Pelangi Menemukan Hatinya
Pagi ini, alhamdulillah Aishi diterima
di universitas yang dekat dengan tempat tinggal kami. Aishi memang tidak kami
biasakan untuk bersaing tapi lebih memberikan yang terbaik dari miliknya. Kami,
orang tua asuh Aishi yang amat menyayanginya. Ari dan aku mendidiknya seperti
anak-anak yang kami urus di rumah singgah. Berkarya yang terbaik di bidang yang
diminati. Lama aku tidak lagi menemani Aishi beraktifitas, di rumah singgah
atau di kantor Ayah Arinya. Kami hanya bertemu dan bercerita di rumah menjelang
tidur, saling menyiapkan keperluan esok. Memberi pelukan terhangat untuknya dan
dari Ayah Arinya menjadi ritual seru setiap harinya.
Saat kami duduk bersama di meja makan,
Aishi memegang tangan Bapak. Aishi memandang Kakek yang amat mencintainya,
seperti meminta persetujuan sebelum bicara. Aku dan Neni yang selesai
menghidangkan sarapan saling bertatapan. Setelah semua duduk, Aishi meminta
waktu untuk bicara. Ari memberikan kesempatan itu dengan sebuah anggukan.
“Bismillah, Ai minta Ayah, Bunbun,
merestui kalau Ai menikah”, ucap Ai dengan tatapan serius ke arah ku.
Aku dan Ari tersenyum, aku mengusap
rambutnya.
“Ai menyukai siapa?”, tanya Ari.
“Fiki, Yah”, jawab Aishi.
“Taufiki Hudaya yang tinggal di rumah
singgah?”, sahut ku agak senang mendengar nama itu.
Aishi mengangguk.
“Aishi yakin untuk menikah sekarang?”,
tanya Ari lagi.
“Dari awal bertemu, Ai sudah mengagumi
sikapnya yang tegar menghadapi hidup. Sehingga tidak ada alasan untuk
menyalahkan keadaan Ai yang seperti ini. Ai lebih banyak bersyukur dan merasa
menemukan potensi menulis dengan berdiskusi bersamanya. Kekaguman ini menjadi
besar hingga Ai tidak sengaja membaca sebuah tulisannya Fiki tentang perasaan
kami yang sama-sama dapat saling melengkapi dan mendukung. Ai sering kesulitan
dengan pelajaran hitungan dan Fiki begitu mudah mengajari Ai. Fiki kesulitan
menejemahkan bahasa dan sastra dan Ai sangat senang menjelaskan padanya.
Daripada perasaan ini jadi sebuah kesalahan, Ai minta dihalalkan. Fiki juga
sudah bisa menafkahi dirinya dengan menjadi penulis lepas dan membuka usaha
sendiri. Itu tanda dia sudah sanggup bertanggungjawab dengan kehidupannya”,
pendapat Aishi tentang Fiki begitu jelas.
“Karena Ai anak Ayah Ari dan Bunbun,
mungkin ini alasan ketidakberanian Fiki meminta Ai. Ai mau saat kuliah nanti
tenang karena tidak ada lagi yang akan mengganggu setelah mengetahui Ai sudah
menikah. Ai sudah istikhoroh dan meminta pendapat Kakek sebelum meminta Ayah
Ari dan Bunbun”, sambung Aishi.
“Sekarang kita sarapan dulu, Ayah akan
cari saat yang tepat untuk bicara dari hati ke hati dengan Fiki. Bunbun dan
Bapak bantu berdoa minta yang terbaik”, ucap Ari.
Selesai sarapan, semua orang rumah
pergi untuk beraktifitas. Aku merasa telah lama tidak membuka sekotak kenangan
yang Ratu tinggalkan untuk ku dan Aishi. Beberapa foto kami, setitik air di
sudut mata ku mengalir pelan.
“Ratu, Ai sudah besar sekarang. Insya
Allah menjadi seorang wanita soliha yang memuliakan mu dengan kebaikannya.
Dalam waktu dekat, dia akan menikah dan membangun istananya. Ai semakin cantik
dengan kecerdasan dan keikhlasannya berjuang untuk anak-anak di rumah
singgah...”.
Aku tak mampu lagi berkata-kata, air
mata ku semakin deras mengalir. Saat Ari memeluk ku dari belakang, setelah
mendengar keberadaan ku di kamar. Aku merindukan Ratu.
“Kakak mengapa belum berangkat?”,
tanya ku tanpa melepas pelukannya yang menenangkan.
“Ada yang tertinggal, hingga aku
merasa harus kembali”.
Aku mengusap air mata ku yang
mengalir, Ari menatap mata ku seperti mencari sesuatu.
“Aku merasa ada sesuatu yang
tertinggal, di mata mu aku menemukannya”, ucap Ari lalu mencium kening ku lama
sekali.
Kami berdua hanya diam dalam pelukan
beberapa saat. Ari baru melepas pelukannya setelah melihat aku agak tenang dan
tidak lagi menitikkan air mata.
“Bunga masih seperti bunga ku yang
dulu. Lamanya kebersamaan kita tidak mengubah cara Bunga mencintai aku dan
Aishi”, ucap Ari sambil tersenyum.
“Aku ingin Bunga menemani berbicara
pada Fiki nanti siang di rumah senyum ya”, pinta Ari pada ku, yang ku jawab
hanya anggukan kecil.
Aku ke halaman belakang rumah, melihat
Bapak masih senang berkebun. Menghijaukan suasana. Aku membantu mencabuti
rumput liar yang tumbuh disekitar tanaman yang Bapak rawat. Bapak tersenyum
melihat ku. Aku merasa sudah tua sekarang, sudah tidak lagi nyaman duduk di
bawah matahari berlama-lama. Bapak merasakan tubuh ku belakangan agak sering
mudah lelah. Walau Bapak telah di usia senja, tapi masih mampu melakukan banyak
hal dibandingkan aku.
“Istirahat di tempat teduh, Bunga dari
dulu tidak pernah kuat berjemur di bawah matahari”, kata Bapak, yang langsung
ku jalan menuju kursi di bawah pohon.
Aku minum seteguk dari botol minuman
Bapak di meja. Melihat Bapak masih semangat memberi arti hidup. Bapak sering
bilang, “Jika besok Bapak akan menghadap Allah, selagi masih sempat Bapak mau
menanam bibit kebaikan sekecil apapun”. Ari datang lalu duduk di samping ku
dengan membawa hadiah kecil.
“Aku ingin memberikan ini pada Fiki”,
kata Ari saat memperlihatkan sekotak hadiah.
Aku membukanya, dan mengamati
buku-buku yang dulu pernah aku beri padanya setelah menikah. Buku itu tersimpan
rapi tanpa pernah aku tahu dimana diletakkan Ari. Aku tersenyum, bahagia
memiliki suami yang begitu istimewa.
“Semoga Fiki bisa menerimanya”, kata
Ari.
Bapak duduk di samping ku, kebiasaan
mengusap kepala ku dengan lembut belum juga hilang. Walau aku sudah tidak lagi
semuda dulu, aku masih sangat senang.
“Apa Bapak merasakan apa yang Bunga
rasakan sekarang, sewaktu tahu aku dilamar Ari?”, tanya ku.
“Bapak sempat merasa takut kehilangan.
Sebab ketika itu, Ratu sudah tidak ada. Bapak hanya memiliki Bunga dan Aishi.
Tapi memang kita mengasuh anak sebagai amal ibadah. Bukan untuk dimiliki”,
jawab Bapak.
“Satu sisi, Bunga merasa senang.
Alhamdulillah, Bunga mengantar Aishi menjadi soliha. Namun juga sedih, rumah
ini akan sepi tanpanya”, ucap ku dengan wajah murung.
“Ya, Bunga syukuri sudah menjadi orang
tua terbaik untuk Aishi. Aishi sangat mencintai kita”, hibur Bapak.
Matahari beranjak siang, setelah solat
Duhur aku dan Ari bersiap ke rumah senyum. Hanya berjalan kaki lima menit kami
berdua telah memasuki halaman rumah senyum. Rumah senyum ini tidak pernah
berubah sejak berdiri, kecuali anak-anak yang menempatinya. Anak-anak yang
sudah mampu mencari penghasilan sendiri banyak memilih untuk mengontrak rumah.
Tinggal beberapa anak saja yang memang masih mau mengabdi membantu disini.
Sebab persoalan anak yang butuh perlindungan seolah tidak ada habisnya.
Ari mengecat seluruh rumah dengan
warna kebiruan, warna yang hampir sama dengan rumah kami. Warna biru adalah
kesukaan kami, biru tenang dan bijak. Siang ini, anak-anak masih di sekolah.
Hanya Fiki dan dua anak lagi yang sedang terlihat sibuk mengurus rintisan usaha
baru mereka. Kami memang berusaha membangun semangat wirausaha. Rumah senyum
sebagai rumah singgah juga difungsikan sebagai laboratorium dan tempat
memasarkan produk yang dijual anak-anak.
Fiki menjadi penanggungjawab usaha
penyewaan dan perbaikan komputer menggunakan ruang depan rumah sebagai ruang
kerja. Usaha yang dijalankan Fiki sangat membantu ekonomi pribadinya dan rumah
senyum.
“Assalamu’alaikum”, sapa ku dan Ari
hampir bersamaan.
“Wa’alaikumussalam”, jawab mereka
serempak, lalu menyambut menyalami Ari.
Aku tersenyum dengan menangkupkan
tangan.
“Apa kabar, Ayah dan Bunda? Seminggu
ini tidak terlihat mengunjungi kami”, sapa Fiki ramah.
“Iya, Bunda sedang sok sibuk”, goda
Ari sambil memandang ku.
“Fiki dan adik-adik disini sehat?”,
tanya ku mengalihkan.
“Alhamdulillah, setelah kita merintis
usaha komputer semua terasa dimudahkan Allah”, jawab Fiki.
“Ayah bisa minta waktu untuk ngobrol
sebentar sambil makan di warung depan?”, ajak Ari pada Fiki.
“Oh iya, Yah. Saya merapikan buku yang
tadi saya gunakan”.
Ari, aku dan Fiki duduk di salah satu
sudut warung makan depan rumah. Kami menikmati makanan sambil bicara banyak hal
tentang keadaan rumah singgah. Sebagian anak berat meninggalkan rumah singgah setelah
lulus sekolah. Karena program disini hanya sampai SMA, jadi jika ada yang ingin
kuliah tapi juga ingin tetap tinggal dengan syarat harus memiliki penghasilan
untuk dapat membantu kebutuhan adik-adiknya yang lain. Ari mengajarkan
anak-anak untuk dapat mandiri, berusaha sendiri dengan disertai doa. Sehingga
anak-anak belajar bertanggungjawab pada kehidupannya. Kita tidak mungkin dapat
menemani sepanjang hidupnya. Keterampilan menjalani hidup adalah proses penting
yang dilewati. Tanpa keterampilan, anak-anak akan terus menggantungkan hidup
pada lain.
Setelah selesai makan, Ari langsung
bicara tentang Aishi.
“Menurut Fiki, Aishi seperti apa?”.
“Maksud Ayah apa?”, tanya Fiki tidak
mengerti.
“Sebagai temannya, Fiki sudah
mengenalnya. Lama sekali bahkan”.
“Aishi soliha dan cerdas. Semangat
berjuang untuk anak-anak begitu tinggi, hingga tak jarang melupakan dirinya
sendiri”.
“Apakah Fiki telah siap menikah?”,
tanya Ari lagi, aku hanya memperhatikan raut wajah Ari yang mendadak sedih.
“Niat ada tentu, Yah. Tapi Fiki sadar
harus memiliki penghasilan yang cukup untuk dapat menafkahi”, jawab Fiki dengan
tertunduk.
“Jika hanya masalah rejeki, masih bisa
diupayakan. Modal penting adalah keyakinan pada Maha Pemberi Rejeki dan
semangat berusaha. Tanpa itu, kita tidak akan memiliki apapun”, terang Ari.
Fiki hanya mengangguk, matanya sedikit
berkaca dengan air mata.
“Bagaimana jika Fiki, Ayah minta untuk
menikahi Aishi?”.
Seketika wajah Fiki memandang Ari dan
aku, kini air mata itu jelas menetes.
“Apa Ayah tidak salah? Fiki tidak
memiliki orang tua jelas, kuliah belum lulus dengan penghasilan masih cukup
untuk sendiri. Apa Ayah melihat Fiki bisa menjadi imam untuk Aishi?”.
“Ayah tidak salah, sama sekali tidak
melihat keadaan Fiki. Karena Ayah dan Bunda melihat kedekatan Fiki dengan
Aishi, tidak ada salahnya untuk menjalin keberkahan. Teruskan kuliah dan usaha
yang Fiki kerjakan, menikah bukan alasan kita berhenti berjuang. Justru kita
semakin kuat berjuang. Insya Allah, kita melihat Fiki mampu menjadi imam Aishi”.
Fiki terdiam, memandang meja terlihat
sedang berpikir keras.
“Jika Fiki belum siap, Fiki bisa
istikhorohkan dulu. Kita sama-sama berdoa minta petunjuk, agar pilihan kita
karena ibadah pada Allah”, ucap ku memecah kebisuan Fiki.
“Iya, kita berdoa. Semoga dimudahkan”,
sambung Ari.
Lalu kami bertiga kembali ke rumah
senyum, sambil berpamitan kembali pulang ke rumah. Saat aku dan Ari melangkah
keluar pintu rumah senyum, Fiki mengejar kami.
“Ayah, Bunda. Apa ini doa Fiki?”,
tanyanya pada kami yang sekarang membuat kami bingung.
“Fiki sudah meminta Aishi pada Allah
sejak pertama bertemu, Fiki ingin bisa berjuang bersama. Tapi Fiki terlalu
tidak percaya diri meminta Aishi pada Ayah dan Bunda yang begitu baik”.
Ari langsung memeluk Fiki, Fiki yang
sungkan pada kami juga membalas pelukan Ari.
“Alhamdulillah”, ucap kami bertiga
hampir bersamaan.
Indah
sekali, ketika cinta bersambut. Saling mencinta karena ibadah pada Allah.
Dilengkapi dengan kepekaan dan pengertian orang sekitar kita untuk memudahkan
jalannya. Menari dan menyanyikan kesyukuran. Terik jingga yang hadir sesaat
setelah rintik, yang melengkapi lengkung pelangi. Menyemarakkan hari... Cinta,
seraut makna tiada tepi. Dicipta sebagai hembusan angin yang menemani pantai.
Seluruh napas yang terhembus adalah bukti cinta sang Maha. Terima kasih,
menghampiri dalam berkah.