Sabtu, 01 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag.1 Perempuan Awan dalam Mendung




1.      Perempuan Awan dalam Mendung

Hari itu aku duduk di teras depan rumah, sedang belajar membaikkan tulisan-tulisan ku. Aku merasakan semilir angin merambat di pori-pori kulit ku. Senja kali ini cerah, beberapa buah jambu di pohon depan rumah sedang ranum. Seketika aku melihat langkah  kecil kakak ku, aku biasa memanggilnya Ratu. Kecantikannya tak kalah jauh seperti ratu Inggris yang pernah ku lihat di majalah sekolah. Namanya Ratu Melati.
Bu Stefi memeluknya seperti ibunya sendiri, ya bagaimana lagi ? Ibu kami sudah lama tak disamping kami. Alasan ekonomi membuat pilihan untuk meninggalkan keluarga demi sesuap makanan pelanjut hidup. Kepergian Ibu kami adalah saat sulit yang harus dilalui. Hangat pelukan Bu Stefi yang tanpa kata itu membuat kekalutan dalam hati Ratu sedikit membaik.
Bu Stefi adalah orang yang dimintai tolong untuk membantu bapak kami. Bapak berpikir, tanpa kehadiran seorang ibu diantara kami membuat kami jadi agak sulit diatur. Oh ya, aku dinamai  Bunga Mawar, Ratu adalah kakak ku satu-satunya. Di rumah kami tinggal bertiga saja. Sekarang usia ku baru menginjak 15 tahun, dan kakak ku yang cantiknya lebih dari ratu sejagad itu 18 tahun.
Usia kami seperti bunga yang baru kuntum. Namun kakak ku yang cantik itu terlalu lugu mengenal dunia. Mungkin karena kakak tak begitu senang bergaul dengan teman-temannya yang suka hura-hura. Tentu itu bukan gaya hidup kami. Kami sekolah pagi hari dan sore kami bekerja apa saja, karena penghasilan Bapak sebagai buruh tani lahan tetangga kami hanya mencukupi biaya makan sehari-hari. Jadi untuk sekedar merasakan duduk di bangku sekolah, kami harus berusaha lebih keras daripada anak lain. Karena Ratu memiliki suara yang amat bagus, ia diminta tetangga kami yang bekerja di sebuah karaoke hiburan keluarga di sudut kota. Karena hanya sampai pukul 21.00, Bapak mengijinkan. Walau tentu mungkin agak beresiko.
Pertumbuhan kami berdua tanpa didampingi peran Ibu, seperti sebelah sayap kami sulit terkembang. Banyak hal yang kami tidak ketahui dan sulit kami bicarakan dengan Bapak. Walau kami berdua sangat dekat, bagaimana pun peran seorang ibu penting. Untuk menjadikan pribadi anak lebih utuh memandang dunia.
Tahun ini adalah tahun terakhir di SMP, usia ku akan menuju 16 tahun, dan kakak ku 19 tahun. Ia pun menyelesaikan SMA tahun ini, untuk kuliah tak dipikirnya. Ia hanya ingin bisa membantu Bapak dan sekolah ku. Kemarahannya terhadap orang-orang yang selama ini tak menghargainya, membuat ia ingin kami memiliki kehidupan lebih baik. Semangat kerjanya makin meningkat setelah tak ada ikatan sekolah. Aku mendapat beasiswa di salah SMA favorit. Karena prestasi ku menjadi penulis essai tingkat provinsi beberapa waktu lalu. Ratu ingin aku tetap bisa melanjutkan sekolah untuk terus berprestasi membangun masyarakat. Keinginan yang sering diucapnya.
Mungkin sekolah menjadi kebutuhan, namun sangat tidak mendukung kami yang berkebatasan. Tak cukup sekedar impian saja. Tapi aku ingin berjuang menjadi sarjana pertanian yang mengangkat martabat petani. Tanpa petani, entah bagaimana yang terjadi? Rasa kepedulian terhadap petani yang menjadikan dirinya pahlawan keluarga dan masyarakatnya amat terbatas. Tanpa diketahui dan tanpa tanda jasa. Dan tentu karena aku tahu, betapa tidak mudahnya menjadi petani sekarang ini. Bangun sebelum matahari terbit dan istirahat setelah petang menjelang, namun kehidupnnya jauh dari sejahtera. Jadi banyak anak petani yang enggan menjadi petani. Dengan alasan pekerjaan itu tidak menjamin masa depan. Aku hanya ingin dapat berkarya untuk hidup yang lebih baik.
Dan Bapak adalah seorang petani yang tekun. Kesederhanaan dan kebersahajaan yang dimiliki Bapak banyak tidak sesuai dengan Ibu kami yang menuntut lebih dari apa yang kami mampu. Hingga keputusannya meninggalkan kami hanya karena ingin mengubah nasib di rantau. Entah bagaimana kabar Ibu sekarang, belum ada kabar sama sekali setelah kepergiannya.
Geliat hidup terus mengalir tanpa kita tahu akan berakhir seperti apa? Kita hanya bertugas melakukan yang terbaik yang mampu kita lakukan. Apapun dan bagaimanapun yang terjadi?
Suatu hari ujian itu mengubah segalanya, pagi-pagi Ratu demam dan terus menerus mual-mual. Aku pun bingung, karena malam tadi Bapak harus pergi membantu saudara jauh kami panen. Ratu pun hanya diam terpekur dalam pikirannya. Tak biasanya, Ratu yang ceria diam aneh seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Sepengetahuan ku, Ratu selalu tersenyum bagaimanapun keadaan kami. Dan syukur, kami pun jarang sakit karena berusaha selalu positif dan optimis memandang hidup. Lagipula, orang seperti kami dilarang sakit. Yah, itu tentu karena ujung-ujungnya duit. Haha.. menertawakan penderitaan ku sebutnya. Agar kami tak menyerah dengan keadaan.
“Bunga..” ucap Ratu perlahan
            Aku menghampirinya, dengan menggenggam tangannya yang dingin aku menatap lekat matanya yang sembab. Mungkin semalaman Ratu menangis.
“Bunga, janji kalau ada apa-apa jangan benci Ratu ya” pinta ratu sambil menahan tetes air bening di sudut matanya. Aku hanya mengangguk, lekat-lekat ku pandang wajahnya.
“Aku hamil..”
          Kata-kata ini menjadi badai di hati ku. Aku tak menyangka akan begini. Selama ini di sekolah, aku termasuk aktif menulis tentang tidak setujunya aku dengan budaya pacaran yang telah marak. Aku aktif menulis di mading dan buletin sekolah. Beberapa kali tulisan ku dimuat di koran lokal. Budaya pacaran yang menghancurkan kehormatan. Ini bentuk kekecewaan ku terhadap kurang terprogramnya para orang tua menyiapkan kehadiran anaknya. Aku pun sempat merasa seperti itu. Bapak dan Ibu menikah tanpa rasa cinta sedikitpun. Menjalani rumah tangga hanya formalitas masyarakat kering makna. Sekarang malah kakak yang ku banggakan menjadi cobaan terbesar dalam perjuangan ku selama ini.
          Aku hanya terdiam menatap tiap tetes air mata yang mengalir di wajah Ratu. Ratu sangat mengenal ku. Dia tahu apa yang selama ini ku lakukan. Setiap ide dan tulisan ku selalu ku bicarakan dengannya. Aku tak bisa memikirkan diriku, tapi ada seorang yang sedang tumbuh dalam janin Ratu. Yang akan hadir di saat yang tidak diharapkan dan belum saatnya. Dan ia hadir dalam keadaan tanpa ayah.
          Tanpa ku minta, Ratu menjelaskan. Sepulang dari karaoke tempat hiburan yang selama ini menjadi lahan nafkah tambahan kami, Ratu diikuti segerombolan lelaki. Tanpa teman dan seorang pun di jalan kecil dekat rumah kami yang tak terlalu banyak cahaya lampu. Ratu diseret paksa menuju sebuah rumah yang diketahuinya itu rumah yang lama ditinggal penghuninya. Ratu hanya bisa berteriak dalam hatinya. Berharap tak terjadi hal buruk. Badan Ratu dihempas di sudut ruangan berdebu. Gerombolan lelaki itu tampak terbahak-bahak, mengeluarkan aroma alkohol yang menyengat. Ratu mencoba berpikir bagaimana cara menyelamatkan diri. Selang beberapa saat, gerombolan lelaki itu bercerita akan melakukan apa terhadap Ratu sambil terbahak. Waktu gerombolan lelaki itu tidak begitu memperhatikan ratu, menjadi kesempatan untuk melompat jendela yang setinggi pinggang.
          Berdebar hati Ratu, menahan napas. Berharap usahanya berhasil. Setelah berhasil melompat, setetes air bening mengalir di pipi. Ratu berusaha berlari walau kakinya masih gemetar menahan ketakutan luar biasa. Jalanan telah sepi, jarang dilewati kendaraan. Ratu masih mencoba berlari kecil dengan sisa tenaganya. Beberapa menit kemudian, ada cahaya lampu sebuah motor yang datang. Agak ragu, Ratu memberanikan diri memberhentikan motor itu. Saat pengendara itu membuka helm, Ratu memaksa tersenyum.
“Boby.. untung ada kamu. Aku bisa minta diantar pulang? Kaki ku sakit”.
“Ayo, naik.” Sambut Boby.
          Diperjalanan, Ratu bersyukur bertemu dengan Boby. Boby adalah teman seangkatannyadi SMA kemarin. Sesampainya di rumah, Boby tak mampir. Dia langsung bergegas, karena malam telah larut.
“Terimakasih banyak, Bob. Aku khawatir tadi. Besok sore kalau ada waktu, silakan mampir.”
          Tanpa kata, boby beranjak meninggalkan senyuman. Ratu pelan masuk ke dalam rumah, tak mau mengganggu aku dan Bapak yang telah tidur. Ratu membersihkan diri kemudian melepas letih di kamar. Sebelum tidur, ia seperti biasa mengusap rambut ku yang tak sepanjang rambutnya.
          Keesokan pagi, Ratu kembali ceria. Tak tampak apa-apa. Aku seperti biasa berangkat sekolah dengan sepeda mini dan Bapak telah sedari tadi setelah subuh pergi ke sawah. Ratu di rumah sendiri, biasanya ia membuat kerajinan tangan titipan tetangga kami yang hasilnya lumayan untuk dijual. Ratu tercenung memikirkan kejadian semalam. Telah lama, Ratu ingin tak lagi bekerja di karaoke tempat hiburan itu. Ratu merasa tempat ini hanya menjadikan perempuan menanggalkan harga diri. Dipandang lekuk tubuhnya, suara merdunya menggoda, pulang selalu malam, sepi dan sendiri. Belum lagi jika bertemu dengan lelaki mengerikan seperti kejadian semalam. Tapi, setiap melihat Bapak dan aku, keinginan Ratu di tepis. Ratu tak punya keahlian apapun, memilih pekerjaan nyaman dan gaji yang lumayan.
          Seperti tawaran Ratu semalam, Boby datang mengunjungi. Hampir 2 bulan setelah kelulusan SMA, Boby banyak berubah. Jadi mahasiswa kini membuatnya sedikit ekstentrik. Boby bercerita banyak hal, Ratu hanya menjadi pendengar. Menjadi pendengar yang baik butuh keahlian. Saat aku datang, sepulang sekolah aku menyapa Boby yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Lalu aku masuk ke dalam rumah, ada sesuatu dengan lelaki yang duduk bersama kakak ku itu.
“Sepertinya, Boby menaruh perhatian lebih pada Ratu”, batin ku sambil lalu.
          Kakak ku bukan perempuan yang suka bergaul dengan sembarang lelaki. Walau pekerjaannya sebagai penyanyi tidak lantas membuat Ratu senang bergaul berlebihan. Menurut Ratu, hati kita akan menjadi tidak setia bila bergaul berlebihan dengan lelaki. Walaupun itu hanya teman kerja sambil bercanda.
          Sesaat setelah aku kembali masuk ke dalam kamar untuk membuat catatan tulisan ku hari ini, tak sengaja aku mendengar obrolan Ratu dan Boby di ruang depan.
“Mungkin Ratu hanya tahu nama dan wajah ku, tapi aku selalu memperhatikan perempuan tegar seperti mu. Tak mudah menyerah dengan keadaan yang tak semua senang dalam posisi itu”
          Ratu hanya tersenyum tanpa makna. Obrolan berlanjut tentang kekaguman Boby selama ini pada Ratu.
          Pertemuan Ratu dan Boby mulai sering setelah hari ini, aku memang sering mendapati Boby datang menjemput. Sebenarnya aku tak nyaman melihatnya, tapi aku masih belum punya kesempatan tepat membicarakannya. Aku kurang nyaman dengan sikap Boby yang menurut ku berlebihan.
          Sampai suatu hari, aku dan Bapak mendapat tawaran menyemai bibit padi di desa sebelah. Dengan senang hati ku temani Bapak. Akan ku buat catatan kecil petani. Pengalaman ini tidak ku lewatkan untuk memperkaya tulisan ku. Ini menjadi awal yang baik untuk menjadi petani yang baik. Suatu saat nanti...
          Pada hari itu, Ratu di rumah sendiri untuk beberapa hari. Minuman Ratu dicampuri obat bius oleh Boby, dan hari itu mahkota perempuan Ratu hilang. Saat Ratu telah sadar, Ratu mendapati dirinya tak berbusana. Ratu coba mengingat apa yang terjadi, dan Boby masuk ke dalam kamarnya. Menyeringai senyum, menceritakan apa yang terjadi. Ratu hanya bisa menderaikan air bening dari sudut matanya. Ratu menyuruh Boby pergi. Ratu terduduk disamping tempat tidur, menyesali kedekatan dengan Boby tanpa ikatan apapun.
          Aku masih menatap diam Ratu, akhir cerita Ratu membuat ku merasa tak mampu menjaga saudara ku satu-satunya. Innalillahi...
“Jadi sakit kakak ini karena hamil?”, tanya ku datar.
          Ratu hanya mengangguk lalu memeluk ku, hati ku perih. Pelukan Ratu yang biasa ku sambut dengan riang tak ku rasa sekarang. Ide-ide ku tentang perempuan berbentur dengan kenyataan dari orang yang paling ku sayang. Otak ku tak sanggup berpikir, bagaimana nasib anak ini? Yang ku tahu, dia tidak akan mendapat garis keturunan bapak biologisnya. Tapi dari ibu, otomatis tidak berhak mendapat waris dan hak perwalian saat dia menikah. Ah... anak ini akan tidak mudah menjalani hidupnya yang hadir tanpa rencana.
          Aku tak mungkin menyalahkan apalagi marah pada Ratu. Semua sudah terjadi, tidak berguna aku memaksa keadaan kembali seperti semula. Menyalahkan keadaan akan memperburuk keadaan.
“Lalu apa rencana kakak?”, tanya ku lagi sambil melepas pelukannya.
“Aku belum tahu untuk sekarang, karena itu aku menceritakan pada mu. Aku tidak sanggup memikirkan sendirian. Yang pasti, menikah dengan Boby bukan jalan yang baik. Aku akan tersiksa batin jika harus bertemu dengannya setiap waktu”, jelas Ratu dengan sesekali menyeka air bening di pipinya.
          “Kita akan merawat bayi ini...”, kata ku singkat, diikuti anggukan Ratu.
          Kami tak mungkin melakukan pembunuhan bayi yang tidak berdosa ini karena akan menambah catatan keburukan lagi. Aku tidak lagi mampu menulis untuk perempuan. Aku takut nantinya tulisan-tulisan ku menjadi bumerang yang menyerang ku kembali. Setelah Bapak pulang, kami akan ceritakan apa yang terjadi. Aku akan mendampingi Ratu terus. Aku ingat kata guru ku, jika sedih segera mengambil air wudu, lalu solat hajat sambil menangis dihadapan Pencipta. Mohon dikuatkan melewati ini sebagai pemenang. Aku masih terlalu kecil memahami keadaan seperti ini.
          Saat kami menceritakan pada Bapak, hanya wajahnya yang menyimpan sesal yang tampak. Tanpa sepatah katapun, Bapak hanya bisa menitikkan air bening di sudut matanya. Wajahnya yang lelah menampakkan gurat kecewa mendalam. Bapak, seorang single fighter yang menjadi inspirasi ku. Kini yang tampak adalah seorang yang rapuh dengan napas tuanya. Ratu yang melihat keadaan Bapak yang sangat terpukul, menangis bersimpuh dihadapan kaki Bapak. Saat itu, hati ku mengeras dan beku. Aku tak mau menangis. Aku ingin belajar menjadi kuat dalam retakan hati ku.
“Kakak istirahat, jaga kesehatan. Sementara ini jangan terlalu banyak aktifitas”, pinta ku pada Ratu sambil menggenggam tangannya menuju kamar.
          Lalu aku membersamai Bapak di samping kursinya dengan ku seduhkan secangkir teh manis hangat. Teh manis hangat ini menjadi penghibur kepedihan kami selama ini. Bapak yang mengajari kami untuk bisa mengatasi luka hati beratnya hidup, kini hanya terpejam dengan bulir tetes air di sudut matanya.
          Perlahan aku lantunkan surat Al-Qur’an kesukaan ku, saat senang dan sedih. Surat Ar-Rahman yang menyentuh relung hati sejak pertama kali surat ini ku dengar dari kaset teman ku. Senang dan sedih hanya di mata manusia, tapi kebaikan dariNya yang ku nanti. Jika aku pun lemah, siapa lagi yang menguatkan Bapak dan Ratu? Terkadang saat kita telah berusaha memilih jalan yang paling baik yang kita bisa pilih, ujian hadir untuk membuat semakin dekat pada Pencipta. Aku belajar untuk tidak menyalahkan keadaan, mungkin ini semua ada hikmahnya bagi hamba yang mau berpikir.
         








Keindahan perempuan seperti awan yang berarak menghiasi bumi. Rapuh dan mudah terhempas dengan mendung bila tak ditempatkan dengan baik. Namun kuat berjelaga menahan tetesan bulir air yang mengitarinya. Perempuan hanya butuh dijaga dari hati yang tak bertanggung jawab menampilkan pesona semu. Perempuan hanya ingin punya arti, gemintang diantara birunya langit. Pilihan jalan yang perempuan ambil karena perannya mengindahkan kehidupan. Membersamainya untuk lindungi dari terik mentari yang terkadang menyengat. Perempuan hadir menjadi partner pelengkap lubang hati, bukan setara dengan harta dan tahta yang diperebutkan. Perempuan cantik karena lembut hati dan tajam pikiran, tak sekedar polesan wajah. Perempuan menari dan menyanyi dengan mahakarya untuk cintanya.

Tulisan hati untuk perempuan hebat menanggung mendung. Bunga Surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar