Senin, 02 Juni 2014

sejejak asa

Kisah ini ingin sekali aku ceritakan dalam bentuk tulisan, kesannya lebih dramatis ^_^
Ada acara nasional yang teman-teman laksanakan di Bali memberi ku kesempatan tuk mudik. Ya, sebenarnya bulan lalu aku sudah mudik karena berbagai agenda. Hingga karena berbagai paksaan teman aku berangkat lagi bulan ini. Pertama kali juga menggunakan kereta Sri Tanjung Jogja-Banyuwangi. Baru beli tiket di saat agennya mau tutup, karena nunggu kiriman uang dari teman. Maklum perjalanan yang memaksakan apa adanya.
Malamnya nginap di Sofi, karena aku sudah tidak tinggal di sana. Aku masih belum punya tempat tinggal tetap setelah aku memindahkan barang ke Puri Sakinah belum nyaman dengan tempat baru. Aku cukup lama beradaptasi. Masuk stasiun Lempuyangan kereta sudah posisi menunggu, aku yang belum tau duduk di ruang tunggu dan membeli sebungkus nasi untuk mengganjal perut. Aku cukup rewel makan jika sedang dalam perjalanan. Pikir ku mungkin bisa makan sebelum kereta berjalan jauh. Panggilan penumpang membuat ku sadar kereta yang ada itu kereta yang aku tumpangi. Langsung aku mencari tempat duduk sesuai tiket. Dan disini cerita bermula…
Tempat duduk ku kosong, aku sendiri dan sangat menikmati perjalanan J
Kereta bergerak perlahan, aku buka sebungkus nasi yang tadi ku beli. Seperti yang membuat ku tidak begitu suka makan di perjalanan adalah makanan yang sangat apa adanya dengan harga yang lumayan mahal. Tapi hampir tidak ada pilihan untuk traveler. Sepanjang jalan Alhamdulillah saat menghijaunya sawah yang memanjakan mata. Banyak berucap zikir dan doa yang insyaAllah makbul bagi fi sabilillah. Di temani buku penjelajahan sejarah Islam di Eropa yang semakin menguatkan azam untuk terus melakukan perjalanan yang meningkatkan keimanan terhadap Islam.
Di usia ku yang orang bilang cukup umur menikah, aku masih sendiri. Berusaha menikmati. Karena belum ada seseorang yang memahami berbagai obsesi ku yang tidak umum. Keliling dunia, itu penuh konsekuensi dan katanya bila menikah kita tidak lagi bisa bebas. Karenanya aku sangat menanti seseorang yang paham dan bisa menemani aku ke mana pun. Menikah bukan halangan, tapi kekuatan baru. Mau lanjut sekolah pasca pun harusnya justru makin semangat. Apalagi berjuang untuk menegakkan panji kejayaan Islam, tentu keluarga menjadi pilar pondasi terpenting. Tidak mudah memang mematahkan mitos yang sudah berakar.
Kereta mulai memasuki daerah Jawa Timur, seorang Ibu muda dengan seorang anaknya yang belum genap 2 tahun duduk di hadapan ku. Anaknya ingin banyak bergerak hingga perlu kursi kosong di hadapanku itu. Suaminya dengan setia dan gagahnya bergantian menjaga si kecil. “manis sekali”, batin ku. Mungkin aku sangat jarang melihat romantisme keluarga seperti itu. Tumbuh dan besar di keluarga yang tidak ekspresif membuat ku tidak tau dan cuek untuk urusan begitu. Beruntung aku masih menganggap itu manis…
Tidak lama, mereka sekeluarga turun duduk di sebelah ku sepasang suami istri yang cukup dewasa. Mereka terlihat dekat dan saling melengkapi. Tanpa bicara dengan mereka, kita bisa melihat mereka yang saling menerima kondisi pasangan masing-masing. Luar biasa… Menerima adalah sesuatu yang luar biasa menurut ku belakangan ini.
Turunnya ayah bunda barusan digantikan kembali dengan keluarga muda yang menumpang duduk dihadapan ku karena anaknya ingin banyak bergerak. Diam ku memandang jendela kereta yang menghampar eksotika Indonesia dengan hijaunya persawahan sepanjang jalan. Sekaligus melihat pantulan bayangan keluarga muda yang menikmati masa mengurus anak mereka yang masih kecil. Pikir ku, usia mereka tidak jauh dari ku. Mungkin semua melihat ku gadis yang sibuk dengan segudang aktifitas di kampus, organisasi dan kerja hingga melupakan kesendirian ku, tapi aku masih memanjatkan doa untuk memiliki keluarga sendiri yang menjadi pilar peradaban Islam.
Perjalanan ku lanjutkan setelah turun di stasiun Banyuwangi menumpang sebuah becak karena badan ku letih untuk sekedar berjalan ke pelabuhan. Jaraknya hanya 1 km tapi kelaparan membuat ku malas berjalan. Mampir makan sebentar dan kemudian berjalan sendiri menyusuri kendaraan yang hendak masuk dalam kapal laut. Badan ku masih terasa sangat letih, memandang laut malam sesaat lalu kembali menidurkan badan hingga 1 jam pelayaran kapal.
Sesampainya di pelabuhan Gilimanuk Bali, tepat pukul 00.00. Menikmati semilir angin yang menyisipkan kerinduan di tanah yang membesarkan ku. Walau aku sendiri tidak begitu menyukai tanah yang menjegal keIslaman ku dengan berbagai adat. Bagaimana pun, Allah menempatkan episode hidup ku yang harus dilalui disini. Untuk bertemu dan mencintai Allah perlu banyak jalan.
Di sebuah pos polisi pelabuhan aku menunggu bis menuju Denpasar, Abah dan adik laki-laki ku menghubungi ku menanyakan posisi ku. Sepertinya subuh baru akan sampai Denpasar. Karena tengah malam seperti ini lebih banyak truk pengangkut barang. Ditemani seorang polisi “galau” aku membuang waktu sebentar. Berbicang tentang budaya seks yang dia tahu dan pertanyaan tentang makna jilbab yang ku kenakan. “kami hanya memperlihatkan untuk suami kami”. Kata ku tegas menjelaskan alasan ku berjilbab. Aku pun menyerang balik dengan pertanyaan “bodoh”, “mengapa pelanggaran di jalan tidak semua diselesaikan di kantor polisi tapi langsung di TKP?”, Jawaban lebih “bodoh” aku terima. “kami kasihan dan ingin mempermudah. Ini rasa kemanusiaan”. Ah, klise sekali. Serasa gajinya yang menjadi beban Negara terbesar itu masih kurang menumpuk lemak di perutnya. (ups.. kasar sekali aku ini. Aku hanya tidak habis pikir dengan lingkaran setan birokrasi Indonesia tercinta).
Masih Islamophobia, tas jinjing ku yang berisikan banyak buku dilihat dengan sorot lampu senter. Berasa membawa bom saja aku. Dan setau ku sejak Bom Bali 2002, pemeriksaan KTP menjadi WAJIB untuk masuk Bali. Hingga kini masih saja, walau aku tak paham esensi antara KTP sebagai identitas dan bom.
Beruntung aku bertemu dengan rombongan backpackers yang tampak seperti ikhwan dan akhwat kader sebuah partai Islam. Berkenalan dengan mereka cukup membuat ku nyaman di tengah malam ini. Mereka dari Kalimantan Timur menuju Gunung Rinjani Lombok. “WOW”. Aku merindukan hobi gila ku itu. Ya, mendaki ku sebut gila karena kondisi fisik yang tidak terlalu kuat berolahraga ringan saja malah suka petualangan berat. Kaki ku pernah patah, sehingga aku membatasi kegiatan kaki. Tapi mendaki gunung itu menyenangkan capeknya. Aku belum mau mendaki gunung lagi sampai punya mahrom yang bisa menemani. Jika ada apa-apa ada yang halal membantu ku. Salah satu dari rombongan itu sepasang suami istri muda yang berhobi sama. Hobi berat dan mahal. (ingin sekali… semoga J)
Benar, tepat subuh aku tiba di terminal Ubung dan dijemput Abah. Alhamdulillah…
Orang lain sering kali hanya melihat sepintas tanpa melihat lagi lebih dalam. Ketika aku diam waktu diskusi pernikahan, aku dikatakan sensi. Bukan, aku hanya tidak nyaman bila urusan rasa diceritakan disembarang orang dan terus menerus. Ini privasi teman. Hentikan mengumbar foto berdua, atau duduk hanya berdua diantara banyak teman lain. Berbaurlah, cinta sejati itu bermanfaat untuk orang di sekitar. Rahmatan lil ‘alamin. Jika cinta antara aku dan kamu, itu cinta egois. Mengertilah, cinta itu indah bila sekitar kita nyaman dengan keberadaan kita yang apa adanya. Dengan tetap menjaga nilai Islam. Cinta bukan bahan candaan.

Semoga dipahami, muliakan diri mu dengan ilmu iman dan amal J
Khilda Maulidiah, antara Jogjakarta dan Denpasar April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar