Selasa, 04 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag. 2 Mahkota itu Hanya Bernama Jilbab


  Mahkota itu Hanya Bernama Jilbab

          Pagi ini agak berbeda dari biasanya, Bapak agak tidak enak badan. Bapak istirahat di atas tempat tidurnya sambil mendengar kajian di radio. Sudah lama tak ku lihat Bapak menyempatkan mendengar kajian. Selama ini kami hanya disibukkan dengan mencari penghasilan tambahan untuk biaya hidup yang semakin tak terpikir dengan keterbatasan kami. Badai ini mengembalikan kami pada Pemilik Hati. Kami menyadari kelalaian yang selama ini melingkupi. Karena suasana agak kurang nyaman, aku menitipkan surat ijin pada tetangga yang satu sekolah dengan ku. Aku ingin menemani Bapak dan Ratu di rumah. Aku menyiapkan sarapan nasi goreng sederhana dengan telur ayam goreng. Ratu masih sembab dengan genangan air di matanya.
“Bapak, sarapan sudah di meja. Kita sudah jarang makan bersama, boleh kita menghabiskan waktu bersama?”, pinta ku lembut sambil mengusap tangan bapak yang legam karena kerja keras.
          Ingin menangis saat benar-benar memperhatikan garis wajah bapak yang menceritakan perjuangannya selama ini menjadi pahlawan bagi keluarga kami. Tapi tidak mampu aku menunjukkan kepedihan yang sama dalamnya. Aku berusaha tersenyum di tengah getir hati ku. Setelah bapak duduk di meja, aku masuk kembali ke kamar mengajak Ratu makan bersama.
          Awalnya kami terdiam dalam pikiran masing-masing, tak lama aku merasa tidak nyaman dengan keadaan dingin ini.
“Hari ini, Bunga mau kakak ke puskesmas untuk mengecek kesehatan”.
“Lalu sepulang dari puskesmas, Bunga mau Bapak mengantar ke Bu Stefi. Kita butuh banyak bantuannya”.
          Kata-kata ku hanya ditanggapi sedikit senyum oleh Bapak, selesai makan Bapak dan Ratu kembali ke kamar. Aku pun terdiam setelah meminum segelas air. Aku berusaha memahami, Bapak bukan orang yang mudah bercerita tentang luka hatinya. Tak berbeda saat beberapa tahun lalu, Ibu pergi meninggalkan kami tanpa kata. Bapak hanya tersenyum getir menjelaskan kepergian Ibu pada ku dan Ratu. Walau saat itu aku masih duduk di SMP, aku mengerti jika Bapak tak ingin kami bertambah sedih dengan menampakkannya pada kami. Kali ini, gelisah hati Bapak kembali tampak.
          Aku menghampiri Bapak di kamarnya.
“Maafkan Bapak, Bunga”, ucap Bapak saat aku masuk ke dalam kamarnya.
          Aku duduk disisinya, bersandar di lengannya yang kokoh.
“Bapak belum bisa jadi orang tua yang baik”, penyesalan mendalam Bapak dapat ku rasa.
“Sudah, Pak. Kata Bu Stefi, ujian itu untuk kita makin dekat dengan Allah. Mungkin selama ini kita sudah banyak melupakanNya”.
          Aku berusaha menenangkan diri, lalu aku berkemas untuk mengantar Ratu dengan sepeda yang ku kayuh perlahan untuk ke puskesmas. Antrean di puskesmas hari ini tak terlalu banyak, Ratu segera masuk ruang periksa. Aku menunggu di kursi depan, membaca artikel tentang tumbuh kembang anak. Artikel ini unik, tak biasanya menjelaskan proses pendidikan anak serinci ini. Aku yang masih sangat tak memahami dunia ibu dan anak tertarik menyelesaikan bacaan ini.
          Disebutkan, menurut Ki Hajar Dewantara, “mendidik anak diawali dari pemilihan jodoh”. Karena pasangan hidup kita akan menjadi teladan anak-anak nantinya. Saat berhubungan suami istri tak sekedar menyalurkan hasrat biologis, namun diawali membersihkan hati dengan wudu dan solat hajat. Saat dalam kandungan, kita menyiapkan “mau jadi apa anak ini nantinya?”. Jika mau menjadi ahli matematikawan, ayah bundanya banyak berlatih soal matematika saat dalam kandungan. Begitu juga dengan bidang-bidang keilmuan lain. Melatih anak sejak dini. Setelah itu dilanjutkan pada masa usia emas. Menjaga makanan hanya yang halal dan baik.
          Kehadiran seorang anak adalah lahirnya kehidupan baru, yang kita rangkai indah untuk menjadikan jembatan penghubung kembalinya kita menuju Pencipta kita. anak dengan segala potensi yang dimilikinya adalah hadiah untuk kehidupan yang lebih baik.
“Tak banyak yang mengetahui ini, jika saja calon orang tua mengetahui hal ini tentu akan sangat berhati-hati dalam hidup”, batin ku.
          Tak lama, kemudian Ratu keluar dengan secercah senyum. Wajah ku yang penasaran terbaca olehnya.
“Bidannya bilang, pasangan yang bahagia akan membangun karakter anak yang bahagia dengan hidupnya. Jadi aku belajar bahagia untuk anak ku”, jelas Ratu sambil melangkah keluar, aku pun mengikutinya dengan perasaan bahagia.
          Rasa bahagia yang coba aku bangun untuk menyemangati ujian yang kami lewati. Sesampainya di rumah, ternyata Bu Stefi datang duluan ke rumah. Ratu dan aku duduk dihadapannya, kami semua terdiam. Bapak hanya mengambil napas dalam-dalam. Aku pun mencoba membuka obrolan.
“Ibu sudah dari tadi?”.
“Baru saja, kenapa tidak sekolah Bunga?” tanya Bu Stefi lembut.
“Mengantar kakak Ratu ke puskesmas. Rencana kami, siang ini ke rumah Ibu. Ada yang mau kami sampaikan”, kata ku pelan, kuatir salah kata.
“Ada apa?”, sambut Bu Stefi dengan senyumnya yang selalu hangat.
          Aku menatap Bapak dan Ratu, mereka sulit mau berbicara. Aku minta ijin menjelaskan pada Bu Stefi. Sesaat setelah aku menyelesaikan cerita, wajah Bu Stefi merah padam.
“Laki-laki itu dimana sekarang?”, tanya Bu Stefi tegas.
          Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Seperti kata Ratu, Ratu tak mengharap meminta pertanggungjawaban untuk menikahinya. Bu Stefi duduk mendekati Ratu.
“Nak, kita harus pindah dari desa ini. Tak mungkin kita menyembunyikan kehamilan mu. Ibu ada kenalan daerah pinggiran kota. Insya Allah mau membantu. Agar hatimu tenang selama kehamilan tanpa gunjingan”.
          Setelah memberi saran itu, Bu Stefi memandang Bapak meminta persetujuannya. Bapak hanya mengangguk tanpa kata, berharap yang terbaik. Aku pun hanya bisa menghela napas.
          Ku bantu Ratu berkemas, di situ aku memperhatikan pakaian-pakaian miliknya. Tak satu pun kami memiliki kerudung, kain penutup kepala. Bu Stefi yang baru menjadi memeluk Islam 2 tahun ini karena  menikah  dengan lelaki muslim saja sudah berkerudung rapat sepinggang. Aku dan Ratu yang muslim sedari lahir karena orang tua, tak memiliki kerudung satu pun. Kami hanya memiliki sebuah mukena yang digunakan bergantian. Itu pun jika ingat solat.
“Bu, mengapa perempuan muslim harus menutup kepala seperti Ibu?”, tanya ku.
“Perempuan akan dimuliakan jika memuliakan diri”, jawab Bu Stefi singkat sembari membantu berkemas.
“Kami tak mampu membeli kain penutup, mukena saja kami bergantian. Jika kami menggunakan kain penutup, kami jadi boros sabun cuci”, jelas ku apa adanya.
          Wajah Bu stefi yang sedari tadi agak tegang jadi agak tersenyum mendengar perkataan ku.
“Bunga, kalau Bunga diminta memilih baju yang di jual di pinggir jalan dengan yang di toko, pilih yang mana?”.
“Di toko bersih, tidak ada debu dan tak sembarang orang melihat dan memegangnya “
“Nah, itu tahu. Perempuan juga begitu”, jelas Bu Stefi sambil menyentuh hidung ku.
          Tanpa kami sadari, Ratu mendengar obrolan kami. Ratu terisak, sedih. Bu Stefi menghampiri ratu, lalu dipeluknya erat.
“Aku bukan perempuan baik ya, Bu?”, tanya Ratu dengan isak yang makin keras.
          Bu Stefi hanya menghela napas, dan aku pun diam. Mencoba memahami keadaan.Setelah selesai berkemas, Bu Stefi menghubungi Bu Arlin. Rumah temannya ini akan dijadikan tempat tinggal sementara untuk Ratu. Lalu Bu Stefi memeluk ku, berpamitan dengan Bapak hanya menangkupkan tangan di dada tanpa menyalaminya.
“Dirimu jaga diri ya..”, bisik Bu Stefi, membuat hati ku berdesir.
          Sejak hari ini, aku tak akan setiap hari bertemu dengan Ratu. Rumah kami agak jauh dari pinggiran kota tempat tinggal baru Ratu. Aku pun belajar untuk menjadi muslimah yang sebenarnya itu seperti apa? Mengapa harus berjilbab dan kewajiban lainnya. Aku mulai aktif rohis yang dilaksanakan OSIS di SMA, kajian di radio aku dan Bapak mendengar bersama, ke perpustakaan sekolah meminjam beberapa buku, dan mencari teman yang bisa diajak berdiskusi.
          Hampir sebulan aku mengikuti kajian rohis di sekolah, hati ku sering tak enak jika dipandang belum menggunakan kerudung. Mereka tak tahu keadaan ku, bukan tak mau tapi tak mampu membeli selembar kain penutup kepala. Walau jadi sorotan dan pembicaraan, aku tetap ingin belajar Islam. Hingga suatu ketika, judul kajian hari itu adalah “Mahkota Perempuan”. Di sela kajian, aku terus tertunduk karena air mata ku terus menerus menitik sedih. Tak ku sadari kak Rohma memperhatikan kesedihan ku. Di akhir kajian, kak Rohma yang jadi kakak kelas ku mengajak ku ke sudut masjid sekolah.
“Maaf, dik Bunga kan? Yang tulisan-tulisannya jadi kegemaran teman-teman di sekolah?”, sapa kak Rohma.
“Iya, kak Rohma”, jawab ku sambil menahan sisa kesedihan dari wajah ku.
“Alhamdulillah, Bunga kenal saya. Saya suka sekali dengan tulisan Bunga yang tentang perempuan. Sangat menginspirasi, perempuan harus cerdas untuk membangun generasi yang lebih baik. Tapi ku dengar dari pengurus buletin, Bunga sudah tak lagi menulis tema perempuan. Lebih ke pertanian saja sekarang. Walau tak kalah bagus, aku berharap tetap terinspirasi dengan tulisan tema perempuan hebat”, cerita kak Rohma membuat ku makin sedih, tapi ku coba tenang.
“Belum siap untuk sekarang ini menulis tentang perempuan”, jawab ku sambil sedikit mencoba tersenyum.
“Boleh tahu, kenapa sedari awal kajian tadi Bunga terlihat sedih?”, pertanyaan ini membuat ku bingung cara menjawabnya.
“Hmm.. Aku ingin mengenakan jilbab seperti kak Rohma dan teman-teman putri lain, tampak anggun dan bersahaja”, jelas ku dengan sedikit menahan bulir air mata.
“Aku sedih tadi mendengar penjelasan, mahkota perempuan hanya jilbab. Aku merasa belum menjadi perempuan utuh yang bisa disayang Penciptanya. Dan penjelasan jodoh itu seperti cermin, jika kita baik jodoh kita juga baik. Bukan untuk jodoh saja, tapi demi generasi yang baik kita juga seharusnya membaikkan diri. Walau kita masih sekolah, tak menghalangi untuk belajar menjadi lebih baik untuk menyiapkan generasi yang baik”, jelas ku.
          Kehamilan Ratu yang tanpa rencana membuat ku banyak merenung, aku jadi lebih memikirkan bagaimana menyiapkan seorang anak terlahir ke dunia dengan segenap persiapan matang dan ikhlas dari kedua orang tuanya.
“Ada yang menghalangi berjilbab?”, tanya kak Rohma pelan. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Lalu apa yang menjadi kendala?”, tanya kak Rohma lagi.
“Aku tak punya selembar kain kerudung pun...”, kata ku sambil tertunduk.
          Kak Rohma tersenyum lalu memegang tangan ku.
“Nanti sepulang sekolah, Bunga ke rumah ku dulu. Hanya 10 menit dari sekolah kok”.
          Aku mencoba menarik gurat senyum ku, terharu dengan kepedulian kak Rohma. Seperti nama surat di Al-Qur’an, begitu menyentuh ku.
          Sesuai rencana, aku dan kak Rohma berjalan menuju rumahnya. Sepeda mini ku tuntun sambil berjalan, kami berbincang banyak hal. Karena setahu ku, kak Rohma menjabat bidang keputrian, aku banyak bertanya seputar muslimah padanya. Kak Rohma begitu cerdas dan sangat menyenangkan diajak berdiskusi. Ada saja bahan pembicaraan yang kecil menjadi dalam dan kritis.
          Sesampainya di rumah kak Rohma, aku melihat kesederhanaan dalam rumah dan keluarganya. Kami datang, mengucap salam. Hal yang belum pernah ku lakukan dirumah.
“Assalamu’alaikum, ummi. Rohma dengan teman, adik kelas di sekolah”, sapa kak Rohma sambil mencium tangan dan ke dua pipi ummi, ibunya.
“Wa’alakumussalam, namanya siapa?”, jawab Ibu kak Rohma hangat.
“Bunga, Bu”, jawab ku yang juga menyalami Ibu kak Rohma, tanpa ku minta beliau pun mencium ke dua pipi ku.
          Bagi ku yang tak lagi dekat dengan seorang ibu, hal ini begitu istimewa.
“Rohma ke kamar dulu, Bunga di sini dulu. Itu ada beberapa buku yang mungkin Bunga mau membacanya”, ucap kak Rohma yang lalu pergi ke kamarnya.
          Ibu kak Rohma kembali ke dapur. Aku memandang sekeliling rumah. Hati ku tenang masuk ke dalam rumah ini. Beberapa buku dan majalah Islam tertata rapi di rak buku.
          Beberapa saat kemudian, kak Rohma datang mengajak ku makan siang bersama keluarganya. Lalu kemudian ke  kamarnya, mencoba sekian potong pakaian panjang, rok panjang dan kain kerudung. Dari yang ditawari kak Rohma, aku mengambil 5 set pakaian dan seragam panjang. Ku niatkan menggunakan pakaian tertutup hari ini.
          Sejak hari itu, aku banyak bertemu kak Rohma untuk bertanya tentang muslimah. Apa yang ku tahu, segera ku jalani. Pelan-pelan aku menikmati proses ini. Di usia ku yang masih mencari diri, aku dihentak badai. Aku belajar mensyukuri ujian keluarga ku ini untuk perbaikan diri. Seperti ujian kenaikan kelas, ujian hidup juga akan meningkatkan level derajat kita di mata Pencipta kita.
          Hampir 2 bulan lebih aku tak bisa bertemu dengan Ratu. Jarak yang cukup jauh dan kami belum punya kendaraan untuk menjenguknya. Aku hanya bisa mendoakannya. Dari buku yang pernah ku baca, “cinta bukan selalu bersama, tapi selalu terucap di tiap doa”. Aku mencintai Bapak, Ratu dan Ibu. Walau ku tak tahu bagaimana cara kita bertemu. Ujian ini menjadikan ku semakin hati-hati melangkah. Di tambah lagi, keputusan ku mengenakan kain penutup kepala. Aku tidak berani menyebutnya jilbab, karena jilbab untuk akhwat yang baik. Aku merasa belum pantas, masih belajar menjaga hati.

Di tiap jengkal tubuh perempuan adalah permata yang cemerlang bila disematkan kain yang menjadi mahkotanya. Tak membentuk, tak tipis dan tak menyerupai perempuan yang tidak menghargai mahkotanya. Perempuan menjadi wangi dalam hati yang dekat dengan Penciptanya, indah dengan senandung pengabdian untuk kasih semesta alam. Tidaklah bunga hampiri kumbang, tenanglah dia akan datang menjadikan pesona mu energi hidupnya. Hanya perempuan ini yang mengerti tugasnya, seorang anak, istri, ibu dan daiyah penyebar kebaikan untuk generasi lebih baik. Perempuan yang hanya menangisi kesalahan yang tampak padanya, bukan menangisi keinginan semu yang sementara. Perempuan soliha sebagai perhiasan terindah bagi hati perindu Pengasih dan Penyayang.

Tepi hati perempuan yang belajar jilbab hati. Bunga Surga.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar