Kelu aku menyebut mu, jingga…
Yang kata orang itu sebuah rasa, entah apa aku benar-benar
pernah merasakan rasa itu. Sebuah rasa yang katanya akan memicu hormone
endorphin yang seperti zat morfin penenang. Rasa yang abstrak hadir saat terbit
matahari hingga terbenamnya. Hanya ingin dirimu tahu, aku disini hampir mati
rasa. Menunggu mu disini, mampu kah melewati penantian ini dengan indah?
Kini, aku tak tahu lagi menamai mu apa?
Terasa sama, masih tetap aku yang menunggu. Tanpa tahu harus
seperti apa dan bagaimana? Dirimu terus hadir dalam berbagai rupa. Teman duduk
ku, artis film yang ku tonton, cerita dongeng yang ku dengar. Tapi dirimu masih
sembunyi di kedalaman hati mu sendiri.
Aku hanya ingin sebuah pertemuan indah yang kemudian
berlanjut pada sebuah ikatan janji yang kokoh.
Tak perlu lagi basa-basi terlalu lama. Perjelaslah, aku
harus dimana menghabiskan sisa waktu hidup ku? Mengabdikan ibadah ini. Menua
dan belajar hidup bersama.
Usia kita terus berjalan, fisik kita ada batas waktunya.
Sering aku harus berusaha menepis sepi diantara kesibukan dan kepenatan
orang-orang di sekitar ku. Sepi yang senyap tanpa denting. Kemudian aku menatap
langit, berbicara dengan penduduk langit. Untuk terus berjalan, membutuhkan
seorang teman. Teman yang dengannya bisa bercerita banyak hal. Menceritakan semua mimpi dan cita-cita ku.
Menjelajahi setiap relief bumi untuk terus belajar
bersyukur, mengejar dan mengajar ilmu, membangun sebuah rumah peradaban.
Hanya semangat mengejar impian itu yang membuat masih kuat
mengayuh sepeda kehidupan. Walau terkadang tidak jarang menerjang jalan berbatu
bahkan berlubang. Hingga ban bocor, rem yang blong dan semua pernak-perniknya.
Hidup adalah hidup. Jalani yang terbaik. Karena setiap yang hidup pasti akan
mati. Tinggal sekarang bagaimana menyiapkan kematian yang terbaik. Iya,
kematian yang terbaik sebagai rasa syukur kita pada Maha Pemberi Hidup.
Menyiapkan perbekalan kematian yang cukup dan meninggalkan
jejak kehidupan yang lebih baik…
Air, tanah, udara, dan api sebagai unsur penghidupan
membutuhkan perhatian. Ketika mereka tidak cukup diperhatikan, bersiaplah
dengan bagaimana “cara” mereka mencari perhatian kita. Jiwa juga mungkin
seperti itu, membutuhkan perhatian yang cukup untuk tetap baik. Jiwa sama
halnya dengan badan kita yang membutuhkan asupan gizi. Gizi bagi jiwa adalah
makna, memaknai setiap proses kehidupan. Iman, ilmu, dan amal. Gizi terbaik
untuk jiwa yang kering. Sebab jiwa menuntut kebutuhannya akan Maha Penciptanya.
Waktu terus berjalan, tanpa ampun menanti lambannya kita.
Menatap mu, aku sadar. Pendar gemintang semua impian ku
berkilau di mata mu. Kokoh bersama senyum mu yang meyakinkan bahwa kita bisa
melewati semua dengan luar biasa. Genggaman tangan mu menjaga ku dari pedih
melewati cerca dunia yang memang suka mencerca untuk orang-orang yang berbeda.
Duduk dan meminum segelas teh hangat, bercerita tentang kita. Hanya itu mungkin
yang ku inginkan sekarang. Atau ini sebuah kerinduan? Rindu pada sebuah rasa
tanpa nama. Yang selalu berpendar ketika aku sendiri menikmati hening. Mengalun
perlahan bersama music jazz yang mengalun. Pelan… Pelan… Aku menyadari, rasa
ini hanya untuk Mu, Ilahi. Yang paling mengerti bagaimana dan seperti apa
makhluk Mu ini. Lalu pada utusan Mu yang berjarak ratusan tahun itu. Dan
akhirnya pada seorang hamba Mu yang belum juga menampakkan diri.
Semakin sering menepi dari kebisingan hidup, semakin tajam
intuisi kita melihat hidup.
Hidup kita terlalu menderu, berkejaran dengan banyak hal.
Tanpa kita menyadari keterengahan napas kita. Porsi kita menyendiri harus
seimbang dengan keletihan kita mengejar makna hidup.
Bulan itu semakin dekat, menghampiri. Semoga tahun ini
jawaban dari semua doa… aamiin.
Mumtazah, pengganti yang lebih kuat dan membangun rumah
senyum beserta isinya ^^.
Bantul, DI Yogyakarta. 5 Syawal 1435 / akhir juli 2014 10.12
pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar