Sabtu, 16 Agustus 2014

kematian terbaik


Kelu aku menyebut mu, jingga…
Yang kata orang itu sebuah rasa, entah apa aku benar-benar pernah merasakan rasa itu. Sebuah rasa yang katanya akan memicu hormone endorphin yang seperti zat morfin penenang. Rasa yang abstrak hadir saat terbit matahari hingga terbenamnya. Hanya ingin dirimu tahu, aku disini hampir mati rasa. Menunggu mu disini, mampu kah melewati penantian ini dengan indah?
Kini, aku tak tahu lagi menamai mu apa?
Terasa sama, masih tetap aku yang menunggu. Tanpa tahu harus seperti apa dan bagaimana? Dirimu terus hadir dalam berbagai rupa. Teman duduk ku, artis film yang ku tonton, cerita dongeng yang ku dengar. Tapi dirimu masih sembunyi di kedalaman hati mu sendiri.
Aku hanya ingin sebuah pertemuan indah yang kemudian berlanjut pada sebuah ikatan janji yang kokoh.
Tak perlu lagi basa-basi terlalu lama. Perjelaslah, aku harus dimana menghabiskan sisa waktu hidup ku? Mengabdikan ibadah ini. Menua dan belajar hidup bersama.
Usia kita terus berjalan, fisik kita ada batas waktunya. Sering aku harus berusaha menepis sepi diantara kesibukan dan kepenatan orang-orang di sekitar ku. Sepi yang senyap tanpa denting. Kemudian aku menatap langit, berbicara dengan penduduk langit. Untuk terus berjalan, membutuhkan seorang teman. Teman yang dengannya bisa bercerita banyak hal.  Menceritakan semua mimpi dan cita-cita ku.
Menjelajahi setiap relief bumi untuk terus belajar bersyukur, mengejar dan mengajar ilmu, membangun sebuah rumah peradaban.
Hanya semangat mengejar impian itu yang membuat masih kuat mengayuh sepeda kehidupan. Walau terkadang tidak jarang menerjang jalan berbatu bahkan berlubang. Hingga ban bocor, rem yang blong dan semua pernak-perniknya. Hidup adalah hidup. Jalani yang terbaik. Karena setiap yang hidup pasti akan mati. Tinggal sekarang bagaimana menyiapkan kematian yang terbaik. Iya, kematian yang terbaik sebagai rasa syukur kita pada Maha Pemberi Hidup.
Menyiapkan perbekalan kematian yang cukup dan meninggalkan jejak kehidupan yang lebih baik…
Air, tanah, udara, dan api sebagai unsur penghidupan membutuhkan perhatian. Ketika mereka tidak cukup diperhatikan, bersiaplah dengan bagaimana “cara” mereka mencari perhatian kita. Jiwa juga mungkin seperti itu, membutuhkan perhatian yang cukup untuk tetap baik. Jiwa sama halnya dengan badan kita yang membutuhkan asupan gizi. Gizi bagi jiwa adalah makna, memaknai setiap proses kehidupan. Iman, ilmu, dan amal. Gizi terbaik untuk jiwa yang kering. Sebab jiwa menuntut kebutuhannya akan Maha Penciptanya.
Waktu terus berjalan, tanpa ampun menanti lambannya kita.
Menatap mu, aku sadar. Pendar gemintang semua impian ku berkilau di mata mu. Kokoh bersama senyum mu yang meyakinkan bahwa kita bisa melewati semua dengan luar biasa. Genggaman tangan mu menjaga ku dari pedih melewati cerca dunia yang memang suka mencerca untuk orang-orang yang berbeda. Duduk dan meminum segelas teh hangat, bercerita tentang kita. Hanya itu mungkin yang ku inginkan sekarang. Atau ini sebuah kerinduan? Rindu pada sebuah rasa tanpa nama. Yang selalu berpendar ketika aku sendiri menikmati hening. Mengalun perlahan bersama music jazz yang mengalun. Pelan… Pelan… Aku menyadari, rasa ini hanya untuk Mu, Ilahi. Yang paling mengerti bagaimana dan seperti apa makhluk Mu ini. Lalu pada utusan Mu yang berjarak ratusan tahun itu. Dan akhirnya pada seorang hamba Mu yang belum juga menampakkan diri.
Semakin sering menepi dari kebisingan hidup, semakin tajam intuisi kita melihat hidup.
Hidup kita terlalu menderu, berkejaran dengan banyak hal. Tanpa kita menyadari keterengahan napas kita. Porsi kita menyendiri harus seimbang dengan keletihan kita mengejar makna hidup.
Bulan itu semakin dekat, menghampiri. Semoga tahun ini jawaban dari semua doa… aamiin.

Mumtazah, pengganti yang lebih kuat dan membangun rumah senyum beserta isinya ^^.


Bantul, DI Yogyakarta. 5 Syawal 1435 / akhir juli 2014 10.12 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar