Menjadi
Aisyah yang Cerdas
Dengan pengertian, Bu Stefi datang mengunjungi ku. Aku
amat merindukan Ratu. Bu Stefi mengajak ku berakhir pekan di rumah tempat
tinggal Ratu. Semangat ku meminta ijin Bapak. Menyenangkan sekali, banyak yang
ingin ku ceritakan padanya.
Aku dan Bu Stefi memasuki sebuah
pekarangan yang cukup luas. Di pintu gerbangnya tertulis, “laki-laki hanya di
teras depan”. Di situ aku perhatikan ini tempat kontrakan putri. Kebunnya
terawat dan bersih tanpa sampah. Kamar Ratu ada di ujung lorong, aku berdebar.
Bagaimana keadaannya disini?
“Assalamu’alaikum..”, sapa Bu
Stefi sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumussalam.. Ibu..
Bunga…!!!”, jawab Ratu hangat.
Setelah
mencium tangan dan kedua pipi Bu Stefi, Ratu langsung memeluk ku erat dan lama.
Aku pun menyambutnya dengan sedikit terharu. Ratu masih cantik, wajahnya lebih
bersinar. Untuk beberapa detik kami berdua terdiam dalam pelukan kerinduan.
Sampai air bening di mata Ratu mengalir, Ratu melepas pelukannya untuk mengusap
tetesan di pipinya.
“Ayo, masuk ke dalam”, ajak Ratu.
“Ibu ada jam mengajar satu jam lagi, Ibu langsung pamit
saja. Besok sore Ibu antar bunga pulang”, jawab Bu Stefi yang langsung beranjak
menuju halaman depan rumah.
Aku pun segera
masuk ke dalam kamar Ratu, wangi dan bersih. Aku melihat tumpukan pakaian yang
belum pernah ku lihat sebelumnya. Beberapa gamis dan beberapa kain kerudung. Di
sudut ruangan juga ada beberapa buku dan Al-Qur’an.
“Bunga semakin anggun dengan jilbab”, kata Ratu sambil
mengusap kepala ku.
Aku tersenyum,
telah lama ku rindukan usapan kepalanya. Lalu aku memegang tangannya yang
semakin berisi. Aku memandangi wajah Ratu yang semakin cantik dan ada bertambah
gemuk.
“Aku merindukan mu, kak”, hanya kalimat itu yang ingin ku
ucap selama ini tak bertemu.
“Sudah dua bulan lebih, kandungan ku Alhamdulillah
semakin berkembang baik.
Teman-teman di sini sangat baik. Kita solat berjama’ah,
makan bersama, kajian dan membaca Al-Qur’an bersama. Kakak diberi beberapa
gamis yang cantik, insya Allah kakak pun selalu berjilbab. Kakak kerja di toko
buku seberang jalan, cukup untuk beraktifitas positif dan tabungan. Karena
biaya hidup kakak semua dibantu Bu Arlin dan Bu Stefi”, cerita kakak panjang
lebar.
“Alhamdulillah, masih ada orang yang baik mau bantu kita.
Aku dan Bapak banyak belajar sekarang. Semua ada hikmahnya. Aku pun makin
sering menulis sejak diberi seperangkat computer oleh kakak kelas yang tahu
kegemaran ku menulis. Ini aku bawa beberapa tulisan ku, untuk kakak baca”,
cerita ku pun dengan semangat.
Hingga larut
malam kami bercerita banyak tentang hari-hari yang kami lalui. Yang paling
membuat senyum kami tak surut adalah saat kakak menceritakan tentang seorang
istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah RA. Perempuan cerdas yang menyenangkan. Selama
ini aku belum pernah belajar tentang perempuan hebat dalam sejarah Islam.
Ternyata banyak tokohnya yang amat mengagumkan karyanya. Mencari mutiara itu
memang harus menyelami lautan untuk menemukannya. Kita lebih mudah mendapat
cerita tidak bermutu dari orang-orang yang sama sekali tidak menginspirasi.
Dari cerita
kakak, aku merasa sangat perlu banyak belajar lagi mencari teladan perempuan
hebat. Ku pikir selama ini, aku tidak punya tokoh yang bisa ku teladani.
Teman-teman ku di sekolah, tak sedikit yang mengagumi tokoh yang menghiasi
industry hiburan, mengikuti gaya hidup yang serba mimpi dan tidak nyata. Aku
merasa kering, teman-teman di rohis pun masih sangat jarang diskusi tentang
tokoh Islam yang punya jasa besar untuk kemuliaan Islam.
Teori-teori
yang kami pelajari di sekolah adalah tokoh yang memisahkan ilmu dunia dan iman.
Seolah dunia dengan keimanan adalah dua sisi mata uang yang tidak pernah
bersitatap. Malam ini aku tidur dengan mimpi sebagai ilmuwan pertanian yang
soliha. Tidurku sambil mengukir rekahan senyum.
“Alhamdulillah…”
Ujung malam,
aku terbangun mendengar isak tangis di sebelah tempat ku tidur. Perlahan ku
buka mata, ku melihat Ratu di balik mukena menitikkan air mata di atas sajadah.
Aku mendengar jelas doa - doa yang diucapnya. Aku pun tak kuasa membendung
tetesan air mata ku yang turun begitu saja. Aku tetap pura-pura tertidur, tak
mau mengganggu Ratu.
“Terima kasih telah membuat aku kembali berjalan di jalan
yang baik. Jaga Bapak, Ibu dan Bunga. Aku tak mampu menjaga mereka lagi. Ada
janin yang Allah titip di rahim ku, yang harus ku jaga. Ampuni kelalaian kami
menghadap Allah. Aku tak punya apa-apa untuk membesarkan anak ini. Hanya Allah
cukup bagi ku, yang akan membantu ku di tiap langkah”, akhir doa Ratu diiringi
zikir sepanjang malam hingga azan subuh berkumandang.
Ratu
membangunkan, aku pun berusaha menutupi kesedihan ku lalu langsung bergegas
solat subuh di ruang khusus solat di tengah serambi depan. Pertama kali aku
merasakan subuh yang luar biasa. Teman-teman serumah kontrakan ini begitu
seperti keluarga. Subuh berjama’ah ini begitu menyenangkan. Seperti diantara
bidadari surga. Setelah solat subuh, kami membaca Al-Qur’an bersama. Ditutup
dengan kajian beberapa menit.
Setelah itu,
kakak dan beberapa temannya yang mendapat giliran piket masak hari ini
menyiapkan menu hari ini. Aku belum tertarik untuk ke dapur, aku lebih tertarik
menghabiskan waktu bersama buku bacaan. Salah satu buku yang yang ada di meja
ada “Khodijah The Greatest Love of Muhammad Saw” dan “Aisyah is Special Woman”.
Aku membaca dari halaman depan mencari bagian yang bisa ku jadikan inspirasi
menulis ku.
Hingga sore
aku dijemput Bu Stefi kembali ke rumah. Aku meminjam kedua buku tadi untuk aku
selesaikan di rumah. Dengan senang hati, kakak memberikannya.
“Tidak ada kata terlambat untuk kita memperbaiki diri”,
kata Ratu sesaat sebelum aku berpamitan.
Aku tersenyum,
lega melihat perubahan positif Ratu.
Ratu mengajari aku untuk menyikapi ujian menjadikan kita jadi orang yang lebih
baik dari sebelumnya. Walau ku tahu, tidaklah mudah berada di posisi Ratu.
Ujian tak pernah jadi baik, jika kita tak membaikkan diri.
“Assalamu’alaikum..”, sapa ku saat
melihat Bapak sedang membersihkan halaman depan rumah yang langsung ku peluk.
“Wa’alaikumussalam..”, jawab Bapak agak kaget dengan
sikap ku yang tak biasa mengucap salam.
Bu Stefi hanya
tersenyum melihat tingkah ku.
“Mari masuk Bu Stefi, minum teh manis hangat dulu”, ajak
Bapak.
Kami bertiga
masuk ke dalam ruang tengah. Aku menyeduhkan tiga cangkir teh manis hangat.
Kami berbincang tentang keadaan Ratu.
“Alhamdulillah, Ratu benar-benar kembali ke jalan Allah.
Banyak rejeki melimpah untuknya. Ratu pun terbiasa bekerja keras. Sepulang
menjaga toko buku, selain kajian Ratu juga menerima jahitan dari orang-orang
sekitar. Ada sebuah mesin jahit yang lama tak digunakan Bu Arlin, diberikan
pada Ratu. Semangatnya untuk menjaga kesehatan juga baik sekali”, jelas Bu
Stefi menentramkan Bapak.
“Alhamdulillah”, hanya kata itu yang mampu Bapak ucapkan.
Aku dan bapak
tersenyum penuh syukur mendengar cerita Bu Stefi.
“Untuk biaya persalinan dan
kebutuhan bayi semua sudah ada donatur yang mau membantu, mohon doanya saja. Karena bayi yang tanpa ayah punya
perlakuan berbeda untuk mengurus administrasi. Dan ini menjadi bentuk ibadah
tertinggi untuk laki-laki baik yang mau menikahi perempuan korban kekonyolan”,
jelas Bu Stefi agak emosi, sedih.
“Kami selalu mendoakan Ratu agar
dimudahkan”, jawab Bapak pelan.
Sesaat setelah
bercerita, Bu Stefi berpamitan. Aku dan Bapak mengantar Bu Stefi hingga halaman
depan. Bu Stefi banyak membantu keluarga kami.
Dalam waktu
dua pekan aku menghabiskan buku bacaan dari Ratu. Dengan keadaan hati aku dan
Ratu yang lebih baikan, aku memberanikan lagi menulis tema perempuan. Perempuan
menjadi bahan tulisan ku yang tak habis-habisnya. Bukan karena ingin dominasi
gender, kata orang seperti itu. Aku melihat perempuan saat ini tak banyak yang
dapat dijadikan inspirasi. Perempuan lebih sibuk dengan penampilan dirinya.
Padahal masyarakat menunggu karya perempuan untuk kehidupan.
Di sekolah aku
sering mengikuti perlombaan menulis. Karya ku amat sederhana. Seperti buku yang
pernah ku baca, “apa yang dari hati akan sampai ke hati”. Dan lewat tulisan aku
belajar mencipta karya keabadian.
Tulisan
terakhir ku yang cukup mendapat perhatian adalah “Indah Menjadi Aisyah”. Aku
menjadi amat terpesona dengan kisah perempuan seperti Aisyah. Sekalipun masih
banyak perempuan Islam lain yang juga inspiratif. Khodijah yang amat sabar,
menjadi satu-satunya perempuan yang dicintai Nabi Muhammad Saw. Tak tergantikan
dengan apapun. Menjadi tambatan dan sandaran ketika perjuangan Islam belum
diterima. Al Khonsa, yang saat masih belum Islam adalah perempuan lemah yang
mudah patah hatinya. Namun ketika cahaya Islam berpendar di hatinya, Al Khonsa
menjadi ikhlas kehilangan ke empat putranya dalam waktu yang berdekatan.
Aku bukanlah Khodijah yang mulia, Aisyah yang cerdas
ataupun Al Khonsa yang tangguh. Aku hanya setangkai bunga yang hidup di akhir
jaman dan belajar menjadi soliha perhiasan dunia. Perhiasan untuk pecinta
Penciptanya. Mewangikan dan mengindahkan taman surga. Mengabdi dengan amanah
bakat yang ku persembahkan untuk pada Maha Hidup. Mengelola bumi lebih baik dari
sebelumnya. Menjejakkan karya untuk dunia...
Bunga Surga yang Melengkapi Dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar