Allah
SWT menciptakan manusia dengan berbagai warna yang saling melengkapi. Sebagian
yang lain menjadi ujian untuk sebagian yang lain untuk menguji keimanan dan
ketaqwaan hambaNya. Dan sebuah perjalanan sesaat kehidupan kita yang menjadi
proses ke akhirat. Berbagai aturan yang sudah diturunkan melalui Al Qur’an dan
Hadits menjadikan kita manusia yang sebenarnya. Manusia yang mengemban amanah
khalifah dan abdillah.
Bila
kita tidak menjalankan aturan ketetapan Allah SWT, maka kita telah menyalahi
amanah penciptaan. Dalam keimanan kita pada Allah, mewujud kebermanfaatan kita
bagi lingkungan sekitar. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, saling menjaga
harmonisasi kehidupan. Dalam batasan-batasan saling menjaga tersebut kita
memiliki bagian penting.
Batasan
pergaulan antar manusia menjadi penting untuk dapat mensinergikan harmonisasi kehidupan.
Laki-laki dan perempuan sebagai bagian ruang lingkup masyarakat banyak
melakukan interaksi dalam keseharian. Hal ini pun diatur untuk dapat tetap
menjaga fitrah.
Tema
cinta menjadi favorit diberbagai kalangan, dari anak-anak hingga sesepuh tidak
pernah kehilangan semangat menceritakan ini. Dalam fitrah manusia perasaan ini
hadir untuk melengkapi bagian kemanusiaan. Cinta pada orang tua, saudara, orang-orang
dan lingkungan sekitar kita menjadi bagian dari cinta pada Allah dan RasulNya.
Bila ada seorang yang tidak memiliki cinta di hatinya berarti memiliki kelainan
pada jiwanya.
Anas bin Malik meriwayatkan, “seorang lelaki
pedalaman bertanya kepada Rasulullah. Kapankah terjadi kiamat? Rasul menjawab,
apa yang kamu siapkan untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab, cinta pada
Allah dan RasulNya. Rasulullah menjawab, kamu akan tetap dengan yang kamu
cintai”. Dengan hadits ini kita sepatutnya menjaga hati kita dari rasa
cinta terhadap sesuatu. Dengan cinta yang kita miliki di hati akan membawa
kemana akhir kehidupan kita.
Cinta
adalah bagian dari komitmen kita untuk dapat kebaikan dunia dan akhirat. Ketika
kita mencintai karena Allah SWT, maka kita akan memberikan yang terbaik yang
kita miliki untuk dapat ridhoNya. Cinta kita hanya mengharap balasan dari Allah
SWT, ikhlas menjalani proses kehidupan yang telah ditetapkan. Cinta kita
sebagai mu’min tentu berbeda.
Bila
rasa cinta itu hadir di saat yang belum tepat, entah karena belum siap mental,
materi, ilmu dan lainnya kita tidak lantas mengambil jalan “pacaran” yang jelas
tidak islami. “Pacaran” dari aspek sosiologis merupakan penyimpangan perilaku
yang menyebabkan pelaku tidak berada pada jalur yang benar. “Pacaran” menjadi
status yang tidak jelas, sebab antara memiliki namun tidak berhak memiliki.
Pelarian pemuda pada aktifitas “pacaran” adalah ketidakmampuan diri mengelola
perasaan dan tanggungjawab. Sebab membangun suatu komitmen hubungan memiliki
konsekuensi. Perasaan yang tidak didampingi dengan iman maka akan bergejolak
tidak stabil. Namun di sisi lain, belum mau dan mampu bertanggungjawab akan
kehidupan orang yang dicintainya.
Sayangnya,
budaya “pacaran” yang ada semakin menyuburkan penyimpangan-penyimpangan lain.
Kajian Rifka Anisa, sebuah gerakan perempuan di Yogyakarta banyak menemukan
kekerasan dalam “pacaran”. Ini timbul karena belum matangnya kondisi psikologis
seseorang, namun karena tuntutan social yang menyebut “jomblo” atau tidak
memiliki “pacar” itu tidak keren. Stigma “pacaran” juga akan menumbuhsuburkan
perselingkungan pasca menikah. Karena laki-laki dan perempuan tidak berada pada
batas tegas dalam interaksi sehari-hari.
“Sungguh ditusukkannya kepala seseorang dari
kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita
yang tidak halal baginya”. HR Ath Thabrani dalam Shahihul jami’)
Konsekuensi
hadits tersebut sebagai bentuk pencegahan dari hal yang kecil yang memiliki
dampak besar nantinya bila tidak terjaga. Seringnya interaksi berlebihan antara
laki-laki dan perempuan akan menyebabkan tidak istimewanya pasangan kita. Bila
kita menjaga diri kita dari sentuhan lawan jenis, tentu kita akan disiapkan
pasangan yang menjaga dirinya juga. Sehingga kita tidak mendapatkan generasi
yang bermasalah nantinya. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, mendidik anak
dimulai dengan proses pemilihan jodoh.
Proses
pemilihan jodoh menjadi awal tanam kita untuk generasi yang lebih baik.
Sekalipun banyak pemuda yang tidak memperhatikan hal ini. Aktifitas “pacaran”
sudah tidak terbatas sekat apapun. Norma social menjadi kata-kata tanpa makna.
Diberbagai sekolah menengah di Indonesia kini banyak yang telah ternoda
kesuciannya, hamil, aborsi, hingga membunuh sang “pacar”. Atas nama cinta, rela
memberi semua. Hari valentine dan tahun baru menjadi panen produk “kondom”, ini
tanda berpestanya api neraka yang akan dimasuki orang-orang yang ikhlas
melakukan dosa.
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki
berkhalwat menyendiri, menyepi dengan seorang wanita, melainkan setan adalah
yang ketiga diantara keduanya”. HR Tirmidzi. Hampir dari kita semua tahu bahkan
mungkin hafal dengan hadits di atas. Namun memang kondisi ruang aktifitas kita
berinteraksi terlalu bebas, banyak yang meremehkan hal ini. Sehingga kelanjutan
menyepi dalam aktifitas “pacaran” akan menggedor pertahanan diri kita.
Jika
saja sebelum berbuat kita sempatkan bertanya pada hati dan berpikir sejenak.
Penodaan kesucian kita disetarakan dengan dosa syirik yang sulit terampuni.
Sebab ini tanda hilangnya keimanan di hati kita. Bila tumbuh janin sebelum
menikah, anak yang lahir mengikuti nasab (garis keturunan bin/binti). Anak itu
juga tidak memiliki hak perwalian saat menikah dan hak waris. Akankah kita
menyulitkan kehidupan anak-anak kita nanti? Sekali lagi, banyak kita tidak
mengetahui hukum fiqh ini sehingga bila terjadi kehamilan sebelum menikah
solusi singkatnya adalah mendapat dispensasi kawin dari KUA (Kantor Urusan
Agama) untuk anak di bawah umur. Penelantaran anak maupun pembunuhan menjadi
cerita panjang selanjutnya.
Hidup
kita singkat, merencanakan dengan baik menjadi kewajiban kita untuk dapat
mengisi keseharian kita dengan amal sholih. Jangan sampai Allah SWT pencipta
kita “menyesal” menciptakan kita dikarenakan peran kita yang tidak sesuai
amanah kehidupan. Manusia akan diminta pertanggungjawaban selama napas kita
berhembus apa yang telah kita lakukan untuk mewariskan kehidupan esok. Sehingga
generasi kita selanjutnya masih dapat melihat hidup dengan mata hati.
Islam
memberi solusi bila kita telah menemukan cinta, sehingga kita tidak merusak
diri dengan hal negative. Kesempurnaan ajaran Islam bukan semata fanatisme buta
yang jauh dari realitas. Ajaran Islam menjawab tantangan dinamika kehidupan
dengan ketetapannya yang memanusiakan manusia. Bila kita terlanjur salah pikir
dan salah laku, maka sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun untuk hambaNya yang
benar-benar mengakui kesalahan kemudian menghentikan perbuatan buruknya.
Setelah itu menebarkan hikmah untuk manusia lain agar tidak terjerumus pada
kesalahan yang sama.
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara
kamu mempunayi kemampuan untuk menikah, maka nikahlah. Sebab nikah dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Tetapi barang siapa belum mampu
maka hendaklah shaum (berpuasa), sebab itu pelindung baginya. HR Bukhari.
Menikah
baik-baik dengan niat menjaga diri dan karena ibadah akan menjaga kemuliaan
diri dan keluarga kita. Tidak lagi ada cerita perselingkuhan, anak diluar
nikah, kekerasan dan berbagai cerita yang tidak penting ada. Niat baik yang
dilakukan dengan proses baik juga akan menghasilkan kebaikan yang banyak.
Kemampuan
menikah bukan hanya sebatas materi, kesiapan mental dan ilmu untuk kita dapat
menghargai ibadah penyempurna addin
kita.
Hidup
kita adalah bagian dari sejarah masa depan, ukiran karya kita sekarang akan
dapat mengubah dunia. Menjalani proses kehidupan yang diamanahkan pencipta kita
dengan baik menjadi satu-satunya alasan kita menjaga akhlaq kita sebagai
perwujudan keimanan. Bila hubungan kita dengan Allah SWT baik, maka akan tampak
dari bagaimana kualitas hubungan kita dengan lingkungan sekitar kita. Silaturahim
yang sehat, lingkungan yang bersih dan ibadah yang baik merupakan satu
rangkaian kita menjadi manusia. Jika ada yang kurang baik, tanyakan pada diri
kita mungkin ada yang masih kurang tepat.
Karena
kita istimewa, maka istimewakan perilaku kita sebagai bentuk mengistimewakan
Allah SWT yang Maha Istimewa.
Referensi
Al Hadist
Muhammad Nazhif Masykur dan Evi
Ni’matuzzakiyah,2005, Cinta Kita Beda, Pro U Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar