Sabtu, 13 Juli 2013

agama dan konflik

Banyaknya aliran keagamaan sekarang ini memiliki dampak tertentu terhadap perkembangan masyarakat. Masing-masing aliran keagamaan itu sendiri juga berkembang dengan pemikiran dan gaya masing-masing. Tidak sedikit diantara golongan aliran keagamaan tersebut saling membantah pemikiran lainnya dengan dasar yang berbeda.
Perbedaan yang terjadi juga mudah menimbulkan konflik antar agama. Sebab agama yang menjadi keyakinan falsafah hidup seseorang rentan dengan percikan konflik bila tidak bijak memandang perbedaan. Agama yang menjadi hal yang sensitive untuk beberapa golongan. Indonesia sebagai salah satu Negara besar yang memiliki keanekaragaman budaya dan golongan juga pernah mencatatkan sejarah berdarah pada perbedaan golongan tersebut.


Kemerdekaan adalah hak setiap individu menjalankan pilihan-pilihan hidupnya. Sehingga dalam perjalanannya, setiap individu akan belajar dari setiap pilihannya sebagai konsekuensi. Kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai Negara yang besar dan majemuk tentu memiliki makna kemerdekaan sebagai warga Negara. Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, diproklamirkan kemerdekaan Indonesia kita kembali melihat ukuran dari kemerdekaan itu sendiri. Kini sudahkah semua warga Negara Indonesia menikmati kemerdekaan itu?
Jika kita melihat kembali perjalanan bangsa ini, maka kita akan melihat bentuk penjajahan baru yang berupa “rayuan” menggoda untuk dinikmati. “Rayuan” berbagai fasilitas teknologi yang memudahkan seluruh kebutuhan sehari-hari. Kita otomatis dituntut untuk dapat beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Golongan yang tidak mampu beradaptasi akan kehilangan dirinya. Sendiri dalam ruang jaman yang tak memberi kesempatan menunggu. Ketika dulu peperangan dengan perlengkapan senjata yang mematikan. Sekarang ini, peperangan kita adalah “perang ideology”. Perang ideology yang juga nantinya menjadi pemicu konflik antar golongan di suatu daerah. Yang mana peperangan ideology ini akan lebih “mematikan” dalam menghancurkan konsep kehidupan.
Hak-hak manusia wajib dilindungi peraturan hukum untuk mencegah pemberontakan. Dalam pernyataan umum Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration) PBB pasal 1 dikemukakan ; “Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniakan akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan”. Namun di beberapa daerah di Indonesia masih terpercik konflik antar agama bahkan mungkin sesama agama. Kondisi ini terjadi karena banyak factor di dalamnya. Faktor ekonomi, politik, social, budaya yang nantinya berujung juga pada agama.
Semua factor ini sangat menentukan kemerdekaan tiap-tiap warga Indonesia. Seperti yang pernah terjadi dalam episode sejarah Indonesia, kemerdekaan yang direbut dengan semangat jihad fi sabilillah melawan sesama warga Indonesia yang beragama sama dengan penjajah. Semangat jihad fi sabilillah berbanding terbalik dengan dukungan pribumi yang termasuk dalam golongan yang sama dengan para penjajah. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa semangat keberagamaan seseorang akan mempengaruhi langsung pada fanatisme yang akan membela golongannya. Fanatisme yang juga memungkinkan terjadinya anarkisme.
Di provinsi Bali dan Papua merupakan wilayah yang minoritas Islam terjadi beberapa pelarangan menjalankan ibadah untuk muslim. Dalih ini dibangun untuk otonomi daerah. Walau muslim minoritas berupaya untuk tidak memicu konflik namun bila hak jilbab dan ibadah lainnya dibatasi maka akan mengganggu stabilitas social masyarakat. Dalam hal ini hak asasi seseorang dalam menjalankan keyakinannya kemudian menjadi “terjajah”. Walau ada semangat otonomi daerah, hak pribadi warga Negara seharusnya tidak dibatasi oleh hukum tidak tertulis. Hanya karena stigma yang dibangun media bahwa Islam adalah teroris, hak kemerdekaan muslim menjadi terbatas.
Sedangkan di provinsi Sumatera Barat dan provinsi DI Aceh yang telah menjalankan perda syariat Islam juga tidak kemudian membatasi hak warga Indonesia yang non muslim. Prinsip kesalehan multicultural telah terkondisikan sehingga menjadi control social setempat. Non muslim tidak dibatasi beribadah selama tidak menganggu kepentingan umum dan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Walau tidak jarang kita masih mendengar adanya perang saudara akibat kebijakan pemerintah yang tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat.


PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Jakarta, 22-06-1945


Kita ketahui yang menandatangi naskah Piagam Jakarta ada Sembilan orang ;
  • Pejuang Islam : Abikusno Cokrosuyoso, Abdulkahar Muzakkir, H. Agus Salim dan Wahid Hasyim
  • Tokoh nasionalis : Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Mr. Akhmad Subarjo dan Mr. Muhammad Yamin.
Kedua golongan ini kemudian mengkompromikan penggunaan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” digantikan dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kompromi yang dilakukan untuk mengakomodasi perbedaan agama di seluruh Indonesia. Dengan kutipan Piagam Jakarta di atas, kita merefleksikan kondisi keberagamaan di Indonesia. Toleransi yang diupayakan tokoh Islam dengan kemajemukan dan pluralitas yang ada tidak diasmbut dengan kebebasan beragama Islam di beberapa wilayah. Tidak sedikit pula antar golongan saling menyakiti. Kesatuan suara untuk dapat mengakomodasi heterogenitas Negara Republik Indonesia yang memilki semangat “Bhineka Tunggal Ika”.
Tradisi keagamaan dari suatu agama mulai bersentuhan dengan segala macam tradisi keagamaan yang selama ini berbeda, saling bertentangan dan saling menegasi. Hal ini membawa kesadaran baru keagamaan dan peradaban multicultural dari semua ragam kebangsaan, nasionalitas dan etnis. Doktrin klasik keagamaan mulai ditafsir ulang selaras dengan kesadaran baru kemanusiaan multicultural dengan ruang hidup yang serba terbuka dan ruang jelajah tak terbatas. Misi penyelamatan yang ada di semua agama mulai ditafsir ulang menjadi lebih manusiawi dan inklusif di atas dasar spiritualisme baru yang melintasi batas-batas pengalaman local dan regional.
Keberagamaan kita sebagai manusia berhubungan langsung dengan nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan. Seseorang yang memiliki kualitas ibadah yang baik maka akan terintegrasi dengan nilai kemanusiaan yang dimilikinya. Memisahkan diri dari dinamika social juga kemudian tidak akan berbeda dibandingkan dengan memisahkan diri dari dinamikan ibadah. Dinamika social dan dinamika ibadah merupakan satu kesatuan yang dimiliki seseorang yang menjalankan peran kemanusiaannya.
Inkonsistensi keagamaan yang terjadi dapat dilihat dari praktek keagamaan konvensional yang cenderung konservatif yang sering kali tidak bisa bersikap jujur dan objektif melihat fakta. Hanya jika keagamaan sebagai proses pencarian kebaikan dan kebenaran yang tak pernah selesai, kepemelukan suatu agama yang konsisten bisa menjadi wahana dan media pencerahan kemanusiaan dan peradaban. Keberimanan semestinya ditempatkan sebagai kesadaran universal dari pengamalan kemanusiaan yang sebagian merupakan hasil dialog dengan lingkungan social dan alam, dan sebagian lain sebagai sebuah “takdir” social warisan orang tua atau sebuah komunitas.
Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, sepatutnya memahami makna dasar Negara yang sangat mendukung kesatuan dengan segala perbedaan yang ada. Bila semua warga Negara dapat memahami landasan dari dasar Negara Indonesia, maka tidak lagi aka nada konflik yang mengatasnamakan agama atau suatu golongan tertentu. Semangat yang terbangun adalah persaudaraan dalam keberagamaan. Tidak mudah terpicu konflik hanya karena permasalahan kecil yang tidak produktif. Kemudian masyarakat Indonesia akan focus pada pengembangan diri yang akan mendukung pengembangan Negara.
Globalisasi memang mempunyai banyak arti, namun yang paling mengesankan ialah tumbuhnya kesadaran akan kemanusiaan yang semakin kuat. Kesadaran ini bisa bernilai negative tentang persaingan dan konflik yang semakin luas dan tajam, tapi juga bisa bernilai positif ketika dikembangkan sebuah formula peradaban berbasis nilai-nilai universal kemanusiaan yang terdapat di semua ajaran agama. Ajaran Islam tentang rahmatan lil ‘alamin (global) hanya akan berfungsi efektif manakala tafsirnya diletakkan dalam tubuh sejarah kemanusiaan.
Salah satu nilai dasar dari penurunan agama dan agama-agama ialah fungsinya bagi manusia, bukan sebaliknya, manusia diciptakan untuk agama. Tuhan sendiri sampai harus “bersusah-payah” membuat agama dan semua makhluk, bukanlah bagi diri Tuhan yang butuh semua hali itu, tetapi karena manusia. Allah menciptakan seluruh alam dan malaikat adalah karena alasan-alasan kemanusiaan, sehingga malaikat diharuskan bersujud kepada manusia.
Karena itu, makna Islam sebagai ajaran bagi perdamaian dan keselamatan umat manusia akan berfungsi manakala ajaran itu dipahami dan ditafsir bagi kepentingan kemanusiaan dan bukan kepentingan ketuhanan. Agama (Islam) bukanlah soal ketuhanan, melainkan persoalan kemanusiaan, Karena Tuham tidak butuh semua hal, bahkan juga tidak butuh diri Tuhan itu sendiri. Berkali-kali Tuhan mengkritik setiap manusia yang menyembahTuhan yang tak mempunyai faedah bagi manusia. Tidak ada gunanya agama tanpa keberadaan manusia, bahkan surge dan neraka tidak ada gunanya diadakan jika tidak ada manusianya.
Agama yakni Qur’an sekali lagi, bukan untuk diri Tuhan yang tak butuh apapun, melainkan bagi manusia. Hanya saja manusia sering kali tidak merasa hebat kalau tidak menjadikan Tuhan sebagai tameng agar semua manusia takluk kepadanya. Bukankah jika demikian Tuhan telah disaingi dan diperalat. Karena itulah Tuhan tidak lagi berurusan apakah manusia mau kafir atau mau iman, mau shalat atau mau madat, mau zakat atau mau kesrakat.
Tindakan seperti dilakukan karena jika atas nama Tuhan dan untuk agama, manusia merasa sah bertindak apa saja-mencuri, merampok, memperkosa, membunuh, dan menghancurkan dunia ini-dengan alasan bukankah semua ini untuk Tuhan yang menciptakan semua hal itu. Jika itu terjadi, maka model kesalehan kita ternyata model kesalehan “anak kecil” yang ketika permainannya direbut orang lain lalu menangis dan wadul merajuk kepada orang tuanya agar memperebutkan kembali sang mainan yang dicuri orang itu. Tanpa nama dan tanpa symbol-simbol itu, manusia seperti tidak mau, tidak semangat, dan tidak berani berbuat apa-apa.
Pemikiran Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Kesalehan Multikultural tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana seharusnya dikap seseorang yang mengaku “beragama”. Beragama adalah bagian kita menjadi manusia yang ditunjukkan dengan ibadah yang baik dengan implikasi kesalehan social. Maka beragama memiliki garis korelasi yang kuat dengan realitas social.


Manusia di dunia memiliki peran sebagai makhluk tuhan yang beribadah dan makhluk social yang bermanfaat bagi kehidupan. Konflik yang terjadi karena didasari agama mrupakan pertanda masih kurangnya pemahaman kita dalam beragama. Tuhan yang kita sembah tidak akan rugi bila kita tidak beribadahnya pada. Kekuasaannya di langit dan bumi tidak kemudian hilang. Namun kebutuhan kita sebagai makhluk yang selalu membutuhkan pegangan dalam menjaga nilai kemanusiaannya.
Bila kita dapat bijak melihat warna-warni dari kemajemukan masyarakat kemudian berhenti menyalahkan keadaan dengan bergerak membangun, kita tidak akan lagi melihat konflik yang merusak tatanan social masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Kuncoro Purbopranoto, Hak-hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik Indonesia, Pradnya Paramita d/h J.B Wolters, Jakarta 1960, hal.182
Abdul Munir Mulkan, Kesalehan Multikultural, Seri Begawan Muhammadiyah, PSAP Muhammadiyah Jakarta 2005.
Drs. M. A. Gani, MA, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar