Awalnya, kami semua tim berencana untuk ke Jakarta menemui Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri di kawasan Menteng. Berdasarkan kebutuhan,
ternyata ijin dari atasan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas
Gadjah Mada hanya untuk tiga orang. Lalu hanya three musketeers yang berangkat,
Pak Puthut, Pak Awan, dan (Pak) Anto.
Aku pun merencanakan hal lain. Namun sehari sebelum berangkat, (Pak)
Anto mengatakan untuk keberangkatan ku jadi, dengan dana Sekolah Pasar.
Ya, Sekolah Pasar yang kini berganti nama dengan Sekolah Pasar Rakyat
dengan nakhoda Pak Puthut. Pertemuan di gedung Anggrek kompleks Kementrian
Perdagangan tidak seperti harapan. Ruang kami untuk menjelaskan jalan juang
kami hanya dibatasi lima menit pengantar, video durasi lima belas menit hanya
ditampilkan tujuh menit, dan tiga menit paparan singkat tambahan.
Ternyata ada banyak pihak yang dihadirkan dalam pertemuan ini.
Secofindo, Aprindo, APPSI, IKAPI dan Danamon peduli. Tentu waktu yang harus
terbagi. Mungkin seharusnya bukan pertemuan Sekolah Pasar, namun “Perang
Pasar”. Bagaimana tidak, pasar rakyat yang disejajarkan dengan pasar modern
ditambah bank swasta yang ku dengar ada dana asing juga. Pembahasan hanya
sebatas pasar bersih, pasar sehat, pasar rapi. Bukannya nasib belasan juta
pedagang yang menggantungkan hidup sehari-hari di pasar. Atau kita benar-benar
akan menggantungkan nasib mereka dalam tiupan angin ketidakpastian?
“Kami hanya menerima kritikan positif, yang negatif disimpan dulu”.
Waduh, harapan untuk jalan ini ternyata dipatahkan begitu saja oleh kalimat
tadi yang disampaikan di sela diskusi. Sederatan berkas yang kami bawa tidak
ada artinya dengan peryataan bahwa “Revitalisasi pasar meningkatkan 50-80%
omset pedagang”. Ah, kami tidak bisa mempertanyakan validasi data yang
diucapkan. Konsep pasar mandiri yang kami usung hanya menjadi angin yang keluar
melalui sela pendingin ruangan.
Di luar gedung, kami bertemu dua orang pedagang dari Pasar Klewer,
Solo. Cerdas, kesan pertama yang ku tangkap saat berbincang tentang “drama”
yang barusan kami saksikan. Ada nuansa ketidakadilan yang dirasakan pedagang di
lapangan selama ini. Hampir tidak ada kesesuaian ku rasa. “”, kutipan ini
membuat ku kembali berpijak. “Patah hati” terhadap pemimpin bukan berarti kita
meninggalkannya sama sekali dalam kekeliruan. Namun itulah jalan juang kita
yang nyata!! Karena kesalahpahaman terhadap masalah akan membuat masalah baru.
Seminggu kemudian, kurang lebih kami dikunjungi rombongan dari Pasar
Klewer yang mana ke dua Bapak yang kami temui di Jakarta juga hadir. Pak Abdul
Kadir, dia hanya ingin sebuah ruang untuk dapat di dengar lalu dapat menikmati
kebijakan pimpinan negara kita secara bijak.
Keterlambatan ku menemui mereka karena harus ke kampus dan ke dokter.
Menyesal rasanya tidak dapat lebih lama bercerita. Perbincangan seru dan
antusias, mengharap kami bagian dari akademisi yang bahasanya mudah dipahami
rakyat untuk diterjemahkan pada pemerintah. Bukan pekerjaan mudah, tetap selalu
penuh perjuangan.
“TERUS BERJUANG, MBA’”, kalimat penutup saat perpisahan dengan
rombongan pedagang Pasar Klewer ini yang berharap kami bisa menjadi jembatan
kebutuhan mereka. Aku hanya diam, merenungi kalimat itu. Seperti sebuah amanah
perjuangan dari suara jutaan pedagang yang kini entah seperti apa?
Tulisan ini, tidak hendak menjatuhkan satu pihak pun yang tersebut
disini. Hanya sebuah kegelisahan yang membentur idealita dengan realita
masyarakat. Kini saatnya menyiapkan jawaban untuk Maha Pencipta, “apa yang
sudah kamu lakukan untuk mencintai Ku dalam perjuangan ummat?”.
Semoga perjuangan ini selalu dapat duduk dengan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar