Mahkota itu Hanya Bernama Jilbab
Pagi ini agak berbeda dari biasanya, Bapak
agak tidak enak badan. Bapak istirahat di atas tempat tidurnya sambil mendengar
kajian di radio. Sudah lama tak ku lihat Bapak menyempatkan mendengar kajian.
Selama ini kami hanya disibukkan dengan mencari penghasilan tambahan untuk
biaya hidup yang semakin tak terpikir dengan keterbatasan kami. Badai ini
mengembalikan kami pada Pemilik Hati. Kami menyadari kelalaian yang selama ini
melingkupi. Karena suasana agak kurang nyaman, aku menitipkan surat ijin pada
tetangga yang satu sekolah dengan ku. Aku ingin menemani Bapak dan Ratu di
rumah. Aku menyiapkan sarapan nasi goreng sederhana dengan telur ayam goreng.
Ratu masih sembab dengan genangan air di matanya.
“Bapak,
sarapan sudah di meja. Kita sudah jarang makan bersama, boleh kita menghabiskan
waktu bersama?”, pinta ku lembut sambil mengusap tangan bapak yang legam karena
kerja keras.
Ingin menangis saat benar-benar
memperhatikan garis wajah bapak yang menceritakan perjuangannya selama ini
menjadi pahlawan bagi keluarga kami. Tapi tidak mampu aku menunjukkan kepedihan
yang sama dalamnya. Aku berusaha tersenyum di tengah getir hati ku. Setelah
bapak duduk di meja, aku masuk kembali ke kamar mengajak Ratu makan bersama.
Awalnya kami terdiam dalam pikiran
masing-masing, tak lama aku merasa tidak nyaman dengan keadaan dingin ini.
“Hari ini, Bunga
mau kakak ke puskesmas untuk mengecek kesehatan”.
“Lalu sepulang
dari puskesmas, Bunga mau Bapak mengantar ke Bu Stefi. Kita butuh banyak
bantuannya”.
Kata-kata ku hanya ditanggapi sedikit
senyum oleh Bapak, selesai makan Bapak dan Ratu kembali ke kamar. Aku pun
terdiam setelah meminum segelas air. Aku berusaha memahami, Bapak bukan orang
yang mudah bercerita tentang luka hatinya. Tak berbeda saat beberapa tahun
lalu, Ibu pergi meninggalkan kami tanpa kata. Bapak hanya tersenyum getir
menjelaskan kepergian Ibu pada ku dan Ratu. Walau saat itu aku masih duduk di
SMP, aku mengerti jika Bapak tak ingin kami bertambah sedih dengan
menampakkannya pada kami. Kali ini, gelisah hati Bapak kembali tampak.
Aku menghampiri Bapak di kamarnya.
“Maafkan
Bapak, Bunga”, ucap Bapak saat aku masuk ke dalam kamarnya.
Aku duduk disisinya, bersandar di
lengannya yang kokoh.
“Bapak belum
bisa jadi orang tua yang baik”, penyesalan mendalam Bapak dapat ku rasa.
“Sudah, Pak.
Kata Bu Stefi, ujian itu untuk kita makin dekat dengan Allah. Mungkin selama
ini kita sudah banyak melupakanNya”.
Aku berusaha menenangkan diri, lalu aku
berkemas untuk mengantar Ratu dengan sepeda yang ku kayuh perlahan untuk ke
puskesmas. Antrean di puskesmas hari ini tak terlalu banyak, Ratu segera masuk
ruang periksa. Aku menunggu di kursi depan, membaca artikel tentang tumbuh
kembang anak. Artikel ini unik, tak biasanya menjelaskan proses pendidikan anak
serinci ini. Aku yang masih sangat tak memahami dunia ibu dan anak tertarik
menyelesaikan bacaan ini.
Disebutkan, menurut Ki Hajar
Dewantara, “mendidik anak diawali dari pemilihan jodoh”. Karena pasangan hidup
kita akan menjadi teladan anak-anak nantinya. Saat berhubungan suami istri tak
sekedar menyalurkan hasrat biologis, namun diawali membersihkan hati dengan
wudu dan solat hajat. Saat dalam kandungan, kita menyiapkan “mau jadi apa anak
ini nantinya?”. Jika mau menjadi ahli matematikawan, ayah bundanya banyak
berlatih soal matematika saat dalam kandungan. Begitu juga dengan bidang-bidang
keilmuan lain. Melatih anak sejak dini. Setelah itu dilanjutkan pada masa usia
emas. Menjaga makanan hanya yang halal dan baik.
Kehadiran seorang anak adalah lahirnya
kehidupan baru, yang kita rangkai indah untuk menjadikan jembatan penghubung
kembalinya kita menuju Pencipta kita. anak dengan segala potensi yang
dimilikinya adalah hadiah untuk kehidupan yang lebih baik.
“Tak banyak
yang mengetahui ini, jika saja calon orang tua mengetahui hal ini tentu akan
sangat berhati-hati dalam hidup”, batin ku.
Tak lama, kemudian Ratu keluar dengan
secercah senyum. Wajah ku yang penasaran terbaca olehnya.
“Bidannya
bilang, pasangan yang bahagia akan membangun karakter anak yang bahagia dengan
hidupnya. Jadi aku belajar bahagia untuk anak ku”, jelas Ratu sambil melangkah
keluar, aku pun mengikutinya dengan perasaan bahagia.
Rasa bahagia yang coba aku bangun
untuk menyemangati ujian yang kami lewati. Sesampainya di rumah, ternyata Bu Stefi
datang duluan ke rumah. Ratu dan aku duduk dihadapannya, kami semua terdiam.
Bapak hanya mengambil napas dalam-dalam. Aku pun mencoba membuka obrolan.
“Ibu sudah
dari tadi?”.
“Baru saja,
kenapa tidak sekolah Bunga?” tanya Bu Stefi lembut.
“Mengantar
kakak Ratu ke puskesmas. Rencana kami, siang ini ke rumah Ibu. Ada yang mau
kami sampaikan”, kata ku pelan, kuatir salah kata.
“Ada apa?”,
sambut Bu Stefi dengan senyumnya yang selalu hangat.
Aku menatap Bapak dan Ratu, mereka
sulit mau berbicara. Aku minta ijin menjelaskan pada Bu Stefi. Sesaat setelah
aku menyelesaikan cerita, wajah Bu Stefi merah padam.
“Laki-laki itu
dimana sekarang?”, tanya Bu Stefi tegas.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Seperti kata Ratu, Ratu tak mengharap meminta pertanggungjawaban untuk
menikahinya. Bu Stefi duduk mendekati Ratu.
“Nak, kita
harus pindah dari desa ini. Tak mungkin kita menyembunyikan kehamilan mu. Ibu
ada kenalan daerah pinggiran kota. Insya Allah mau membantu. Agar hatimu tenang
selama kehamilan tanpa gunjingan”.
Setelah memberi saran itu, Bu Stefi
memandang Bapak meminta persetujuannya. Bapak hanya mengangguk tanpa kata,
berharap yang terbaik. Aku pun hanya bisa menghela napas.
Ku bantu Ratu berkemas, di situ aku memperhatikan
pakaian-pakaian miliknya. Tak satu pun kami memiliki kerudung, kain penutup
kepala. Bu Stefi yang baru menjadi memeluk Islam 2 tahun ini karena menikah
dengan lelaki muslim saja sudah berkerudung rapat sepinggang. Aku dan Ratu
yang muslim sedari lahir karena orang tua, tak memiliki kerudung satu pun. Kami
hanya memiliki sebuah mukena yang digunakan bergantian. Itu pun jika ingat
solat.
“Bu, mengapa
perempuan muslim harus menutup kepala seperti Ibu?”, tanya ku.
“Perempuan
akan dimuliakan jika memuliakan diri”, jawab Bu Stefi singkat sembari membantu
berkemas.
“Kami tak
mampu membeli kain penutup, mukena saja kami bergantian. Jika kami menggunakan
kain penutup, kami jadi boros sabun cuci”, jelas ku apa adanya.
Wajah Bu stefi yang sedari tadi agak
tegang jadi agak tersenyum mendengar perkataan ku.
“Bunga, kalau
Bunga diminta memilih baju yang di jual di pinggir jalan dengan yang di toko,
pilih yang mana?”.
“Di toko
bersih, tidak ada debu dan tak sembarang orang melihat dan memegangnya “
“Nah, itu
tahu. Perempuan juga begitu”, jelas Bu Stefi sambil menyentuh hidung ku.
Tanpa kami sadari, Ratu mendengar
obrolan kami. Ratu terisak, sedih. Bu Stefi menghampiri ratu, lalu dipeluknya
erat.
“Aku bukan
perempuan baik ya, Bu?”, tanya Ratu dengan isak yang makin keras.
Bu Stefi hanya menghela napas, dan aku
pun diam. Mencoba memahami keadaan.Setelah selesai berkemas, Bu Stefi
menghubungi Bu Arlin. Rumah temannya ini akan dijadikan tempat tinggal
sementara untuk Ratu. Lalu Bu Stefi memeluk ku, berpamitan dengan Bapak hanya
menangkupkan tangan di dada tanpa menyalaminya.
“Dirimu jaga
diri ya..”, bisik Bu Stefi, membuat hati ku berdesir.
Sejak hari ini, aku tak akan setiap
hari bertemu dengan Ratu. Rumah kami agak jauh dari pinggiran kota tempat
tinggal baru Ratu. Aku pun belajar untuk menjadi muslimah yang sebenarnya itu
seperti apa? Mengapa harus berjilbab dan kewajiban lainnya. Aku mulai aktif
rohis yang dilaksanakan OSIS di SMA, kajian di radio aku dan Bapak mendengar
bersama, ke perpustakaan sekolah meminjam beberapa buku, dan mencari teman yang
bisa diajak berdiskusi.
Hampir sebulan aku mengikuti kajian
rohis di sekolah, hati ku sering tak enak jika dipandang belum menggunakan
kerudung. Mereka tak tahu keadaan ku, bukan tak mau tapi tak mampu membeli
selembar kain penutup kepala. Walau jadi sorotan dan pembicaraan, aku tetap
ingin belajar Islam. Hingga suatu ketika, judul kajian hari itu adalah “Mahkota
Perempuan”. Di sela kajian, aku terus tertunduk karena air mata ku terus
menerus menitik sedih. Tak ku sadari kak Rohma memperhatikan kesedihan ku. Di
akhir kajian, kak Rohma yang jadi kakak kelas ku mengajak ku ke sudut masjid sekolah.
“Maaf, dik
Bunga kan? Yang tulisan-tulisannya jadi kegemaran teman-teman di sekolah?”,
sapa kak Rohma.
“Iya, kak
Rohma”, jawab ku sambil menahan sisa kesedihan dari wajah ku.
“Alhamdulillah,
Bunga kenal saya. Saya suka sekali dengan tulisan Bunga yang tentang perempuan.
Sangat menginspirasi, perempuan harus cerdas untuk membangun generasi yang
lebih baik. Tapi ku dengar dari pengurus buletin, Bunga sudah tak lagi menulis
tema perempuan. Lebih ke pertanian saja sekarang. Walau tak kalah bagus, aku berharap
tetap terinspirasi dengan tulisan tema perempuan hebat”, cerita kak Rohma
membuat ku makin sedih, tapi ku coba tenang.
“Belum siap
untuk sekarang ini menulis tentang perempuan”, jawab ku sambil sedikit mencoba
tersenyum.
“Boleh tahu,
kenapa sedari awal kajian tadi Bunga terlihat sedih?”, pertanyaan ini membuat
ku bingung cara menjawabnya.
“Hmm.. Aku
ingin mengenakan jilbab seperti kak Rohma dan teman-teman putri lain, tampak
anggun dan bersahaja”, jelas ku dengan sedikit menahan bulir air mata.
“Aku sedih
tadi mendengar penjelasan, mahkota perempuan hanya jilbab. Aku merasa belum
menjadi perempuan utuh yang bisa disayang Penciptanya. Dan penjelasan jodoh itu
seperti cermin, jika kita baik jodoh kita juga baik. Bukan untuk jodoh saja,
tapi demi generasi yang baik kita juga seharusnya membaikkan diri. Walau kita
masih sekolah, tak menghalangi untuk belajar menjadi lebih baik untuk
menyiapkan generasi yang baik”, jelas ku.
Kehamilan Ratu yang tanpa rencana
membuat ku banyak merenung, aku jadi lebih memikirkan bagaimana menyiapkan
seorang anak terlahir ke dunia dengan segenap persiapan matang dan ikhlas dari
kedua orang tuanya.
“Ada yang
menghalangi berjilbab?”, tanya kak Rohma pelan. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Lalu apa yang
menjadi kendala?”, tanya kak Rohma lagi.
“Aku tak punya
selembar kain kerudung pun...”, kata ku sambil tertunduk.
Kak Rohma tersenyum lalu memegang
tangan ku.
“Nanti
sepulang sekolah, Bunga ke rumah ku dulu. Hanya 10 menit dari sekolah kok”.
Aku mencoba menarik gurat senyum ku,
terharu dengan kepedulian kak Rohma. Seperti nama surat di Al-Qur’an, begitu
menyentuh ku.
Sesuai rencana, aku dan kak Rohma
berjalan menuju rumahnya. Sepeda mini ku tuntun sambil berjalan, kami
berbincang banyak hal. Karena setahu ku, kak Rohma menjabat bidang keputrian,
aku banyak bertanya seputar muslimah padanya. Kak Rohma begitu cerdas dan
sangat menyenangkan diajak berdiskusi. Ada saja bahan pembicaraan yang kecil
menjadi dalam dan kritis.
Sesampainya di rumah kak Rohma, aku
melihat kesederhanaan dalam rumah dan keluarganya. Kami datang, mengucap salam.
Hal yang belum pernah ku lakukan dirumah.
“Assalamu’alaikum,
ummi. Rohma dengan teman, adik kelas di sekolah”, sapa kak Rohma sambil mencium
tangan dan ke dua pipi ummi, ibunya.
“Wa’alakumussalam,
namanya siapa?”, jawab Ibu kak Rohma hangat.
“Bunga, Bu”,
jawab ku yang juga menyalami Ibu kak Rohma, tanpa ku minta beliau pun mencium
ke dua pipi ku.
Bagi ku yang tak lagi dekat dengan
seorang ibu, hal ini begitu istimewa.
“Rohma ke
kamar dulu, Bunga di sini dulu. Itu ada beberapa buku yang mungkin Bunga mau
membacanya”, ucap kak Rohma yang lalu pergi ke kamarnya.
Ibu kak Rohma kembali ke dapur. Aku
memandang sekeliling rumah. Hati ku tenang masuk ke dalam rumah ini. Beberapa
buku dan majalah Islam tertata rapi di rak buku.
Beberapa saat kemudian, kak Rohma
datang mengajak ku makan siang bersama keluarganya. Lalu kemudian ke kamarnya, mencoba sekian potong pakaian
panjang, rok panjang dan kain kerudung. Dari yang ditawari kak Rohma, aku
mengambil 5 set pakaian dan seragam panjang. Ku niatkan menggunakan pakaian
tertutup hari ini.
Sejak hari itu, aku banyak bertemu kak
Rohma untuk bertanya tentang muslimah. Apa yang ku tahu, segera ku jalani.
Pelan-pelan aku menikmati proses ini. Di usia ku yang masih mencari diri, aku
dihentak badai. Aku belajar mensyukuri ujian keluarga ku ini untuk perbaikan
diri. Seperti ujian kenaikan kelas, ujian hidup juga akan meningkatkan level
derajat kita di mata Pencipta kita.
Hampir 2 bulan lebih aku tak bisa
bertemu dengan Ratu. Jarak yang cukup jauh dan kami belum punya kendaraan untuk
menjenguknya. Aku hanya bisa mendoakannya. Dari buku yang pernah ku baca,
“cinta bukan selalu bersama, tapi selalu terucap di tiap doa”. Aku mencintai
Bapak, Ratu dan Ibu. Walau ku tak tahu bagaimana cara kita bertemu. Ujian ini
menjadikan ku semakin hati-hati melangkah. Di tambah lagi, keputusan ku
mengenakan kain penutup kepala. Aku tidak berani menyebutnya jilbab, karena
jilbab untuk akhwat yang baik. Aku merasa belum pantas, masih belajar menjaga
hati.
Di tiap jengkal tubuh perempuan adalah permata yang
cemerlang bila disematkan kain yang menjadi mahkotanya. Tak membentuk, tak
tipis dan tak menyerupai perempuan yang tidak menghargai mahkotanya. Perempuan
menjadi wangi dalam hati yang dekat dengan Penciptanya, indah dengan senandung
pengabdian untuk kasih semesta alam. Tidaklah bunga hampiri kumbang, tenanglah
dia akan datang menjadikan pesona mu energi hidupnya. Hanya perempuan ini yang
mengerti tugasnya, seorang anak, istri, ibu dan daiyah penyebar kebaikan untuk
generasi lebih baik. Perempuan yang hanya menangisi kesalahan yang tampak
padanya, bukan menangisi keinginan semu yang sementara. Perempuan soliha
sebagai perhiasan terindah bagi hati perindu Pengasih dan Penyayang.
Tepi hati perempuan yang belajar jilbab hati. Bunga Surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar