Rabu, 10 Juli 2013

sebuah arti pendidikan

Banyak dari kita mengetahui budaya imitasi (copy paste/copas) tidak pernah kehilangan peminat. Sebab tidak mudah membuat sebuah karya dengan semangat integritas yang tinggi. Berbagai bidang didapatkan dengan mudah. Pola ini membentuk generasi berpola pikir yang ingin cepat tanpa perlu proses berbelit. Ini merupakan tugas besar pendidik yang membawa estafeta kemajuan bangsa.
Sebuah analisis kritis membaca realitas dengan sudut pandang idealitas untuk bangsa yang lebih berperadaban.
Indonesia sebagai salah satu bangsa yang besar kini berada diantara dinamika yang kompleks. Sebagian masyarakat menganggap bahwa budaya bangsa Indonesia haruslah tetap dipertahankan sebagai ciri khas. Namun sebagian lagi menerima tanpa filter budaya lain dalam berbagai bentuk, dari jenis makanan hingga gaya hidup.
Pola pendidikan formal di sekolah maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat juga “terpaksa” mengalami banyak pergeseran. Kemajuan teknologi yang memudahkan segala bidang. Seperti dua sisi mata uang, ada nilai positif dan negatifnya. Tergantung dengan siapa yang memegangnya. Teknologi yang kini merambah ke dalam ranah dunia pendidikan pun seperti itu.
Pendidikan akan lebih menarik dan memudahkan subjek pendidikan dalam memperoleh pengetahuan, nilai kehidupan dan sikap melalui aneka jenis teknologi. Dengan kemudahan akses sumber ilmu melalui media teknologi, maka peran pendidik tidak lagi sebatas transfer knowledge namun juga menguatkan sisi transfer value sebagai bekal mengarungi kehidupan. Sehingga kemajuan teknologi akan berjalan seiring dengan perkembangan karakter sumber daya manusia dalam membangun bangsa.
Kesiapan manusia dalam menyikapi perkembangan teknologi yang mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas akan mempengaruhi peradaban suatu bangsa tersebut. Kemajuan teknologi tidak lantas menjadi “bombardir” kebudayaan yang belum tentu seiring dari nilai kemanusiaan.



Ki Hajar Dewantara pernah mengajarkan kita tentang konsep Tri Pusat Pendidikan. Konsepsi tentang tiga pusat pendidikan berlangsung di keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Diantara ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Sejak lahir manusia dibina dalam pendidikan keluarga yang akan menjadi peletakan awal pondasi karakter. Kemudian setelah memasuki usia sekolah, seseorang akan secara langsung terlibat dalam pendidikan sekolah dan masyarakat pada sisi lain.
Pendidikan terjadi dimana saja, kapan saja dan berlangsung sepanjang hayat. Tanpa pembatasan dan ketentuan tertentu. Seperti yang termaktub dalam Undang-undang Dasar pasal 31 sebagai amanah konstitusional untuk mengembangkan modal intelektual masyarakat.
Dalam perkembangannya, konsep Tabula Rasa John Locke melahirkan proses belajar mengajar satu arah yang kemudian sedikit banyak mematikan potensi dan bakat anak dalam menemukan dirinya. Belajar dengan mengharuskan pada kewenangan mutlak yang dimiliki pendidik pada siswa sebagai subjek didiknya. Berbagai peraturan dan pengaturan dibuat sedemikian rupa untuk membangun wibawa.
Kemudian konsep dialog Plato menjadi antithesis dari “belajar satu arah” tersebut. Dengan berdialog maka siswa mengalami belajar efektif dengan mengasah analisis untuk dapat menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sesuai kebutuhan siswa untuk menjadi manusia seutuhnya.
Teori yang kita kenal dalam proses pembelajaran yaitu pedagogi dan andragogi. Keduanya berasal dari bahasa Yunani, pedagogi berasal dari “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Yang kemudian andragogi memliki arti sebaliknya, yaitu membimbing orang dewasa. Kajian mendalam terkait pedagogi maupun andragogi masih minim dilakukan oleh para calon pendidik di beberapa institusi.
Padahal kedua hal ini menjadi pokok utama dalam membimbing siswa. Seperti yang disampaikan Soegarda Poerbakawadja (1976:212) “pedagogi mempunyai dua arti :
a.       Praktek, cara mengajar
b.      Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar; Prinsip-prinsip, metode-metode membimbing dan mengawasi pelajaran; dengan satu perkataan disebut pendidikan”.[1]
Kemudian dilengkapi dengan pendapat Dr. Warul Walidin AK, M.A. (2003:10) dengan menyampaikan bahwa “pedagogi sebagai ilmu mengutarakan masalah-masalah yang bersifat ilmu teori, yang bersifat pengetahuan an sich”.[2]
Sedangkan untuk andragogi Malcolm Knowles (1977) , menyatakan “empat konsep yang mendasari perbedaan andragogi dengan pedagogi yaitu :
1.      Persepsi diri
2.      Pengalaman hidup
3.      Kesiapan belajar
4.      Perspektif atau orientasi waktu”. [3]
Dengan demikian konsep andragogi lebih banyak memainkan peran serta peserta didik. Sehingga pada prosesnya, pendidik juga dapat belajar dari dinamika pembelajaran dua arah. Potensi yang dimiliki siswa juga akan semakin terasah dengan tidak membatasi pembelajaran hanya sebatas hapalan yang menurut hirarki taksonomi Bloom mendapat urutan paling bawah.
Siswa tidak lagi memahami pertanyaan sebatas pilihan ganda, namun lebih pada kemampuan analisis memahami persoalan yang kemudian akan dapat dipecahkan hingga ke akarnya.
1.      Teknologi Pendidikan yang Memanusiakan
Dalam perkembangan pendidikan juga mengalami perencanaan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan membangun sebuah kebudayaan. Kebudayaan yang nantinya akan dapat mengambangkan peradaban suatu bangsa. Menurut Dr. Nazili Shaleh Ahmad (2011:7)[4] dalam hal perencanaan pendidikan ini, masyarakat mempunyai tanggung jawab mengenai perkembangan dirinya dan sekaligus menghadapi problematika hidupnya. Kemudian bekerja sama dalam mengatasi problematika tersebut agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dan menakjubkan sebagaimana sekarang ini.
Pendidikan sebagai media efektif dalam pengajaran mengenai budaya dan teknologi secara langsung juga mengalami perkembangan yang juga cukup pesat. Hal ini seharusnya diiringi dengan penyikapan secara bijak. Negeri kita sebagai bangsa besar namun belum juga menemukan format pendidikan yang menjawab tantangan jaman. Pendidikan yang memperhatikan tinjauan psikologis, sosiologis dan antropologis. Sehingga masyarakat kita mengalami perkembangan seimbang dalam ranah kognisi, afeksi dan psikomotorisnya.
Untuk memahami pesatnya globalisasi Lily Zakiah Machfudz (2002) menjelaskannya sebagai “bagian dari nama revolusi dunia yang menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, bahkan sampai relung hati yang paling dalam”.[5] Dengan ini, pendidik memiliki peran vital mendampingi proses belajar siswa didik.
Budaya imitasi atau copy paste yang menggunakan istilah dalam dunia menulis masih sering kita temukan. Berbagai fasilitas memudahkan akses, namun amat disayangkan pola ini membentuk kuat dalam kepribadian siswa kita.
Tidaklah mudah memang, tetapi bukan hal yang mustahil. Pendidik menempatkan diri sebagai teladan nyata untuk siswanya. Kemudian pembelajaran berbasis teknologi sebagai referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara selektif di setiap informasi.  Kita pun secara langsung mengalami peningkatan proses pembelajaran dengan dapat menganalisis sumber data. Sebab sumber data tidak hanya menjadi “kunci jawaban” persoalan yang ada.
Kemampuan analisis siswa akan terasah, budaya generasi copy paste berfungsi positif. Sebab sumber data menjadi bahan diskusi yang kemudian menjadi jalan analisis masalah. Tanpa penyikapan bijak pada persoalan ini, mungkin kita akan terus menyiapkan generasi “koruptor cilik” yang nantinya siap “korupsi” pada hal yang lebih besar.
Pengujian siswa juga mulai diberlakukan dengan open book atau buku terbuka, ini menjadi media untuk mengembangkan kreatifitas siswa pada persoalan analisis. Jika hanya terbatas pada persoalan close book atau buku tertutup, maka kita kembali menggunakan metode sekedar hapalan tanpa memahami untuk apa ilmu yang sedang dipelajari.
Generasi copy paste juga memiliki peluang untuk dapat berkembang dengan memiliki karakter yang tidak sekedar “membebek”. Namun, lebih pada karakter pemimpin yang dapat meneladani pemimpin besar yang memiliki integritas tinggi. Karena kita memiliki norma yang kita sepakati bersama.
Kemudian kita pun sebagai pendidik akan memahami manfaat dari pembelajaran kontekstual. Teks sebagai panduan dan arahan, tidak sekedar menjadi hapalan. Karena kita adalah pendidik yang menyiapkan generasi yang lebih baik dari kemarin.
“Bangsa ku tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatan ku”, Muhammad Hatta.

DAFTAR RUJUKAN
-          Soegarda Poerbakawadja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung, 1976.
-          Dr. Warul Walidin AK, M.A., Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Yogyakarta : Nadiya Foundation, 2003.
-          Malcolm Knowles, The Modern Practise of Adult Education, 1977.
-          Dr. Nazili Shaleh Ahmad, Pendidikan dan Masyarakat, terj. Drs H. Syamsudin Asyrofi, MM., 2011.
-          Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, Yogyakarta : Diva Press, 2009.






[1] Soegarda Poerbakawadja. Ensiklopedia Pendidikan. (Jakarta : Gunung Agung), hlm. 212.
[2] Dr. Warul Walidin AK, M.A. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern. (Yogyakarta : Nadiya Foundation), hlm. 10.
[3] Malcolm Knowles. The Modern Practise of Adult Education, 1977.
[4] Dr. Nazili Shaleh Ahmad. Pendidikan dan Masyarakat, terj. Drs H. Syamsudin Asyrofi, MM., 2011, hlm. 7.
[5]Jamal Ma’mur Asmani. Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (Yogyakarta : Diva Press), 2009 : hlm. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar