Selasa, 20 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 17 Rona Biru di Tepi Langit

Rona Biru di Tepi Langit

          Hari ini adalah pernikahan Fiki dengan Aishi, suasana khidmat yang terasa seperti membawa ku beberapa tahun lalu saat melewati detik pernikahan indah ku dengan Ari. Setelah ikrar disahkan, Aishi memeluk ku lama sekali. Kami berdua terdiam seolah waktu terhenti. Aku memejamkan mata menikmati pelukan Aishi.
          Secercah kebahagiaan telah menemaninya menyempurnakan hidup. Sempat kekhawatiran sesaat kelahirannya, bisakah Aishi mempercantik kehidupannya dengan ikhlas, ibadah dan akhlaq yang baik? Semua pertanyaan itu kini terjawab dengan nyata.
          Dengan segala kesalahan yang terjadi beberapa waktu lalu, Fiki dan Aishi telah membuktikan mereka mampu melupakan luka dengan membaikkan kualitas diri. Sehingga mereka menjadi pribadi luar biasa di tengah jaman yang tidak lagi ramah. Anak-anak yang terlahir dari mereka akan sangat memiliki arti dengan jelasnya keberadaan orang tuanya.
          Pernikahan yang mereka lalui bukan sekedar formalitas, lebih menjadi sebuah perjalanan menjadi pemimpin muda yang luar biasa. Kita semua adalah pemimpin masa depan. Bagaimana kualitas diri kita sekarang, akan menentukan kualitas diri kita esok. Penikahan ini seolah menutup tugas ku.
          Aku berjalan melangkah masuk ke sebuah rumah biru, rumah yang telah terwarnai dengan sejuta cerita. Bapak, Neni dan Ilyas serta kedua anaknya, Ratu dan Aishi, Aku dan Ari. Ari mensejajari langkah dengan ku, menggenggam tangan ku lalu mencium kening ku lama.
         
         
















          Khilda Maulidiah, sebuah nama yang memiliki arti kelahiran abadi. Ingin dapat melahirkan banyak karya abadi yang dapat menginspirasi kehidupan. Lahir di salah satu sudut kota Pasuruan di Jawa Timur. Besar dan tumbuh di kota Denpasar, Pulau Dewata. Kemudian mendaki puncak syukur di salah satu Universitas perjuangan di kota pelajar, Yogyakarta. Mencintai perjalanan yang menjejakkan makna hidup. Membaca dunia untuk menghidupkan hati dan akal. Menulis adalah terapi penyaluran kegelisahan memandang kehidupan yang entah seperti apa... Semoga ini dapat menjadi prasasti cinta untuk semua anak di dunia yang berhak bahagia menjalani kehidupan dan berhak berkarya untuk dunia yang lebih indah. Bersilaturahim melalui khildamaulidiah.blogspot.com atau khilda.maulidiah@gmail.com. Bercita-cita membangun kerajaan Al Khonsa yang menyiapkan para bunda yang akan mendidik pejuang-pejuang kehidupan. Sebuah rumah senyum yang mensinergiskan energi luar biasa dari anak-anak yang kehilangan orang tua secara fisik dan psikologis untuk tetap dapat menginspirasi kehidupan. Semoga kita dapat menjadi “Bunga Surga” dan “Satria Langit”.

Arti kita adalah karya nyata kita bagi kehidupan yang lebih baik.




Kamis, 15 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 16 Pelangi Menemukan Hatinya

Pelangi Menemukan Hatinya

          Pagi ini, alhamdulillah Aishi diterima di universitas yang dekat dengan tempat tinggal kami. Aishi memang tidak kami biasakan untuk bersaing tapi lebih memberikan yang terbaik dari miliknya. Kami, orang tua asuh Aishi yang amat menyayanginya. Ari dan aku mendidiknya seperti anak-anak yang kami urus di rumah singgah. Berkarya yang terbaik di bidang yang diminati. Lama aku tidak lagi menemani Aishi beraktifitas, di rumah singgah atau di kantor Ayah Arinya. Kami hanya bertemu dan bercerita di rumah menjelang tidur, saling menyiapkan keperluan esok. Memberi pelukan terhangat untuknya dan dari Ayah Arinya menjadi ritual seru setiap harinya.
          Saat kami duduk bersama di meja makan, Aishi memegang tangan Bapak. Aishi memandang Kakek yang amat mencintainya, seperti meminta persetujuan sebelum bicara. Aku dan Neni yang selesai menghidangkan sarapan saling bertatapan. Setelah semua duduk, Aishi meminta waktu untuk bicara. Ari memberikan kesempatan itu dengan sebuah anggukan.
          “Bismillah, Ai minta Ayah, Bunbun, merestui kalau Ai menikah”, ucap Ai dengan tatapan serius ke arah ku.
          Aku dan Ari tersenyum, aku mengusap rambutnya.
          “Ai menyukai siapa?”, tanya Ari.
          “Fiki, Yah”, jawab Aishi.
          “Taufiki Hudaya yang tinggal di rumah singgah?”, sahut ku agak senang mendengar nama itu.
          Aishi mengangguk.
          “Aishi yakin untuk menikah sekarang?”, tanya Ari lagi.
          “Dari awal bertemu, Ai sudah mengagumi sikapnya yang tegar menghadapi hidup. Sehingga tidak ada alasan untuk menyalahkan keadaan Ai yang seperti ini. Ai lebih banyak bersyukur dan merasa menemukan potensi menulis dengan berdiskusi bersamanya. Kekaguman ini menjadi besar hingga Ai tidak sengaja membaca sebuah tulisannya Fiki tentang perasaan kami yang sama-sama dapat saling melengkapi dan mendukung. Ai sering kesulitan dengan pelajaran hitungan dan Fiki begitu mudah mengajari Ai. Fiki kesulitan menejemahkan bahasa dan sastra dan Ai sangat senang menjelaskan padanya. Daripada perasaan ini jadi sebuah kesalahan, Ai minta dihalalkan. Fiki juga sudah bisa menafkahi dirinya dengan menjadi penulis lepas dan membuka usaha sendiri. Itu tanda dia sudah sanggup bertanggungjawab dengan kehidupannya”, pendapat Aishi tentang Fiki begitu jelas.
          “Karena Ai anak Ayah Ari dan Bunbun, mungkin ini alasan ketidakberanian Fiki meminta Ai. Ai mau saat kuliah nanti tenang karena tidak ada lagi yang akan mengganggu setelah mengetahui Ai sudah menikah. Ai sudah istikhoroh dan meminta pendapat Kakek sebelum meminta Ayah Ari dan Bunbun”, sambung Aishi.
          “Sekarang kita sarapan dulu, Ayah akan cari saat yang tepat untuk bicara dari hati ke hati dengan Fiki. Bunbun dan Bapak bantu berdoa minta yang terbaik”, ucap Ari.
          Selesai sarapan, semua orang rumah pergi untuk beraktifitas. Aku merasa telah lama tidak membuka sekotak kenangan yang Ratu tinggalkan untuk ku dan Aishi. Beberapa foto kami, setitik air di sudut mata ku mengalir pelan.
          “Ratu, Ai sudah besar sekarang. Insya Allah menjadi seorang wanita soliha yang memuliakan mu dengan kebaikannya. Dalam waktu dekat, dia akan menikah dan membangun istananya. Ai semakin cantik dengan kecerdasan dan keikhlasannya berjuang untuk anak-anak di rumah singgah...”.
          Aku tak mampu lagi berkata-kata, air mata ku semakin deras mengalir. Saat Ari memeluk ku dari belakang, setelah mendengar keberadaan ku di kamar. Aku merindukan Ratu.
          “Kakak mengapa belum berangkat?”, tanya ku tanpa melepas pelukannya yang menenangkan.
          “Ada yang tertinggal, hingga aku merasa harus kembali”.
          Aku mengusap air mata ku yang mengalir, Ari menatap mata ku seperti mencari sesuatu.
          “Aku merasa ada sesuatu yang tertinggal, di mata mu aku menemukannya”, ucap Ari lalu mencium kening ku lama sekali.
          Kami berdua hanya diam dalam pelukan beberapa saat. Ari baru melepas pelukannya setelah melihat aku agak tenang dan tidak lagi menitikkan air mata.
          “Bunga masih seperti bunga ku yang dulu. Lamanya kebersamaan kita tidak mengubah cara Bunga mencintai aku dan Aishi”, ucap Ari sambil tersenyum.
          “Aku ingin Bunga menemani berbicara pada Fiki nanti siang di rumah senyum ya”, pinta Ari pada ku, yang ku jawab hanya anggukan kecil.
          Aku ke halaman belakang rumah, melihat Bapak masih senang berkebun. Menghijaukan suasana. Aku membantu mencabuti rumput liar yang tumbuh disekitar tanaman yang Bapak rawat. Bapak tersenyum melihat ku. Aku merasa sudah tua sekarang, sudah tidak lagi nyaman duduk di bawah matahari berlama-lama. Bapak merasakan tubuh ku belakangan agak sering mudah lelah. Walau Bapak telah di usia senja, tapi masih mampu melakukan banyak hal dibandingkan aku.
          “Istirahat di tempat teduh, Bunga dari dulu tidak pernah kuat berjemur di bawah matahari”, kata Bapak, yang langsung ku jalan menuju kursi di bawah pohon.
          Aku minum seteguk dari botol minuman Bapak di meja. Melihat Bapak masih semangat memberi arti hidup. Bapak sering bilang, “Jika besok Bapak akan menghadap Allah, selagi masih sempat Bapak mau menanam bibit kebaikan sekecil apapun”. Ari datang lalu duduk di samping ku dengan membawa hadiah kecil.
          “Aku ingin memberikan ini pada Fiki”, kata Ari saat memperlihatkan sekotak hadiah.
          Aku membukanya, dan mengamati buku-buku yang dulu pernah aku beri padanya setelah menikah. Buku itu tersimpan rapi tanpa pernah aku tahu dimana diletakkan Ari. Aku tersenyum, bahagia memiliki suami yang begitu istimewa.
          “Semoga Fiki bisa menerimanya”, kata Ari.
          Bapak duduk di samping ku, kebiasaan mengusap kepala ku dengan lembut belum juga hilang. Walau aku sudah tidak lagi semuda dulu, aku masih sangat senang.
          “Apa Bapak merasakan apa yang Bunga rasakan sekarang, sewaktu tahu aku dilamar Ari?”, tanya ku.
          “Bapak sempat merasa takut kehilangan. Sebab ketika itu, Ratu sudah tidak ada. Bapak hanya memiliki Bunga dan Aishi. Tapi memang kita mengasuh anak sebagai amal ibadah. Bukan untuk dimiliki”, jawab Bapak.
          “Satu sisi, Bunga merasa senang. Alhamdulillah, Bunga mengantar Aishi menjadi soliha. Namun juga sedih, rumah ini akan sepi tanpanya”, ucap ku dengan wajah murung.
          “Ya, Bunga syukuri sudah menjadi orang tua terbaik untuk Aishi. Aishi sangat mencintai kita”, hibur Bapak.
          Matahari beranjak siang, setelah solat Duhur aku dan Ari bersiap ke rumah senyum. Hanya berjalan kaki lima menit kami berdua telah memasuki halaman rumah senyum. Rumah senyum ini tidak pernah berubah sejak berdiri, kecuali anak-anak yang menempatinya. Anak-anak yang sudah mampu mencari penghasilan sendiri banyak memilih untuk mengontrak rumah. Tinggal beberapa anak saja yang memang masih mau mengabdi membantu disini. Sebab persoalan anak yang butuh perlindungan seolah tidak ada habisnya.
          Ari mengecat seluruh rumah dengan warna kebiruan, warna yang hampir sama dengan rumah kami. Warna biru adalah kesukaan kami, biru tenang dan bijak. Siang ini, anak-anak masih di sekolah. Hanya Fiki dan dua anak lagi yang sedang terlihat sibuk mengurus rintisan usaha baru mereka. Kami memang berusaha membangun semangat wirausaha. Rumah senyum sebagai rumah singgah juga difungsikan sebagai laboratorium dan tempat memasarkan produk yang dijual anak-anak.
          Fiki menjadi penanggungjawab usaha penyewaan dan perbaikan komputer menggunakan ruang depan rumah sebagai ruang kerja. Usaha yang dijalankan Fiki sangat membantu ekonomi pribadinya dan rumah senyum.
          “Assalamu’alaikum”, sapa ku dan Ari hampir bersamaan.
          “Wa’alaikumussalam”, jawab mereka serempak, lalu menyambut menyalami Ari.
          Aku tersenyum dengan menangkupkan tangan.
          “Apa kabar, Ayah dan Bunda? Seminggu ini tidak terlihat mengunjungi kami”, sapa Fiki ramah.
          “Iya, Bunda sedang sok sibuk”, goda Ari sambil memandang ku.
          “Fiki dan adik-adik disini sehat?”, tanya ku mengalihkan.
          “Alhamdulillah, setelah kita merintis usaha komputer semua terasa dimudahkan Allah”, jawab Fiki.
          “Ayah bisa minta waktu untuk ngobrol sebentar sambil makan di warung depan?”, ajak Ari pada Fiki.
          “Oh iya, Yah. Saya merapikan buku yang tadi saya gunakan”.
          Ari, aku dan Fiki duduk di salah satu sudut warung makan depan rumah. Kami menikmati makanan sambil bicara banyak hal tentang keadaan rumah singgah. Sebagian anak berat meninggalkan rumah singgah setelah lulus sekolah. Karena program disini hanya sampai SMA, jadi jika ada yang ingin kuliah tapi juga ingin tetap tinggal dengan syarat harus memiliki penghasilan untuk dapat membantu kebutuhan adik-adiknya yang lain. Ari mengajarkan anak-anak untuk dapat mandiri, berusaha sendiri dengan disertai doa. Sehingga anak-anak belajar bertanggungjawab pada kehidupannya. Kita tidak mungkin dapat menemani sepanjang hidupnya. Keterampilan menjalani hidup adalah proses penting yang dilewati. Tanpa keterampilan, anak-anak akan terus menggantungkan hidup pada lain.
          Setelah selesai makan, Ari langsung bicara tentang Aishi.
          “Menurut Fiki, Aishi seperti apa?”.
          “Maksud Ayah apa?”, tanya Fiki tidak mengerti.
          “Sebagai temannya, Fiki sudah mengenalnya. Lama sekali bahkan”.
          “Aishi soliha dan cerdas. Semangat berjuang untuk anak-anak begitu tinggi, hingga tak jarang melupakan dirinya sendiri”.
          “Apakah Fiki telah siap menikah?”, tanya Ari lagi, aku hanya memperhatikan raut wajah Ari yang mendadak sedih.
          “Niat ada tentu, Yah. Tapi Fiki sadar harus memiliki penghasilan yang cukup untuk dapat menafkahi”, jawab Fiki dengan tertunduk.
          “Jika hanya masalah rejeki, masih bisa diupayakan. Modal penting adalah keyakinan pada Maha Pemberi Rejeki dan semangat berusaha. Tanpa itu, kita tidak akan memiliki apapun”, terang Ari.
          Fiki hanya mengangguk, matanya sedikit berkaca dengan air mata.
          “Bagaimana jika Fiki, Ayah minta untuk menikahi Aishi?”.
          Seketika wajah Fiki memandang Ari dan aku, kini air mata itu jelas menetes.
          “Apa Ayah tidak salah? Fiki tidak memiliki orang tua jelas, kuliah belum lulus dengan penghasilan masih cukup untuk sendiri. Apa Ayah melihat Fiki bisa menjadi imam untuk Aishi?”.
          “Ayah tidak salah, sama sekali tidak melihat keadaan Fiki. Karena Ayah dan Bunda melihat kedekatan Fiki dengan Aishi, tidak ada salahnya untuk menjalin keberkahan. Teruskan kuliah dan usaha yang Fiki kerjakan, menikah bukan alasan kita berhenti berjuang. Justru kita semakin kuat berjuang. Insya Allah, kita melihat Fiki mampu menjadi imam Aishi”.
          Fiki terdiam, memandang meja terlihat sedang berpikir keras.
          “Jika Fiki belum siap, Fiki bisa istikhorohkan dulu. Kita sama-sama berdoa minta petunjuk, agar pilihan kita karena ibadah pada Allah”, ucap ku memecah kebisuan Fiki.
          “Iya, kita berdoa. Semoga dimudahkan”, sambung Ari.
          Lalu kami bertiga kembali ke rumah senyum, sambil berpamitan kembali pulang ke rumah. Saat aku dan Ari melangkah keluar pintu rumah senyum, Fiki mengejar kami.
          “Ayah, Bunda. Apa ini doa Fiki?”, tanyanya pada kami yang sekarang membuat kami bingung.
          “Fiki sudah meminta Aishi pada Allah sejak pertama bertemu, Fiki ingin bisa berjuang bersama. Tapi Fiki terlalu tidak percaya diri meminta Aishi pada Ayah dan Bunda yang begitu baik”.
          Ari langsung memeluk Fiki, Fiki yang sungkan pada kami juga membalas pelukan Ari.
          “Alhamdulillah”, ucap kami bertiga hampir bersamaan.
         

          Indah sekali, ketika cinta bersambut. Saling mencinta karena ibadah pada Allah. Dilengkapi dengan kepekaan dan pengertian orang sekitar kita untuk memudahkan jalannya. Menari dan menyanyikan kesyukuran. Terik jingga yang hadir sesaat setelah rintik, yang melengkapi lengkung pelangi. Menyemarakkan hari... Cinta, seraut makna tiada tepi. Dicipta sebagai hembusan angin yang menemani pantai. Seluruh napas yang terhembus adalah bukti cinta sang Maha. Terima kasih, menghampiri dalam berkah.






Selasa, 13 Mei 2014

Pelangi Aishi Bag. 15 Warna-warni Cinta


Warna-warni Cinta
          Pernikahan kami berjalan indah, alhamdulillah semua dipermudah. Aishi sekolah seperti anak lainnya, kuliah ku dan pekerjaan Ari membuat kami saling melengkapi bila ada kekurangan. Kuliah, ku tutup dengan menjadi mahasiswa terbaik. Kemudian aku melanjutkan studi strata 2 untuk dapat mengambil kesempatan menjadi peneliti. Ari sebagai suami sangat mendukung, Aishi pun bergerak cepat menginjak Sekolah Dasar. Neni telah menikah dengan pemuda masjid yang menjadi keluarga baru kami. Ilyas namanya, menjadi asisten untuk beberapa pekerjaan Ari.
          Aku tidak menyangka cara Ari mencintai ku begitu sederhana dan sangat manis. Ari setiap pagi membuka mata selalu mengucapkan, “Assalamu’alaikum, Bunga ku”.
          Sebelum tidur selalu berdoa sambil mengusap kepala ku dan mengucap “Terima kasih telah menemani ku”.
          Tanpa ku sadari, wajah ku seketika memerah dan itu tak pernah bisa ku hilangkan. Dan Ari amat senang bila melihat aku terdiam tanpa bisa berkata-kata. Setiap kali ada tugas di luar kota antara aku atau Ari yang waktunya lebih dari tiga hari, maka kita pun mengusahakan untuk dapat saling menemani. Aishi sudah cukup bisa mengurus dirinya sendiri sehingga tidak terlalu membuat khawatir saat jauh.
          Pernikahan ku menginjak tahun ke lima, usia Aishi hampir sepuluh tahun. Dia semakin cantik dan lebih tergila-gila dengan buku bacaan. Suatu ketika, Aishi menangis tanpa sebab yang ku tahu sepulang ku dari kampus. Setelah mendengar cerita Bapak dan Neni, katanya buku yang dimilikinya sudah semua dibaca. Sedang yang di perpustakaan sekolah sudah tidak lagi dapat dipinjami karena ada renovasi penataan gedung. Mau meminta dibelikan, Aishi tak enak hati meminta pada ku atau Ari.
          Di tengah kesibukan kami, Ari selalu menyempatkan kami untuk berkunjung ke rumah senyum yang dibangun bersama teman-temannya untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Ari sering mengatakan, “cinta itu memberi untuk semua anak di sekitar kita”. Kecintaan Ari pada anak-anak membuatnya tak pernah sekalipun mempertanyakan kehamilan pada ku.
          Inilah warna-warni cinta, Ari tahu betul aku tidak lagi bisa menjadi seorang ibu biologis yang bisa mengandung karena suatu hari setelah beberapa bulan pernikahan kami, aku positif hamil. Allah berkehendak lain, aku pendarahan karena terlalu memforsir pekerjaan. Sejak itu diketahui aku sulit hamil lagi. Ari tak pernah mengubah caranya mencintai ku, setiap pagi dan malam masih melakukan hal yang sama.
          Suatu malam, aku tiba-tiba menangis saat mengetahui Aishi demam tinggi, aku panik langsung segera membawanya ke doter praktek dekat rumah yang langsung di rujuk ke rumah sakit. Ari terlambat ku hubungi, ini menyebabkannya marah. Marah yang belum pernah dilakukannya.
          “Mengapa Bunga tidak menghubungi ku dulu?”
          “Maaf, aku terlalu panik jadi tidak bisa berpikir apa-apa selain segera membawa Aishi. Bapak sedang di masjid, Neni berbelanja dan Ilyas pergi bersama mu. Aku tidak ingin menganggu kegiatan mu juga”.
          “Bunga, aku suami mu. Dan Aishi anak kita satu-satunya. Ijinkan aku berperan untuk keluarga”, ucap Ari dengan nada tertahan sambil menggenggam tangan ku.
          “Bunga terlalu mandiri hingga tidak mengijinkan aku menjadi suami yang baik”.
          Hati ku nyilu mendengar ungkapan kekecewaan Ari yang selama ini tidak pernah disampaikannya. Perasaan ku seketika ku tepis saat mendengar Aishi memanggil nama ku. Aishi menggigil, aku memegang erat tangannya yang hangat. Ari masih duduk di sisi ruang kamar inap Aishi. Ari memejamkan matanya, lalu berjalan memeluk ku dari belakang.
          “Bunga, aku minta maaf. Mungkin tidak tepat aku mengatakan hal tadi. Aku hanya kecewa pada diri ku sendiri yang belum mampu menjaga orang yang paling berarti dalam hidup ku”.
          Aku diam tidak menjawab apapun, pelukan Ari juga tidak ku sambut. Hingga pintu di ketuk Bapak, Ari melepas pelukannya. Bapak merasakan kami berdua dalam diam. Namun seperti biasa, Bapak tidak pernah berkomentar apapun.
          “Ari, tolong ajak Bunga istirahat di rumah. Besok kalian berdua harus bekerja. Biar Bapak dan Neni yang bergantian jaga di rumah sakit”, pinta Bapak yang berat ku terima.
          Saat berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat parkir, Ari tidak melepas genggamannya. Aku masih tidak tahu harus mengatakan apa? Sesampai di rumah, aku segera bersiap tidur. Ari terlihat mengerjakan sesuatu di depan meja komputer. Hampir satu jam, walau mata ku terpejam tapi belum juga aku dapat terlelap. Ari duduk di sebelah ku lalu mendekatkan wajahnya pada wajah ku. Diusapnya rambutku, napasnya terasa enggan untuk berhembus.
          “Bunga, terima kasih telah menemani ku. Menjadikan keluarga kita tempat belajar.Hanya saja, sering aku merasa kehilangan mu. Saat kita sedikit memiliki waktu bersama. Aku tahu Bunga sulit mengatur jadwal makan jika sedang sibuk, setiap aku makan ingin menghubungi. Tapi Bunga tidak pernah mengijinkan aku tuk sekedar bertanya tentang itu. Aku masih belum bisa mengerti bagaimana bentuk perhatian yang Bunga inginkan.Perhatian kecil ku terasa seperti menganggu kegiatan mu”, ucap Ari pelan tanpa menyadari aku masih terjaga dan mendengar semua yang dikatakannya.
          Tiba-tiba aku meneteskan air mata yang menyentuh ujung jari Ari. Telapak tangan Ari yang diletakkan dibawah pipi ku bergerak mengusap ujung mata ku yang ku buka untuk melihat wajah Ari yang sedikit kaget setelah menyadari aku belum tertidur.
          “Maafkan aku, kak”, ucap ku pada Ari.
          Setelah menikah, aku memanggilnya dengan kakak. Ari ku inginkan dapat menjadi seorang kakak buat ku. Tapi aku masih belum bisa menyesuaikan diri. Beberapa tahun bersama aku masih berproses untuk mengenal Ari, dia juga merasa hal yang sama. Tapi hal ini yang mewarnai cinta kita. Terus belajar tentang bagaimana dapat membahagiakannya.
          Waktu begitu pelan berjalan hingga tak terasa semua berjalan begitu saja. Aishi yang tumbuh menjadi remaja awal yang santun dan cantik membuat aku merasa harus menceritakan semua tentang hidupnya. Beberapa bulan lagi akan pembagian keterangan lulus untuk dapat melanjutkan sekolah ke SMP. Walau semua surat-surat terkait asal-usul Aishi sudah tercantum nama ku dan Ari sebagai formalitas. Aku ingin Aishi mengetahui yang sebenarnya, dia sekarang sudah cukup dapat mengerti. Aku dan Ari mengajaknya ke sebuah rumah singgah untuk anak terlantar yang seharusnya diasuh Negara. Ari membangun rumah singgah ini tak jauh dari rumah kami.
          Aishi dengan mudah bergaul dan bercerita banyak tentang dirinya pada beberapa anak yang tinggal disini. Aku dan Ari memandangi mereka dari ruangan pengurus yang tak terlihat dari tempat Aishi bermain dengan teman barunya. Aku melihat Aishi duduk disamping seorang anak laki-laki yang agak mengacuhkan Aishi dengan buku yang sedang dibacanya. Mba Lusi sebagai salah satu pengurus rumah singgah ini bercerita, anak itu special diantara yang lain. Dia masuk ke rumah singgah ini saat baru berusia 2 minggu. Ayahnya meninggal sesaat setelah kecelakaan kerja, ibunya yang kaget menyusul ayahnya setelah pendarahan dan melahirkan premature. Pihak keluarga tidak ada yang mengetahui keberadaannya, dan para tetangga menitipkannya disini. Namanya Taufiki Hudaya, anak yang cerdas.Lebih menyukai membaca dan bicara dengan para pengurus daripada bermain dengan teman sebayanya.
          Sesampainya di rumah, kami bertiga masak bersama dan makan bersama juga mengajak Bapak. Walau Bapak telah menua, tapi bila melihat Aishi Bapak selalu merasa muda bersemangat.
          Setelah kami makan, aku mengajak Aishi masuk ke dalam kamar. Ari duduk di sebelah kami. Bapak yang mengetahui apa yang akan kami katakan khawatir tidak dapat menahan haru untuk melihat Aishi jika menangis.
          Aku menggenggam tangannya, tersenyum melihat matanya yang cantik. Mengingatkan pada lekuk wajah Ratu.. Ah, bagaimana keadaan Ratu? Semoga Allah selalu merohmatinya.
          “Tadi Aishi kenalan dengan siapa saja di rumah singgah?”, tanya Ari.
          “Banyak, Ayah. Teman-teman disana baik, hanya Fiki yang sulit Ai ajak bicara. Kata teman yang lain, dia memang jarang bermain, senang membaca walau sudah berulang kali dibaca. Ada ya anak seperti itu?”, cerita Aishi penuh antusias.
          “Ai kan punya banyak buku yang sudah terbaca dan keadaannya bukunya masih baik, kalau Ai kasih teman-teman disana Bunbun ijinkan?”, pinta Ai sambil menggerakkan kakinya.
          Aishi selalu ceria jika mendapati sesuatu yang disukainya. Aku tersenyum mengangguk, kegemarannya memberi dan berbagi tak jauh beda dengan Ratu. Alhamdulillah.
          “Aishi tahu bagaimana keadaan anak-anak disana?”, Tanya Ari lagi karena tahu aku sulit memulai dari mana untuk menceritakan keadaan Aishi.
          “Kata mereka, mereka anak yang tidak pernah melihat ayah dan ibu. Mereka hanya mengenal teman-teman dan pengurus rumah. Karena itu mereka senang sekali bertemu Ayah Ari, mereka juga memanggil Ayah. Jadi kalau mereka ditanya, ayah yaitu Ayah Ari nya Aishi”, jelas Aishi dengan bangga.
          “Aishi bahagia dengan Ayah Ari dan Bunda Bunga?”, Tanya ku.
          “Alhamdulillah, Ayah Ari selalu mengajari bagaimana menjadi muslimah dan Bunda Bunga selalu menyediakan seluruh waktu dan cintanya untuk Aishi”, jawab Aishi.
          “Aishi, masih ingat dengan Bunda Ratu?”, Tanya ku pelan.
          “Iya, yang di foto itu kan?”, jawab Aishi polos.
          “Aishi masih ingat waktu dengan Bunda Ratu?”, Tanya ku lagi.
          “Sesekali, Aishi juga kadang ingin bertemu. Tapi tak mengerti mengapa tiba-tiba merindukannya. Kalau Aishi rindu, Aishi anggap rindu Bunda Bunga. Jadi cukup meluk Bunbun atau Ayah Ari juga sudah baikan”, jawab Aishi penuh dengan kepolosan anak-anak.
          Aku menghela napas panjang dan berusaha menahan tangis. Ari menggenggam tangan ku.
          “Sebenarnya Ayah Ari mau cerita sesuatu ke Aishi, seperti biasa Aishi mendengar hingga selesai lalu beri tanggapannya. Bagaimana?”.
          Aishi mengangguk antusias, dia selalu senang bila diceritakan sesuatu oleh Ari.
          “Pagi itu, Bunda Ratu mendapat ujian. Bunda Ratu ditipu oleh seorang teman yang selama ini berpura-pura baik. Bunda Ratu hamil tanpa suami. Tapi Bunda Ratu tidak ingin melakukan kesalahan kedua dengan membunuh anak ini. Jadi anak ini diasuh hingga besar. Singkat cerita, Bunda Ratu ingin dapat melengkapi hidup putrinya dengan seorang ayah yang dapat mendidik. Namun Allah berkehendak lain. Bunda Ratu mengalami kecelakaan. Bunda Ratu sempat meminta untuk Bunda Bunga menikah dengan seorang lelaki solih yang dicintainya..”.
          “Lelaki solih beruntung itu Ayah Matahari kan?”, sela Aishi tiba-tiba. Aishi masih belum menyadari yang diceritakan adalah dirinya.
          “Alhamdulillah, Bunda Bunga menikah juga dengan Ayah Ari”, ucap Ari sambil tersenyum menatap mata ku.
          “Dengan pernikahan ini, melengkapi keluarga Aishi”, tambah ku.
          “Apa putri itu Aishi, Bun?”, Tanya Aishi masih dengan senyuman.
          Aku hanya mengangguk.
          “Iya, Aishi tetap merasa Bunda Bunga dan Ayah Ari adalah kedua orang tua Ai. Allah menyuruh kita untuk bakti. Ai masih harus bersyukur kan, anak-anak tadi sama sekali tidak tahu asal-usul keluarganya”, ucap Aishi tanpa beban lalu memeluk aku dan Ari.
          Kekhawatiran ku berlebihan, Aishi anak special yang Allah titipkan. Aku hanya ingin dapat membantu dan menemaninya menjadi muslimah yang baik.
          Sejak hari ini, aku tidak lagi menceritakan masa lalunya. Aishi terus membuktikan dirinya tumbuh untuk kehidupannya esok. Bukan hidup untuk masa lalunya. Aku belajar menjadi ibu yang baik untuknya. Aishi juga sering menyempatkan untuk mengunjungi rumah singgah. Karena memang kebahagiaan Aishi saat dapat berbagi apapun yang dimilikinya.
          Seperti mentari yang terus terbit di tiap pagi, hidup kami juga berjalan cepat. Pertumbuhan Aishi menjadi seorang gadis remaja sangat menyenangkan untuk diamati. Neni dan Ilyas pun sudah memiliki dua anak perempuan yang cantik. Mereka berdua menjadi adik yang menyenangkan untuk menyemarakkan hidup Aishi. Di sekolah, Aishi selalu juara. Dia menyukai dunia tulis-menulis. Karena kesukaan yang sama, aku mudah untuk mencari topic pembicaraan.
         
         
          Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan berbagai warna lain menyemarakkan perjalanan menemani seorang pelangi yang tumbuh dihati kami. Pelangi Aishi, adalah bunga anugerah terindah dalam kehidupan yang sangat singkat ini. Pelangi Aishi adalah lambang secercah harapan diantara rintik yang semangat menyambut matahari. Tidak pernah menyalahkan guntur dan badai, tapi membelai dengan bersyukur pada Maha Hidup yang menghadirkan cintaNya dalam tiap rintik yang jatuh. Anginlah yang mengantarkan kesedihan menjadi warna-warni cinta. Bunga yang indah dengan pelangi dan matahari.