Duduk di kantin kampus menjelang senja,
menunggu dosen yang tak jelas kemana dan dimana. Kemarin menyempat membuka
majalah Tempo edisi Maret 2013 yang dijual. Mungkin tak terlalu banyak headline
berita yang menarik buat ku yang memang kurang tertarik pada pemberitaan
politis. Yah, memang itu jadi kekurangan. Apatis dengan nilai politis yang kini
abu-abu melihat kebenaran. Dan ini jelas bukan sikap yang baik. Sebab dunia tak
hanya masalah pendidikan, kebudayaan, psikologi, Islam, agama, sosial, bahasa
dan masih banyak lagi.
Kehidupan manusia memang diwarnai dengan bakat
masalah kompleks yang menjadi ukuran kualitas diri kita menghadapinya.
Satu topik yang paling menarik, bahkan
menggugah. “Adopsi Paksa”, begitu tulisan di salah satu kolom kecil yang
menceritakan kondisi masyarakat Australia yang mendapat kebijakan pemerintahnya
sekitar tahun 1950-1970an. Berdasarkan penelitian, ada sekitar 225.000 bayi
yang mengalami adopsi paksa. Disebut demikian karena banyak ibu yang
dikondisikan untuk memberikan anaknya agar dapat diasuh keluarga lain.
Menariknya adalah anak-anak adopsi ini merupakan anak yang lahir di luar
pernikahan, tanpa ayah dan status keluarga yang jelas. Terbayang kondisi
sosiomasyarakat ketika itu.
Tidak berlebihan bila ini disebut dengan
“ledakan”, fenomena kehidupan yang jauh dari nilai keberadaban. Entah,
peradaban mana yang bisa dikatakan maju? Ukuran kemajuan suatu negara lebih
dilihat pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kering nilai. Disini
kita mengatakan untuk tidak menyetujui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun lebih pada kesadaran akan pentingnya mensejajarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat yang sehat.
Pemerintah Australia kini memberi kompensasi
kepada keluarga yang terpisah sekitar Aus$ 50.000.00 atau sekitar Rp.
50.000.000.000. Rp 50 miliar tersebut untuk biaya rehabilitasi psikis yang
dialami korban. Bukan uang, namun luka yang ditimbulkan tidak mudah begitu saja
dihilangkan. Semoga ini bukan dramatisasi, tapi lebih pada introspeksi.
Indonesia yang memiliki budaya timur, kini
mulai berjalan ke arah itu. Walau secara geografis Indonesia dan Australia
berada pada garis bujur dan lintang yang tidak terlalu jauh, namun secara
kebudayaan “seharusnya” berbeda. Kini Indonesia telah habis terjajah psikologis
dengan gempuran budaya yang semua masuk tanpa filter. Indonesia terlalu “naif”,
dengan dalih globalisasi kita lantas menerima berbagai budaya hingga menggeser
budaya nenek moyang secara langsung.
Pemuda Indonesia sekarang secara umum tidak
lagi dikatakan sedikit yang menjadi korban tren gaya hidup bebas seperti ini.
Bila “ledakan” ini tidak segera ditangani, akan lebih banyak ketidakjelasan
yang akan tampak. Banyak anak yang membangun rumah tangga dari serpihan yang
rapuh, tidak berdasarkan kesadaran melanjutkan kehidupan. Anak-anak yang
terlahir akan krisis identitas, itu akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan.
Tidakkah kita menyiapkan generasi yang lebih
baik esok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar