Sore ini berbeda, dalam perjalanan membangun ilmu di kampus juang aku
menikmati gelegar guntur dan guruh bersahutan. Menyambut tumpahan air hujan
yang dibawa awan mendung. Detik kepulangan ku diiringi pelukan gerimis yang ku
tampung dengan berjuta pinta doa untuk dapat rejeki baik. Rejeki baik yang
dapat tetap menjaga kualitas ibadah dan akhlaq. Beserta seorang yang membri
bintang kehidupan segera hadir melengkapi ruang kisah ini.
Berjalan di sebuah pemondokan putri di sudut kota Gede. Pertama kali
menjejakkan kaki di pesantren yang katanya tempat para santri mendapat siraman
ilmu yang menyenangkan. Hanya berpikir ilmu dan ilmu. Belum memikirkan betapa
rumitnya kehidupan yang dianugrahi suka dan duka.
Menaiki anak tangga yang tingginya tidak proporsional, ditambah
basahnya lantai karena hujan membuat hati ku sedikit menyempit. Ruangan sempit
dengan aroma kurang sedap, ditambah banyaknya barang tidak sesuai. Kamar
berukuran kurang lebih 5x5 meter digunakan untuk hampir 20 anak.
Napas ku tercekat, gelap di sudut ruangan karena listrik tidak
mengalir. Makan hanya dengan lauk seadanya, di tengah ruangan pengap yang
dikelilingi rak buku, lemari pakaian dan gantungan baju. Apa harus begini
tempat pembetukan karakter anak-anak yang nantinya menjadi cahaya umat? Dididik
di tempat yang tidak layak dan terlalu tidak memanusiakan. Bukan sederhana dan
kebersahajaan yang tampak. Tapi lorong sempit kita memandang hidup yang keras
ini.
Ataukah hanya lorong yang baik dapat diterima sesuai dengan harga yang
sesuai?
Kehidupan ini tidak anya sebatas harga, tapi cahaya umat hanya dapat
cemerlang dengan mengilmui sistem aturan Islam. Tidak terjebak sebatas ritus
yang nyaris mematikan fungsi kekhalifahan kita..
Belajarlah di tempat yang memang layak memuliakan ilmu dengan sikap yang
anggun menatap dunia sebagai jembatan firdaus.
Kegelisahan sepulang dari sebuah pesantren yang penuh dengan dinamika
hidup yang terlalu apa adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar