Kamis, 18 Juli 2013

adab pergaulan



Allah SWT menciptakan manusia dengan berbagai warna yang saling melengkapi. Sebagian yang lain menjadi ujian untuk sebagian yang lain untuk menguji keimanan dan ketaqwaan hambaNya. Dan sebuah perjalanan sesaat kehidupan kita yang menjadi proses ke akhirat. Berbagai aturan yang sudah diturunkan melalui Al Qur’an dan Hadits menjadikan kita manusia yang sebenarnya. Manusia yang mengemban amanah khalifah dan abdillah.
Bila kita tidak menjalankan aturan ketetapan Allah SWT, maka kita telah menyalahi amanah penciptaan. Dalam keimanan kita pada Allah, mewujud kebermanfaatan kita bagi lingkungan sekitar. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, saling menjaga harmonisasi kehidupan. Dalam batasan-batasan saling menjaga tersebut kita memiliki bagian penting.
Batasan pergaulan antar manusia menjadi penting untuk dapat mensinergikan harmonisasi kehidupan. Laki-laki dan perempuan sebagai bagian ruang lingkup masyarakat banyak melakukan interaksi dalam keseharian. Hal ini pun diatur untuk dapat tetap menjaga fitrah.

Tema cinta menjadi favorit diberbagai kalangan, dari anak-anak hingga sesepuh tidak pernah kehilangan semangat menceritakan ini. Dalam fitrah manusia perasaan ini hadir untuk melengkapi bagian kemanusiaan. Cinta pada orang tua, saudara, orang-orang dan lingkungan sekitar kita menjadi bagian dari cinta pada Allah dan RasulNya. Bila ada seorang yang tidak memiliki cinta di hatinya berarti memiliki kelainan pada jiwanya.
Anas bin Malik meriwayatkan, “seorang lelaki pedalaman bertanya kepada Rasulullah. Kapankah terjadi kiamat? Rasul menjawab, apa yang kamu siapkan untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab, cinta pada Allah dan RasulNya. Rasulullah menjawab, kamu akan tetap dengan yang kamu cintai”. Dengan hadits ini kita sepatutnya menjaga hati kita dari rasa cinta terhadap sesuatu. Dengan cinta yang kita miliki di hati akan membawa kemana akhir kehidupan kita.
Cinta adalah bagian dari komitmen kita untuk dapat kebaikan dunia dan akhirat. Ketika kita mencintai karena Allah SWT, maka kita akan memberikan yang terbaik yang kita miliki untuk dapat ridhoNya. Cinta kita hanya mengharap balasan dari Allah SWT, ikhlas menjalani proses kehidupan yang telah ditetapkan. Cinta kita sebagai mu’min tentu berbeda.
Bila rasa cinta itu hadir di saat yang belum tepat, entah karena belum siap mental, materi, ilmu dan lainnya kita tidak lantas mengambil jalan “pacaran” yang jelas tidak islami. “Pacaran” dari aspek sosiologis merupakan penyimpangan perilaku yang menyebabkan pelaku tidak berada pada jalur yang benar. “Pacaran” menjadi status yang tidak jelas, sebab antara memiliki namun tidak berhak memiliki. Pelarian pemuda pada aktifitas “pacaran” adalah ketidakmampuan diri mengelola perasaan dan tanggungjawab. Sebab membangun suatu komitmen hubungan memiliki konsekuensi. Perasaan yang tidak didampingi dengan iman maka akan bergejolak tidak stabil. Namun di sisi lain, belum mau dan mampu bertanggungjawab akan kehidupan orang yang dicintainya.
Sayangnya, budaya “pacaran” yang ada semakin menyuburkan penyimpangan-penyimpangan lain. Kajian Rifka Anisa, sebuah gerakan perempuan di Yogyakarta banyak menemukan kekerasan dalam “pacaran”. Ini timbul karena belum matangnya kondisi psikologis seseorang, namun karena tuntutan social yang menyebut “jomblo” atau tidak memiliki “pacar” itu tidak keren. Stigma “pacaran” juga akan menumbuhsuburkan perselingkungan pasca menikah. Karena laki-laki dan perempuan tidak berada pada batas tegas dalam interaksi sehari-hari.
“Sungguh ditusukkannya kepala seseorang dari kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. HR Ath Thabrani dalam Shahihul jami’)   
Konsekuensi hadits tersebut sebagai bentuk pencegahan dari hal yang kecil yang memiliki dampak besar nantinya bila tidak terjaga. Seringnya interaksi berlebihan antara laki-laki dan perempuan akan menyebabkan tidak istimewanya pasangan kita. Bila kita menjaga diri kita dari sentuhan lawan jenis, tentu kita akan disiapkan pasangan yang menjaga dirinya juga. Sehingga kita tidak mendapatkan generasi yang bermasalah nantinya. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, mendidik anak dimulai dengan proses pemilihan jodoh.
Proses pemilihan jodoh menjadi awal tanam kita untuk generasi yang lebih baik. Sekalipun banyak pemuda yang tidak memperhatikan hal ini. Aktifitas “pacaran” sudah tidak terbatas sekat apapun. Norma social menjadi kata-kata tanpa makna. Diberbagai sekolah menengah di Indonesia kini banyak yang telah ternoda kesuciannya, hamil, aborsi, hingga membunuh sang “pacar”. Atas nama cinta, rela memberi semua. Hari valentine dan tahun baru menjadi panen produk “kondom”, ini tanda berpestanya api neraka yang akan dimasuki orang-orang yang ikhlas melakukan dosa.
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat menyendiri, menyepi dengan seorang wanita, melainkan setan adalah yang ketiga diantara keduanya”. HR Tirmidzi. Hampir dari kita semua tahu bahkan mungkin hafal dengan hadits di atas. Namun memang kondisi ruang aktifitas kita berinteraksi terlalu bebas, banyak yang meremehkan hal ini. Sehingga kelanjutan menyepi dalam aktifitas “pacaran” akan menggedor pertahanan diri kita.
Jika saja sebelum berbuat kita sempatkan bertanya pada hati dan berpikir sejenak. Penodaan kesucian kita disetarakan dengan dosa syirik yang sulit terampuni. Sebab ini tanda hilangnya keimanan di hati kita. Bila tumbuh janin sebelum menikah, anak yang lahir mengikuti nasab (garis keturunan bin/binti). Anak itu juga tidak memiliki hak perwalian saat menikah dan hak waris. Akankah kita menyulitkan kehidupan anak-anak kita nanti? Sekali lagi, banyak kita tidak mengetahui hukum fiqh ini sehingga bila terjadi kehamilan sebelum menikah solusi singkatnya adalah mendapat dispensasi kawin dari KUA (Kantor Urusan Agama) untuk anak di bawah umur. Penelantaran anak maupun pembunuhan menjadi cerita panjang selanjutnya.
Hidup kita singkat, merencanakan dengan baik menjadi kewajiban kita untuk dapat mengisi keseharian kita dengan amal sholih. Jangan sampai Allah SWT pencipta kita “menyesal” menciptakan kita dikarenakan peran kita yang tidak sesuai amanah kehidupan. Manusia akan diminta pertanggungjawaban selama napas kita berhembus apa yang telah kita lakukan untuk mewariskan kehidupan esok. Sehingga generasi kita selanjutnya masih dapat melihat hidup dengan mata hati.
Islam memberi solusi bila kita telah menemukan cinta, sehingga kita tidak merusak diri dengan hal negative. Kesempurnaan ajaran Islam bukan semata fanatisme buta yang jauh dari realitas. Ajaran Islam menjawab tantangan dinamika kehidupan dengan ketetapannya yang memanusiakan manusia. Bila kita terlanjur salah pikir dan salah laku, maka sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun untuk hambaNya yang benar-benar mengakui kesalahan kemudian menghentikan perbuatan buruknya. Setelah itu menebarkan hikmah untuk manusia lain agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama.
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu mempunayi kemampuan untuk menikah, maka nikahlah. Sebab nikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Tetapi barang siapa belum mampu maka hendaklah shaum (berpuasa), sebab itu pelindung baginya. HR Bukhari.
Menikah baik-baik dengan niat menjaga diri dan karena ibadah akan menjaga kemuliaan diri dan keluarga kita. Tidak lagi ada cerita perselingkuhan, anak diluar nikah, kekerasan dan berbagai cerita yang tidak penting ada. Niat baik yang dilakukan dengan proses baik juga akan menghasilkan kebaikan yang banyak.
Kemampuan menikah bukan hanya sebatas materi, kesiapan mental dan ilmu untuk kita dapat menghargai ibadah penyempurna addin kita.  

Hidup kita adalah bagian dari sejarah masa depan, ukiran karya kita sekarang akan dapat mengubah dunia. Menjalani proses kehidupan yang diamanahkan pencipta kita dengan baik menjadi satu-satunya alasan kita menjaga akhlaq kita sebagai perwujudan keimanan. Bila hubungan kita dengan Allah SWT baik, maka akan tampak dari bagaimana kualitas hubungan kita dengan lingkungan sekitar kita. Silaturahim yang sehat, lingkungan yang bersih dan ibadah yang baik merupakan satu rangkaian kita menjadi manusia. Jika ada yang kurang baik, tanyakan pada diri kita mungkin ada yang masih kurang tepat.
Karena kita istimewa, maka istimewakan perilaku kita sebagai bentuk mengistimewakan Allah SWT yang Maha Istimewa.

Referensi
Al Hadist
Muhammad Nazhif Masykur dan Evi Ni’matuzzakiyah,2005, Cinta Kita Beda, Pro U Media.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar