Bismillahirrahmanirrahim
Kisah ini ku sebut, seberkas… Karena aku ingin menjadikan
kisah ini hanya berkas. Ah, tapi selalu ku upayakan untuk menyelami hikmah.
Imajinasi ku, ini bagian dari pendidikan sang Maha Hidup. Berawal dari
pengalaman berorganisasi di awal masa sekolah menengah. Bertemu dengan berbagai
warna manusia kemudian berinteraksi. Banyak hal yang ku pelajari dengan
membangun kerja tim. Hampir 1 dekade usia ku, ya 10 tahunan aku sangat
menikmati dunia organisasi. Dari organisasi kecil-kecilan hingga setaraf
intenasional. Ku sebut ini mungkin pelarian dan pencarian makna. Makna yang
semakin memahamkan akan tugas dan peran kita di bumi.
Mungkin seorang psikolog akan berkomentar, aku bukan orang
yang baik bekerja dalam tim yang tidak produktif. Aku cenderung memiliki
harapan dan target yang tinggi untuk melakukan sesuatu karenanya bila bertemu
dengan kelompok yang tidak produktif lebih memilih sendiri. Iya, sendiri
menyelesaikan kerja menuju harapan tadi. Aku meyakini, harapan adalah penggerak
terkuat dari dalam diri kita. Tanpa harapan, yang kita lakukan akan kering
makna. Harapan yang akan menghapus letih dan kecewa, lalu terus bergerak. Diam
artinya mati.
Diawali dari sebuah mata kuliah yang “mewajibkan” membangun
sebuah kerja tim. Dalam tim lebih banyak tipe “followers” yang bahagia daripada
“leaders” yang siap menderita. Sarkasme istilah yang ku gunakan ini hanya
sebagian kecil kekecewaan ku terhadap tim ini. Aku tidak memilih mereka, mereka
yang memilih aku. Aku tidak pernah berharap dalam tim ini, namun system kampus
yang menggabungkan kami dalam sebuah tim. Hampir 2 bulan kami bekerja, dan aku
mulai mendapat pelajaran berharga yang mungkin seumur hidup tidak aku lupakan.
Dan menuliskan ini menjadi sebuah hikmah dari berbagai kekecewaan yang terjadi.
Karakter kepemimpinan seseorang akan mempengaruhi timnya.
Aku ditawari menjadi ketua tim, karena aku punya target. Ku
tolak karena aku masih meyakini laki-laki adalah pemimpin. Ini bukan bias
gender, atau pikiran konservatif. Ini hanya bagian dari kegalauan melihat
banyaknya laki-laki yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh. Padahal
masyarakat membutuhkan itu. Aku berniat memberi kesempatan laki-laki yang
memimpin. Aku akan memimpin bila laki-laki dalam tim (maaf) “impoten”. Jelas, aku ingin laki-laki dan perempuan
memiliki peran dan fungsi masing-masing. Terpilih dengan amat sangat terpaksa,
seorang laki-laki yang ah, aku takut mengistilahkannya. Tapi aku liat dia cukup
bertanggungjawab, yang lainnya akan ditambal oleh anggota yang lain.
Panitia dari kampus tidak jelas, berganti personel berganti
kebijakan dalam selang waktu 1 bulan. Hari kami diterjunkan di masyarakat masih
belum jelas kami mendapatkan lokasi. Proses berjalan lambat. Transparansi
pengelolaan dana tidak disampaikan jelas. Beberapa orang dalam tim tidak
berkontribusi nyata. Jarang datang, yang datang banyak yang bicara sendiri saat
rapat, yang datang waktu bekerja sedikit. Ini yang aku bilang tidak produktif.
Aku, sibuk mencari tambahan dana untuk mengisi kas. Aku terlalu kuatir tidak
member kontribusi nyata di masyarakat. Kedatangan kita hanya memenuhi tugas
kuliah, mendapat nilai lalu sudah. Walau dari kampus akan dijanjikan turun
tapi, entah kapan?
Konflik bermula saat aku mulai mengambil jarak, aku tidak
nyaman dengan konsep nilai yang anggota tim miliki. Diingatkan malah aku yang
kemudian mendapat boomerang. Membawa pasangan tidak sah, atau pacar menjadi
kebanggaan tersendiri. Ini bukan karena aku tidak punya pasangan, ini lebih
pada nilai dan norma. “Mahasiswa ke masyarakat kok seperti ini??”. Pergaulan
anggota tim laki-laki dan perempuan tidak berbatas. Saling pukul dan tertawa
terbahak-bahak. Kemuliaan diri perempuan terletak pada kain penutup kepala yang
juga menutup hati dari sikap yang buruk.
Berbicara tentang penutup kepala, ada seorang diantara kami
awalnnya belum menutup kepala. Alhamdulillah berjalannya program, semua menutup
kepalanya. Aku masih belum siap mengistilahkan jilbab. Karena syarat jilbab
yang tidak tipis, tidak membentuk tubuh dan menutup dada belum terpenuhi.
Ketidaknyaman ini membuat ku menarik diri. Aku tidak mampu melihat keburukan di
depan mata tapi tidak mampu mengubahnya.
Diam ku tanda ketidaknyamananku.
Aku lebih sering diam, sehingga tim lain jarang berbicara
bahkan mengajak ku. Aku bersyukur, di saat seperti ini diam menjadi lebih baik
daripada berbicara yang menyakiti. Penarikan diri ku ini menjadikan aku musuh
bersama. Aku sendiri, mereka berbanyak dan ketua lebih mudah mengikuti suara
mayoritas. Walau suara minoritas memiliki dasar dan landasan yang jelas dan
kuat namun tetap saja, kalah suara.
Setiap kerja yang ku lakukan salah, adakah mereka liat yang
lain juga memiliki kesalahan yang sama? Hanya karena aku tidak dekat secara
personal, maka hukuman sosial ku lebih berat. Praktik nepotisme yang ku rasakan
langsung. Tidak melihatkah mereka, yang ku kerjakan adalah yang maksimal yang
bisa ku upayakan. Aku berusaha untuk tidak merepotkan yang lain, selain aku
tahu manajemen kerja tim ini rusak. Semua berjalan atas nama diri, bukan
kelompok. Membahas jas almamater saja jadi masalah, snack yang sedikit berat
diprotes, bagian kerja yang berat aku yang disuruh maju tapi giliran yang enak
aku hanya mendengar cerita. Astagfirullah, tidak ada prasangka sedikit pun
memiliki kisah yang seperti ini.
Mengutip kata-kata Aa Gym “teko air akan mengeluarkan
isinya, bila isinya teh akan keluar teh”, manusia juga akan mengeluarkan apa
isi otak dan hatinya.
Jika ada diantara anggota tim yang membaca ini, aku tidak
bermaksud menjelekkan. Hanya ingin berbagi sebuah perenungan dari proses yang
aku lewati untuk pelajaran kita bersama.
Akhirnya, aku kembali sendiri menyelesaikan program ku.
Walau ketika program yang lain kita wajib turun tangan. Beberapa teman yang ku
ceritakan masalah ini berpendapat :
1.
Ketika kondisi aman, maka internal yang
bermasalah. Sebaliknya, kondisi kacau akan menjadikan kerja tim yang baik.
2.
Inilah miniatur masyarakat umum, menyalahkan
tanpa ilmu dan bergerak tanpa dasar.
Wallahu’alam bishshawwab, hanya Allah Maha Hidup yang tahu.
Subhanakallahumma wa bihamdika astagfiruka wa atubuilaih. Mohon maaf dan mohon
ampun.
Alhamdulillah, kegiatan tanpa ruh ini usai juga. Semoga
hikmahnya mendewasakan dan Allah akan menunjukkan kebenaran. Aamiin…
Jogjakarta, 10.7.2014 11.04 pm
Khilda Maulidiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar