Selasa, 05 Agustus 2014

seberkas kisah

Bismillahirrahmanirrahim
Kisah ini ku sebut, seberkas… Karena aku ingin menjadikan kisah ini hanya berkas. Ah, tapi selalu ku upayakan untuk menyelami hikmah. Imajinasi ku, ini bagian dari pendidikan sang Maha Hidup. Berawal dari pengalaman berorganisasi di awal masa sekolah menengah. Bertemu dengan berbagai warna manusia kemudian berinteraksi. Banyak hal yang ku pelajari dengan membangun kerja tim. Hampir 1 dekade usia ku, ya 10 tahunan aku sangat menikmati dunia organisasi. Dari organisasi kecil-kecilan hingga setaraf intenasional. Ku sebut ini mungkin pelarian dan pencarian makna. Makna yang semakin memahamkan akan tugas dan peran kita di bumi.
Mungkin seorang psikolog akan berkomentar, aku bukan orang yang baik bekerja dalam tim yang tidak produktif. Aku cenderung memiliki harapan dan target yang tinggi untuk melakukan sesuatu karenanya bila bertemu dengan kelompok yang tidak produktif lebih memilih sendiri. Iya, sendiri menyelesaikan kerja menuju harapan tadi. Aku meyakini, harapan adalah penggerak terkuat dari dalam diri kita. Tanpa harapan, yang kita lakukan akan kering makna. Harapan yang akan menghapus letih dan kecewa, lalu terus bergerak. Diam artinya mati.
Diawali dari sebuah mata kuliah yang “mewajibkan” membangun sebuah kerja tim. Dalam tim lebih banyak tipe “followers” yang bahagia daripada “leaders” yang siap menderita. Sarkasme istilah yang ku gunakan ini hanya sebagian kecil kekecewaan ku terhadap tim ini. Aku tidak memilih mereka, mereka yang memilih aku. Aku tidak pernah berharap dalam tim ini, namun system kampus yang menggabungkan kami dalam sebuah tim. Hampir 2 bulan kami bekerja, dan aku mulai mendapat pelajaran berharga yang mungkin seumur hidup tidak aku lupakan. Dan menuliskan ini menjadi sebuah hikmah dari berbagai kekecewaan yang terjadi.
Karakter kepemimpinan seseorang akan mempengaruhi timnya.
Aku ditawari menjadi ketua tim, karena aku punya target. Ku tolak karena aku masih meyakini laki-laki adalah pemimpin. Ini bukan bias gender, atau pikiran konservatif. Ini hanya bagian dari kegalauan melihat banyaknya laki-laki yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh. Padahal masyarakat membutuhkan itu. Aku berniat memberi kesempatan laki-laki yang memimpin. Aku akan memimpin bila laki-laki dalam tim (maaf) “impoten”.  Jelas, aku ingin laki-laki dan perempuan memiliki peran dan fungsi masing-masing. Terpilih dengan amat sangat terpaksa, seorang laki-laki yang ah, aku takut mengistilahkannya. Tapi aku liat dia cukup bertanggungjawab, yang lainnya akan ditambal oleh anggota yang lain.
Panitia dari kampus tidak jelas, berganti personel berganti kebijakan dalam selang waktu 1 bulan. Hari kami diterjunkan di masyarakat masih belum jelas kami mendapatkan lokasi. Proses berjalan lambat. Transparansi pengelolaan dana tidak disampaikan jelas. Beberapa orang dalam tim tidak berkontribusi nyata. Jarang datang, yang datang banyak yang bicara sendiri saat rapat, yang datang waktu bekerja sedikit. Ini yang aku bilang tidak produktif. Aku, sibuk mencari tambahan dana untuk mengisi kas. Aku terlalu kuatir tidak member kontribusi nyata di masyarakat. Kedatangan kita hanya memenuhi tugas kuliah, mendapat nilai lalu sudah. Walau dari kampus akan dijanjikan turun tapi, entah kapan?
Konflik bermula saat aku mulai mengambil jarak, aku tidak nyaman dengan konsep nilai yang anggota tim miliki. Diingatkan malah aku yang kemudian mendapat boomerang. Membawa pasangan tidak sah, atau pacar menjadi kebanggaan tersendiri. Ini bukan karena aku tidak punya pasangan, ini lebih pada nilai dan norma. “Mahasiswa ke masyarakat kok seperti ini??”. Pergaulan anggota tim laki-laki dan perempuan tidak berbatas. Saling pukul dan tertawa terbahak-bahak. Kemuliaan diri perempuan terletak pada kain penutup kepala yang juga menutup hati dari sikap yang buruk.
Berbicara tentang penutup kepala, ada seorang diantara kami awalnnya belum menutup kepala. Alhamdulillah berjalannya program, semua menutup kepalanya. Aku masih belum siap mengistilahkan jilbab. Karena syarat jilbab yang tidak tipis, tidak membentuk tubuh dan menutup dada belum terpenuhi. Ketidaknyaman ini membuat ku menarik diri. Aku tidak mampu melihat keburukan di depan mata tapi tidak mampu mengubahnya.
Diam ku tanda ketidaknyamananku.
Aku lebih sering diam, sehingga tim lain jarang berbicara bahkan mengajak ku. Aku bersyukur, di saat seperti ini diam menjadi lebih baik daripada berbicara yang menyakiti. Penarikan diri ku ini menjadikan aku musuh bersama. Aku sendiri, mereka berbanyak dan ketua lebih mudah mengikuti suara mayoritas. Walau suara minoritas memiliki dasar dan landasan yang jelas dan kuat namun tetap saja, kalah suara.
Setiap kerja yang ku lakukan salah, adakah mereka liat yang lain juga memiliki kesalahan yang sama? Hanya karena aku tidak dekat secara personal, maka hukuman sosial ku lebih berat. Praktik nepotisme yang ku rasakan langsung. Tidak melihatkah mereka, yang ku kerjakan adalah yang maksimal yang bisa ku upayakan. Aku berusaha untuk tidak merepotkan yang lain, selain aku tahu manajemen kerja tim ini rusak. Semua berjalan atas nama diri, bukan kelompok. Membahas jas almamater saja jadi masalah, snack yang sedikit berat diprotes, bagian kerja yang berat aku yang disuruh maju tapi giliran yang enak aku hanya mendengar cerita. Astagfirullah, tidak ada prasangka sedikit pun memiliki kisah yang seperti ini.
Mengutip kata-kata Aa Gym “teko air akan mengeluarkan isinya, bila isinya teh akan keluar teh”, manusia juga akan mengeluarkan apa isi otak dan hatinya.
Jika ada diantara anggota tim yang membaca ini, aku tidak bermaksud menjelekkan. Hanya ingin berbagi sebuah perenungan dari proses yang aku lewati untuk pelajaran kita bersama.
Akhirnya, aku kembali sendiri menyelesaikan program ku. Walau ketika program yang lain kita wajib turun tangan. Beberapa teman yang ku ceritakan masalah ini berpendapat :
1.       Ketika kondisi aman, maka internal yang bermasalah. Sebaliknya, kondisi kacau akan menjadikan kerja tim yang baik.
2.       Inilah miniatur masyarakat umum, menyalahkan tanpa ilmu dan bergerak tanpa dasar.
Wallahu’alam bishshawwab, hanya Allah Maha Hidup yang tahu. Subhanakallahumma wa bihamdika astagfiruka wa atubuilaih. Mohon maaf dan mohon ampun.
Alhamdulillah, kegiatan tanpa ruh ini usai juga. Semoga hikmahnya mendewasakan dan Allah akan menunjukkan kebenaran. Aamiin…   



Jogjakarta, 10.7.2014 11.04 pm
Khilda Maulidiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar