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 12 Benar, Bintang itu adalah Matahari

 Benar, Bintang itu adalah Matahari
          Sudah dua bulan terlewati program yang kami lakukan selesai. Semester ke empat ku kini, aku lebih banyak kajian pustaka di perpustakaan. Sudah mulai jarang ke lapangan, aku mulai mencari referensi untuk skripsi ku nanti. Aku ingin segera lulus kuliah dan melanjutkan S.2 di luar negeri. Menjelajahi bagian bumi lain, seperti membuka halaman selanjutnya dari buku yang kita baca. Setelah dapat ilmu di luar, kembali membangun di negara sendiri. Menikmati hari tua di desa dengan anak-anak. Indah sekali...
          Pertemuan ku dengan Ari dan Abdi mulai jarang. Kecuali Ari menyempatkan datang untuk Aishi yang menanyakannya setelah beberapa hari tak bermain bersama. Aishi belum pernah ku lihat bisa sedekat ini dengan orang lain selain keluarga yang setiap hari bersamanya. Ari memang sederhana dan menyenangkan untuk Aishi.
          Hari ini aku membutuhkan sebuah buku yang dapat menjadi penenang hati ku. Hati ku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Aku takut ini sebuah kesalahan. Setelah semua yang terjadi belakangan ini, semenjak di desa aku merasa ada yang berbeda dengan ku. Tanpa ku sadari aku lebih lama untuk berkaca saat akan pergi, aku lebih sering menulis tentang hati, membaca buku tentang menata hati dan aku lebih pendiam untuk berpikir apa yang ku rasa dengan hati ku. Kali ini pun di tengah kesibukan yang sedikit memberi waktu untuk sendiri, aku menyempatkan diri untuk ke toko buku langganan.
          “Mba Bunga, sudah lama tidak mampir”, sapa Ibu penjaga toko.
          “Iya, Bu. Kuliah saya sekarang lebih padat”, jawab ku sambil menyalaminya.
          “Buku mba Bunga selalu dicari orang hampir setiap hari ada yang tanya. Saya jadi penasaran, masa saya yang menjual malah belum pernah baca? Saat saya baca, saya melihat mba Bunga seperti saya lihat sekarang”.
          “Sekarang saya terlihat seperti apa, Bu?”, tanya ku.
          “Mba Bunga sederhana dan bersahaja. Padahal sudah jadi penulis terkenal, masih senang bersepeda, berbelanja di pasar, banyak yang menyukai tulisan mba tapi jarang ada yang tahu mba penulisnya. Saya heran saja, tidak mungkin selamanya mba tidak diketahui orang”
          “Iya, saya juga pernah memikirkannya. Insya Allah jika saya sudah siap dan kondisinya memungkinkan untuk mengatakan pada orang saya akan promosi buku-buku yang sudah saya terbitkan. Dengan maksud agar orang mudah menemui saya. Saya hanya kuatir belum bisa menjaga hati dengan popularitas”.
          “Ada seorang lelaki yang Ibu perhatikan selalu datang sepekan minimal sekali. Dia selalu menanyakan buku-buku mba Bunga. Dia banyak cerita, katanya sudah punya semua tulisan mba Bunga. Datang kesini hanya untuk melihat banyaknya buku yang terjual. Ibu pikir dia orang penerbitan, tapi setelah berbicara lama Ibu jadi menilai dia mengagumi mba Bunga”.
          “Ibu bisa saja. Saya hanya ingin membagi kebaikan yang saya mampu. Saya ingin mempunyai arti dalam hidup yang telah diamanahkan. Saya ingin Allah mencintai saya”, ucap ku dengan mata agak berkaca, lalu ku alihkan pandangan di tumpukan buku-buku psikologi.
          “Mba Bunga mau cari buku apa?”
          “Buku psikologi pendidikan di rak mana ya?”
          “Biasanya tentang pertanian, psikologi dan pendidikan di rak 7”
          “Bolehkan kita belajar ilmu selain yang sedang kita pelajari?”, goda ku sambil tersenyum.
          “Oya, lelaki tadi Ibu tanya namanya Matahari. Semoga mba berjodoh dengan lelaki sederhana itu. Kalian berdua serasi, sama-sama baiknya”, kata Ibu penjaga toko dengan menepuk bahu ku.
          Aku hanya tersenyum menutupi kekagetan ku. Lagi-lagi Matahari. Aku masih belum mengerti apa yang dia kerjakan? Setiap bertemu, dia hanya diam. Kita bicara hanya seputar desa dan rumah pengelolaan zakatnya. Walau sering ke rumah, dia hanya asik bermain dengan Aishi. Aku keluar kota pun dia tetap ke rumah. Berarti dia tidak hanya ingin bertemu dengan ku saja.
          Aku jadi tidak berkonsentrasi membaca, aku menarik napas panjang duduk di kursi sebelah kolam ikan di tengah toko buku yang asri ini. Gemericik air di air terjun kecil buatan dan riak ikan warna-warni di dalam kolamnya membuat ku tersenyum kecil. Buku yang ingin ku baca hanya tertutup di pangkuan ku. Aku benar-benar belum menemukan rasa hati ku, tiap kali ingat Ari aku ingin menangis entah kenapa?
          Kali ini aku ingin berjalan kaki, sehingga perjalanan ke toko buku dengan bus kota. Sesaat saat akan membayar buku yang ku beli, awan mendung menggantung. Sepertinya akan hujan deras. Padahal seingat ku harusnya bulan ini sudah tidak masuk musim hujan. Aku menunggu bus di shelter terdekat, kembali ku baca buku yang baru ku beli. Rintik gerimis mulai turun, hawa dingin berhembus pelan. Sebuah bus kota jurusan rumah ku datang, aku berdiri dekat pintu masuk depan menunggu penumpang turun lalu aku naik. Sekilas aku melihat seseorang dengan jaket biru dan tas ransel hitam yang tak asing.
          “Ari...”, kata ku dalam hati saat sudah duduk dalam bus kota.
          Ku lihat Ari juga menyadari kita berpapasan tanpa menyapa, dia terlihat mencoba memastikan sesuatu ke dalam bus. Tapi bus kota ini tak berhanti lama, bus kota melaju pelan menyusuri hujan yang mulai deras. Aku memperhatikan rembesan air di sisi luar jendela bus. Sepanjang jalan yang basah dan membuat orang banyak menghindari basah.
          Sesampai di rumah, aku minta Ratu menjemput di shelter bus kota terdekat. Aku bukannya ingin mengindari hujan, hanya tak ingin jadi contoh tidak baik untuk Aishi yang dijewer Ratu. Lagipula ada sebuah buku baru yang ku beli, sehingga aku tak mau buku ini rusak karena basah.
          Di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar setelah menyapa Neni di toko. Aku lupa jika ada janji dengan mba Lusi yang melahirkan semalam. Aku ingin melihat keponakan baru ku itu. Diluar masih hujan, walau tidak terlalu deras aku memilih untuk menumpang bus kota lagi. Aku mengambil sebuah buku mendidik anak yang telah lama ku beli namun belum sempat ku berikan mba Lusi.
          “Bunga mau pergi lagi?”, tanya Ratu.
          “Iya kak, aku lupa menjenguk mba Lusi yang melahirkan semalam. Insya Allah magrib sudah di rumah”, pamit ku.
          “Bunga, tadi Ari kesini lagi bermain dengan Aishi seperti biasanya. Karena mulai mendung, Ari agak buru-buru pergi. Katanya harus mencari buku penting hari ini juga. Ada selembar kertas dari tasnya yang tercecer. Mungkin penting, aku tak berani membacanya. Bunga bawa saja, nanti kalau bertemu dikembalikan”, kata Ratu sambil menyerahkan selembar kertas biru yang tak asing buat ku.
          Aku langsung memasukkan kertas itu ke dalam tas ku, kemudian berangkat ke rumah bersalin. Hujan pun masih betah menyelimuti kota, kembali hati ku terasa asing. Aku masih belum mengerti mengapa hati ini seperti ini? Aku merasa sendiri di keramaian jalan, hujan ini seolah mewakilkan hujan hati ku. Aku seperti anak kecil yang butuh payung untuk dapat tenang di tengah hujan.
          Sesampainya di rumah bersalin, aku segera masuk ke ruangan mba Lusi sesuai petunjuk perawat penjaga. Wangi bedak bayi menyeruak saat pintu yang ku ketuk terbuka. Suami mba Lusi menangkupkan tangan di dadanya menyambut kedatangan ku. Aku pun mengkupkan tangan dan senyum kecil. Lalu aku menghampiri bayi kecil di ranjang sebelah mba Lusi. Bahagianya menjadi seorang Ibu. Lengkap sudah tugas kita sebagai perempuan... setelah menjadi anak dan saudara, kita menjadi istri lalu seorang ibu. Manis sekali.
          “Salaman dulu dong, Bunga. Masa ke anak ku duluan?”, ucap mba Lusi yang heran dengan sikap ku yang terlalu menyukai anak kecil.
          “Eh, maaf mba. Hampir lupa”, jawab ku tertawa lalu menyalami mba Lusi dan mengucapkan selamat menjadi ibu, karir terpanjang tanpa gelar.
          “Mengapa baru datang? Aku sudah menunggu dari tadi pagi”, kata mba Lusi.
          “Hampir saja aku lupa untuk datang, karena main ke toko buku tadi pagi”.
          “Baiklah, jika sudah bicara buku Bunga akan lupa di bumi mana dia sekarang”, canda mba Lusi.
          “Ini buku yang ingin ku berikan, semoga manfaat”, ucap ku lalu menaruh buku itu di meja sisi ranjang mba Lusi.
          “Terima kasih banyak, Bunga. Aku ingin memeluk mu”, pinta mba Lusi yang mudah terharu.
          Aku memeluknya sebentar lalu kemudian bermain lagi dengan si kecil. Mba Lusi dan suaminya hanya tersenyum melihat tingkah ku.
          “Mungkin Bunga seharusnya kuliah jurusan dokter anak atau guru. Lebih bagus lagi menikah segera”, goda mba Lusi sambil tersenyum pada suaminya.
          “Kalau pindah jurusan sudah terlanjur cinta dengan tanah, sulit hilang. Kalau menikah saya sudah siap, gedung dan catering juga. Hanya satu yang kurang...”
          “Apa itu?”, tanya mba Lusi penasaran.
          “Nama lelaki yang ku tulis di undangan belum ada, jadi menunggu konfirmasi dulu ya”, canda ku membalas mba Lusi.
          Pintu kamar yang tidak terlalu rapat di tutup membuat seseorang membuka pintu setelah mengucap salam.
          “Mas Ari, masuk mas”, sapa mba Lusi yang kemudian suaminya menyalami dan memberikan tempat duduk.
          Entah bercandaan kami tadi terdengar atau tidak. Aku tersenyum menyapanya. Aku yang menggendong bayi ini tidak dapat bergerak banyak, agar tidak membuatnya terbangun. Mba Lusi dan suaminya mengajak Ari bicara tentang kantor pengelolaan zakat yang mereka pegang. Karena aku tak tahu banyak, aku hanya mendengarkan dan sesekali ikut tertawa bila ada yang lucu. Tak terasa matahari senja telah mengintip di celah jendela rumah bersalin. Aku ingat untuk pulang magrib, aku ingin dapat membaca Al Qur’an bersama di rumah.
          “Mba Lusi, sudah sore. Aku pamit pulang ya”, ucap ku sambil menyalami mba Lusi.
          “Setelah melahirkan ini, aku ingin fokus mengurus anak. Sehingga aku berhenti bekerja dulu. Kalau Bunga ada waktu, mampirlah ke rumah. Aku tunggu”, pinta mba Lusi.
          “Insya Allah, mba Lusi”, ucap ku.
          “Saya juga pamit, ini hadiah kecil dari saya untuk si kecil”, kata Ari lalu menaruhnya di atas buku yang ku letakkan di meja samping ranjang.
          Ari sempat terdiam melihat buku yang ku beri. Ukuran hadiah Ari juga tak berbeda ukurannya. Aku dan Ari keluar kamar bersamaan. Karena kami sama-sama menumpang bus kota, kami menunggu bersama di shelter tepat di depan rumah bersalin. Seperti biasa, Ari tak banyak bicara. Aku pun bingung mau bicara apa dengannya? Oh ya, aku ingat kertas yang tertinggal di rumah. Aku buka tas ku, posisi kertas itu agak terlipat bagian bawahnya. Ada tulisan “aku ingin menjadi bintang mu”. Aku terkesiap, apa benar selama ini keanehan yang ku terima ini darinya?
          Aku jadi ragu untuk memberikan kertas ini. Bus kota yang ku tunggu tiba, Ari berdiri mengajak ku masuk. Dia masuk duluan untuk mencarikan aku tempat duduk. Di dalam bus kota, Ari berdiri sambil membaca buku. Dia tetap nyaman dengan posisi satu tangan bergelantungan memegang besi di atap bus kota. Aku menatap sisa-sisa hujan di sepanjang jalan pulang. Setelah jarak rumah ku yang makin dekat, aku berdiri memberikan kertas Ari yang tertinggal tadi di rumah lalu turun di shelter. Ari terlihat kaget dengan pemberian kertas biru itu. Dia diam tak berkata apapun, kemudian terduduk di kursi yang ku tinggal. Rumah Ari masih  shelter bus kota lagi.
          Sesaat setelah selesai solat berjamaah dan membaca Al Qur’an bersama, aku masuk kamar. Badan ku agak lelah, seharian beraktifitas di tengah hujan. Aku tertidur dan lupa untuk jika belum sempat makan. Satu jam sebelum subuh, alarm ku berbunyi seperti biasa. Dengan kepala agak berat dan hawa dingin yang tak biasa, aku berwudu untuk solat tahajud dan witir. Seusai solat aku beristigfar seperti yang pernah di contohkan Nabi Muhammad, lalu membaca Surat Arrohman dan Almulk. Menjelang subuh, hawa dingin semakin menjadi. Aku membangunkan Ratu dengan mengenakan jaket.
          “Bunga, kenapa pakai jaket?”, tanya Ratu yang masih mengusap wajahnya.
          “Agak dingin, sepertinya badan ku kelelahan. Tapi baik-baik saja kok”, jawab ku.
          Selesai solat subuh, aku enggan menulis. Aku ingin tertidur, dan aku tak sempat melepas mukena ku. Tak berapa lama aku mendengar pintu di buka, dan tangan Ratu menyentuh dahi ku. Hanya saja mata ku agak berat sehingga tak dapat bergerak. Ratu menyelimuti ku lalu keluar kamar. Matahari pagi telah masuk di celah jendela kamar ku. Aku memaksakan diri untuk bangun melepas mukena ku. Aku agak kaget Aishi menemani ku tidur di sebelah ku. Ku cium pipinya yang tembam.
          “Bunbun sakit ya, kata Bunda?”, kata Aishi yang terbangun dengan ciuman ku barusan.
          “Bunbun kecapaian saja, Aishi kenapa disini?”.
          “Bunda bilang, bunda mau pergi. Ai disuruh disini”, jawaban Aishi yang lancar ini membuat ku tertawa.
          “Kita ke depan cari kakek ya”, ajak ku lalu mengambil baju ganti dan kerudung biru gelap.
          “Bunga baik-baik saja?”, tanya Bapak yang sedang membaca di meja depan toko.
          “Iya, kak Ratu ke pasar katanya mau cari buah dan mau masak sup ayam tuk Bunga”, tanya Neni yang melihat ku agak pucat.
          “Belakangan agak kecapaian dan kurang istirahat saja”, jawab ku lalu duduk di samping Bapak.
          “Bunga ku seduhkan susu putih hangat ya?”, tanya Neni.
          “Sebentar aku saja”, tolak ku, tak mau merepotkan.
          Aku menemani Bapak membaca sambil melihat Aishi bermain di halaman depan toko. Tak lama Ratu datang dengan belanjaan yang cukup banyak. aku mendekatinya untuk membantu membawakan, tapi Ratu menolak. Ratu memberi sebagian belanjaan ke Neni untuk dibawa masuk. Aku berjalan mengikuti mereka sampai dapur.
          “Masih demam?”, tanya Ratu dengan wajah datar dan lalu menyentuh dahi ku.
          “Sedikit...”, jawab ku pelan.
          “Aku tidak suka lihat Bunga sakit itu karena, sama sekali tidak mau ke dokter apalagi minum obat. Ini buah dan sayur harus banyak dimakan biar sehat. Kalau sakit, kuliah dan pekerjaan mu menulis jadi terhambat”.
          Tak biasanya Ratu marah seperti ini, Ratu benar-benar ingin menjaga aku seperti Aishi. Aku hanya diam mendengarkan kata-kata Ratu. Sesekali aku membantu mengupas atau memotong bahan masakan. Belum berapa lama, kepala ku pening lagi. Aku tak mau membuat Ratu khawatir, aku pura-pura mengajak Aishi ke kamar ku.
          Aishi yang tahu aku tak sehat menurut saja. Aishi mau diam tak banyak bicara duduk di samping ku yang ingin tertidur lagi. Aku ber-istigfar beberapa kali lalu lelap tertidur.
          Tidak berapa lama aku terbangun karena ku dengar ada suara tamu di depan. Aku melihat Aishi tertidur dengan memeluk bonekanya, mungkin Aishi bosan menemani ku tanpa melakukan apa-apa. Ku pegang wajah ku yang hangat, selimut ini ku rasa Ratu yang memakaikannya lagi. Pelan ku keluar kamar, melihat siapa yang datang?
          “Assalamu’alaikum, istirahat saja Bunga”, sapa tamu itu yang ternyata Ari.
          “Wa’alaikummussalam”, jawab ku lalu duduk.
          Bapak juga ikut menemani duduk, aku tak berpikir apapun. Ari sudah sangat akrab dengan Aishi ku pikir dia ingin menemui Aishi. Baru sepuluh menit aku duduk, aku tak kuat untuk tetap berada disini. Aku pamit untuk masuk kamar. Aku sempat melihat Ari ada yang ingin disampaikannya. Tapi aku terlalu lemas untuk tetap menemaninya. Bapak sepertinya mulai jelas melihat apa yang terjadi diantara kami. Sayup ku dengar dari kamar, Bapak bicara serius dengan Ari. Sesekali menyebut nama ku.
          Apa yang mereka bicarakan tak dapat jelas ku dengar. Aku kembali merebahkan tubuh dan memutarkan murotal Arrohman di layar komputer ku. Aku harus segera sehat, aku tidak enak menunda pekerjaan ku.
          Dua hari aktifitas ku sepenuhnya hanya di kamar. Sesekali membaca atau menulis ringan. Ada beberapa film yang diangkat dari kisah nyata juga menemani ku selama istirahat. Setelah merasa baikan, aku minta Bapak mengantar ku kantor redaksi mengambil bahan editan. Sebentar kuliah kemudian segera ku pulang.
          Saat ku keluar kelas, aku melihat Abdi sendirian berjalan menuju kantin.
          “Sudah lulus kan, kak? Masih ada keperluan di kampus?”, sapa ku.
          “Iya, masih perlu kepustakaan dari buku-buku disini dan diskusi dengan para dosen sebelum melanjutkan S.2”.
          “Aku pamit duluan ya”.
          “Pulang dengan kendaraan apa? Sepertinya Bunga agak kurang sehat..”, tanya Abdi.
          “Bapak sudah menjemput”.
          “Oh iya, Ari beberapa hari ini sepertinya ingin bertemu dengan Bunga. Tapi mungkin karena tahu Bunga kurang sehat jadi ditunda”.
          “Begitu ya? Kira-kira tentang apa ya?”.
          “Abdi, ayo kita bahas rencana kerja kita...”, sapa seorang teman Abdi yang langsung membawa Abdi pergi dari hadapan ku.
          Aku berjalan ke parkiran depan. Bapak sudah datang, aku mencium tangannya dan naik ke atas sepeda motor.
          “Baru saja Bapak bertemu Ari, dia menanyakan keadaan Bunga”.
          Aku diam tak menjawab.


          Berjalan dengan keyakinan, apa yang kita lakukan adalah untuk membagi kebaikan. Aku disini merasa tak mudah meraihnya namun tak juga mudah menerimanya. Aku hanya perempuan yang tak terlalu berani menatap matahari jingga sendiri. Aku berharap ada seseorang yang menemani, walau aku masih mencarinya. Dalam penantian ini, aku ingin tetap bisa memberi dengan segenap cita yang ku miliki. Menahan lelah saat langkah menghadapi tantangan hidup. Hanya tersenyum dalam hati yang menguatkan aku hingga kini. Terima kasih bijaksana... 
          Hanya sekuntum bunga yang ingin semerbaknya mengindahkan kehidupan.







Selasa, 22 April 2014

Pelangi Aishi Bag. 11 Persahabatan Sederhana


Persahabatan Sederhana
          Alhamdulillah, hari ini aku kembali ke kampus. Menjalani proses sebagai akademisi yang kembali belajar dengan teori-teori. Aku bersemangat tuk kembali diskusi dan bertanya tentang banyak hal. Aku sempatkan mencium kening Aishi sebelum berangkat. Aku pun mencium pipi Bapak yang kaget dengan sikap ku yang tidak seperti biasanya. Aku mengayuh sepeda mini ku, hanya 30 menit untuk sampai di kampus. Aku menyapa pak satpam yang tampak lesu, sehingga dia pun tersenyum melihat ku.
          Pak Satpam yang biasa ku panggil Pak Pras ini amat mengagumkan ku. Setiap kali ada kesempatan ngobrol, beliau selalu membahas buku atau bacaan yang baru dibacanya. Padahal di kelas ku, hampir tak ada teman yang bisa ku ajak untuk bercerita buku bacaan. Mereka masih terlalu sibuk mengejar nilai dan popularitas. Nilai yang dicari hanya dengan mengutip bagian yang terkait dengan mata kuliah. Selebihnya, kering tanpa makna. Aku biasanya akan mencari kakak kelas di perpustakaan yang sedang asik diajak bicara tentang suatu topik. Paling beruntung jika yang punya waktu adalah dosen muda yang masih tinggi semangat idealismenya. Pak Pras juga amat menyenangkan.
          Taman depan fakultas terlihat agak kering, musim berganti membuat semua berubah. Kemampuan kita untuk dapat beradaptasi pun diuji. Aku ke ruang akademik untuk melihat jadwal kuliah yang akan ku ambil semester ini. Masih sedikit mahasiswa yang datang pagi ini. Aku sayup mendengar Bu Siti di ruangan sebelah, walau telah berumur Bu Siti adalah orang yang memiliki integritas. Menjaga kebenaran di tengah arus yang tidak mendukung, bukanlah hal mudah.
          “Semester ini sebaiknya di seleksi ketat terkait beasiswa. Saya dapat laporan, semester kemarin mahasiswa yang mendapat beasiswa adalah yang mampu dan tidak punya semangat belajar. Kita jadi tidak mendukung mahasiswa berprestasi untuk lebih mudah dalam urusan administrasi” kata Bu Siti yang membuat ku tersenyum kagum.
          Segera setelah menyelesaikan administrasi, aku keluar gedung fakultas. Aku mencium aroma tanah yang basah karena baru hujan. Di balik pintu kaca terlihat hujan yang cukup deras. Sudah lama rasanya aku tak bertemu hujan, aku tersenyum menyentuh air yang jatuh di ujung atap. Banyak berdoa saat hujan yang sedang menumpahkan kasih sayangNya…
          “Hujan selalu menyenangkan tanah yang merindukannya”, batin ku.
          “Assalamu’alaikum, Bunga..”, sapa seseorang di sebelah ku, yang ternyata itu Ari.
          “Wa’alaikumussalam, eh Ari.. Ada disini?”, sapa ku agak kaget.
          “Walau aku bukan mahasiswa boleh kan aku ke sini?”
          Ada sebuah mobil putih berhenti di depan kami, saat dibuka kacanya ternyata Abdi yang mau mengajak Ari masuk ke dalam mobil. Ari mengeluarkan sebuah payung lipat dari dalam mobil Abdi dan membukanya untuk ku. Setelah itu langsung pergi dengan Abdi.
          Aku yang masih belum mengerti dengan sikapnya, berjalan pelan ke parkiran sepeda. Aku mengenakan mantel dan menikmati hujan yang membasahi kota. Indah sekali kota yang basah dengan hujan hari ini. Perlahan ku kayuh sepeda ku untuk menikmati perjalanan, walau percik air membasahi sebagian rok ku. Sesampai di rumah, Ratu menjewer telinga ku karena menerobos hujan. Dari kecil, saat bermain hujan Ratu adalah tokoh antagonis yang tak suka melihat ku basah. Katanya seperti kucing liar yang terperosok ke genangan air. Tapi, buat ku kemarahan Ratu adalah caranya menunjukkan cintanya pada ku. Aku selalu menikmati rengekan ku yang mengaduh kesakitan. Bapak hanya menggelengkan kepala melihat ku yang sudah sebesar ini masih diperlakukan begitu oleh Ratu. Aishi pun geli tertawa melihat keadaan ku.
          “Kalau Bunda sampai lihat Aishi main hujan, Bunda juga akan jewer Aishi”, ucap Ratu setelah aku masuk kamar mandi.
          “Kenapa ga boleh, Bun?”, Tanya Aishi polos.
          “Bunda mau Aishi selalu bersih, kalau main hujan nanti seperti kucing liar yang terperosok ke genangan air. Jadi jelek”, jelas Ratu pada Aishi yang belum pernah melihat kucing basah.
          Selesai berganti pakaian, telepon genggam ku berdering. Abdi..
          “Assalamu’alaikum, ada apa kak?”, sapa ku.
          “Wa’alaikummussalam, Bunga dimana?”.
          “Di rumah, ada yang bisa dibantu?”.
          “Bu Siti mengajak Ari untuk program konservasi desa, kita sudah pegang bahannya. Tinggal kita gunakan saja kebutuhan apa yang diperlukan. Semester ini aku dan Fatir menyiapkan ujian skripsi dan wisuda. Aku meminta Bu Siti untuk mengajak mu lagi, apa kamu bisa?”.
          “Berapa lama?”.
          “Satu semester, nanti jika ada perkembangan kita akan evaluasi lagi. Insya Allah semester depan aku dan Fatir bisa focus di desa. Nanti, aku dan Bu Siti akan mampir ke rumah mu untuk membahas ini lebih jelas”.
          “Baiklah, aku tunggu”.
          “Sampai ketemu nanti malam, insya Allah. Assalamu’alaikum”.
          “Wa’alaikummussalam”.
          Aku kembali membuka komputer ku. Ku ingin menulis lagi, hujan selalu memberi inspirasi. Baru satu jam aku menulis, kepala ku terasa berat. Mata ku ingin beristirahat, aku simpan data tulisan yang ku dapat lalu berbaring meringkuk di ranjang dengan rintik gerimis yang menyejukkan di balik tembok kamar.
          Bu Siti datang setelah solat isya, kemudian Abdi dan Ari menyusul kemudian. Kami membahas kelanjutan program di desa. Nanti setiap akhir pekan kita akan ke desa. Langkah apa yang akan kita lakukan selama pendampingan ini juga kita bahas.
          “Kita selain melakukan penelitian terhadap lahan pertanian, kita juga bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas pertanian di sana sesuai kemampuan kita. Jadi tidak sekedar menerima, ada sesuatu yang kita berikan. Ibu berharap kita dapat semakin bermanfaat untuk masyarakat. Jangan sampai karena kita merasa lebih berpendidikan kita tidak menganggap pengalaman petani yang telah bertahun-tahun menyentuh tanah. Ada proses belajar anatar kita dengan para petani. Dedikasi mereka terhadap pekerjaan yang sering tidak dianggap penting. Padahal petani adalah salah satu pahlawan pangan kita”, ucap Bu Siti sebelum pamit pulang lebih dulu.
          “Ku sempat membaca tulisan Bu Siti di majalah Agro kampus. Kekecewaan terhadap beberapa oknum peneliti dan mahasiswa yang dianggap beliau hanya “mengeksploitasi” daerah binaan. Kita merasa arogan karena status pendidikan. Bu Siti berharap kita menjadi pelanjut generasi yang menjaga semangat membangun. Karena banyak keluhan para birokrat yang beliau kenal, katanya petani itu tidak dapat diajak berdiskusi. Padahal temuan kita di lapangan tidak seperti itu. Mungkin bahasa yang digunakan sebagai pendekatan yang perlu diperbaiki”, jelas Abdi.
          “Iya, bagaimana pun kita yang harus menyesuaikan diri dengan pihak terkait. Bukannya memaksakan orang lain mengikuti cara kita. Walau pun kita tetap memiliki prinsip sendiri yang tidak bisa dilanggar”, sahut ku.
          “Aku juga masih prihatin dengan keadaan petani yang masih lebih sering mendapat jenis bantuan berupa barang-barang konsumsi atau sebatas alat. Padahal mereka juga butuh pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
          Di tengah obrolan Aishi keluar kamar, menyapa ku dan seisi ruangan dengan mainan barunya. Aku melihat Ari senang sekali melihat Aishi. Ari bisa bermain dengan Aishi hingga membuatnya tertawa. Aku baru tahu Aishi senang digoda seperti itu. Hingga Aishi tertidur di pangkuan Ari. Ari tampak dewasa menggendong Aishi. Pelan aku mengambil Aishi dari tangan Ari, Ratu keluar kamarnya melihat ku dan Ari lalu tersenyum. Aku lalu membawa Aishi ke dalam kamarnya.
          “Maaf ya, Aishi merepotkan. Saya Bundanya, kakak Bunga”, sapa Ratu pada Abdi dan Ari
          “Saya Abdi, kakak kelas Bunga di kampus”.
          “Saya Ari, teman Bunga waktu di desa kemarin”.
          “Kalau tidak salah, Ari pernah mampir ke sini sebelumnya dengan kedua orang tuanya ya?”, tebak Ratu.
          “Iya, kak”
          Aku keluar kamar, lalu Abdi dan Ari berpamitan.
          Aku bersiap tidur, kakak kembali mengajak ku bicara sebelum tidur.
          “Indah sekali jika, Aishi bisa tumbuh bersama orang tua yang lengkap dan bisa saling menyayangi. Kakak senang melihat waktu Bunga mengambil Aishi dari Ari”.
          Ah.. Ratu kembali membuat ku berpikir. Aku tak mau menjadi tidak produktif memikirkan hal ini. Aku meyakini, Pencipta ku telah menyiapkan taqdir ku lengkap hingga aku kembali padaNya.
          Mau tidak mau, aku jadi sering bertemu dengan Ari. Program kampus ini juga menjadi bagian rumah pengelolaan zakat yang dikembangkan keluarga Ari. Zakat produktif untuk para petani dapat mengembangkan pertaniannya dengan pendidikan. Tidak terasa telah berjalan delapan pekan kami melakukan pendampingan.
          Saat makan siang bersama dengan Bu Siti dan Abdi, kita mengevaluasi hasilkerja pendampingan beberapapekan yang telah berjalan. Alhamdulillah, perkembangan para petani akan kesadaran meningkatkan ilmu tentang bertani meningkat. Kita sudah mengawali dengan membangun perpustakaan buku di rumah Pak Rasyid untuk dijadikan taman bacaan warga. Anak-anak juga senang dengan membaca katanya mereka lebih mudah memahami pelajaran di sekolah. Anak-anak disini mendapat manfaat untuk terus melanjutkan kebanggan menjadi anak petani yang pintar dan akan melanjutkan perjuangan kedua orang tuanya.
          Setelah menyelesaikan laporan evaluasi pada Bu Siti yang puas dengan perkembangan pengabdian masyarakat yang kami lakukan, kita membahas kelanjutan program ini ke depannya seperti apa?
          “Sejauh ini Ibu melihat, kita sudah membuat kesadaran akan belajar meningkat. Kita tidak mungkin mendampingi terus. Sehingga harus dibangun kemandirian, dengan begitu tanpa kita disana program akan terus dapat dilanjutkan oleh penduduk sekitar sendiri. Besok kita dapat mengembangkan program di tempat lainnya”, kata Bu Siti dengan tersenyum.
          “Dengan bekerja sama kita jadi bekerja lebih mudah. Rumah pengelolaan zakat milik Ari juga amat membantu, sekaligus program kita juga membantu Rumah pengelolaan zakat itu makin meningkat kualitasnya. Karena para donatur puas dengan hasil kerja kita”, puji Abdi.
          “Kita hidup itu saling merepotkan”, canda Ari yang membuat kami semua tersenyum.
          “Oya, ada yang selalu ingin ku tanyakan. Selain karena Ari pernah tinggal di desa, alasan apa yang membuat pendanaan program kita di desa oleh rumah pengelolaan zakat Ari itu mudah membantu kita?”, tanya ku.
          “Ada sebuah artikel yang pernah ku baca. Tentang perkembangan jeruk dari luar negeri. Awalnya, bentuk dan rasa jeruknya kusam dan amat asam. Beberapa akademisi yang peduli dengan kelanjutan jeruk hasil penanaman petani local melakukan gerakan cinta produk dalam negeri. Orang-orang yang mengatakan ketidaksukaannya terhadap jeruk ini disebut pengkhianat negeri. Tentu tidak terima, apa hubungan makan jeruk dengan mencintai negeri? Dengan membeli jeruk itu, para petani jadi memiliki modal untuk terus melakukan percobaan hingga menemukan cara penanaman jeruk yang baik sehingga kualitasnya akan meningkat. Dan benar, setelah berjalan beberapa tahun, para petani jeruk ini telah dapat ijin untuk mengirim ke berbagai Negara. Kita pun dengan mudah mendapatkannya sekarang, dimana-mana jeruk itu menguasai pasar buah yang ada”, cerita Ari membuat kami menjadi semangat.
(inspirasi dari petani pejuang jeruk sunkis)
          “Yah, kita masih kurang memperhatikan produk dalam negeri. Jauh lebih bangga dengan produk luar negeri. Padahal belum tentu itu baik bagi kita”, sahut Abdi.
          “Jadi semakin semangat untuk meningkatkan kualitas produksi local kita. Kita tidak boleh berhenti dalam titik kasihan, tapi ada langkah nyata yang bisa lakukan sesuai dengan kapasitas kemampuan kita”, sambung ku.
          Kami berbincang hingga menjelang azan asar. Kemudian kami berpamitan dan kembali ke rumah masing-masing. Aku mengambalikan payung Ari, tapi Ari hanya tersenyum lalu pergi dengan mengatakan, “untuk mu saja, Bunga…”.
          Aku masih belum mengerti dengan sikap Ari yang menurut ku aneh itu. Tapi aku bertanya dengan siapa aku tidak tahu. Aku hanya diam dan berusaha tidak memikirkannya.
          Hari demi hari yang kami lalui, begitu sederhana persahabatan yang ditawarkan Ari. Dia tak jarang datang ke rumah hanya untuk memberi sebungkus coklat untuk Aishi dan beberapa buku bergambar untuk mainan Aishi. Di rumah pengelolaan zakat miliknya, aku menjadi tamu yang diistimewakan oleh beberapa pegawai selain mba Lusi yang telah mengenal ku. Aku tak pernah tahu mengapa? Semua pegawai disini memang ramah, hanya saja keramahan yang ku terima seperti agak berbeda dengan yang lain. Di kampus, Ari sering datang hanya untuk minta ditemani ke perpustakaan atau sekedar makan siang. Walau Abdi juga selalu ikut, aku tetap merasa aneh. Sejak Ari sering ke kampus, aku sering menerima hadiah kecil di meja kerja ku. Meja kerja ku di ruangan majalah kampus tempat ku mengedit tulisan yang masuk redaksi. Hadiah kecil berupa setangkai bunga, kata-kata motifasi yang sering tepat dengan suasana hati ku, film atau buku yang sedang ku butuhkan. Hanya ada kata “aku ingin menjadi bintang mu”. Awalnya aku tidak nyaman, karena hadiah-hadiah kecil ini tanpa nama. Berkali-kali ku coba cari tahu, tapi belum ada hasilnya. Aku pun mencoba berdamai dengan keadaan. Di desa, Ari benar-benar terlihat diam dan cuek.
          Aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Beberapa kali dia datang tiba-tiba, saat hujan membawakan payung, jaket atau apapun. Karena itu sempat ku pikir hadiah-hadiah kecil itu darinya. Tapi aku tak punya bukti untuk bertanya padanya. Saat dia ada pekerjaan lain sehingga tidak bertemu, aku merasa ada yang hilang. Entah apa? Aku hanya bisa bertanya pada Allah, pemilik hati ku. Aku tak mau salah mengerti dengan kebaikannya. Aku hanya ingin persahabatan ini karena Allah. Sehingga aku dan dia tetap menjaga hati masing-masing.

          Aku hanya tersenyum kecil saat angin menyanyikan lagu alam, ketika semilir malam hadir menyelimuti. Sebelum memejamkan mata menutup hari, aku berdoa untuk diterimanya jerih ku hari ini sebagai bakti cinta ku pada Sang Maha Cinta. Juga berdoa agar esok aku lebih tertata dalam menentukan pilihan. Hati ku yang kini merasakan sesuatu, tolong dijaga. Agar tak salah laku dan kata. Walau tiap kali mengingat tingkahnya, aku merasa indah. Tapi ku tahu ini belum saatnya... Aku hanya ingin rasa yang diberkahi.
          Tepian hati sekuntum bunga yang menanti bintang.