Jumat, 28 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag. 5 Kedua Bunda Cantikku dan Kakek Sabar ku



Kedua Bunda Cantikku dan Kakek Sabar ku
Hidup mengalir begitu cepat. Akhir tahun ajaran di SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Universitas terkemuka untuk penelitian pertanian ku. Yap, aku benar-benar bisa kuliah. Karena berbeda kota, aku meminta Bapak, Ratu dan Aishi ikut pindah di kota yang sama. Aku ingin tetap bersama dengan orang-orang yang ku cintai. Awalnya Bapak dan Ratu keberatan karena khawatir belum memiliki pekerjaan di tempat tinggal yang sama sekali baru. Tapi berkali-kali Allah membantu jalan keluar kami. Alhamdulillah, Bu Stefi memiliki teman yang dapat membantu kami selama di kota. Bapak tetap sesekali mudik ke rumah kami bila sedang masa tanam ataupun panen. Ratu membuka sebuah toko kecil di rumah kontrakan kami yang menjual kebutuhan sehari-hari. Semangat Ratu masih saja tinggi, peluang daerah kontrakan para mahasiswa membuat usaha kami lancar. Modal awal dari dana yang dikumpulkan dari donatur yang peduli dengan keadaan Ratu. Sedikit dari dana hasil menulis ku yang sering menjuarai perlombaan dan yang dimuat di media.
Dengan berwirausaha, Ratu tetap punya banyak waktu untuk Aishi yang semakin lincah. Aku pun bisa tetap kuliah dengan baik. Baru sebulan saja, kami telah memiliki seorang karyawati yang cukup rajin dan pintar. Neni namanya, ia harus berhenti sekolah karena kedua orang tuanya berpisah tak lagi mau mengurusnya. Aku pun di sela waktu mengajari beberapa pelajaran yang disukainya. Buku-buku bacaan yang menarik, sering ku hadiahkan saat gajian akhir bulan. Niat ku ingin mengembalikannya sekolah. Sayang kurang satu tahun lagi di SMA. Aku terus memupuk kepercayaan dirinya untuk berani bermimpi dan mewujudkannya. Neni sangat sederhana dan jujur. Aku kagum dengan semangatnya untuk tetap menghargai hidupnya yang terlihat porak poranda. Tapi Neni bisa menunjukkan keberanian melawan ketakutannya menjalani hidup. Ku perhatikan, Neni bisa sekuat ini karena rajin ibadah.
“Doa membuat saya masih bisa hidup sampai sekarang”, ucap Neni suatu hari saat ku goda hobinya mendoakan tiap orang yang di temuinya.
Aku sempat berpikir, mungkin tak akan kuat bertahan jika di posisi Neni. Kedua orang tuanya adalah tenaga kerja yang dipekerjakan di luar negeri. Tak pernah bertemu kedua orang tuanya sejak kecil diasuh oleh neneknya. Tak sepeser pun, Neni menerima nafkah kedua orang tuanya. Saat neneknya meninggal tahun lalu, hidup Neni makin suram. Neni bekerja apa saja untuk bertahan hidup, hampir saja Neni menjual dirinya karena sangat kelaparan. Beruntung Neni masih mengingat pesan neneknya.
“Perempuan yang baik untuk lelaki baik, jaga dirimu untuk kebaikan orang lain. Allah selalu bersama mu selama kamu mengingatnya”, kata-kata ini sering disebutkan nenek Neni.
Aku pun bertemu dengannya saat berjalan sepulang kuliah di dekat lampu merah, Neni terduduk lemah. Wajahnya pucat dan saat ku sentuh dahinya, terasa hangat. Tanpa berpikir panjang, aku membatalkan janji ku sore itu untuk segera membawanya ke dokter terdekat. Karena aku mengendarai sepeda mini, aku meminta seorang tukang ojek yang tak jauh mengantarkan ke dokter. Saat ke dokter, aku baru mengetahui namanya. Dokter bilang sakit maag akut. Dokter menyarankan untuk memakan makanan lembut dulu. Neni seperti adik ku sendiri, aku memeluknya. Tapi Neni menepis tangan ku.
“Saya belum mandi, entah berapa hari”, kata Neni sambil gemetar makan semangkok bubur.
“Kamu mau jadi adik ku?”, tanya ku padanya sambil menyentuh tangannya yang kurus.
       Wajahnya datar, dia melanjutkan makan tanpa mempedulikan aku yang memperhatikannya. Setelah dirawat dua hari, aku membawanya untuk tinggal bersama. Setelah satu hari tidak beraktifitas, Neni menawarkan untuk membantu pekerjaan rumah.
       “Saya mau tinggal disini jika diijinkan untuk membantu pekerjaan”, kata Neni setelah makan siang.
       Kami sekeluarga pun menyambut tawaran Neni. Kami senang sekali dapat membantu walau hanya seorang. Karena itu berarti kami bisa bermanfaat setara dengan membantu orang seluruh dunia. Neni tak kami paksakan, apa yang mampu dikerjakannya. Aku pun melihat semangat hidupnya, tak lagi lesu seperti aku pertama menemukannya. Saat yang kita lakukan memiliki arti untuk orang lain, kita sudah cukup merasa menjadi seorang manusia.
       Aishi mulai bisa berbicara patah-patah, ruang di hati kami selalu berwarna pelangi. Tawa dan tangis Aishi menjadi makanan pokok bagi hati kami. Aishi cepat sekali menirukan apa yang dilihat dan didengarnya. Ratu tak sembarangan memberi tontonan dan lagu untuk Aishi. Ratu meyakini, apa yang dilihat dan didengarnya akan menjadi karakter. Selelah apapun, Ratu berusaha menjaga makanan sehat untuk Aishi. Makanan yang beredar di luar, tak jarang menggunakan penyedap, pengawet dan pewarna. Sebutir nasi atau setetes air yang masuk ke dalam perut Aishi dijaga kehalalannya.
       “Sebutir nasi saja berasal dari keharaman, akan menjadi lumatan kemarahan Pencipta Aishi. Aku berusaha menjaganya. Aku ingin menebus keburukan dengan kebaikan”, jelas Ratu saat ku tanya mengapa ia sebegitu telitinya.
       “Bunda..”, panggil Aishi dengan nada manja.
       Aku dan Ratu menoleh bersamaan, aku pun memintanya memanggil Bunda Bunga.
       “Ai lapar..”, lanjut Aishi yang mendekati Ratu.
       “Mau makan dengan Bunbun atau Bunda?”, goda Ratu pada ku.
       Bunbun adalah kependekan dari Bunda Bunga. Ratu sering menggoda ku, karena sering kali apa yang ku pikir terlalu jauh. Ditambah betapa sayang aku dengan Aishi, membuat aku sudah belajar menjadi seorang ibu. Kegemaran ku yang berlebihan pada peralatan bayi dirasa aneh. Beberapa peralatan bayi milik Aishi ku simpan dalam kamar ku.
       “Bunga sudah ingin menikah?”, tanya Ratu saat menemani aku menyuapi Aishi.
       Aku pun kaget dengan pertanyaan itu, walau aku dan Ratu amat dekat tapi kami tak pernah sama sekali membahas tentang hati. Aku tak ingin membuat Ratu memikirkan hatinya. Jadi aku pun terbawa untuk memilih mendiamkan hati ku. Seketika Bapak duduk di sebelah ku sambil tersenyum, mengusap rambut ku seperti biasa. Bapak selalu mengerti, dengan usapan tangannya di rambut ku membuat ku nyaman.
“Jika Bunga sudah menemukan hati yang bisa menemani hari mu, Bapak siap menikahi mu. Tugas seorang ayah adalah memudahkan pernikahan anaknya yang telah siap”, ucap Bapak pelan.
“Bukan berarti aku sangat suka mengumpulkan perlatan bayi aku siap menikah. Aku berharap Ratu yang menikah duluan, lagi pula aku masih di tahun pertama kuliah. Aku belum memikirkan pernikahan”, jawab ku dengan tersenyum pada Bapak dan Ratu.
“Ratu atau Bunga adalah dua anak Bapak yang mana datang duluan pendampingnya itu yang menikah. Tak perlu mempertahankan budaya melangkahi kakak itu sebagai aib. Kuliah dan pernikahan bukanlah hal yang saling mengganggu jika kita bisa mengaturnya. Keduanya ibadah jadi saling melengkapi”, jelas Bapak.
“Iya, jika Bunga lebih dulu menemukannya aku akan sangat senang sekali. Kita saling mendoakan agar mendapat seorang yang siap menua bersama”, sahut Ratu sambil memegang pundak ku.
“Aamiin. Bunga belum menemukan orang itu, Pak. Minta doanya saja, Bunga sudah meniatkan pernikahan yang dapat saling tolong-menolong dalam kebaikan. Mungkin karena belum menemukan orang yang seperti itu, Bunga pun jadi belum berpikir menikah”, hati ku tiba-tiba ngilu.
“Bapak selalu mendoakan yang terbaik untuk Ratu, Bunga dan Pelangi. Kalian bertiga adalah hadiah Allah terindah”, ucap Bapak yang lalu menggendong Aishi untuk mengajak berjalan-jalan sore seusai makan.
Aku pun masuk ke dalam kamar untuk merapikan buku-buku yang akan ku jadikan referensi tulisan ku. Aku terdiam menatap sebuah foto di atas meja. Aku memperhatikan foto itu, Aishi memiliki dua bunda dan seorang kakek yang sabar. Kedua bundanya masih belum dimiliki hati manapun. Aku jadi memikirkan pernikahan. Sebenarnya aku agak takut memasuki dunia itu. Entah mungkin karena perjalanan ku kemarin. Perpisahan Bapak dan Ibu yang hingga kini tak juga jelas statusnya, Ratu yang menjadi single fighter merawat Aishi dan beberapa pengalaman hati orang lain.
“Mengapa istilahnya “jatuh cinta”? Apa cinta harus menyakitkan?”, batin ku.
Aku menatap jendela kamar ku yang selalu memberi kesempatan aku melihat matahari terbit. Sekarang sudah waktunya terbenam. Langit pun mulai merah dan agak gelap. Aku menghela napas.
“Aku terlahir untuk jadi pemenang, mengapa aku terlalu takut menatap matahari? Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. Aku ingin sebuah pernikahan yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin. Cinta seharusnya membuat kita semakin cinta pada Maha Pemilik Cinta. Cinta bukan hanya antara dua orang yang saling mencinta, namun cinta itu dapat dirasakan kebaikannya oleh sekitar. Bukan keinginan obsesif yang membuat kita tidak menjadi diri sendiri..”, tulis ku di selembar kertas yang ku tempel pada dinding kamar.
“Bunga, kok masih di kamar? Bapak sudah berangkat ke masjid, kita solat magrib berjama’ah. Neni dan Ai sudah siap”, panggil kakak dari pintu kamar ku.
Selesai solat magrib, Bapak segera pulang untuk menemani kami membaca Al-Qur’an bersama dan membaca tafsirnya. Saat magrib dan subuh, kami sekeluarga usahakan untuk bersama. Aku bersyukur dapat melakukan ini. Selain makan bersama, beribadah bersama juga semakin mengutkan hati kami untuk terus saling mendukung dalam kebaikan. Dengan sabarnya Bapak membacakan surat-surat pendek untuk Aishi. Aku mengajari Neni membaikkan bacaannya dan Ratu menemani Aishi menyimak bacaan Bapak. Seusai solat isya kami menyiapkan makan malam bersama.
Karena besok pagi aku ada penelitian ke desa, untuk bahan tugas ku. Aku menyegerakan tidur. Setelah berwudu lalu membaca doa aku merebahkan badan. Aku menatap langit yang penuh bintang dari sela jendela kamar. Sejenak ku teringat lagi, aku menanti sebuah bintang biru yang bisa saling berpijar untuk kebaikan. Menggenggam bintang biru, suatu saat nanti dia akan hadir. Aku tersenyum kecil memenuhi hati dengan rasa syukur.

Aku ingin menjadi setangkai bunga yang indahnya mewarnai taman hati. Wanginya membuat sekitar ku tersenyum bahagia. Namun tak sembarangan yang bisa menyentuh. Aku ingin ia adalah bintang biru yang mengerlingkan cahayanya dengan segenap hati untuk Penciptanya. Bukan hanya sekedar karena indah ku, tapi bintang biru itu menggenggam ku karena hanya dengan ku kita bisa berlari bersama menuju Arrahman dan Almulk. Ya, berlari mencintai Allah. Bersedia menua bersama, hanya aku di hatinya dan dia di hati ku. Hanya waktu yang memisahkan dalam kebaikan. Menjadi penebar kebaikan, bersama kita saling menguatkan. Untuk sekarang, aku akan menantinya dalam diam dan sepi. Akan ku gantung pinta ku diantara gemintang untuk meminta cahaya mu hadir di saat yang tepat. Bersabarlah hati...




Selasa, 18 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag.4



Pelangi Aishi

Tak terasa, kini telah memasuki bulan ke sembilan. Beruntung sudah masa libur akhir tahun ajaran baru. Aku dua hari ini menghabiskan kebersamaan dengan Ratu. Badan Ratu semakin padat. Alhamdulillah, bayinya sehat. Beberapa kali cek dokter menyebutkan kestabilan emosiibu banyak mempengaruhi keadaan bayi. Aku belajar lagi, emosi tak hanya melibatkan diri. Juga semua hal di sekitar kita. Sambil berdebar menanti kelahiran, Ratu dan aku banyak menyibukkan mencari semua informasi tentang ibu dan anak. Perjalanan ini menyenangkan untuk ku. Agar aku lebih hati-hati menjaga anak titipan Pemberi Hidup kita.
Waktu terasa lambat, beberapa hari bersama aku dan Ratu telah menyiapkan semua yang diperlukan untuk kelahiran. Wajah berseri-seri Ratu menyambut bayinya. Tak terlihat sedikit pun kesedihan. Kesedihan itu mungkin hanya aku yang merasakan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana anak ini nanti. Aku terus mencoba meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.
Hari itu, akhirnya tiba. Dekat rumah Ratu ada seorang bidan yang selama ini membantu masa kehamilan Ratu. Dengan seluruh energi yang Ratu punya, Ratu berusaha memberi kesempatan anaknya menghirup dunia. Ratu menggigit sebuah handuk kecil untuk mengurangi rasa sakit. Tangan ku dipegangnya dengan keras hingga sedikit memerah. Bapak, Bu Stefi dan Bu Arlin banyak berzikir menanti di luar ruang bersalin. Air mata kesakitan Ratu menetes sekali. Sungguh, mengapa kita sepatutnya mencintai ibu. Menanggung beban di perut selama hampir sembilan bulan, sakitnya melahirkan yang tiada terkira. Aku pun ingin menangis, tapi ku tahan sebisanya. Untuk terus bisa menyemangati Ratu. Hampir dua jam lebih, bayi itu belum keluar. Air ketuban sudah hampir mengering. Bidan pun panik.
Badan Ratu melemah. Aku pun bingung harus berbuat apa?
              “Allah..”, hanya kata itu yang mampu diucapkan Ratu.
          Mendengarnya aku pun berusaha istigfar. Terus menyemangati Ratu semampu ku.
“Bunga, aku letih...”, desah Ratu pelan, wajahnya tetap tegar walau agak pucat.
“Kakak bisa, insya Allah. Kakak harus kuat untuk anak kita. Kita akan rawat dan melihatnya tumbuh jadi Aisyah yang cerdas”, kata ku dengan semangat. Tanpa bisa ku tahan, air mata ku mengalir. Segera ku usap.
“Aku minta maaf, belum bisa jadi kakak yang baik untuk adik sebaik mu”.
“Kakak, adalah yang terbaik dan tak tergantikan. Aku ingin melihat kakak bisa menikah dengan laki-laki solih yang bersedia merawat anak kita. Allah sayang kakak, rasa sakit ini sebagai penggugur kesalahan kita di mata Allah”.
Kakak hanya tersenyum mendengar Allah sayang padanya.
“Tolong sampaikan maaf ke Bapak, Bu Stefi dan Bu Arlin..”, pinta Ratu.
Aku pun menangis berderai saat keluar ruang bersalin. Ku peluk Bapak, ku merasakan detak jantungnya yang lebih cepat. Aku menyampaikan pesan Ratu. Lalu menghapus sisa air mata untuk kembali ke dalam ruangan.
Baru saja ku buka pintu, ku mendengar Ratu berusaha lagi mengeluarkan bayinya. Langkah ku percepat, ku pegang lagi tangannya. Dan..
“Alhamdulillah..”, ucap Ratu pelan saat melihat bayi merahnya menangis.
Aku pun bersyukur, melihat Ratu dan putrinya.
“Subhanallah, cantik. Seperti aku”, goda ku pada Ratu.
Senyum Ratu amat lepas. Aku segera memanggil Bapak, Bu Stefi dan Bu Arlin untuk melihat putri Ratu. Setelah insiasi menyusui dini, putri Ratu diperdengarkan azan oleh Bapak dan di tahnik dengan kurma. Suasana ini mengharukan, Ratu pun tak lagi menahan tangisnya. Entah apa yang dibenaknya. Yang ku pikirkan hanya, jika saja putri ini terlahir dengan seorang ayah. Ah.. hanya jadi keinginan. Allah menghadirkan anugerahnya dari jalan yang tak pernah kita sangka.
“Ratu sudah menyiapkan nama?”, tanya Bu Arlin.
“Saya terserah Bapak”, jawab Ratu dengan sedikit mengusap tetesan air matanya.
“Bapak senang sekali saat meminjam buku tentang Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. Kalau Aisyah bagaimana?”, kata Bapak yang masih menimang bayi kecil itu.
“Pelangi Aishi”, sahut ku tiba-tiba, sambil tersenyum menyentuh kulit bayi merah ini.
“Kenapa Bunga memilih nama itu?”, tanya Bu Stefi yang sedang menyiapkan makanan untuk Ratu.
“Kehadiran putri cantik ini menghapus tetes hujan hati kami menjadi berwarna indah. Aishi, di buku yang pernah saya baca adalah panggilan sayang Nabi Muhammad Saw. Setuju kak?”, jelas ku.
“Dari kapan menyiapkan nama itu? Lucu sekali namanya”, jawab Ratu.
“Baru tadi, kan kelahirannya penuh keajaiban. Aku mencoba mengerti, dia benar-benar mau keluar dari rahim saat semua yang menantinya ikhlas menyambutnya. Karena dia akan menjalani hidup tanpa ayah”, kata ku pelan, khawatir salah ucap.
“Dan saat dia lahir, tangisan penantian berubah senyum”, lanjut Ratu.
“Ratu niatkan saja menikah, insya Allah akan ada lelaki baik yang Allah kirim untuk menemani mu merawat Aishi. Bagaimana pun seorang anak akan menjadi berkarakter kuat bila di didik oleh peran ayah dan peran ibunya. Agar jiwanya lebih stabil”, kata Bu Arlin ini membuat Ratu tersenyum kecil.
Selama ini Ratu tak pernah bercerita apapun tentang pendamping, aku pun tak memikirkan itu. Walau sempat ku dengar ada lelaki yang siap membantunya merawat Aishi dengan menikahi Ratu. Padahal lelaki itu belum pernah bertemu dengan Ratu, hanya mendengar cerita dari Bu Stefi saat kajian di rumahnya. Namun keadaannya belum memungkinkan untuk menikah saat ini. Keluarga lelaki itu masih menganut kepercayaan, tidak boleh mendahului kakak. Apalagi kakak perempuan, dan lelaki itu memiliki tiga kakak perempuan yang belum memikirkan pernikahan.
“Kepercayaan yang aneh”, batin ku.
Padahal pernikahan adalah ibadah, jadi itu bagian dari kebaikan. Jika kebaikan ditunda, bisa jadi itu keburukan. Mungkin juga belum rejeki Ratu.
Hari ini menjadi bersejarah bagi kami, terutama bagi ku. Melihat betapa sulitnya proses kelahiran, aku menjadi sangat hati-hati menjaga diri. Sakitnya tak tertanggungkan bila ditambah dengan beban pikiran lain. Beberapa jam setelah kelahiran Aishi, ada seorang gadis yang usianya dua tahun lebih muda dari ku juga melahirkan. Aku sempat kaget, karena gadis itu masih kecil sekali. Bukan karena pernikahan, ku dengar itu dari keributan kedua orang tuanya di lorong tempat bidan praktek. Seorang Bapak yang ku kira ayah gadis itu memarahi istrinya yang terus menangis. Bapak itu menganggap istrinya tak becus menjaga anak satu-satunya hingga harus melahirkan tanpa menikah.
Hati ku ngilu, mendengar rintihan gadis itu. Seperti adik ku saja. Rasanya aku ingin memeluknya untuk meredakan sedikit sakitnya. Pertengkaran kedua orang tuanya membuat mental gadis itu jatuh, merasa bersalah atas tindakannya. Tak lama, seorang anak lelaki datang dengan masih mengenakan seragam abu-abu seperti seragam milik ku. Dia mengenalkan diri sebagai bapak dari anak yang akan segera lahir itu. Tak habis ku pikir. Napas ku tercekat, apa yang salah?
Semalaman aku tidak nyenyak tidur, hingga subuh beberapa menit lagi aku masih terjaga. Aku sudah mencoba membaca buku dan Al-Qur’an, tapi pikiran ku masih terbayang kejadian sore tadi. Bagaimana keadaan anak gadis tadi? Saat azan subuh berkumandang, aku dan Bapak solat di musola terdekat. Aku melewati ruangan gadis itu. Terlihat sepi, tak ada tanda-tanda ada orang. Selesai solat, aku dan Bapak kembali ke ruangan Ratu. Ratu ku lihat sedang berjalan pelan menuju Aishi. Karena Aishi menangis lapar. Alhamdulillah ASI Ratu keluar lancar, aku pun menyentuh hidung Aishi yang masih menikmati dekapan bundanya.
Lalu aku pamit keluar sebentar mencari jajanan pasar, letih badan ku masih tak ku rasa. Tak jauh dari praktek bidan, aku menemukan pasar. Ramai sekali, pasar menjadi tempat menyenangkan buat ku. Seingat ku dulu, Bapak dan Ibu tak jarang mengajak kami berbelanja di pasar dekat rumah kami. Walau becek, bau dan kotor. Suasana keluarga sangat terasa, kami bisa menawar barang. Tak jarang kami mendapat pemberian dari beberapa pedagang yang menyukai lucunya aku dan Ratu saat kami kecil.
Pasar menjadi tempat yang mengingatkan pada Ibu. Apa kabarnya? Jika Ibu tahu telah menjadi nenek, bagaimana perasaanya? Pertanyaan-pertanyaan tentang Ibu berkelebat dalam pikir ku. Setelah menikmati keriuhan pasar dan mendapati jajanan yang sewaktu kecil sering ku minta, aku kembali ke bidan. Saat memasuki halaman, aku melihat anak lelaki yang sore kemarin berseragam abu-abu. Dia terduduk lesu dengan tatapan kosong.
Aku mensejajarkan duduk kurang lebih satu meter dengannya. Aku merasa dia seusia dengan ku, jadi ku anggap teman. Aku menawari makanan yang ku bawa padanya.
“Pagi ini agak mendung, matahari belum tampak padahal sudah jam segini”, sapa ku basa-basi.
Lelaki itu melihat ku tanpa arti, dia menghela napas berat sekali.
“Ada keluarga yang melahirkan di sini?”, tanya ku sambil sesekali mencicipi jajanan yang ku beli.
Lelaki ini hanya mengangguk lemah, aku menawarkan lagi jajan yang ku bawa walau tak digubrisnya. Aku pun diam sesaat memandang lalu lalang orang yang beraktifitas di sekitar tempat ku duduk. Perlahan rintik hujan turun, semilir angin membuat ku merinding. Beruntung aku selalu menggunakan jaket hitam ku. Tapi lelaki sebelah ku seolah tak merasakan apa yang terjadi disekitarnya.
“Aku kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup ku”, tiba-tiba lelaki sebelah ku buka suara.
Matanya masih tertunduk lemas, napasnya terasa berat. Aku sedikit memiringkan posisi duduk ku menghadapnya. Aku mencoba melatih empati dan kemampuan ku mendengarkan.
“Aku menjadi orang yang paling rugi di dunia. Menyakiti dan membuatnya dalam keadaan tidak berdaya”.
Beberapa orang yang melewati kami ku sapa dengan sedikit menundukkan wajah. Entah apa yang mereka kira tentang kami. Aku pun ingin membantu lelaki yang bahkan tak ku tahu namanya. Aku berharap dapat pengalaman dari kisah hidupnya dan mendapat kabar tentang gadis di ruang sebelah kamar Ratu. Hujan dihadapanku makin deras. Gemerisik air dan wangi hujan membuat bersyukur. Aku sangat menikmati hujan. Indah...
“Aku tumbuh tanpa orang tua yang memiliki waktu untuk keluarga. Aku tumbuh menjadi anak yang sangat egois, ukuran kebahagiaan yang orang tua ku ajarkan adalah materi. Aku tidak mengenal apa itu cinta, kasih, sayang dan sejenisnya. Sampai akhir tahun kemarin saat aku mulai menginjak usia tujuh belas tahun, aku salah memilih teman. Semua teman memiliki apa yang mereka sebut sebagai pacar. Aku pun tampak bodoh jika dekat mereka yang bermesraan dengan pacar-pacar mereka. Karena aku belum menemukan perempuan yang bisa membuat ku tertarik. Perempuan yang ku temui hanya menginginkan ku karenakekayaan kedua orang tua ku. Tak ada yang melihat ku dari sisi istimewanya pribadi ku”, ceritanya yang pelan, dengan iringan musik hujan beriringan.
“Aku diberi nama Matahari, dan perempuan itu Bulan. Ku merasa ada yang berbeda dengannya. Bulan tinggal hanya dua blok dari tempat ku tinggal. Aku melihat kepolosan dan keluguan ketika bermain bersama teman-temannya yang sudah berpenampilan dewasa. Penuh dengan topeng dandanan yang membuat hilang keindahannya. Usia Bulan, lima belas tahun. Bulan tampak lebih muda dari usianya. Aku beberapa kali kesempatan memperhatikannya. Melihat aktifitasnya di rumah, tak ku lihat hal yang aneh. Bulan amat sederhana, suka membaca buku di teras rumahnya. Aku tak tahu alasan mendekatinya. Aku hanya memandangi dalam diam dan sepi. Tak seorang pun tahu aku mengagumi gadis kecil itu”, kenang lelaki yang tadi disebut namanya, Matahari sambil tersenyum kecil.
“Lalu bagaimana kamu tahu namanya?”, tanya ku.
“Teman-temannya yang sangat berisik jika sudah berkumpul, sering menyebut namanya. Hingga, aku bertemu dengannya di sudut toko tempatnya biasa berbelanja. Kita berdua sama-sama kaget. Terlebih aku, dia menyebut nama ku. Dan dia menyadari aku sering memperhatikannya dari jauh. Sejak saat itu aku dan Bulan sering bertemu dengan alasan membuat tugas atau apalah. Tepat setahun lalu, Bulan berulang tahun ke enam belas. Aku mengatakan perasaan ku padanya. Bulan pun mengangguk menerima ku. Setelah kami resmi berpacaran, kami memperkenalkan pada keluarga masing-masing. Awalnya semua berjalan baik. Sekalipun hampir setiap hari aku menemuinya. Mengantar dan menjemput saat ku bisa, makan dan berjalan-jalan akhir minggu. Sampai akhirnya...”, Matahari menghela napasnya, hujan pun seolah mewakili hujan di hatinya.
“Terlalu sering bertemu tanpa ada hal penting membuat hubungan kita membosankan. Mulai ada pertengkaran hal-hal yang tidak penting. Aku salah menceritakan pada teman yang justru merusak hidup ku. Dia menyarankan untuk melakukan hubungan yang seharusnya disucikan dengan pernikahan. Bodohnya aku mengikuti, menurut teman ku itu tanda cinta dan penguat hubungan. Aku merayu keluguannya, hingga malam itu...”, Matahari memejamkan mata, berusaha menahan air di sudut matanya.
“Kehamilan pun terjadi, Bulan awalnya diam. Tapi karena dia sudah tiga hari ijin sekolah, ibunya membawa ke dokter. Akhirnya kami semua tahu, aku dihajar hingga babak belur ayah ku dan ayah Bulan. Aku katakan akan bertanggung jawab. Bulan yang pintar dan berprestasi harus putus sekolah. Aku menyalahkan diriku sendiri, tapi Bulan selalu berusaha tersenyum saat bertemu dengan ku. Setelah keluarga ku dan Bulan berbicara tentang kelanjutan hidup kami, aku akan di cambuk sebagai penebus kesalahan. Beberapa hari lagi aku akan dibawa ke desa yang menghukum warganya dengan hukuman cambuk. Bulan dibawa setelah melahirkan. Aku diminta pindah ke desa itu selama setahun, untuk pengasingan. Aku pun mau tak mau harus menerima. Yang membuat ku nyeri adalah aku tak bisa mendampingi Bulan selama hamil. Perempuan membawa beban lebih”, tak lagi dapat di tahan, air mata pun mengalir di pipi lelaki yang bernama Matahari ini.
Aku tak pernah melihat lelaki menangis selain Bapak, ku pun terharu mendengarnya. Lelaki ini begitu polos, hanya tak punya pendirian yang baik dia menjadi korban mode. Cinta hanya dimaknai dengan rasa memiliki berlebihan.
“Selama hampir tujuh bulan, kita tak pernah berjumpa. Saat-saat seperti ini aku menyadari betapa aku jauh dari Tuhan yang mencipta hidup. Kemarin aku dihubungi Ibu Bulan, mengabari Bulan terpeleset di kamar mandi dan mengalami pendarahan. Saat di bawa kesini, kondisi fisik Bulan benar-benar menurun. Terlalu banyak darah keluar, bayinya meninggal dalam rahim. Tak lama, Bulan menghembuskan napas terakhir tepat saat Bulan menjawab panggilan azan. Di sampingnya aku melihat Bulan yang diam untuk selamanya. Aku lemas dan menangis di tubuh yang tak lagi mendengar ku. Aku harap, kami berdua diampuni. Aku mengingat surat terakhir yang ku terima. Bulan pun banyak memohon ampun atas kesalahan kami. Berharap pada Tuhan untuk memberi kesempatan memperbaiki kepercayaanNya yang tak kami jaga dengan baik. Dan sekarang aku sendiri...”, Matahari menutup wajahnya yang terus mengalirkan air mata.
Aku ingat dia laki-laki bukan mahrom, aku hampir saja ingin menepuk-nepuk pundaknya. Aku pun larut dalam hujan pagi ini. Aku tak bisa berkomentar banyak. Aku melihat sebuah tas bayi yang dibawanya, mungkin itu alasannya kembali kesini. Bercerita dengan orang yang tak kenalnya, sedikit mengurangi perihnya. Ternyata mendengarkan sudah menjadi separuh solusi. Dan mungkin, Matahari menganggap kita tak akan bertemu. Jadi ia dapat bercerita leluasa tanpa khawatir malu terhadap kesalahannya. Lagi-lagi Allah menunjukkan kuasaNya pada ku, bedanya aku masih bisa melihat Ratu dan Aishi baik-baik saja. Masih berkesempatan memperbaiki diri sebelum menghadap Penguasa Hidup.

Saat perjalanan kita terlalu mulus dan lancar, tak jarang kita mencari tantangan yang belum tentu kita mampu lewati. Perjalanan hidup orang lain, kita cari sejuta hikmahnya. Tentu hikmah adalah mutiara di dasar laut. Kita perlu menyelam yang dalam untuk menemukan rumah mutiara tumbuh. Lalu kita berusaha lagi mengetuk rumah mutiara itu untuk bisa menikmati indahnya. Tak banyak orang bertahan menyelam hingga ke dasar. Semua harus dilalui dengan upaya. Semakin pahit upaya, semakin manis hasilnya. Pencipta kita lebih memahami sejauh apa kekuatan kita. Rintik hujan pagi ini mewakili rintik hujan di hati. Maafkan kami, wahai Pemelihara Hidup. Kami terlalu lalai menikmati indahnya hidup, hingga mudah terlupa tujuan hidup ini. Aku menengadah tangan, ingin merasakan hujan di jemari ku yang bergetar karena memintal pinta. Aku hanya ingin, Pencipta ku tersenyum melihat tarian hidup yang ku persembahkan untukNya. Semua yang ku upayakan akan sia-sia bila tanpaNya. Aku mencintai hujan pelangi hari ini, Allah.. Tetaplah genggam jemari ku, peluk aku dan temani tangis dan tawa ku. Cukup bagi ku...


















Sabtu, 08 Maret 2014

Pelangi Aishi Bag. 3 Menjadi Aisyah yang Cerdas



Menjadi Aisyah yang Cerdas

Dengan pengertian, Bu Stefi datang mengunjungi ku. Aku amat merindukan Ratu. Bu Stefi mengajak ku berakhir pekan di rumah tempat tinggal Ratu. Semangat ku meminta ijin Bapak. Menyenangkan sekali, banyak yang ingin ku ceritakan padanya.
              Aku dan Bu Stefi memasuki sebuah pekarangan yang cukup luas. Di pintu gerbangnya tertulis, “laki-laki hanya di teras depan”. Di situ aku perhatikan ini tempat kontrakan putri. Kebunnya terawat dan bersih tanpa sampah. Kamar Ratu ada di ujung lorong, aku berdebar. Bagaimana keadaannya disini?
              “Assalamu’alaikum..”, sapa Bu Stefi sambil mengetuk pintu.
              “Wa’alaikumussalam.. Ibu.. Bunga…!!!”, jawab Ratu hangat.
Setelah mencium tangan dan kedua pipi Bu Stefi, Ratu langsung memeluk ku erat dan lama. Aku pun menyambutnya dengan sedikit terharu. Ratu masih cantik, wajahnya lebih bersinar. Untuk beberapa detik kami berdua terdiam dalam pelukan kerinduan. Sampai air bening di mata Ratu mengalir, Ratu melepas pelukannya untuk mengusap tetesan di pipinya.
              “Ayo, masuk ke dalam”, ajak Ratu.
              “Ibu ada jam mengajar satu jam lagi, Ibu langsung pamit saja. Besok sore Ibu antar bunga pulang”, jawab Bu Stefi yang langsung beranjak menuju halaman depan rumah.
Aku pun segera masuk ke dalam kamar Ratu, wangi dan bersih. Aku melihat tumpukan pakaian yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Beberapa gamis dan beberapa kain kerudung. Di sudut ruangan juga ada beberapa buku dan Al-Qur’an.
              “Bunga semakin anggun dengan jilbab”, kata Ratu sambil mengusap kepala ku.
Aku tersenyum, telah lama ku rindukan usapan kepalanya. Lalu aku memegang tangannya yang semakin berisi. Aku memandangi wajah Ratu yang semakin cantik dan ada bertambah gemuk.
              “Aku merindukan mu, kak”, hanya kalimat itu yang ingin ku ucap selama ini tak bertemu.
              “Sudah dua bulan lebih, kandungan ku Alhamdulillah semakin berkembang baik.
              Teman-teman di sini sangat baik. Kita solat berjama’ah, makan bersama, kajian dan membaca Al-Qur’an bersama. Kakak diberi beberapa gamis yang cantik, insya Allah kakak pun selalu berjilbab. Kakak kerja di toko buku seberang jalan, cukup untuk beraktifitas positif dan tabungan. Karena biaya hidup kakak semua dibantu Bu Arlin dan Bu Stefi”, cerita kakak panjang lebar.
              “Alhamdulillah, masih ada orang yang baik mau bantu kita. Aku dan Bapak banyak belajar sekarang. Semua ada hikmahnya. Aku pun makin sering menulis sejak diberi seperangkat computer oleh kakak kelas yang tahu kegemaran ku menulis. Ini aku bawa beberapa tulisan ku, untuk kakak baca”, cerita ku pun dengan semangat.
Hingga larut malam kami bercerita banyak tentang hari-hari yang kami lalui. Yang paling membuat senyum kami tak surut adalah saat kakak menceritakan tentang seorang istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah RA. Perempuan cerdas yang menyenangkan. Selama ini aku belum pernah belajar tentang perempuan hebat dalam sejarah Islam. Ternyata banyak tokohnya yang amat mengagumkan karyanya. Mencari mutiara itu memang harus menyelami lautan untuk menemukannya. Kita lebih mudah mendapat cerita tidak bermutu dari orang-orang yang sama sekali tidak menginspirasi.
Dari cerita kakak, aku merasa sangat perlu banyak belajar lagi mencari teladan perempuan hebat. Ku pikir selama ini, aku tidak punya tokoh yang bisa ku teladani. Teman-teman ku di sekolah, tak sedikit yang mengagumi tokoh yang menghiasi industry hiburan, mengikuti gaya hidup yang serba mimpi dan tidak nyata. Aku merasa kering, teman-teman di rohis pun masih sangat jarang diskusi tentang tokoh Islam yang punya jasa besar untuk kemuliaan Islam.
Teori-teori yang kami pelajari di sekolah adalah tokoh yang memisahkan ilmu dunia dan iman. Seolah dunia dengan keimanan adalah dua sisi mata uang yang tidak pernah bersitatap. Malam ini aku tidur dengan mimpi sebagai ilmuwan pertanian yang soliha. Tidurku sambil mengukir rekahan senyum.
  “Alhamdulillah…”
Ujung malam, aku terbangun mendengar isak tangis di sebelah tempat ku tidur. Perlahan ku buka mata, ku melihat Ratu di balik mukena menitikkan air mata di atas sajadah. Aku mendengar jelas doa - doa yang diucapnya. Aku pun tak kuasa membendung tetesan air mata ku yang turun begitu saja. Aku tetap pura-pura tertidur, tak mau mengganggu Ratu.
              “Terima kasih telah membuat aku kembali berjalan di jalan yang baik. Jaga Bapak, Ibu dan Bunga. Aku tak mampu menjaga mereka lagi. Ada janin yang Allah titip di rahim ku, yang harus ku jaga. Ampuni kelalaian kami menghadap Allah. Aku tak punya apa-apa untuk membesarkan anak ini. Hanya Allah cukup bagi ku, yang akan membantu ku di tiap langkah”, akhir doa Ratu diiringi zikir sepanjang malam hingga azan subuh berkumandang.
Ratu membangunkan, aku pun berusaha menutupi kesedihan ku lalu langsung bergegas solat subuh di ruang khusus solat di tengah serambi depan. Pertama kali aku merasakan subuh yang luar biasa. Teman-teman serumah kontrakan ini begitu seperti keluarga. Subuh berjama’ah ini begitu menyenangkan. Seperti diantara bidadari surga. Setelah solat subuh, kami membaca Al-Qur’an bersama. Ditutup dengan kajian beberapa menit.
Setelah itu, kakak dan beberapa temannya yang mendapat giliran piket masak hari ini menyiapkan menu hari ini. Aku belum tertarik untuk ke dapur, aku lebih tertarik menghabiskan waktu bersama buku bacaan. Salah satu buku yang yang ada di meja ada “Khodijah The Greatest Love of Muhammad Saw” dan “Aisyah is Special Woman”. Aku membaca dari halaman depan mencari bagian yang bisa ku jadikan inspirasi menulis ku.
Hingga sore aku dijemput Bu Stefi kembali ke rumah. Aku meminjam kedua buku tadi untuk aku selesaikan di rumah. Dengan senang hati, kakak memberikannya.
              “Tidak ada kata terlambat untuk kita memperbaiki diri”, kata Ratu sesaat sebelum aku berpamitan.
Aku tersenyum, lega melihat perubahan positif  Ratu. Ratu mengajari aku untuk menyikapi ujian menjadikan kita jadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Walau ku tahu, tidaklah mudah berada di posisi Ratu. Ujian tak pernah jadi baik, jika kita tak membaikkan diri.
              “Assalamu’alaikum..”, sapa ku saat melihat Bapak sedang membersihkan halaman depan rumah yang langsung ku peluk.
              “Wa’alaikumussalam..”, jawab Bapak agak kaget dengan sikap ku yang tak biasa mengucap salam.
Bu Stefi hanya tersenyum melihat tingkah ku.
              “Mari masuk Bu Stefi, minum teh manis hangat dulu”, ajak Bapak.
Kami bertiga masuk ke dalam ruang tengah. Aku menyeduhkan tiga cangkir teh manis hangat. Kami berbincang tentang keadaan Ratu.
              “Alhamdulillah, Ratu benar-benar kembali ke jalan Allah. Banyak rejeki melimpah untuknya. Ratu pun terbiasa bekerja keras. Sepulang menjaga toko buku, selain kajian Ratu juga menerima jahitan dari orang-orang sekitar. Ada sebuah mesin jahit yang lama tak digunakan Bu Arlin, diberikan pada Ratu. Semangatnya untuk menjaga kesehatan juga baik sekali”, jelas Bu Stefi menentramkan Bapak.
              “Alhamdulillah”, hanya kata itu yang mampu Bapak ucapkan.
Aku dan bapak tersenyum penuh syukur mendengar cerita Bu Stefi.
              “Untuk biaya persalinan dan kebutuhan bayi semua sudah ada donatur yang mau membantu, mohon doanya saja. Karena bayi yang tanpa ayah punya perlakuan berbeda untuk mengurus administrasi. Dan ini menjadi bentuk ibadah tertinggi untuk laki-laki baik yang mau menikahi perempuan korban kekonyolan”, jelas Bu Stefi agak emosi, sedih.
              “Kami selalu mendoakan Ratu agar dimudahkan”, jawab Bapak pelan.
Sesaat setelah bercerita, Bu Stefi berpamitan. Aku dan Bapak mengantar Bu Stefi hingga halaman depan. Bu Stefi banyak membantu keluarga kami.
Dalam waktu dua pekan aku menghabiskan buku bacaan dari Ratu. Dengan keadaan hati aku dan Ratu yang lebih baikan, aku memberanikan lagi menulis tema perempuan. Perempuan menjadi bahan tulisan ku yang tak habis-habisnya. Bukan karena ingin dominasi gender, kata orang seperti itu. Aku melihat perempuan saat ini tak banyak yang dapat dijadikan inspirasi. Perempuan lebih sibuk dengan penampilan dirinya. Padahal masyarakat menunggu karya perempuan untuk kehidupan.
Di sekolah aku sering mengikuti perlombaan menulis. Karya ku amat sederhana. Seperti buku yang pernah ku baca, “apa yang dari hati akan sampai ke hati”. Dan lewat tulisan aku belajar mencipta karya keabadian.
Tulisan terakhir ku yang cukup mendapat perhatian adalah “Indah Menjadi Aisyah”. Aku menjadi amat terpesona dengan kisah perempuan seperti Aisyah. Sekalipun masih banyak perempuan Islam lain yang juga inspiratif. Khodijah yang amat sabar, menjadi satu-satunya perempuan yang dicintai Nabi Muhammad Saw. Tak tergantikan dengan apapun. Menjadi tambatan dan sandaran ketika perjuangan Islam belum diterima. Al Khonsa, yang saat masih belum Islam adalah perempuan lemah yang mudah patah hatinya. Namun ketika cahaya Islam berpendar di hatinya, Al Khonsa menjadi ikhlas kehilangan ke empat putranya dalam waktu yang berdekatan.

Aku bukanlah Khodijah yang mulia, Aisyah yang cerdas ataupun Al Khonsa yang tangguh. Aku hanya setangkai bunga yang hidup di akhir jaman dan belajar menjadi soliha perhiasan dunia. Perhiasan untuk pecinta Penciptanya. Mewangikan dan mengindahkan taman surga. Mengabdi dengan amanah bakat yang ku persembahkan untuk pada Maha Hidup. Mengelola bumi lebih baik dari sebelumnya. Menjejakkan karya untuk dunia...

Bunga Surga yang Melengkapi Dunia.