Rabu, 03 April 2013

adopsi paksa


Duduk di kantin kampus menjelang senja, menunggu dosen yang tak jelas kemana dan dimana. Kemarin menyempat membuka majalah Tempo edisi Maret 2013 yang dijual. Mungkin tak terlalu banyak headline berita yang menarik buat ku yang memang kurang tertarik pada pemberitaan politis. Yah, memang itu jadi kekurangan. Apatis dengan nilai politis yang kini abu-abu melihat kebenaran. Dan ini jelas bukan sikap yang baik. Sebab dunia tak hanya masalah pendidikan, kebudayaan, psikologi, Islam, agama, sosial, bahasa dan masih banyak lagi.
Kehidupan manusia memang diwarnai dengan bakat masalah kompleks yang menjadi ukuran kualitas diri kita menghadapinya.
Satu topik yang paling menarik, bahkan menggugah. “Adopsi Paksa”, begitu tulisan di salah satu kolom kecil yang menceritakan kondisi masyarakat Australia yang mendapat kebijakan pemerintahnya sekitar tahun 1950-1970an. Berdasarkan penelitian, ada sekitar 225.000 bayi yang mengalami adopsi paksa. Disebut demikian karena banyak ibu yang dikondisikan untuk memberikan anaknya agar dapat diasuh keluarga lain. Menariknya adalah anak-anak adopsi ini merupakan anak yang lahir di luar pernikahan, tanpa ayah dan status keluarga yang jelas. Terbayang kondisi sosiomasyarakat ketika itu.
Tidak berlebihan bila ini disebut dengan “ledakan”, fenomena kehidupan yang jauh dari nilai keberadaban. Entah, peradaban mana yang bisa dikatakan maju? Ukuran kemajuan suatu negara lebih dilihat pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kering nilai. Disini kita mengatakan untuk tidak menyetujui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun lebih pada kesadaran akan pentingnya mensejajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat yang sehat.
Pemerintah Australia kini memberi kompensasi kepada keluarga yang terpisah sekitar Aus$ 50.000.00 atau sekitar Rp. 50.000.000.000. Rp 50 miliar tersebut untuk biaya rehabilitasi psikis yang dialami korban. Bukan uang, namun luka yang ditimbulkan tidak mudah begitu saja dihilangkan. Semoga ini bukan dramatisasi, tapi lebih pada introspeksi.
Indonesia yang memiliki budaya timur, kini mulai berjalan ke arah itu. Walau secara geografis Indonesia dan Australia berada pada garis bujur dan lintang yang tidak terlalu jauh, namun secara kebudayaan “seharusnya” berbeda. Kini Indonesia telah habis terjajah psikologis dengan gempuran budaya yang semua masuk tanpa filter. Indonesia terlalu “naif”, dengan dalih globalisasi kita lantas menerima berbagai budaya hingga menggeser budaya nenek moyang secara langsung.
Pemuda Indonesia sekarang secara umum tidak lagi dikatakan sedikit yang menjadi korban tren gaya hidup bebas seperti ini. Bila “ledakan” ini tidak segera ditangani, akan lebih banyak ketidakjelasan yang akan tampak. Banyak anak yang membangun rumah tangga dari serpihan yang rapuh, tidak berdasarkan kesadaran melanjutkan kehidupan. Anak-anak yang terlahir akan krisis identitas, itu akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan.
Tidakkah kita menyiapkan generasi yang lebih baik esok?      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar