Sabtu, 14 Juni 2014

belajar

Belajar…
Amanah kehidupan, untuk memuliakan diri
Dengan hiasan ilmu hidup akan terang
Memahami dan bertemu Sang Maha Ilmu
Belajar untuk jadi lebih baik
Mengerti dari mana, dimana dan akan kemana kita

Belajar…
Candu bagi pecinta ilmu
Kebahagiaan bagi orang beriman
Kebutuhan bagi aktifis

Belajar…
Untuk tahu kekurangan dan menambahkan komposisi yang tepat
Untuk membangun pondasi bangunan gerakan
Untuk mengatur lalu lintas perjalanan

Belajar…
Hanya belajar
Dari belajar
Untuk belajar



Selasa, 10 Juni 2014

UNTUK MU WAHAI BUNDA


Bismillahirrahmanirrahim

UNTUK MU WAHAI BUNDA
Tema parenthing (orang tua) hari ini menjadi sangat populer, banyak pembahasan yang mengarahkan pada bagaimana menyiapkan generasi yang kuat. Sering kali saya menyebut, orang tua adalah gelar sepanjang usia kita namun sedikit sekali mendapat pengetahuan menjadi orang tua. Berbagai masalah yang hadir hari ini tidak sedikit berasal dari rapuhnya lembaga keluarga yang menjadi pelindung utama kehidupan seseorang.
Seiring berjalannya waktu, himpitan dan desakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga adalah pihak pertama yang akan kita “korbankan”, walau memperjuangkan pemenuhan kebutuhan hidup juga merupakan usaha untuk keluarga. Sadarkah kita, keluarga tak sebatas butuh materi. Lebih dari itu, pemenuhan kebutuhan belajar dan memaknai hidup yang diperoleh dari sekolah pertama dalam keluarga.
Mendidik anak menjadi pekerjaan besar yang nantinya akan membangun pribadi kuat untuk kontribusi peradaban manusia. Manusia beradab tentu tumbuh dari proses belajar yang baik. Keluarga yang menjaga diri terpaan terik permasalahan moral akan menumbuhkan generasi yang baik. Setiap langkah, kata dan rasa yang kita berikan dalam keluarga akan menjadi makanan jiwa anak-anak.
Jiwa anak sangat polos dan lugu, sehingga sangat peka terhadap lingkungan sekitarnya. Bentukan lingkungan akan menjadi referensi dalam proses kehidupan selanjutnya. Prinsipnya, “yang dari hati akan sampai ke hati. Yang dari mulut akan sampai telinga saja”. Jadikan diri kita pembelajar seumur hidup, untuk terus meningkatkan kualitas diri kita.
Wahai Bunda, lihatlah diri kita. Sudahkah kita mempersembahkan yang terbaik untuk malaikat kecil yang Allah titipkan melalui rahim kita?
Dengan kehadiran seorang anak dalam kehidupan kita, kita akan menjadi lebih terlengkapi. Segala potensi orang tua dilihat dari bagaimana jiwa kepemimpinan yang dimiliki. Karena jiwa kepemimpinan orang tua yang banyak menentukan keadaan anak selanjutnya. Belajar memimpin diri, keluarga kemudian masyarakat. Memimpin kea rah kebaikan.

Semoga…
Khilda Maulidiah

Sabtu, 07 Juni 2014

untuk mu wahai orang tua

Setiap anak, memiliki hak dan kewajiban. Hak dihargai dan didukung setiap pilihannya yang bertanggungjawab. Selama kita tahu itu tidak merugikan siapa pun. Namun sadarkah, wahai para orang tua. Seringkali, kami anak-anak mu dituntut untuk menjalani kewajiban yang tidak sepenuhnya kami mampu jalani. Kami tidak ingin menyakiti kalian, sehingga jangan sakiti cita-cita kami. Kami tidak menyakiti siapa pun. Kami ingin mandiri dengan berpijak pada apa yang kami upayakan. Dukung kami, jika kalian tidak mampu member materi. Karena hanya itu yang kami butuhkan.
Kami mencintai kalian, Ayah Bunda. Orang tua kami…
Jangan desak kami dengan memaksa keinginan kalian yang bertentangan dengan jalan yang kami pilih. Kami tidak ingin disebut anak durhaka, kami hanya ingin membuat kalian bangga dengan cara kami. Ijinkan kami berproses untuk belajar di setiap pelajaran yang kami lewati. Jangan bantu kami sebelum kami meminta pertolongan, hanya akan membuat kami manja.
Ayah, Bunda… kami berupaya menerima keadaan.
Tidak sedikit pun kami membenci terlahir seperti ini. Tidak sedetik pun kami menyesal menjadi anak-anak kalian. Semua karena Maha Pengasih mengajari kami mengasihi siapa pun. Jangan bentak kami tidak bersyukur, jiwa muda kami ingin memperbaiki keadaan dengan apa yang mampu kami lakukan. Mengertilah, kalian pernah muda. Bantu kami berbakti pada kalian tanpa kebimbangan.
Bantu kami menjadikan kalian inspirasi hidup kami…
Kami pun akan menjadi seorang ayah dan juga seorang bunda, sehingga kami perlu teladan. Kalianlah teladan terbaik yang kami harapkan. Menyiapkan generasi yang lebih baik membuat kami banyak belajar dari kehidupan yang kalian lalui. Kami belajar dan terus belajar agar anak-anak kami bangga dengan kami. Bangga menjadi anak-anak dari orang tua yang mengantarkan pada kebaikan.
Kalian menjadi sekolah kehidupan pertama kami. Menanamkan nilai hidup di setiap kata dan laku yang kalian tampilkan setiap kali bertemu. Kalian menjadi sandaran saat kami lelah dengan terik pertarungan hidup di luar sana. Antarkan kami menjadi orang tua hebat untuk generasi yang lebih hebat dari kami. Demi dunia yang lebih hebat…

Untuk mu, Ayah Bunda di hati.

Kamis, 05 Juni 2014

untuk mu anak-anak ku

Sore ini, langit menyibakkan gemuruh dan sederas air yang ditampungnya di awan
Berproses menuju sebuah kesempurnaan kepak sayap kupu-kupu dalam metamorfosisnya
Kemudian menjalin tiap pembelajaran yang telah terlewati
Masa transisi memang menjadikan sebuah ruang ketidaknyamanan
Fase mengawali selalu diwarnai dengan berbagai polemic
Menuntut keadaan bukanlah cara bijaksana
Berkontribusi untuk menguatkan kembali kayuhan kaki
Memacu perbaikan diri dengan bercermin diri lalu melangkah lagi

Usia kita terus berlari, bersama napas dan detak jantung yang dimintai pertanggungjawabannya
Nasehat yang baik, dengan niat dan cara yang baik
Adalah muara jiwa
Kerapuhannya karena jiwa-jiwa yang menganggap ajaran ini dari perspektifnya
Tahukah bila kedua mata kita fatamorgana yang mampu menipu?
Karena wajar, dalam surat cinta-Nya kita menemukan sebuah kepastian
Bila ada keraguan artinya jiwa kita terlampau semu

Sekali ku sebut, logika hati berbeda dengan logika akal

Meyakini doa adalah tanda ketundukkan
Meyakini adanya pencipta dan lalu beribadah pada-nya adalah sebuah pengabdian
Meyakini akhir hidup kita akan membersamai segala hal yang kita lakukan

Hari ini, agama hanya “pantas” dibicarakan secara privat
Hanya di ruang religious saja
Dalam ekonomi, politik, social, budaya, pendidikan banyak yang berganti jubah
Aturan kehidupan diatur sekena dan seenaknya
Peran sebagai pengelola bumi melebihi menjadi maha benar segalanya
Tentu dengan ukuran relative atau masa bodoh
Perang ini adalah perang dingin diantara kita

Teman seperjalanan bisa jadi memperjuangkan hal yang berbeda
Niat kemudian akan membedakan cara dan tujuan kita
Hidup adalah perjuangan dan berhenti berjuang sama artinya dengan berhenti hidup
Memperjuangkan kebenaran mutlak, titah Pencipta langit
Langkah yang hanya terhenti bersamaan dengan terhentinya putaran bumi
Karena kita akan menyiapkan penerus risalah pada generasi selanjutnya

Kalah hanya untuk orang yang menyerah
Kemenangan hanya untuk penegak panji kebenaran perintah dari langit

Untuk mu, anak-anak ku…
Anak-anak yang Allah titipkan pertemuan kita menjadi kebaikan
Anak-anak ideologis ku, pelanjut perjuangan ajaran Nabi Muhammad

Anak-anak biologis ku yang menanti ayahnya yang mengajarkan risalah perjuangan

Selasa, 03 Juni 2014

perempuan

Bismillahirahmanirrahim
Ku awali dengan nama Mu.. Allah Maha Rahim dan Rahman yang menyatukan hati

Bersama bintang biru, aku paham makna hujan dalam tapak jingga. Menyiapkan pelangi dalam sebuah kisah. Entah apa maknanya. Di sela hujan, secangkir teh manis hangat menghangatkan hati yang sempat beku. Aku tak tahu warna mu, nama mu dan tarian mu. Aku hanya tau setia mu yang menanti ku dalam diam. Rindu yang katanya menganggu, ternyata…
Seperempat abad, napas ku menghiasi bumi. Kini tidak sempat aku merasakan lagi, bagaimana wangi mu menemani ku. Beberapa kali aku ingin berhenti berharap, namun setiap kali aku melihat jendela dan menatap hijau aku kembali berharap. Suatu hari, diri mu hadir dalam segenggam hati yang kau miliki hanya untuk ku.
Banyak orang, hanya mempertanyakan dan mendesak. Kapan sempurnanya sayap ku berjuang melewati kisah hidup? Adakah, penduduk langit mendoakan sepinya hati ku agar tetap gagah melewati ini. Aku berbeda, aku perlu waktu melihat mu mendengar mu.
Hingga suatu ketika, semua orang terdekat ku mendesak tanpa bertanya keadaan bagaimana keadaan ku? Aku menutup diri, mundur dan menyerah menanti mu. Aku tidak mengetahui warna mu, aku hanya berharap Maha Rahim dan Maha Rahman mengirim mu hanya untuk ku. Hanya untuk ku…
Kemarin, aku terdiam melihat seorang bunda yang membawa dua putra dan seorang suami yang dianugerahi kebutaan mata. Bunda yang menampar ku berkali-kali. Melihatnya mampu menerima sepenuh hati keadaan suaminya menjadi pelajaran berharga. Ingin aku beri anugerah “the great women of the world”. Menjadi tangan kanan suami dan sandaran bahu anak-anaknya. Kemana dirinya menopang keletihannya?
Masih banyak perlu belajar dari kehidupan…
Mencintai adalah buah dari proses menerima. Tawaqal menjadi kunci utama tanpa padanan kata yang tepat menggantinya. Menyiapkan rahim kita menyambut anak-anak titipan langit untuk mewangikan dunia. Dimana kita menjadi jalan kebaikan masa depan dunia.
Untuk sebuah pilar peradaban J

Senin, 02 Juni 2014

sejejak asa

Kisah ini ingin sekali aku ceritakan dalam bentuk tulisan, kesannya lebih dramatis ^_^
Ada acara nasional yang teman-teman laksanakan di Bali memberi ku kesempatan tuk mudik. Ya, sebenarnya bulan lalu aku sudah mudik karena berbagai agenda. Hingga karena berbagai paksaan teman aku berangkat lagi bulan ini. Pertama kali juga menggunakan kereta Sri Tanjung Jogja-Banyuwangi. Baru beli tiket di saat agennya mau tutup, karena nunggu kiriman uang dari teman. Maklum perjalanan yang memaksakan apa adanya.
Malamnya nginap di Sofi, karena aku sudah tidak tinggal di sana. Aku masih belum punya tempat tinggal tetap setelah aku memindahkan barang ke Puri Sakinah belum nyaman dengan tempat baru. Aku cukup lama beradaptasi. Masuk stasiun Lempuyangan kereta sudah posisi menunggu, aku yang belum tau duduk di ruang tunggu dan membeli sebungkus nasi untuk mengganjal perut. Aku cukup rewel makan jika sedang dalam perjalanan. Pikir ku mungkin bisa makan sebelum kereta berjalan jauh. Panggilan penumpang membuat ku sadar kereta yang ada itu kereta yang aku tumpangi. Langsung aku mencari tempat duduk sesuai tiket. Dan disini cerita bermula…
Tempat duduk ku kosong, aku sendiri dan sangat menikmati perjalanan J
Kereta bergerak perlahan, aku buka sebungkus nasi yang tadi ku beli. Seperti yang membuat ku tidak begitu suka makan di perjalanan adalah makanan yang sangat apa adanya dengan harga yang lumayan mahal. Tapi hampir tidak ada pilihan untuk traveler. Sepanjang jalan Alhamdulillah saat menghijaunya sawah yang memanjakan mata. Banyak berucap zikir dan doa yang insyaAllah makbul bagi fi sabilillah. Di temani buku penjelajahan sejarah Islam di Eropa yang semakin menguatkan azam untuk terus melakukan perjalanan yang meningkatkan keimanan terhadap Islam.
Di usia ku yang orang bilang cukup umur menikah, aku masih sendiri. Berusaha menikmati. Karena belum ada seseorang yang memahami berbagai obsesi ku yang tidak umum. Keliling dunia, itu penuh konsekuensi dan katanya bila menikah kita tidak lagi bisa bebas. Karenanya aku sangat menanti seseorang yang paham dan bisa menemani aku ke mana pun. Menikah bukan halangan, tapi kekuatan baru. Mau lanjut sekolah pasca pun harusnya justru makin semangat. Apalagi berjuang untuk menegakkan panji kejayaan Islam, tentu keluarga menjadi pilar pondasi terpenting. Tidak mudah memang mematahkan mitos yang sudah berakar.
Kereta mulai memasuki daerah Jawa Timur, seorang Ibu muda dengan seorang anaknya yang belum genap 2 tahun duduk di hadapan ku. Anaknya ingin banyak bergerak hingga perlu kursi kosong di hadapanku itu. Suaminya dengan setia dan gagahnya bergantian menjaga si kecil. “manis sekali”, batin ku. Mungkin aku sangat jarang melihat romantisme keluarga seperti itu. Tumbuh dan besar di keluarga yang tidak ekspresif membuat ku tidak tau dan cuek untuk urusan begitu. Beruntung aku masih menganggap itu manis…
Tidak lama, mereka sekeluarga turun duduk di sebelah ku sepasang suami istri yang cukup dewasa. Mereka terlihat dekat dan saling melengkapi. Tanpa bicara dengan mereka, kita bisa melihat mereka yang saling menerima kondisi pasangan masing-masing. Luar biasa… Menerima adalah sesuatu yang luar biasa menurut ku belakangan ini.
Turunnya ayah bunda barusan digantikan kembali dengan keluarga muda yang menumpang duduk dihadapan ku karena anaknya ingin banyak bergerak. Diam ku memandang jendela kereta yang menghampar eksotika Indonesia dengan hijaunya persawahan sepanjang jalan. Sekaligus melihat pantulan bayangan keluarga muda yang menikmati masa mengurus anak mereka yang masih kecil. Pikir ku, usia mereka tidak jauh dari ku. Mungkin semua melihat ku gadis yang sibuk dengan segudang aktifitas di kampus, organisasi dan kerja hingga melupakan kesendirian ku, tapi aku masih memanjatkan doa untuk memiliki keluarga sendiri yang menjadi pilar peradaban Islam.
Perjalanan ku lanjutkan setelah turun di stasiun Banyuwangi menumpang sebuah becak karena badan ku letih untuk sekedar berjalan ke pelabuhan. Jaraknya hanya 1 km tapi kelaparan membuat ku malas berjalan. Mampir makan sebentar dan kemudian berjalan sendiri menyusuri kendaraan yang hendak masuk dalam kapal laut. Badan ku masih terasa sangat letih, memandang laut malam sesaat lalu kembali menidurkan badan hingga 1 jam pelayaran kapal.
Sesampainya di pelabuhan Gilimanuk Bali, tepat pukul 00.00. Menikmati semilir angin yang menyisipkan kerinduan di tanah yang membesarkan ku. Walau aku sendiri tidak begitu menyukai tanah yang menjegal keIslaman ku dengan berbagai adat. Bagaimana pun, Allah menempatkan episode hidup ku yang harus dilalui disini. Untuk bertemu dan mencintai Allah perlu banyak jalan.
Di sebuah pos polisi pelabuhan aku menunggu bis menuju Denpasar, Abah dan adik laki-laki ku menghubungi ku menanyakan posisi ku. Sepertinya subuh baru akan sampai Denpasar. Karena tengah malam seperti ini lebih banyak truk pengangkut barang. Ditemani seorang polisi “galau” aku membuang waktu sebentar. Berbicang tentang budaya seks yang dia tahu dan pertanyaan tentang makna jilbab yang ku kenakan. “kami hanya memperlihatkan untuk suami kami”. Kata ku tegas menjelaskan alasan ku berjilbab. Aku pun menyerang balik dengan pertanyaan “bodoh”, “mengapa pelanggaran di jalan tidak semua diselesaikan di kantor polisi tapi langsung di TKP?”, Jawaban lebih “bodoh” aku terima. “kami kasihan dan ingin mempermudah. Ini rasa kemanusiaan”. Ah, klise sekali. Serasa gajinya yang menjadi beban Negara terbesar itu masih kurang menumpuk lemak di perutnya. (ups.. kasar sekali aku ini. Aku hanya tidak habis pikir dengan lingkaran setan birokrasi Indonesia tercinta).
Masih Islamophobia, tas jinjing ku yang berisikan banyak buku dilihat dengan sorot lampu senter. Berasa membawa bom saja aku. Dan setau ku sejak Bom Bali 2002, pemeriksaan KTP menjadi WAJIB untuk masuk Bali. Hingga kini masih saja, walau aku tak paham esensi antara KTP sebagai identitas dan bom.
Beruntung aku bertemu dengan rombongan backpackers yang tampak seperti ikhwan dan akhwat kader sebuah partai Islam. Berkenalan dengan mereka cukup membuat ku nyaman di tengah malam ini. Mereka dari Kalimantan Timur menuju Gunung Rinjani Lombok. “WOW”. Aku merindukan hobi gila ku itu. Ya, mendaki ku sebut gila karena kondisi fisik yang tidak terlalu kuat berolahraga ringan saja malah suka petualangan berat. Kaki ku pernah patah, sehingga aku membatasi kegiatan kaki. Tapi mendaki gunung itu menyenangkan capeknya. Aku belum mau mendaki gunung lagi sampai punya mahrom yang bisa menemani. Jika ada apa-apa ada yang halal membantu ku. Salah satu dari rombongan itu sepasang suami istri muda yang berhobi sama. Hobi berat dan mahal. (ingin sekali… semoga J)
Benar, tepat subuh aku tiba di terminal Ubung dan dijemput Abah. Alhamdulillah…
Orang lain sering kali hanya melihat sepintas tanpa melihat lagi lebih dalam. Ketika aku diam waktu diskusi pernikahan, aku dikatakan sensi. Bukan, aku hanya tidak nyaman bila urusan rasa diceritakan disembarang orang dan terus menerus. Ini privasi teman. Hentikan mengumbar foto berdua, atau duduk hanya berdua diantara banyak teman lain. Berbaurlah, cinta sejati itu bermanfaat untuk orang di sekitar. Rahmatan lil ‘alamin. Jika cinta antara aku dan kamu, itu cinta egois. Mengertilah, cinta itu indah bila sekitar kita nyaman dengan keberadaan kita yang apa adanya. Dengan tetap menjaga nilai Islam. Cinta bukan bahan candaan.

Semoga dipahami, muliakan diri mu dengan ilmu iman dan amal J
Khilda Maulidiah, antara Jogjakarta dan Denpasar April 2014