Kedua Bunda Cantikku dan Kakek Sabar ku
Hidup mengalir
begitu cepat. Akhir tahun ajaran di SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di
Universitas terkemuka untuk penelitian pertanian ku. Yap, aku benar-benar bisa
kuliah. Karena berbeda kota, aku meminta Bapak, Ratu dan Aishi ikut pindah di
kota yang sama. Aku ingin tetap bersama dengan orang-orang yang ku cintai.
Awalnya Bapak dan Ratu keberatan karena khawatir belum memiliki pekerjaan di
tempat tinggal yang sama sekali baru. Tapi berkali-kali Allah membantu jalan keluar
kami. Alhamdulillah, Bu Stefi memiliki teman yang dapat membantu kami selama di
kota. Bapak tetap sesekali mudik ke rumah kami bila sedang masa tanam ataupun
panen. Ratu membuka sebuah toko kecil di rumah kontrakan kami yang menjual
kebutuhan sehari-hari. Semangat Ratu masih saja tinggi, peluang daerah
kontrakan para mahasiswa membuat usaha kami lancar. Modal awal dari dana yang
dikumpulkan dari donatur yang peduli dengan keadaan Ratu. Sedikit dari dana
hasil menulis ku yang sering menjuarai perlombaan dan yang dimuat di media.
Dengan berwirausaha,
Ratu tetap punya banyak waktu untuk Aishi yang semakin lincah. Aku pun bisa
tetap kuliah dengan baik. Baru sebulan saja, kami telah memiliki seorang
karyawati yang cukup rajin dan pintar. Neni namanya, ia harus berhenti sekolah
karena kedua orang tuanya berpisah tak lagi mau mengurusnya. Aku pun di sela
waktu mengajari beberapa pelajaran yang disukainya. Buku-buku bacaan yang
menarik, sering ku hadiahkan saat gajian akhir bulan. Niat ku ingin
mengembalikannya sekolah. Sayang kurang satu tahun lagi di SMA. Aku terus
memupuk kepercayaan dirinya untuk berani bermimpi dan mewujudkannya. Neni
sangat sederhana dan jujur. Aku kagum dengan semangatnya untuk tetap menghargai
hidupnya yang terlihat porak poranda. Tapi Neni bisa menunjukkan keberanian melawan
ketakutannya menjalani hidup. Ku perhatikan, Neni bisa sekuat ini karena rajin
ibadah.
“Doa membuat
saya masih bisa hidup sampai sekarang”, ucap Neni suatu hari saat ku goda hobinya
mendoakan tiap orang yang di temuinya.
Aku sempat
berpikir, mungkin tak akan kuat bertahan jika di posisi Neni. Kedua orang
tuanya adalah tenaga kerja yang dipekerjakan di luar negeri. Tak pernah bertemu
kedua orang tuanya sejak kecil diasuh oleh neneknya. Tak sepeser pun, Neni
menerima nafkah kedua orang tuanya. Saat neneknya meninggal tahun lalu, hidup
Neni makin suram. Neni bekerja apa saja untuk bertahan hidup, hampir saja Neni
menjual dirinya karena sangat kelaparan. Beruntung Neni masih mengingat pesan
neneknya.
“Perempuan
yang baik untuk lelaki baik, jaga dirimu untuk kebaikan orang lain. Allah
selalu bersama mu selama kamu mengingatnya”, kata-kata ini sering disebutkan
nenek Neni.
Aku pun
bertemu dengannya saat berjalan sepulang kuliah di dekat lampu merah, Neni
terduduk lemah. Wajahnya pucat dan saat ku sentuh dahinya, terasa hangat. Tanpa
berpikir panjang, aku membatalkan janji ku sore itu untuk segera membawanya ke
dokter terdekat. Karena aku mengendarai sepeda mini, aku meminta seorang tukang
ojek yang tak jauh mengantarkan ke dokter. Saat ke dokter, aku baru mengetahui
namanya. Dokter bilang sakit maag akut. Dokter menyarankan untuk memakan
makanan lembut dulu. Neni seperti adik ku sendiri, aku memeluknya. Tapi Neni
menepis tangan ku.
“Saya belum
mandi, entah berapa hari”, kata Neni sambil gemetar makan semangkok bubur.
“Kamu mau jadi
adik ku?”, tanya ku padanya sambil menyentuh tangannya yang kurus.
Wajahnya datar, dia melanjutkan makan
tanpa mempedulikan aku yang memperhatikannya. Setelah dirawat dua hari, aku
membawanya untuk tinggal bersama. Setelah satu hari tidak beraktifitas, Neni
menawarkan untuk membantu pekerjaan rumah.
“Saya mau tinggal disini jika diijinkan
untuk membantu pekerjaan”, kata Neni setelah makan siang.
Kami sekeluarga pun menyambut tawaran
Neni. Kami senang sekali dapat membantu walau hanya seorang. Karena itu berarti
kami bisa bermanfaat setara dengan membantu orang seluruh dunia. Neni tak kami
paksakan, apa yang mampu dikerjakannya. Aku pun melihat semangat hidupnya, tak
lagi lesu seperti aku pertama menemukannya. Saat yang kita lakukan memiliki
arti untuk orang lain, kita sudah cukup merasa menjadi seorang manusia.
Aishi mulai bisa berbicara patah-patah,
ruang di hati kami selalu berwarna pelangi. Tawa dan tangis Aishi menjadi
makanan pokok bagi hati kami. Aishi cepat sekali menirukan apa yang dilihat dan
didengarnya. Ratu tak sembarangan memberi tontonan dan lagu untuk Aishi. Ratu
meyakini, apa yang dilihat dan didengarnya akan menjadi karakter. Selelah
apapun, Ratu berusaha menjaga makanan sehat untuk Aishi. Makanan yang beredar
di luar, tak jarang menggunakan penyedap, pengawet dan pewarna. Sebutir nasi
atau setetes air yang masuk ke dalam perut Aishi dijaga kehalalannya.
“Sebutir nasi saja berasal dari
keharaman, akan menjadi lumatan kemarahan Pencipta Aishi. Aku berusaha
menjaganya. Aku ingin menebus keburukan dengan kebaikan”, jelas Ratu saat ku
tanya mengapa ia sebegitu telitinya.
“Bunda..”, panggil Aishi dengan nada
manja.
Aku dan Ratu menoleh bersamaan, aku pun
memintanya memanggil Bunda Bunga.
“Ai lapar..”, lanjut Aishi yang mendekati
Ratu.
“Mau makan dengan Bunbun atau Bunda?”,
goda Ratu pada ku.
Bunbun adalah kependekan dari Bunda
Bunga. Ratu sering menggoda ku, karena sering kali apa yang ku pikir terlalu
jauh. Ditambah betapa sayang aku dengan Aishi, membuat aku sudah belajar
menjadi seorang ibu. Kegemaran ku yang berlebihan pada peralatan bayi dirasa
aneh. Beberapa peralatan bayi milik Aishi ku simpan dalam kamar ku.
“Bunga sudah ingin menikah?”, tanya Ratu
saat menemani aku menyuapi Aishi.
Aku pun kaget dengan pertanyaan itu,
walau aku dan Ratu amat dekat tapi kami tak pernah sama sekali membahas tentang
hati. Aku tak ingin membuat Ratu memikirkan hatinya. Jadi aku pun terbawa untuk
memilih mendiamkan hati ku. Seketika Bapak duduk di sebelah ku sambil
tersenyum, mengusap rambut ku seperti biasa. Bapak selalu mengerti, dengan
usapan tangannya di rambut ku membuat ku nyaman.
“Jika Bunga
sudah menemukan hati yang bisa menemani hari mu, Bapak siap menikahi mu. Tugas
seorang ayah adalah memudahkan pernikahan anaknya yang telah siap”, ucap Bapak
pelan.
“Bukan berarti aku sangat suka mengumpulkan perlatan bayi
aku siap menikah. Aku berharap Ratu yang menikah duluan, lagi pula aku masih di
tahun pertama kuliah. Aku belum memikirkan pernikahan”, jawab ku dengan
tersenyum pada Bapak dan Ratu.
“Ratu atau
Bunga adalah dua anak Bapak yang mana datang duluan pendampingnya itu yang
menikah. Tak perlu mempertahankan budaya melangkahi kakak itu sebagai aib. Kuliah
dan pernikahan bukanlah hal yang saling mengganggu jika kita bisa mengaturnya.
Keduanya ibadah jadi saling melengkapi”, jelas Bapak.
“Iya, jika
Bunga lebih dulu menemukannya aku akan sangat senang sekali. Kita saling
mendoakan agar mendapat seorang yang siap menua bersama”, sahut Ratu sambil
memegang pundak ku.
“Aamiin. Bunga
belum menemukan orang itu, Pak. Minta doanya saja, Bunga sudah meniatkan
pernikahan yang dapat saling tolong-menolong dalam kebaikan. Mungkin karena
belum menemukan orang yang seperti itu, Bunga pun jadi belum berpikir menikah”,
hati ku tiba-tiba ngilu.
“Bapak selalu
mendoakan yang terbaik untuk Ratu, Bunga dan Pelangi. Kalian bertiga adalah
hadiah Allah terindah”, ucap Bapak yang lalu menggendong Aishi untuk mengajak
berjalan-jalan sore seusai makan.
Aku pun masuk
ke dalam kamar untuk merapikan buku-buku yang akan ku jadikan referensi tulisan
ku. Aku terdiam menatap sebuah foto di atas meja. Aku memperhatikan foto itu,
Aishi memiliki dua bunda dan seorang kakek yang sabar. Kedua bundanya masih
belum dimiliki hati manapun. Aku jadi memikirkan pernikahan. Sebenarnya aku
agak takut memasuki dunia itu. Entah mungkin karena perjalanan ku kemarin.
Perpisahan Bapak dan Ibu yang hingga kini tak juga jelas statusnya, Ratu yang
menjadi single fighter merawat Aishi dan beberapa pengalaman hati orang lain.
“Mengapa
istilahnya “jatuh cinta”? Apa cinta harus menyakitkan?”, batin ku.
Aku menatap
jendela kamar ku yang selalu memberi kesempatan aku melihat matahari terbit.
Sekarang sudah waktunya terbenam. Langit pun mulai merah dan agak gelap. Aku
menghela napas.
“Aku terlahir
untuk jadi pemenang, mengapa aku terlalu takut menatap matahari? Semua orang
punya jalan hidupnya masing-masing. Aku ingin sebuah pernikahan yang dapat
menjadi rahmatan lil ‘alamin. Cinta seharusnya membuat kita semakin cinta pada
Maha Pemilik Cinta. Cinta bukan hanya antara dua orang yang saling mencinta,
namun cinta itu dapat dirasakan kebaikannya oleh sekitar. Bukan keinginan
obsesif yang membuat kita tidak menjadi diri sendiri..”, tulis ku di selembar
kertas yang ku tempel pada dinding kamar.
“Bunga, kok masih
di kamar? Bapak sudah berangkat ke masjid, kita solat magrib berjama’ah. Neni
dan Ai sudah siap”, panggil kakak dari pintu kamar ku.
Selesai solat
magrib, Bapak segera pulang untuk menemani kami membaca Al-Qur’an bersama dan
membaca tafsirnya. Saat magrib dan subuh, kami sekeluarga usahakan untuk
bersama. Aku bersyukur dapat melakukan ini. Selain makan bersama, beribadah
bersama juga semakin mengutkan hati kami untuk terus saling mendukung dalam
kebaikan. Dengan sabarnya Bapak membacakan surat-surat pendek untuk Aishi. Aku
mengajari Neni membaikkan bacaannya dan Ratu menemani Aishi menyimak bacaan
Bapak. Seusai solat isya kami menyiapkan makan malam bersama.
Karena besok
pagi aku ada penelitian ke desa, untuk bahan tugas ku. Aku menyegerakan tidur. Setelah
berwudu lalu membaca doa aku merebahkan badan. Aku menatap langit yang penuh
bintang dari sela jendela kamar. Sejenak ku teringat lagi, aku menanti sebuah
bintang biru yang bisa saling berpijar untuk kebaikan. Menggenggam bintang
biru, suatu saat nanti dia akan hadir. Aku tersenyum kecil memenuhi hati dengan
rasa syukur.
Aku ingin menjadi setangkai bunga yang indahnya mewarnai taman hati.
Wanginya membuat sekitar ku tersenyum bahagia. Namun tak sembarangan yang bisa
menyentuh. Aku ingin ia adalah bintang biru yang mengerlingkan cahayanya dengan
segenap hati untuk Penciptanya. Bukan hanya sekedar karena indah ku, tapi
bintang biru itu menggenggam ku karena hanya dengan ku kita bisa berlari
bersama menuju Arrahman dan Almulk. Ya, berlari mencintai Allah. Bersedia menua
bersama, hanya aku di hatinya dan dia di hati ku. Hanya waktu yang memisahkan
dalam kebaikan. Menjadi penebar kebaikan, bersama kita saling menguatkan. Untuk
sekarang, aku akan menantinya dalam diam dan sepi. Akan ku gantung pinta ku diantara
gemintang untuk meminta cahaya mu hadir di saat yang tepat. Bersabarlah hati...