Banyaknya
aliran keagamaan sekarang ini memiliki dampak tertentu terhadap
perkembangan masyarakat. Masing-masing aliran keagamaan itu sendiri
juga berkembang dengan pemikiran dan gaya masing-masing. Tidak
sedikit diantara golongan aliran keagamaan tersebut saling membantah
pemikiran lainnya dengan dasar yang berbeda.
Perbedaan
yang terjadi juga mudah menimbulkan konflik antar agama. Sebab agama
yang menjadi keyakinan falsafah hidup seseorang rentan dengan
percikan konflik bila tidak bijak memandang perbedaan. Agama yang
menjadi hal yang sensitive untuk beberapa golongan. Indonesia sebagai
salah satu Negara besar yang memiliki keanekaragaman budaya dan
golongan juga pernah mencatatkan sejarah berdarah pada perbedaan
golongan tersebut.
Kemerdekaan
adalah hak setiap individu menjalankan pilihan-pilihan hidupnya.
Sehingga dalam perjalanannya, setiap individu akan belajar dari
setiap pilihannya sebagai konsekuensi. Kemerdekaan bangsa Indonesia
sebagai Negara yang besar dan majemuk tentu memiliki makna
kemerdekaan sebagai warga Negara. Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945,
diproklamirkan kemerdekaan Indonesia kita kembali melihat ukuran dari
kemerdekaan itu sendiri. Kini sudahkah semua warga Negara Indonesia
menikmati kemerdekaan itu?
Jika
kita melihat kembali perjalanan bangsa ini, maka kita akan melihat
bentuk penjajahan baru yang berupa “rayuan” menggoda untuk
dinikmati. “Rayuan” berbagai fasilitas teknologi yang memudahkan
seluruh kebutuhan sehari-hari. Kita otomatis dituntut untuk dapat
beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Golongan yang tidak
mampu beradaptasi akan kehilangan dirinya. Sendiri dalam ruang jaman
yang tak memberi kesempatan menunggu. Ketika dulu peperangan dengan
perlengkapan senjata yang mematikan. Sekarang ini, peperangan kita
adalah “perang ideology”. Perang ideology yang juga nantinya
menjadi pemicu konflik antar golongan di suatu daerah. Yang mana
peperangan ideology ini akan lebih “mematikan” dalam
menghancurkan konsep kehidupan.
Hak-hak
manusia wajib dilindungi peraturan hukum untuk mencegah
pemberontakan. Dalam pernyataan umum Hak-hak Asasi Manusia (Universal
Declaration) PBB pasal 1 dikemukakan ; “Semua manusia dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka
dikaruniakan akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lainnya
dalam semangat persaudaraan”. Namun di beberapa daerah di Indonesia
masih terpercik konflik antar agama bahkan mungkin sesama agama.
Kondisi ini terjadi karena banyak factor di dalamnya. Faktor ekonomi,
politik, social, budaya yang nantinya berujung juga pada agama.
Semua
factor ini sangat menentukan kemerdekaan tiap-tiap warga Indonesia.
Seperti yang pernah terjadi dalam episode sejarah Indonesia,
kemerdekaan yang direbut dengan semangat jihad fi sabilillah melawan
sesama warga Indonesia yang beragama sama dengan penjajah. Semangat
jihad fi sabilillah berbanding terbalik dengan dukungan pribumi yang
termasuk dalam golongan yang sama dengan para penjajah. Sehingga kita
dapat menyimpulkan bahwa semangat keberagamaan seseorang akan
mempengaruhi langsung pada fanatisme yang akan membela golongannya.
Fanatisme yang juga memungkinkan terjadinya anarkisme.
Di
provinsi Bali dan Papua merupakan wilayah yang minoritas Islam
terjadi beberapa pelarangan menjalankan ibadah untuk muslim. Dalih
ini dibangun untuk otonomi daerah. Walau muslim minoritas berupaya
untuk tidak memicu konflik namun bila hak jilbab dan ibadah lainnya
dibatasi maka akan mengganggu stabilitas social masyarakat. Dalam hal
ini hak asasi seseorang dalam menjalankan keyakinannya kemudian
menjadi “terjajah”. Walau ada semangat otonomi daerah, hak
pribadi warga Negara seharusnya tidak dibatasi oleh hukum tidak
tertulis. Hanya karena stigma yang dibangun media bahwa Islam adalah
teroris, hak kemerdekaan muslim menjadi terbatas.
Sedangkan
di provinsi Sumatera Barat dan provinsi DI Aceh yang telah
menjalankan perda syariat Islam juga tidak kemudian membatasi hak
warga Indonesia yang non muslim. Prinsip kesalehan multicultural
telah terkondisikan sehingga menjadi control social setempat. Non
muslim tidak dibatasi beribadah selama tidak menganggu kepentingan
umum dan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Walau tidak jarang
kita masih mendengar adanya perang saudara akibat kebijakan
pemerintah yang tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
PIAGAM
JAKARTA 22 JUNI 1945
“Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum
dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jakarta,
22-06-1945
Kita
ketahui yang menandatangi naskah Piagam Jakarta ada Sembilan orang ;
- Pejuang Islam : Abikusno Cokrosuyoso, Abdulkahar Muzakkir, H. Agus Salim dan Wahid Hasyim
- Tokoh nasionalis : Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Mr. Akhmad Subarjo dan Mr. Muhammad Yamin.
Kedua
golongan ini kemudian mengkompromikan penggunaan “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” digantikan
dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kompromi yang dilakukan untuk
mengakomodasi perbedaan agama di seluruh Indonesia. Dengan kutipan
Piagam Jakarta di atas, kita merefleksikan kondisi keberagamaan di
Indonesia. Toleransi yang diupayakan tokoh Islam dengan kemajemukan
dan pluralitas yang ada tidak diasmbut dengan kebebasan beragama
Islam di beberapa wilayah. Tidak sedikit pula antar golongan saling
menyakiti. Kesatuan suara untuk dapat mengakomodasi heterogenitas
Negara Republik Indonesia yang memilki semangat “Bhineka Tunggal
Ika”.
Tradisi
keagamaan dari suatu agama mulai bersentuhan dengan segala macam
tradisi keagamaan yang selama ini berbeda, saling bertentangan dan
saling menegasi. Hal ini membawa kesadaran baru keagamaan dan
peradaban multicultural dari semua ragam kebangsaan, nasionalitas dan
etnis. Doktrin klasik keagamaan mulai ditafsir ulang selaras dengan
kesadaran baru kemanusiaan multicultural dengan ruang hidup yang
serba terbuka dan ruang jelajah tak terbatas. Misi penyelamatan yang
ada di semua agama mulai ditafsir ulang menjadi lebih manusiawi dan
inklusif di atas dasar spiritualisme baru yang melintasi batas-batas
pengalaman local dan regional.
Keberagamaan
kita sebagai manusia berhubungan langsung dengan nilai ketuhanan dan
nilai kemanusiaan. Seseorang yang memiliki kualitas ibadah yang baik
maka akan terintegrasi dengan nilai kemanusiaan yang dimilikinya.
Memisahkan diri dari dinamika social juga kemudian tidak akan berbeda
dibandingkan dengan memisahkan diri dari dinamikan ibadah. Dinamika
social dan dinamika ibadah merupakan satu kesatuan yang dimiliki
seseorang yang menjalankan peran kemanusiaannya.
Inkonsistensi
keagamaan yang terjadi dapat dilihat dari praktek keagamaan
konvensional yang cenderung konservatif yang sering kali tidak bisa
bersikap jujur dan objektif melihat fakta. Hanya jika keagamaan
sebagai proses pencarian kebaikan dan kebenaran yang tak pernah
selesai, kepemelukan suatu agama yang konsisten bisa menjadi wahana
dan media pencerahan kemanusiaan dan peradaban. Keberimanan
semestinya ditempatkan sebagai kesadaran universal dari pengamalan
kemanusiaan yang sebagian merupakan hasil dialog dengan lingkungan
social dan alam, dan sebagian lain sebagai sebuah “takdir” social
warisan orang tua atau sebuah komunitas.
Sebagai
warga Negara Indonesia yang baik, sepatutnya memahami makna dasar
Negara yang sangat mendukung kesatuan dengan segala perbedaan yang
ada. Bila semua warga Negara dapat memahami landasan dari dasar
Negara Indonesia, maka tidak lagi aka nada konflik yang
mengatasnamakan agama atau suatu golongan tertentu. Semangat yang
terbangun adalah persaudaraan dalam keberagamaan. Tidak mudah terpicu
konflik hanya karena permasalahan kecil yang tidak produktif.
Kemudian masyarakat Indonesia akan focus pada pengembangan diri yang
akan mendukung pengembangan Negara.
Globalisasi
memang mempunyai banyak arti, namun yang paling mengesankan ialah
tumbuhnya kesadaran akan kemanusiaan yang semakin kuat. Kesadaran ini
bisa bernilai negative tentang persaingan dan konflik yang semakin
luas dan tajam, tapi juga bisa bernilai positif ketika dikembangkan
sebuah formula peradaban berbasis nilai-nilai universal kemanusiaan
yang terdapat di semua ajaran agama. Ajaran Islam tentang rahmatan
lil ‘alamin (global) hanya akan berfungsi efektif manakala
tafsirnya diletakkan dalam tubuh sejarah kemanusiaan.
Salah
satu nilai dasar dari penurunan agama dan agama-agama ialah fungsinya
bagi manusia, bukan sebaliknya, manusia diciptakan untuk agama. Tuhan
sendiri sampai harus “bersusah-payah” membuat agama dan semua
makhluk, bukanlah bagi diri Tuhan yang butuh semua hali itu, tetapi
karena manusia. Allah menciptakan seluruh alam dan malaikat adalah
karena alasan-alasan kemanusiaan, sehingga malaikat diharuskan
bersujud kepada manusia.
Karena
itu, makna Islam sebagai ajaran bagi perdamaian dan keselamatan umat
manusia akan berfungsi manakala ajaran itu dipahami dan ditafsir bagi
kepentingan kemanusiaan dan bukan kepentingan ketuhanan. Agama
(Islam) bukanlah soal ketuhanan, melainkan persoalan kemanusiaan,
Karena Tuham tidak butuh semua hal, bahkan juga tidak butuh diri
Tuhan itu sendiri. Berkali-kali Tuhan mengkritik setiap manusia yang
menyembahTuhan yang tak mempunyai faedah bagi manusia. Tidak ada
gunanya agama tanpa keberadaan manusia, bahkan surge dan neraka tidak
ada gunanya diadakan jika tidak ada manusianya.
Agama
yakni Qur’an sekali lagi, bukan untuk diri Tuhan yang tak butuh
apapun, melainkan bagi manusia. Hanya saja manusia sering kali tidak
merasa hebat kalau tidak menjadikan Tuhan sebagai tameng agar semua
manusia takluk kepadanya. Bukankah jika demikian Tuhan telah disaingi
dan diperalat. Karena itulah Tuhan tidak lagi berurusan apakah
manusia mau kafir atau mau iman, mau shalat atau mau madat, mau zakat
atau mau kesrakat.
Tindakan
seperti dilakukan karena jika atas nama Tuhan dan untuk agama,
manusia merasa sah bertindak apa saja-mencuri, merampok, memperkosa,
membunuh, dan menghancurkan dunia ini-dengan alasan bukankah semua
ini untuk Tuhan yang menciptakan semua hal itu. Jika itu terjadi,
maka model kesalehan kita ternyata model kesalehan “anak kecil”
yang ketika permainannya direbut orang lain lalu menangis dan wadul
merajuk kepada orang tuanya agar memperebutkan kembali sang mainan
yang dicuri orang itu. Tanpa nama dan tanpa symbol-simbol itu,
manusia seperti tidak mau, tidak semangat, dan tidak berani berbuat
apa-apa.
Pemikiran
Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Kesalehan Multikultural tersebut
secara jelas menggambarkan bagaimana seharusnya dikap seseorang yang
mengaku “beragama”. Beragama adalah bagian kita menjadi manusia
yang ditunjukkan dengan ibadah yang baik dengan implikasi kesalehan
social. Maka beragama memiliki garis korelasi yang kuat dengan
realitas social.
Manusia
di dunia memiliki peran sebagai makhluk tuhan yang beribadah dan
makhluk social yang bermanfaat bagi kehidupan. Konflik yang terjadi
karena didasari agama mrupakan pertanda masih kurangnya pemahaman
kita dalam beragama. Tuhan yang kita sembah tidak akan rugi bila kita
tidak beribadahnya pada. Kekuasaannya di langit dan bumi tidak
kemudian hilang. Namun kebutuhan kita sebagai makhluk yang selalu
membutuhkan pegangan dalam menjaga nilai kemanusiaannya.
Bila
kita dapat bijak melihat warna-warni dari kemajemukan masyarakat
kemudian berhenti menyalahkan keadaan dengan bergerak membangun,
kita tidak akan lagi melihat konflik yang merusak tatanan social
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuncoro
Purbopranoto, Hak-hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik
Indonesia, Pradnya Paramita d/h J.B Wolters, Jakarta 1960, hal.182
Abdul
Munir Mulkan, Kesalehan Multikultural, Seri Begawan Muhammadiyah,
PSAP Muhammadiyah Jakarta 2005.
Drs.
M. A. Gani, MA, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, Bulan
Bintang, Jakarta 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar