Sabtu, 08 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag. 3 Menjadi Aisyah yang Cerdas



Menjadi Aisyah yang Cerdas

Dengan pengertian, Bu Stefi datang mengunjungi ku. Aku amat merindukan Ratu. Bu Stefi mengajak ku berakhir pekan di rumah tempat tinggal Ratu. Semangat ku meminta ijin Bapak. Menyenangkan sekali, banyak yang ingin ku ceritakan padanya.
              Aku dan Bu Stefi memasuki sebuah pekarangan yang cukup luas. Di pintu gerbangnya tertulis, “laki-laki hanya di teras depan”. Di situ aku perhatikan ini tempat kontrakan putri. Kebunnya terawat dan bersih tanpa sampah. Kamar Ratu ada di ujung lorong, aku berdebar. Bagaimana keadaannya disini?
              “Assalamu’alaikum..”, sapa Bu Stefi sambil mengetuk pintu.
              “Wa’alaikumussalam.. Ibu.. Bunga…!!!”, jawab Ratu hangat.
Setelah mencium tangan dan kedua pipi Bu Stefi, Ratu langsung memeluk ku erat dan lama. Aku pun menyambutnya dengan sedikit terharu. Ratu masih cantik, wajahnya lebih bersinar. Untuk beberapa detik kami berdua terdiam dalam pelukan kerinduan. Sampai air bening di mata Ratu mengalir, Ratu melepas pelukannya untuk mengusap tetesan di pipinya.
              “Ayo, masuk ke dalam”, ajak Ratu.
              “Ibu ada jam mengajar satu jam lagi, Ibu langsung pamit saja. Besok sore Ibu antar bunga pulang”, jawab Bu Stefi yang langsung beranjak menuju halaman depan rumah.
Aku pun segera masuk ke dalam kamar Ratu, wangi dan bersih. Aku melihat tumpukan pakaian yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Beberapa gamis dan beberapa kain kerudung. Di sudut ruangan juga ada beberapa buku dan Al-Qur’an.
              “Bunga semakin anggun dengan jilbab”, kata Ratu sambil mengusap kepala ku.
Aku tersenyum, telah lama ku rindukan usapan kepalanya. Lalu aku memegang tangannya yang semakin berisi. Aku memandangi wajah Ratu yang semakin cantik dan ada bertambah gemuk.
              “Aku merindukan mu, kak”, hanya kalimat itu yang ingin ku ucap selama ini tak bertemu.
              “Sudah dua bulan lebih, kandungan ku Alhamdulillah semakin berkembang baik.
              Teman-teman di sini sangat baik. Kita solat berjama’ah, makan bersama, kajian dan membaca Al-Qur’an bersama. Kakak diberi beberapa gamis yang cantik, insya Allah kakak pun selalu berjilbab. Kakak kerja di toko buku seberang jalan, cukup untuk beraktifitas positif dan tabungan. Karena biaya hidup kakak semua dibantu Bu Arlin dan Bu Stefi”, cerita kakak panjang lebar.
              “Alhamdulillah, masih ada orang yang baik mau bantu kita. Aku dan Bapak banyak belajar sekarang. Semua ada hikmahnya. Aku pun makin sering menulis sejak diberi seperangkat computer oleh kakak kelas yang tahu kegemaran ku menulis. Ini aku bawa beberapa tulisan ku, untuk kakak baca”, cerita ku pun dengan semangat.
Hingga larut malam kami bercerita banyak tentang hari-hari yang kami lalui. Yang paling membuat senyum kami tak surut adalah saat kakak menceritakan tentang seorang istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah RA. Perempuan cerdas yang menyenangkan. Selama ini aku belum pernah belajar tentang perempuan hebat dalam sejarah Islam. Ternyata banyak tokohnya yang amat mengagumkan karyanya. Mencari mutiara itu memang harus menyelami lautan untuk menemukannya. Kita lebih mudah mendapat cerita tidak bermutu dari orang-orang yang sama sekali tidak menginspirasi.
Dari cerita kakak, aku merasa sangat perlu banyak belajar lagi mencari teladan perempuan hebat. Ku pikir selama ini, aku tidak punya tokoh yang bisa ku teladani. Teman-teman ku di sekolah, tak sedikit yang mengagumi tokoh yang menghiasi industry hiburan, mengikuti gaya hidup yang serba mimpi dan tidak nyata. Aku merasa kering, teman-teman di rohis pun masih sangat jarang diskusi tentang tokoh Islam yang punya jasa besar untuk kemuliaan Islam.
Teori-teori yang kami pelajari di sekolah adalah tokoh yang memisahkan ilmu dunia dan iman. Seolah dunia dengan keimanan adalah dua sisi mata uang yang tidak pernah bersitatap. Malam ini aku tidur dengan mimpi sebagai ilmuwan pertanian yang soliha. Tidurku sambil mengukir rekahan senyum.
  “Alhamdulillah…”
Ujung malam, aku terbangun mendengar isak tangis di sebelah tempat ku tidur. Perlahan ku buka mata, ku melihat Ratu di balik mukena menitikkan air mata di atas sajadah. Aku mendengar jelas doa - doa yang diucapnya. Aku pun tak kuasa membendung tetesan air mata ku yang turun begitu saja. Aku tetap pura-pura tertidur, tak mau mengganggu Ratu.
              “Terima kasih telah membuat aku kembali berjalan di jalan yang baik. Jaga Bapak, Ibu dan Bunga. Aku tak mampu menjaga mereka lagi. Ada janin yang Allah titip di rahim ku, yang harus ku jaga. Ampuni kelalaian kami menghadap Allah. Aku tak punya apa-apa untuk membesarkan anak ini. Hanya Allah cukup bagi ku, yang akan membantu ku di tiap langkah”, akhir doa Ratu diiringi zikir sepanjang malam hingga azan subuh berkumandang.
Ratu membangunkan, aku pun berusaha menutupi kesedihan ku lalu langsung bergegas solat subuh di ruang khusus solat di tengah serambi depan. Pertama kali aku merasakan subuh yang luar biasa. Teman-teman serumah kontrakan ini begitu seperti keluarga. Subuh berjama’ah ini begitu menyenangkan. Seperti diantara bidadari surga. Setelah solat subuh, kami membaca Al-Qur’an bersama. Ditutup dengan kajian beberapa menit.
Setelah itu, kakak dan beberapa temannya yang mendapat giliran piket masak hari ini menyiapkan menu hari ini. Aku belum tertarik untuk ke dapur, aku lebih tertarik menghabiskan waktu bersama buku bacaan. Salah satu buku yang yang ada di meja ada “Khodijah The Greatest Love of Muhammad Saw” dan “Aisyah is Special Woman”. Aku membaca dari halaman depan mencari bagian yang bisa ku jadikan inspirasi menulis ku.
Hingga sore aku dijemput Bu Stefi kembali ke rumah. Aku meminjam kedua buku tadi untuk aku selesaikan di rumah. Dengan senang hati, kakak memberikannya.
              “Tidak ada kata terlambat untuk kita memperbaiki diri”, kata Ratu sesaat sebelum aku berpamitan.
Aku tersenyum, lega melihat perubahan positif  Ratu. Ratu mengajari aku untuk menyikapi ujian menjadikan kita jadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Walau ku tahu, tidaklah mudah berada di posisi Ratu. Ujian tak pernah jadi baik, jika kita tak membaikkan diri.
              “Assalamu’alaikum..”, sapa ku saat melihat Bapak sedang membersihkan halaman depan rumah yang langsung ku peluk.
              “Wa’alaikumussalam..”, jawab Bapak agak kaget dengan sikap ku yang tak biasa mengucap salam.
Bu Stefi hanya tersenyum melihat tingkah ku.
              “Mari masuk Bu Stefi, minum teh manis hangat dulu”, ajak Bapak.
Kami bertiga masuk ke dalam ruang tengah. Aku menyeduhkan tiga cangkir teh manis hangat. Kami berbincang tentang keadaan Ratu.
              “Alhamdulillah, Ratu benar-benar kembali ke jalan Allah. Banyak rejeki melimpah untuknya. Ratu pun terbiasa bekerja keras. Sepulang menjaga toko buku, selain kajian Ratu juga menerima jahitan dari orang-orang sekitar. Ada sebuah mesin jahit yang lama tak digunakan Bu Arlin, diberikan pada Ratu. Semangatnya untuk menjaga kesehatan juga baik sekali”, jelas Bu Stefi menentramkan Bapak.
              “Alhamdulillah”, hanya kata itu yang mampu Bapak ucapkan.
Aku dan bapak tersenyum penuh syukur mendengar cerita Bu Stefi.
              “Untuk biaya persalinan dan kebutuhan bayi semua sudah ada donatur yang mau membantu, mohon doanya saja. Karena bayi yang tanpa ayah punya perlakuan berbeda untuk mengurus administrasi. Dan ini menjadi bentuk ibadah tertinggi untuk laki-laki baik yang mau menikahi perempuan korban kekonyolan”, jelas Bu Stefi agak emosi, sedih.
              “Kami selalu mendoakan Ratu agar dimudahkan”, jawab Bapak pelan.
Sesaat setelah bercerita, Bu Stefi berpamitan. Aku dan Bapak mengantar Bu Stefi hingga halaman depan. Bu Stefi banyak membantu keluarga kami.
Dalam waktu dua pekan aku menghabiskan buku bacaan dari Ratu. Dengan keadaan hati aku dan Ratu yang lebih baikan, aku memberanikan lagi menulis tema perempuan. Perempuan menjadi bahan tulisan ku yang tak habis-habisnya. Bukan karena ingin dominasi gender, kata orang seperti itu. Aku melihat perempuan saat ini tak banyak yang dapat dijadikan inspirasi. Perempuan lebih sibuk dengan penampilan dirinya. Padahal masyarakat menunggu karya perempuan untuk kehidupan.
Di sekolah aku sering mengikuti perlombaan menulis. Karya ku amat sederhana. Seperti buku yang pernah ku baca, “apa yang dari hati akan sampai ke hati”. Dan lewat tulisan aku belajar mencipta karya keabadian.
Tulisan terakhir ku yang cukup mendapat perhatian adalah “Indah Menjadi Aisyah”. Aku menjadi amat terpesona dengan kisah perempuan seperti Aisyah. Sekalipun masih banyak perempuan Islam lain yang juga inspiratif. Khodijah yang amat sabar, menjadi satu-satunya perempuan yang dicintai Nabi Muhammad Saw. Tak tergantikan dengan apapun. Menjadi tambatan dan sandaran ketika perjuangan Islam belum diterima. Al Khonsa, yang saat masih belum Islam adalah perempuan lemah yang mudah patah hatinya. Namun ketika cahaya Islam berpendar di hatinya, Al Khonsa menjadi ikhlas kehilangan ke empat putranya dalam waktu yang berdekatan.

Aku bukanlah Khodijah yang mulia, Aisyah yang cerdas ataupun Al Khonsa yang tangguh. Aku hanya setangkai bunga yang hidup di akhir jaman dan belajar menjadi soliha perhiasan dunia. Perhiasan untuk pecinta Penciptanya. Mewangikan dan mengindahkan taman surga. Mengabdi dengan amanah bakat yang ku persembahkan untuk pada Maha Hidup. Mengelola bumi lebih baik dari sebelumnya. Menjejakkan karya untuk dunia...

Bunga Surga yang Melengkapi Dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar