1. Perempuan
Awan dalam Mendung
Hari itu aku
duduk di teras depan rumah, sedang belajar membaikkan tulisan-tulisan ku. Aku
merasakan semilir angin merambat di pori-pori kulit ku. Senja kali ini cerah,
beberapa buah jambu di pohon depan rumah sedang ranum. Seketika aku melihat langkah kecil kakak ku, aku biasa memanggilnya Ratu.
Kecantikannya tak kalah jauh seperti ratu Inggris yang pernah ku lihat di
majalah sekolah. Namanya Ratu Melati.
Bu Stefi
memeluknya seperti ibunya sendiri, ya bagaimana lagi ? Ibu kami sudah lama tak
disamping kami. Alasan ekonomi membuat pilihan untuk meninggalkan keluarga demi
sesuap makanan pelanjut hidup. Kepergian Ibu kami adalah saat sulit yang harus
dilalui. Hangat pelukan Bu Stefi yang tanpa kata itu membuat kekalutan dalam
hati Ratu sedikit membaik.
Bu Stefi
adalah orang yang dimintai tolong untuk membantu bapak kami. Bapak berpikir,
tanpa kehadiran seorang ibu diantara kami membuat kami jadi agak sulit diatur.
Oh ya, aku dinamai Bunga Mawar, Ratu
adalah kakak ku satu-satunya. Di rumah kami tinggal bertiga saja. Sekarang usia
ku baru menginjak 15 tahun, dan kakak ku yang cantiknya lebih dari ratu sejagad
itu 18 tahun.
Usia kami
seperti bunga yang baru kuntum. Namun kakak ku yang cantik itu terlalu lugu
mengenal dunia. Mungkin karena kakak tak begitu senang bergaul dengan
teman-temannya yang suka hura-hura. Tentu itu bukan gaya hidup kami. Kami
sekolah pagi hari dan sore kami bekerja apa saja, karena penghasilan Bapak
sebagai buruh tani lahan tetangga kami hanya mencukupi biaya makan sehari-hari.
Jadi untuk sekedar merasakan duduk di bangku sekolah, kami harus berusaha lebih
keras daripada anak lain. Karena Ratu memiliki suara yang amat bagus, ia
diminta tetangga kami yang bekerja di sebuah karaoke hiburan keluarga di sudut
kota. Karena hanya sampai pukul 21.00, Bapak mengijinkan. Walau tentu mungkin
agak beresiko.
Pertumbuhan
kami berdua tanpa didampingi peran Ibu, seperti sebelah sayap kami sulit
terkembang. Banyak hal yang kami tidak ketahui dan sulit kami bicarakan dengan
Bapak. Walau kami berdua sangat dekat, bagaimana pun peran seorang ibu penting.
Untuk menjadikan pribadi anak lebih utuh memandang dunia.
Tahun ini
adalah tahun terakhir di SMP, usia ku akan menuju 16 tahun, dan kakak ku 19
tahun. Ia pun menyelesaikan SMA tahun ini, untuk kuliah tak dipikirnya. Ia
hanya ingin bisa membantu Bapak dan sekolah ku. Kemarahannya terhadap orang-orang
yang selama ini tak menghargainya, membuat ia ingin kami memiliki kehidupan
lebih baik. Semangat kerjanya makin meningkat setelah tak ada ikatan sekolah.
Aku mendapat beasiswa di salah SMA favorit. Karena prestasi ku menjadi penulis
essai tingkat provinsi beberapa waktu lalu. Ratu ingin aku tetap bisa
melanjutkan sekolah untuk terus berprestasi membangun masyarakat. Keinginan
yang sering diucapnya.
Mungkin
sekolah menjadi kebutuhan, namun sangat tidak mendukung kami yang berkebatasan.
Tak cukup sekedar impian saja. Tapi aku ingin berjuang menjadi sarjana
pertanian yang mengangkat martabat petani. Tanpa petani, entah bagaimana yang
terjadi? Rasa kepedulian terhadap petani yang menjadikan dirinya pahlawan
keluarga dan masyarakatnya amat terbatas. Tanpa diketahui dan tanpa tanda jasa.
Dan tentu karena aku tahu, betapa tidak mudahnya menjadi petani sekarang ini. Bangun
sebelum matahari terbit dan istirahat setelah petang menjelang, namun
kehidupnnya jauh dari sejahtera. Jadi banyak anak petani yang enggan menjadi
petani. Dengan alasan pekerjaan itu tidak menjamin masa depan. Aku hanya ingin
dapat berkarya untuk hidup yang lebih baik.
Dan Bapak
adalah seorang petani yang tekun. Kesederhanaan dan kebersahajaan yang dimiliki
Bapak banyak tidak sesuai dengan Ibu kami yang menuntut lebih dari apa yang
kami mampu. Hingga keputusannya meninggalkan kami hanya karena ingin mengubah
nasib di rantau. Entah bagaimana kabar Ibu sekarang, belum ada kabar sama
sekali setelah kepergiannya.
Geliat hidup
terus mengalir tanpa kita tahu akan berakhir seperti apa? Kita hanya bertugas
melakukan yang terbaik yang mampu kita lakukan. Apapun dan bagaimanapun yang
terjadi?
Suatu hari ujian itu mengubah
segalanya, pagi-pagi Ratu demam dan terus menerus mual-mual. Aku pun bingung,
karena malam tadi Bapak harus pergi membantu saudara jauh kami panen. Ratu pun
hanya diam terpekur dalam pikirannya. Tak biasanya, Ratu yang ceria diam aneh
seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Sepengetahuan ku, Ratu selalu tersenyum
bagaimanapun keadaan kami. Dan syukur, kami pun jarang sakit karena berusaha
selalu positif dan optimis memandang hidup. Lagipula, orang seperti kami
dilarang sakit. Yah, itu tentu karena ujung-ujungnya duit. Haha.. menertawakan
penderitaan ku sebutnya. Agar kami tak menyerah dengan keadaan.
“Bunga..” ucap
Ratu perlahan
Aku
menghampirinya, dengan menggenggam tangannya yang dingin aku menatap lekat
matanya yang sembab. Mungkin semalaman Ratu menangis.
“Bunga, janji kalau
ada apa-apa jangan benci Ratu ya” pinta ratu sambil menahan tetes air bening di
sudut matanya. Aku hanya mengangguk, lekat-lekat ku pandang wajahnya.
“Aku hamil..”
Kata-kata ini menjadi badai di hati
ku. Aku tak menyangka akan begini. Selama ini di sekolah, aku termasuk aktif
menulis tentang tidak setujunya aku dengan budaya pacaran yang telah marak. Aku
aktif menulis di mading dan buletin sekolah. Beberapa kali tulisan ku dimuat di
koran lokal. Budaya pacaran yang menghancurkan kehormatan. Ini bentuk
kekecewaan ku terhadap kurang terprogramnya para orang tua menyiapkan kehadiran
anaknya. Aku pun sempat merasa seperti itu. Bapak dan Ibu menikah tanpa rasa
cinta sedikitpun. Menjalani rumah tangga hanya formalitas masyarakat kering
makna. Sekarang malah kakak yang ku banggakan menjadi cobaan terbesar dalam
perjuangan ku selama ini.
Aku hanya terdiam menatap tiap tetes air
mata yang mengalir di wajah Ratu. Ratu sangat mengenal ku. Dia tahu apa yang
selama ini ku lakukan. Setiap ide dan tulisan ku selalu ku bicarakan dengannya.
Aku tak bisa memikirkan diriku, tapi ada seorang yang sedang tumbuh dalam janin
Ratu. Yang akan hadir di saat yang tidak diharapkan dan belum saatnya. Dan ia
hadir dalam keadaan tanpa ayah.
Tanpa ku minta, Ratu menjelaskan.
Sepulang dari karaoke tempat hiburan yang selama ini menjadi lahan nafkah tambahan
kami, Ratu diikuti segerombolan lelaki. Tanpa teman dan seorang pun di jalan
kecil dekat rumah kami yang tak terlalu banyak cahaya lampu. Ratu diseret paksa
menuju sebuah rumah yang diketahuinya itu rumah yang lama ditinggal
penghuninya. Ratu hanya bisa berteriak dalam hatinya. Berharap tak terjadi hal
buruk. Badan Ratu dihempas di sudut ruangan berdebu. Gerombolan lelaki itu
tampak terbahak-bahak, mengeluarkan aroma alkohol yang menyengat. Ratu mencoba
berpikir bagaimana cara menyelamatkan diri. Selang beberapa saat, gerombolan
lelaki itu bercerita akan melakukan apa terhadap Ratu sambil terbahak. Waktu
gerombolan lelaki itu tidak begitu memperhatikan ratu, menjadi kesempatan untuk
melompat jendela yang setinggi pinggang.
Berdebar hati Ratu, menahan napas.
Berharap usahanya berhasil. Setelah berhasil melompat, setetes air bening
mengalir di pipi. Ratu berusaha berlari walau kakinya masih gemetar menahan
ketakutan luar biasa. Jalanan telah sepi, jarang dilewati kendaraan. Ratu masih
mencoba berlari kecil dengan sisa tenaganya. Beberapa menit kemudian, ada
cahaya lampu sebuah motor yang datang. Agak ragu, Ratu memberanikan diri
memberhentikan motor itu. Saat pengendara itu membuka helm, Ratu memaksa
tersenyum.
“Boby.. untung
ada kamu. Aku bisa minta diantar pulang? Kaki ku sakit”.
“Ayo, naik.”
Sambut Boby.
Diperjalanan, Ratu bersyukur bertemu
dengan Boby. Boby adalah teman seangkatannyadi SMA kemarin. Sesampainya di
rumah, Boby tak mampir. Dia langsung bergegas, karena malam telah larut.
“Terimakasih
banyak, Bob. Aku khawatir tadi. Besok sore kalau ada waktu, silakan mampir.”
Tanpa kata, boby beranjak meninggalkan
senyuman. Ratu pelan masuk ke dalam rumah, tak mau mengganggu aku dan Bapak
yang telah tidur. Ratu membersihkan diri kemudian melepas letih di kamar.
Sebelum tidur, ia seperti biasa mengusap rambut ku yang tak sepanjang
rambutnya.
Keesokan pagi, Ratu kembali ceria. Tak
tampak apa-apa. Aku seperti biasa berangkat sekolah dengan sepeda mini dan Bapak
telah sedari tadi setelah subuh pergi ke sawah. Ratu di rumah sendiri, biasanya
ia membuat kerajinan tangan titipan tetangga kami yang hasilnya lumayan untuk
dijual. Ratu tercenung memikirkan kejadian semalam. Telah lama, Ratu ingin tak
lagi bekerja di karaoke tempat hiburan itu. Ratu merasa tempat ini hanya
menjadikan perempuan menanggalkan harga diri. Dipandang lekuk tubuhnya, suara
merdunya menggoda, pulang selalu malam, sepi dan sendiri. Belum lagi jika
bertemu dengan lelaki mengerikan seperti kejadian semalam. Tapi, setiap melihat
Bapak dan aku, keinginan Ratu di tepis. Ratu tak punya keahlian apapun, memilih
pekerjaan nyaman dan gaji yang lumayan.
Seperti tawaran Ratu semalam, Boby
datang mengunjungi. Hampir 2 bulan setelah kelulusan SMA, Boby banyak berubah.
Jadi mahasiswa kini membuatnya sedikit ekstentrik. Boby bercerita banyak hal, Ratu
hanya menjadi pendengar. Menjadi pendengar yang baik butuh keahlian. Saat aku
datang, sepulang sekolah aku menyapa Boby yang belum pernah ku lihat sebelumnya.
Lalu aku masuk ke dalam rumah, ada sesuatu dengan lelaki yang duduk bersama
kakak
ku itu.
“Sepertinya, Boby
menaruh perhatian lebih pada Ratu”, batin ku sambil lalu.
Kakak ku bukan perempuan yang suka
bergaul dengan sembarang lelaki. Walau pekerjaannya sebagai penyanyi tidak
lantas membuat Ratu senang bergaul berlebihan. Menurut Ratu, hati kita akan
menjadi tidak setia bila bergaul berlebihan dengan lelaki. Walaupun itu hanya
teman kerja sambil bercanda.
Sesaat setelah aku kembali masuk ke
dalam kamar untuk membuat catatan tulisan ku hari ini, tak sengaja aku
mendengar obrolan Ratu dan Boby di ruang depan.
“Mungkin Ratu hanya
tahu nama dan wajah ku, tapi aku selalu memperhatikan perempuan tegar seperti
mu. Tak mudah menyerah dengan keadaan yang tak semua senang dalam posisi itu”
Ratu hanya tersenyum tanpa makna.
Obrolan berlanjut tentang kekaguman Boby selama ini pada Ratu.
Pertemuan Ratu dan Boby mulai sering
setelah hari ini, aku memang sering mendapati Boby datang menjemput. Sebenarnya
aku tak nyaman melihatnya, tapi aku masih belum punya kesempatan tepat
membicarakannya. Aku kurang nyaman dengan sikap Boby yang menurut ku
berlebihan.
Sampai suatu hari, aku dan Bapak
mendapat tawaran menyemai bibit padi di desa sebelah. Dengan senang hati ku
temani Bapak. Akan ku buat catatan kecil petani. Pengalaman ini tidak ku
lewatkan untuk memperkaya tulisan ku. Ini menjadi awal yang baik untuk menjadi
petani yang baik. Suatu saat nanti...
Pada hari itu, Ratu di rumah sendiri
untuk beberapa hari. Minuman Ratu dicampuri obat bius oleh Boby, dan hari itu
mahkota perempuan Ratu hilang. Saat Ratu telah sadar, Ratu mendapati dirinya
tak berbusana. Ratu coba mengingat apa yang terjadi, dan Boby masuk ke dalam
kamarnya. Menyeringai senyum, menceritakan apa yang terjadi. Ratu hanya bisa
menderaikan air bening dari sudut matanya. Ratu menyuruh Boby pergi. Ratu
terduduk disamping tempat tidur, menyesali kedekatan dengan Boby tanpa ikatan
apapun.
Aku masih menatap diam Ratu, akhir
cerita Ratu membuat ku merasa tak mampu menjaga saudara ku satu-satunya.
Innalillahi...
“Jadi sakit
kakak ini karena hamil?”, tanya ku datar.
Ratu hanya mengangguk lalu memeluk ku,
hati ku perih. Pelukan Ratu yang biasa ku sambut dengan riang tak ku rasa
sekarang. Ide-ide ku tentang perempuan berbentur dengan kenyataan dari orang
yang paling ku sayang. Otak ku tak sanggup berpikir, bagaimana nasib anak ini?
Yang ku tahu, dia tidak akan mendapat garis keturunan bapak biologisnya. Tapi
dari ibu, otomatis tidak berhak mendapat waris dan hak perwalian saat dia
menikah. Ah... anak ini akan tidak mudah menjalani hidupnya yang hadir tanpa
rencana.
Aku tak mungkin menyalahkan apalagi
marah pada Ratu. Semua sudah terjadi, tidak berguna aku memaksa keadaan kembali
seperti semula. Menyalahkan keadaan akan memperburuk keadaan.
“Lalu apa
rencana kakak?”, tanya ku lagi sambil melepas pelukannya.
“Aku belum tahu
untuk sekarang, karena itu aku menceritakan pada mu. Aku tidak sanggup
memikirkan sendirian. Yang pasti, menikah dengan Boby bukan jalan yang baik.
Aku akan tersiksa batin jika harus bertemu dengannya setiap waktu”, jelas Ratu
dengan sesekali menyeka air bening di pipinya.
“Kita akan merawat bayi ini...”, kata
ku singkat, diikuti anggukan Ratu.
Kami tak mungkin melakukan pembunuhan
bayi yang tidak berdosa ini karena akan menambah catatan keburukan lagi. Aku
tidak lagi mampu menulis untuk perempuan. Aku takut nantinya tulisan-tulisan ku
menjadi bumerang yang menyerang ku kembali. Setelah Bapak pulang, kami akan
ceritakan apa yang terjadi. Aku akan mendampingi Ratu terus. Aku ingat kata
guru ku, jika sedih segera mengambil air wudu, lalu solat hajat sambil menangis
dihadapan Pencipta. Mohon dikuatkan melewati ini sebagai pemenang. Aku masih
terlalu kecil memahami keadaan seperti ini.
Saat kami menceritakan pada Bapak,
hanya wajahnya yang menyimpan sesal yang tampak. Tanpa sepatah katapun, Bapak
hanya bisa menitikkan air bening di sudut matanya. Wajahnya yang lelah
menampakkan gurat kecewa mendalam. Bapak, seorang single fighter yang menjadi
inspirasi ku. Kini yang tampak adalah seorang yang rapuh dengan napas tuanya.
Ratu yang melihat keadaan Bapak yang sangat terpukul, menangis bersimpuh
dihadapan kaki Bapak. Saat itu, hati ku mengeras dan beku. Aku tak mau
menangis. Aku ingin belajar menjadi kuat dalam retakan hati ku.
“Kakak
istirahat, jaga kesehatan. Sementara ini jangan terlalu banyak aktifitas”,
pinta ku pada Ratu sambil menggenggam tangannya menuju kamar.
Lalu aku membersamai Bapak di samping
kursinya dengan ku seduhkan secangkir teh manis hangat. Teh manis hangat ini
menjadi penghibur kepedihan kami selama ini. Bapak yang mengajari kami untuk
bisa mengatasi luka hati beratnya hidup, kini hanya terpejam dengan bulir tetes
air di sudut matanya.
Perlahan aku lantunkan surat Al-Qur’an
kesukaan ku, saat senang dan sedih. Surat Ar-Rahman yang menyentuh relung hati
sejak pertama kali surat ini ku dengar dari kaset teman ku. Senang dan sedih
hanya di mata manusia, tapi kebaikan dariNya yang ku nanti. Jika aku pun lemah,
siapa lagi yang menguatkan Bapak dan Ratu? Terkadang saat kita telah berusaha
memilih jalan yang paling baik yang kita bisa pilih, ujian hadir untuk membuat semakin
dekat pada Pencipta. Aku belajar untuk tidak menyalahkan keadaan, mungkin ini
semua ada hikmahnya bagi hamba yang mau berpikir.
Keindahan perempuan seperti awan yang berarak menghiasi
bumi. Rapuh dan mudah terhempas dengan mendung bila tak ditempatkan dengan
baik. Namun kuat berjelaga menahan tetesan bulir air yang mengitarinya.
Perempuan hanya butuh dijaga dari hati yang tak bertanggung jawab menampilkan
pesona semu. Perempuan hanya ingin punya arti, gemintang diantara birunya
langit. Pilihan jalan yang perempuan ambil karena perannya mengindahkan
kehidupan. Membersamainya untuk lindungi dari terik mentari yang terkadang
menyengat. Perempuan hadir menjadi partner pelengkap lubang hati, bukan setara
dengan harta dan tahta yang diperebutkan. Perempuan cantik karena lembut hati
dan tajam pikiran, tak sekedar polesan wajah. Perempuan menari dan menyanyi
dengan mahakarya untuk cintanya.
Tulisan hati untuk perempuan hebat menanggung mendung. Bunga Surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar