Tak terasa, kini telah memasuki bulan ke sembilan.
Beruntung sudah masa libur akhir tahun ajaran baru. Aku dua hari ini
menghabiskan kebersamaan dengan Ratu. Badan Ratu semakin padat. Alhamdulillah,
bayinya sehat. Beberapa kali cek dokter menyebutkan kestabilan emosiibu banyak
mempengaruhi keadaan bayi. Aku belajar lagi, emosi tak hanya melibatkan diri.
Juga semua hal di sekitar kita. Sambil berdebar menanti kelahiran, Ratu dan aku
banyak menyibukkan mencari semua informasi tentang ibu dan anak. Perjalanan ini
menyenangkan untuk ku. Agar aku lebih hati-hati menjaga anak titipan Pemberi
Hidup kita.
Waktu terasa lambat, beberapa hari bersama aku dan Ratu
telah menyiapkan semua yang diperlukan untuk kelahiran. Wajah berseri-seri Ratu
menyambut bayinya. Tak terlihat sedikit pun kesedihan. Kesedihan itu mungkin
hanya aku yang merasakan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana anak ini nanti.
Aku terus mencoba meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.
Hari itu, akhirnya tiba. Dekat rumah Ratu ada seorang
bidan yang selama ini membantu masa kehamilan Ratu. Dengan seluruh energi yang
Ratu punya, Ratu berusaha memberi kesempatan anaknya menghirup dunia. Ratu
menggigit sebuah handuk kecil untuk mengurangi rasa sakit. Tangan ku
dipegangnya dengan keras hingga sedikit memerah. Bapak, Bu Stefi dan Bu Arlin
banyak berzikir menanti di luar ruang bersalin. Air mata kesakitan Ratu menetes
sekali. Sungguh, mengapa kita sepatutnya mencintai ibu. Menanggung beban di
perut selama hampir sembilan bulan, sakitnya melahirkan yang tiada terkira. Aku
pun ingin menangis, tapi ku tahan sebisanya. Untuk terus bisa menyemangati
Ratu. Hampir dua jam lebih, bayi itu belum keluar. Air ketuban sudah hampir
mengering. Bidan pun panik.
Badan Ratu melemah.
Aku pun bingung harus berbuat apa?
“Allah..”, hanya kata itu yang
mampu diucapkan Ratu.
Mendengarnya aku pun berusaha
istigfar. Terus menyemangati Ratu semampu ku.
“Bunga, aku letih...”, desah Ratu pelan, wajahnya tetap
tegar walau agak pucat.
“Kakak bisa, insya Allah. Kakak harus kuat untuk anak
kita. Kita akan rawat dan melihatnya tumbuh jadi Aisyah yang cerdas”, kata ku
dengan semangat. Tanpa bisa ku tahan, air mata ku mengalir. Segera ku usap.
“Aku minta maaf, belum bisa jadi kakak yang baik untuk
adik sebaik mu”.
“Kakak, adalah yang terbaik dan tak tergantikan. Aku
ingin melihat kakak bisa menikah dengan laki-laki solih yang bersedia merawat
anak kita. Allah sayang kakak, rasa sakit ini sebagai penggugur kesalahan kita
di mata Allah”.
Kakak hanya tersenyum mendengar Allah sayang padanya.
“Tolong sampaikan maaf ke Bapak, Bu Stefi dan Bu
Arlin..”, pinta Ratu.
Aku pun menangis berderai saat keluar ruang bersalin. Ku
peluk Bapak, ku merasakan detak jantungnya yang lebih cepat. Aku menyampaikan
pesan Ratu. Lalu menghapus sisa air mata untuk kembali ke dalam ruangan.
Baru saja ku buka pintu, ku mendengar Ratu berusaha lagi
mengeluarkan bayinya. Langkah ku percepat, ku pegang lagi tangannya. Dan..
“Alhamdulillah..”, ucap Ratu pelan saat melihat bayi
merahnya menangis.
Aku pun bersyukur, melihat Ratu dan putrinya.
“Subhanallah, cantik. Seperti aku”, goda ku pada Ratu.
Senyum Ratu amat lepas. Aku segera memanggil Bapak, Bu
Stefi dan Bu Arlin untuk melihat putri Ratu. Setelah insiasi menyusui dini,
putri Ratu diperdengarkan azan oleh Bapak dan di tahnik dengan kurma. Suasana
ini mengharukan, Ratu pun tak lagi menahan tangisnya. Entah apa yang
dibenaknya. Yang ku pikirkan hanya, jika saja putri ini terlahir dengan seorang
ayah. Ah.. hanya jadi keinginan. Allah menghadirkan anugerahnya dari jalan yang
tak pernah kita sangka.
“Ratu sudah menyiapkan nama?”, tanya Bu Arlin.
“Saya terserah Bapak”, jawab Ratu dengan sedikit mengusap
tetesan air matanya.
“Bapak senang sekali saat meminjam buku tentang Aisyah,
istri Nabi Muhammad Saw. Kalau Aisyah bagaimana?”, kata Bapak yang masih
menimang bayi kecil itu.
“Pelangi Aishi”, sahut ku tiba-tiba, sambil tersenyum
menyentuh kulit bayi merah ini.
“Kenapa Bunga memilih nama itu?”, tanya Bu Stefi yang
sedang menyiapkan makanan untuk Ratu.
“Kehadiran putri cantik ini menghapus tetes hujan hati
kami menjadi berwarna indah. Aishi, di buku yang pernah saya baca adalah
panggilan sayang Nabi Muhammad Saw. Setuju kak?”, jelas ku.
“Dari kapan menyiapkan nama itu? Lucu sekali namanya”,
jawab Ratu.
“Baru tadi, kan kelahirannya penuh keajaiban. Aku mencoba
mengerti, dia benar-benar mau keluar dari rahim saat semua yang menantinya
ikhlas menyambutnya. Karena dia akan menjalani hidup tanpa ayah”, kata ku
pelan, khawatir salah ucap.
“Dan saat dia lahir, tangisan penantian berubah senyum”,
lanjut Ratu.
“Ratu niatkan saja menikah, insya Allah akan ada lelaki
baik yang Allah kirim untuk menemani mu merawat Aishi. Bagaimana pun seorang
anak akan menjadi berkarakter kuat bila di didik oleh peran ayah dan peran
ibunya. Agar jiwanya lebih stabil”, kata Bu Arlin ini membuat Ratu tersenyum
kecil.
Selama ini Ratu tak pernah bercerita apapun tentang
pendamping, aku pun tak memikirkan itu. Walau sempat ku dengar ada lelaki yang
siap membantunya merawat Aishi dengan menikahi Ratu. Padahal lelaki itu belum
pernah bertemu dengan Ratu, hanya mendengar cerita dari Bu Stefi saat kajian di
rumahnya. Namun keadaannya belum memungkinkan untuk menikah saat ini. Keluarga
lelaki itu masih menganut kepercayaan, tidak boleh mendahului kakak. Apalagi
kakak perempuan, dan lelaki itu memiliki tiga kakak perempuan yang belum
memikirkan pernikahan.
“Kepercayaan yang aneh”, batin ku.
Padahal pernikahan adalah ibadah, jadi itu bagian dari
kebaikan. Jika kebaikan ditunda, bisa jadi itu keburukan. Mungkin juga belum
rejeki Ratu.
Hari ini menjadi bersejarah bagi kami, terutama bagi ku.
Melihat betapa sulitnya proses kelahiran, aku menjadi sangat hati-hati menjaga
diri. Sakitnya tak tertanggungkan bila ditambah dengan beban pikiran lain.
Beberapa jam setelah kelahiran Aishi, ada seorang gadis yang usianya dua tahun
lebih muda dari ku juga melahirkan. Aku sempat kaget, karena gadis itu masih
kecil sekali. Bukan karena pernikahan, ku dengar itu dari keributan kedua orang
tuanya di lorong tempat bidan praktek. Seorang Bapak yang ku kira ayah gadis
itu memarahi istrinya yang terus menangis. Bapak itu menganggap istrinya tak
becus menjaga anak satu-satunya hingga harus melahirkan tanpa menikah.
Hati ku ngilu, mendengar rintihan gadis itu. Seperti adik
ku saja. Rasanya aku ingin memeluknya untuk meredakan sedikit sakitnya.
Pertengkaran kedua orang tuanya membuat mental gadis itu jatuh, merasa bersalah
atas tindakannya. Tak lama, seorang anak lelaki datang dengan masih mengenakan
seragam abu-abu seperti seragam milik ku. Dia mengenalkan diri sebagai bapak
dari anak yang akan segera lahir itu. Tak habis ku pikir. Napas ku tercekat,
apa yang salah?
Semalaman aku tidak nyenyak tidur, hingga subuh beberapa
menit lagi aku masih terjaga. Aku sudah mencoba membaca buku dan Al-Qur’an,
tapi pikiran ku masih terbayang kejadian sore tadi. Bagaimana keadaan anak
gadis tadi? Saat azan subuh berkumandang, aku dan Bapak solat di musola
terdekat. Aku melewati ruangan gadis itu. Terlihat sepi, tak ada tanda-tanda
ada orang. Selesai solat, aku dan Bapak kembali ke ruangan Ratu. Ratu ku lihat
sedang berjalan pelan menuju Aishi. Karena Aishi menangis lapar. Alhamdulillah
ASI Ratu keluar lancar, aku pun menyentuh hidung Aishi yang masih menikmati
dekapan bundanya.
Lalu aku pamit keluar sebentar mencari jajanan pasar,
letih badan ku masih tak ku rasa. Tak jauh dari praktek bidan, aku menemukan
pasar. Ramai sekali, pasar menjadi tempat menyenangkan buat ku. Seingat ku
dulu, Bapak dan Ibu tak jarang mengajak kami berbelanja di pasar dekat rumah
kami. Walau becek, bau dan kotor. Suasana keluarga sangat terasa, kami bisa
menawar barang. Tak jarang kami mendapat pemberian dari beberapa pedagang yang
menyukai lucunya aku dan Ratu saat kami kecil.
Pasar menjadi tempat yang mengingatkan pada Ibu. Apa
kabarnya? Jika Ibu tahu telah menjadi nenek, bagaimana perasaanya?
Pertanyaan-pertanyaan tentang Ibu berkelebat dalam pikir ku. Setelah menikmati
keriuhan pasar dan mendapati jajanan yang sewaktu kecil sering ku minta, aku
kembali ke bidan. Saat memasuki halaman, aku melihat anak lelaki yang sore
kemarin berseragam abu-abu. Dia terduduk lesu dengan tatapan kosong.
Aku mensejajarkan duduk kurang lebih satu meter
dengannya. Aku merasa dia seusia dengan ku, jadi ku anggap teman. Aku menawari
makanan yang ku bawa padanya.
“Pagi ini agak mendung, matahari belum tampak padahal
sudah jam segini”, sapa ku basa-basi.
Lelaki itu melihat ku tanpa arti, dia menghela napas
berat sekali.
“Ada keluarga yang melahirkan di sini?”, tanya ku sambil
sesekali mencicipi jajanan yang ku beli.
Lelaki ini hanya mengangguk lemah, aku menawarkan lagi
jajan yang ku bawa walau tak digubrisnya. Aku pun diam sesaat memandang lalu
lalang orang yang beraktifitas di sekitar tempat ku duduk. Perlahan rintik
hujan turun, semilir angin membuat ku merinding. Beruntung aku selalu
menggunakan jaket hitam ku. Tapi lelaki sebelah ku seolah tak merasakan apa
yang terjadi disekitarnya.
“Aku kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup
ku”, tiba-tiba lelaki sebelah ku buka suara.
Matanya masih tertunduk lemas, napasnya terasa berat. Aku
sedikit memiringkan posisi duduk ku menghadapnya. Aku mencoba melatih empati
dan kemampuan ku mendengarkan.
“Aku menjadi orang yang paling rugi di dunia. Menyakiti
dan membuatnya dalam keadaan tidak berdaya”.
Beberapa orang yang melewati kami ku sapa dengan sedikit
menundukkan wajah. Entah apa yang mereka kira tentang kami. Aku pun ingin
membantu lelaki yang bahkan tak ku tahu namanya. Aku berharap dapat pengalaman
dari kisah hidupnya dan mendapat kabar tentang gadis di ruang sebelah kamar
Ratu. Hujan dihadapanku makin deras. Gemerisik air dan wangi hujan membuat
bersyukur. Aku sangat menikmati hujan. Indah...
“Aku tumbuh tanpa orang tua yang memiliki waktu untuk
keluarga. Aku tumbuh menjadi anak yang sangat egois, ukuran kebahagiaan yang
orang tua ku ajarkan adalah materi. Aku tidak mengenal apa itu cinta, kasih,
sayang dan sejenisnya. Sampai akhir tahun kemarin saat aku mulai menginjak usia
tujuh belas tahun, aku salah memilih teman. Semua teman memiliki apa yang
mereka sebut sebagai pacar. Aku pun tampak bodoh jika dekat mereka yang
bermesraan dengan pacar-pacar mereka. Karena aku belum menemukan perempuan yang
bisa membuat ku tertarik. Perempuan yang ku temui hanya menginginkan ku
karenakekayaan kedua orang tua ku. Tak ada yang melihat ku dari sisi
istimewanya pribadi ku”, ceritanya yang pelan, dengan iringan musik hujan
beriringan.
“Aku diberi nama Matahari, dan perempuan itu Bulan. Ku
merasa ada yang berbeda dengannya. Bulan tinggal hanya dua blok dari tempat ku
tinggal. Aku melihat kepolosan dan keluguan ketika bermain bersama
teman-temannya yang sudah berpenampilan dewasa. Penuh dengan topeng dandanan
yang membuat hilang keindahannya. Usia Bulan, lima belas tahun. Bulan tampak
lebih muda dari usianya. Aku beberapa kali kesempatan memperhatikannya. Melihat
aktifitasnya di rumah, tak ku lihat hal yang aneh. Bulan amat sederhana, suka
membaca buku di teras rumahnya. Aku tak tahu alasan mendekatinya. Aku hanya
memandangi dalam diam dan sepi. Tak seorang pun tahu aku mengagumi gadis kecil
itu”, kenang lelaki yang tadi disebut namanya, Matahari sambil tersenyum kecil.
“Lalu bagaimana kamu tahu namanya?”, tanya ku.
“Teman-temannya yang sangat berisik jika sudah berkumpul,
sering menyebut namanya. Hingga, aku bertemu dengannya di sudut toko tempatnya
biasa berbelanja. Kita berdua sama-sama kaget. Terlebih aku, dia menyebut nama
ku. Dan dia menyadari aku sering memperhatikannya dari jauh. Sejak saat itu aku
dan Bulan sering bertemu dengan alasan membuat tugas atau apalah. Tepat setahun
lalu, Bulan berulang tahun ke enam belas. Aku mengatakan perasaan ku padanya.
Bulan pun mengangguk menerima ku. Setelah kami resmi berpacaran, kami
memperkenalkan pada keluarga masing-masing. Awalnya semua berjalan baik.
Sekalipun hampir setiap hari aku menemuinya. Mengantar dan menjemput saat ku
bisa, makan dan berjalan-jalan akhir minggu. Sampai akhirnya...”, Matahari
menghela napasnya, hujan pun seolah mewakili hujan di hatinya.
“Terlalu sering bertemu tanpa ada hal penting membuat
hubungan kita membosankan. Mulai ada pertengkaran hal-hal yang tidak penting.
Aku salah menceritakan pada teman yang justru merusak hidup ku. Dia menyarankan
untuk melakukan hubungan yang seharusnya disucikan dengan pernikahan. Bodohnya
aku mengikuti, menurut teman ku itu tanda cinta dan penguat hubungan. Aku
merayu keluguannya, hingga malam itu...”, Matahari memejamkan mata, berusaha
menahan air di sudut matanya.
“Kehamilan pun terjadi, Bulan awalnya diam. Tapi karena
dia sudah tiga hari ijin sekolah, ibunya membawa ke dokter. Akhirnya kami semua
tahu, aku dihajar hingga babak belur ayah ku dan ayah Bulan. Aku katakan akan
bertanggung jawab. Bulan yang pintar dan berprestasi harus putus sekolah. Aku menyalahkan
diriku sendiri, tapi Bulan selalu berusaha tersenyum saat bertemu dengan ku.
Setelah keluarga ku dan Bulan berbicara tentang kelanjutan hidup kami, aku akan
di cambuk sebagai penebus kesalahan. Beberapa hari lagi aku akan dibawa ke desa
yang menghukum warganya dengan hukuman cambuk. Bulan dibawa setelah melahirkan.
Aku diminta pindah ke desa itu selama setahun, untuk pengasingan. Aku pun mau
tak mau harus menerima. Yang membuat ku nyeri adalah aku tak bisa mendampingi
Bulan selama hamil. Perempuan membawa beban lebih”, tak lagi dapat di tahan,
air mata pun mengalir di pipi lelaki yang bernama Matahari ini.
Aku tak pernah melihat lelaki menangis selain Bapak, ku
pun terharu mendengarnya. Lelaki ini begitu polos, hanya tak punya pendirian
yang baik dia menjadi korban mode. Cinta hanya dimaknai dengan rasa memiliki
berlebihan.
“Selama hampir tujuh bulan, kita tak pernah berjumpa.
Saat-saat seperti ini aku menyadari betapa aku jauh dari Tuhan yang mencipta
hidup. Kemarin aku dihubungi Ibu Bulan, mengabari Bulan terpeleset di kamar
mandi dan mengalami pendarahan. Saat di bawa kesini, kondisi fisik Bulan
benar-benar menurun. Terlalu banyak darah keluar, bayinya meninggal dalam
rahim. Tak lama, Bulan menghembuskan napas terakhir tepat saat Bulan menjawab
panggilan azan. Di sampingnya aku melihat Bulan yang diam untuk selamanya. Aku
lemas dan menangis di tubuh yang tak lagi mendengar ku. Aku harap, kami berdua
diampuni. Aku mengingat surat terakhir yang ku terima. Bulan pun banyak memohon
ampun atas kesalahan kami. Berharap pada Tuhan untuk memberi kesempatan
memperbaiki kepercayaanNya yang tak kami jaga dengan baik. Dan sekarang aku
sendiri...”, Matahari menutup wajahnya yang terus mengalirkan air mata.
Aku ingat dia laki-laki bukan mahrom, aku hampir saja
ingin menepuk-nepuk pundaknya. Aku pun larut dalam hujan pagi ini. Aku tak bisa
berkomentar banyak. Aku melihat sebuah tas bayi yang dibawanya, mungkin itu
alasannya kembali kesini. Bercerita dengan orang yang tak kenalnya, sedikit
mengurangi perihnya. Ternyata mendengarkan sudah menjadi separuh solusi. Dan
mungkin, Matahari menganggap kita tak akan bertemu. Jadi ia dapat bercerita
leluasa tanpa khawatir malu terhadap kesalahannya. Lagi-lagi Allah menunjukkan
kuasaNya pada ku, bedanya aku masih bisa melihat Ratu dan Aishi baik-baik saja.
Masih berkesempatan memperbaiki diri sebelum menghadap Penguasa Hidup.
Saat perjalanan kita terlalu mulus dan lancar, tak jarang
kita mencari tantangan yang belum tentu kita mampu lewati. Perjalanan hidup
orang lain, kita cari sejuta hikmahnya. Tentu hikmah adalah mutiara di dasar
laut. Kita perlu menyelam yang dalam untuk menemukan rumah mutiara tumbuh. Lalu
kita berusaha lagi mengetuk rumah mutiara itu untuk bisa menikmati indahnya. Tak banyak orang
bertahan menyelam hingga ke dasar. Semua harus dilalui dengan upaya. Semakin pahit upaya,
semakin manis hasilnya. Pencipta kita lebih memahami sejauh apa kekuatan kita.
Rintik hujan pagi ini mewakili rintik hujan di hati. Maafkan kami, wahai
Pemelihara Hidup. Kami terlalu lalai menikmati indahnya hidup, hingga mudah
terlupa tujuan hidup ini. Aku menengadah tangan, ingin merasakan hujan di
jemari ku yang bergetar karena memintal pinta. Aku hanya ingin, Pencipta ku
tersenyum melihat tarian hidup yang ku persembahkan untukNya. Semua yang ku
upayakan akan sia-sia bila tanpaNya. Aku mencintai hujan pelangi hari ini,
Allah.. Tetaplah genggam jemari ku, peluk aku dan temani tangis dan tawa ku.
Cukup bagi ku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar