Banyak dari kita mengetahui budaya imitasi (copy
paste/copas) tidak pernah kehilangan peminat. Sebab tidak mudah membuat sebuah
karya dengan semangat integritas yang tinggi. Berbagai bidang didapatkan dengan mudah. Pola ini membentuk generasi
berpola pikir yang ingin cepat tanpa perlu proses berbelit. Ini merupakan tugas
besar pendidik yang membawa estafeta kemajuan bangsa.
Sebuah analisis kritis membaca realitas dengan sudut
pandang idealitas untuk bangsa yang lebih berperadaban.
Indonesia sebagai salah satu bangsa yang besar kini
berada diantara dinamika yang kompleks. Sebagian masyarakat menganggap bahwa budaya bangsa
Indonesia haruslah tetap dipertahankan sebagai ciri khas. Namun sebagian lagi
menerima tanpa filter budaya lain dalam berbagai bentuk, dari jenis makanan
hingga gaya hidup.
Pola pendidikan formal di sekolah maupun informal di
lingkungan keluarga dan masyarakat juga “terpaksa” mengalami banyak pergeseran.
Kemajuan teknologi yang memudahkan segala bidang. Seperti dua sisi mata uang,
ada nilai positif dan negatifnya. Tergantung dengan siapa yang memegangnya.
Teknologi yang kini merambah ke dalam ranah dunia pendidikan pun seperti itu.
Pendidikan akan lebih menarik dan memudahkan subjek
pendidikan dalam
memperoleh pengetahuan, nilai kehidupan dan sikap melalui aneka jenis
teknologi. Dengan kemudahan akses sumber ilmu melalui media teknologi, maka
peran pendidik tidak lagi sebatas transfer
knowledge namun juga menguatkan sisi transfer
value sebagai bekal mengarungi kehidupan. Sehingga kemajuan teknologi akan
berjalan seiring dengan perkembangan karakter sumber daya manusia dalam
membangun bangsa.
Kesiapan manusia dalam menyikapi perkembangan
teknologi yang mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas akan mempengaruhi
peradaban suatu bangsa tersebut. Kemajuan teknologi tidak lantas menjadi
“bombardir” kebudayaan yang belum tentu seiring dari nilai kemanusiaan.
Ki Hajar Dewantara pernah mengajarkan kita tentang
konsep Tri Pusat Pendidikan. Konsepsi tentang tiga pusat pendidikan berlangsung
di
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Diantara
ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Sejak lahir manusia dibina
dalam pendidikan keluarga yang akan menjadi peletakan awal pondasi karakter.
Kemudian setelah memasuki usia sekolah, seseorang akan secara langsung terlibat
dalam pendidikan sekolah dan masyarakat pada sisi lain.
Pendidikan terjadi dimana saja, kapan saja dan
berlangsung sepanjang hayat. Tanpa pembatasan dan ketentuan tertentu. Seperti
yang termaktub dalam Undang-undang Dasar pasal 31 sebagai amanah konstitusional
untuk mengembangkan modal intelektual masyarakat.
Dalam perkembangannya, konsep Tabula Rasa John Locke
melahirkan proses belajar mengajar satu arah yang kemudian sedikit banyak
mematikan potensi dan bakat anak dalam menemukan dirinya. Belajar dengan mengharuskan pada kewenangan mutlak yang dimiliki pendidik
pada siswa sebagai subjek didiknya. Berbagai peraturan dan pengaturan dibuat
sedemikian rupa untuk membangun wibawa.
Kemudian konsep dialog Plato menjadi antithesis dari
“belajar satu arah” tersebut. Dengan berdialog maka siswa mengalami belajar
efektif dengan mengasah analisis untuk dapat menyelesaikan masalah kehidupan
sehari-hari. Pembelajaran sesuai kebutuhan siswa untuk menjadi manusia
seutuhnya.
Teori yang kita kenal dalam proses pembelajaran yaitu
pedagogi dan andragogi. Keduanya berasal dari bahasa Yunani, pedagogi berasal
dari “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Yang kemudian
andragogi memliki arti sebaliknya, yaitu membimbing orang dewasa. Kajian
mendalam terkait pedagogi maupun andragogi masih minim dilakukan oleh para
calon pendidik di beberapa institusi.
Padahal kedua hal ini menjadi pokok utama dalam
membimbing siswa. Seperti yang disampaikan Soegarda Poerbakawadja (1976:212)
“pedagogi mempunyai dua arti :
a.
Praktek, cara
mengajar
b.
Ilmu pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar; Prinsip-prinsip, metode-metode
membimbing dan mengawasi pelajaran; dengan satu perkataan disebut pendidikan”.[1]
Kemudian dilengkapi dengan pendapat Dr. Warul Walidin
AK, M.A. (2003:10) dengan menyampaikan bahwa “pedagogi sebagai ilmu
mengutarakan masalah-masalah yang bersifat ilmu teori, yang bersifat
pengetahuan an sich”.[2]
Sedangkan untuk andragogi Malcolm Knowles (1977) ,
menyatakan “empat konsep yang mendasari perbedaan andragogi dengan pedagogi
yaitu :
1.
Persepsi diri
2.
Pengalaman hidup
3.
Kesiapan belajar
Dengan demikian konsep andragogi lebih banyak
memainkan peran serta peserta didik. Sehingga pada prosesnya, pendidik juga
dapat belajar dari dinamika pembelajaran dua arah. Potensi yang dimiliki siswa
juga akan semakin terasah dengan tidak membatasi pembelajaran hanya sebatas hapalan
yang menurut hirarki taksonomi Bloom mendapat urutan paling bawah.
Siswa tidak lagi memahami pertanyaan sebatas pilihan
ganda, namun lebih pada kemampuan analisis memahami persoalan yang kemudian
akan dapat dipecahkan hingga ke akarnya.
1. Teknologi Pendidikan
yang Memanusiakan
Dalam
perkembangan pendidikan juga mengalami perencanaan pendidikan yang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan membangun sebuah kebudayaan.
Kebudayaan yang nantinya akan dapat mengambangkan peradaban suatu bangsa.
Menurut Dr. Nazili Shaleh Ahmad (2011:7)[4]
dalam hal perencanaan pendidikan ini, masyarakat mempunyai tanggung jawab
mengenai perkembangan dirinya dan sekaligus menghadapi problematika hidupnya.
Kemudian bekerja sama dalam mengatasi problematika tersebut agar dapat
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dan
menakjubkan sebagaimana sekarang ini.
Pendidikan
sebagai media efektif dalam pengajaran mengenai budaya dan teknologi secara
langsung juga mengalami perkembangan yang juga cukup pesat. Hal ini seharusnya
diiringi dengan penyikapan secara bijak. Negeri kita sebagai bangsa besar namun
belum juga menemukan format pendidikan yang menjawab tantangan jaman.
Pendidikan yang memperhatikan tinjauan psikologis, sosiologis dan antropologis.
Sehingga masyarakat kita mengalami perkembangan seimbang dalam ranah kognisi,
afeksi dan psikomotorisnya.
Untuk
memahami pesatnya globalisasi Lily Zakiah Machfudz (2002) menjelaskannya
sebagai “bagian dari nama revolusi dunia yang menyentuh seluruh sendi kehidupan
manusia, bahkan sampai relung hati yang paling dalam”.[5]
Dengan ini, pendidik memiliki peran vital mendampingi proses belajar siswa
didik.
Budaya
imitasi atau copy paste yang
menggunakan istilah dalam dunia menulis masih sering kita temukan. Berbagai
fasilitas memudahkan akses, namun amat disayangkan pola ini membentuk kuat
dalam kepribadian siswa kita.
Tidaklah
mudah memang, tetapi bukan hal yang mustahil. Pendidik menempatkan diri sebagai
teladan nyata untuk siswanya. Kemudian pembelajaran berbasis teknologi sebagai
referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara selektif di setiap
informasi. Kita pun secara langsung
mengalami peningkatan proses pembelajaran dengan dapat menganalisis sumber
data. Sebab sumber data tidak hanya menjadi “kunci jawaban” persoalan yang ada.
Kemampuan
analisis siswa akan terasah, budaya generasi copy paste berfungsi positif. Sebab sumber data menjadi bahan
diskusi yang kemudian menjadi jalan analisis masalah. Tanpa penyikapan bijak
pada persoalan ini, mungkin kita akan terus menyiapkan generasi “koruptor
cilik” yang nantinya siap “korupsi” pada hal yang lebih besar.
Pengujian
siswa juga mulai diberlakukan dengan open
book atau buku terbuka, ini menjadi media untuk mengembangkan kreatifitas
siswa pada persoalan analisis. Jika hanya terbatas pada persoalan close book atau buku tertutup, maka kita
kembali menggunakan metode sekedar hapalan tanpa memahami untuk apa ilmu yang
sedang dipelajari.
Generasi
copy paste juga memiliki peluang
untuk dapat berkembang dengan memiliki karakter yang tidak sekedar “membebek”.
Namun, lebih pada karakter pemimpin yang dapat meneladani pemimpin besar yang
memiliki integritas tinggi. Karena kita memiliki norma yang kita sepakati
bersama.
Kemudian
kita pun sebagai pendidik akan memahami manfaat dari pembelajaran kontekstual.
Teks sebagai panduan dan arahan, tidak sekedar menjadi hapalan. Karena kita
adalah pendidik yang menyiapkan generasi yang lebih baik dari kemarin.
“Bangsa
ku tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatan ku”, Muhammad
Hatta.
DAFTAR RUJUKAN
-
Soegarda Poerbakawadja,
Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta :
Gunung Agung, 1976.
-
Dr. Warul Walidin AK,
M.A., Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu
Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Yogyakarta : Nadiya Foundation, 2003.
-
Malcolm Knowles, The Modern Practise of Adult Education, 1977.
-
Dr. Nazili Shaleh
Ahmad, Pendidikan dan Masyarakat,
terj. Drs H. Syamsudin Asyrofi, MM., 2011.
-
Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan
Inovatif, Yogyakarta : Diva Press, 2009.
[2] Dr.
Warul Walidin AK, M.A. Konstelasi
Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern. (Yogyakarta
: Nadiya Foundation), hlm. 10.
[4]
Dr. Nazili Shaleh Ahmad. Pendidikan dan
Masyarakat, terj. Drs H. Syamsudin Asyrofi, MM., 2011, hlm. 7.
[5]Jamal
Ma’mur Asmani. Tips Menjadi Guru
Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (Yogyakarta : Diva Press), 2009 : hlm.
65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar