Rabu, 15 Mei 2013

refleksi hari bangkit Pelajar Islam Indonesia ke 66


4 Mei 1947
Tanggal ini sejarah pergerakan pelajar Islam di Indonesia mulai bergerak dan berdetak. Dengan semangat menyatukan dualisme pelajar. Antara pelajar santri yang membatasi keilmuan dan kajian ritualitas Islam, namun lemah pada keilmuan teknologi dan perubahan social. Dan pelajar sekolah umum yang sama sekali tidak menyentuh kajian Islam. Tokoh pelajar ketika itu, Joesdi Ghazali dan teman-temannya yang hingga kini kita tidak mengetahui sisi kehidupannya secara mendalam. Yang kita tahu hanya karya besarnya dalam jalan dakwah ini, Pelajar Islam Indonesia (PII). Jalanku, jalan mu dan jalan kita.
Banyak tokoh besar bangsa dididik melalui system kaderisasi yang terus mengembangkan diri untuk dapat menjawab dinamika social. Pengembangan potensi diri untuk dapat menemukan jawaban untuk apa kita hidup dan apa yang kita lakukan dalam hidup? Kemudian menerjemahkan pada internalisasi keislaman pada keseharian sebagai implikasi penghambaan pada Maha Pencipta.
Nilai-nilai yang telah terinternalisasi ini kemudian di eksternalisasi melalui kebermanfaatan kita di lingkungan sekitar kita. Seperti pohon yang membuahkan hasilnya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan yang lebih baik. Lalu beriring waktu kita akan memahami konseptualisasi nilai Islam yang integral dan universal untuk menjadikan kita sebagai pengelola dunia.
4 Mei 2013
Bergerak, terus bergerak… PII oh PII dikau ku cinta.
Usia mu menginjak tahun ke 66, berpeluh dan berdarah untuk perjuangan ini. Di hari bangkit kali ini, kaki kecil kami menjejakkan kaki di kota Yogyakarta. Kota kelahiran sebuah organisasi pelajar tertua di Indonesia. Namun, kita tidaklah ingin hanya romantisme sejarah. Kami long march sepanjang jalan dari Masjid Syuhada hingga bundaran Universitas Gadjah Mada. Masjid Syuhada yang merepresentasikan perdaban Islam dimulai dari masjid, lembaga pendidikan, lembaga pengelolaan harta hingga perpustakaan. Yang banyak kini, masjid tidak lagi mewakili suara masyarakat yang ingin perikehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Dan Universitas menjadi symbol peradaban pendidikan di kota pelajar ini.
Kami bukan sekedar orasi meneriakkan ketimpangan masalah dan kondisi pelajar. Kami menawarkan solusi untuk dapat bersama-sama menolong bangkitnya pelajar Indonesia dari “ketertindasan” pendidikan. Pelajar tidak hanya membutuhkan asupan kognitif, afektif dan psikomotorisnya jugakering. Menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sepenuh hati, membangun semangat perjuangan untuk harapan esok lebih baik.
Kemudian kami melanjutkan dengan seminar internasional di gedung Fakultas Ilmu Budaya dengan tema “Budaya Melayu Budaya Islam” pembicara utama oleh Prof. Dr. Mohtar Naim. Kesederhanaan rangkaian acara PII dimana pun selalu gempita dengan Lantunan lagu Indonesia Raya yang beriring  Mars PII. Diskusi yang kembali berbatas waktu juga tak kurang menghiasi dinginnya gedung acara.
Acara sore kami, semua mencari kegiatan masing-masing. Bersama beberapa teman, aku menemani menikmati senja di kota Yogyakarta yang eksotik budaya. Berjalan dari Pojok Beteng Wetan hingga Masjid Gedhe Kauman membuat kaki lecet dan terguyur rintik hujan. Pertama kali berjalan kaki sejauh itu, lelahnya belum hilang dari Long March pagi tadi. Seolah bentuk napak tilas…
Menemani makan camilan dan menikmati mitos pohon beringin di alun-alun kidul, sholat di masjid Gedhe Kauman tempat I’tikaf salah seorang pendiri PII dan aku menyerah untuk harus berjalan lagi kembali ke Yayasan Kemaslahatan Ummat (YKU) sebagai markas PII Yogyakarta Besar. Kami pun menumpang andong yang sangat kereeeen. Senangnya mengenang masa kecil yang dulu sering naik cidomo di  Mataram NTB. Perjalanan melelahkan hari ini akan menjadi indah saat badan lelap istirahat.
Hari kedua, acara refleksi Hari Bangkit (Harba) di gedung DPRD Yogyakarta. Dihadiri beberapa keluarga besar PII yang lama tak menghirup semangat perjuangan di PII. Dan pagi ini, benar-benar mata ini berkaca-kaca dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Mars PII. Bersamatokoh-tokoh Indonesia yang juga pernah berjuang dalam PII.
Sorenya menikmati Taman Sari, eksotika Keraton Yogyakarta. Makanbakso last order di jalan taman siswa dan menikmati Tugu Yogyakarta di malam hari. Sekedar berfoto dan benar-benar menjadi tour guide. Lalu menyewa odong-odong unyu di seputaran alun-alun kidul. Menikmati lantunan pengamen yang merdu dengan segelas es susu. Sudah lama ingin ke Taman Sari dan naik odong-odong akhirnya terwujud juga hari ini.J
Menemani jalan-jalan tamu Yogyakarta ini memang tidak ada matinya, tengah malam kami semua meluncur ke penginapan di Kaliurang. Menikmati dinginnya… Untuk besok paginya ke Plawangan taman nasional. Air terjun yang berubah menjadi air merembes setelah erupsi merapi. Dan terakhir ke makam Mbah Marijan yang membuat kulit terbakar dan kaki lelah mendaki lembah.
Setiap perjalanan selalu mengajarkan banyak hal untuk kita maknai. Karena hidup ini terlalu indah bila kita tidak memaknainya dengan cara yang indah.
Tugas kita kini, tetap menjadikan PII sebagai pergerakan dakwah pelajar atau hanya sebatas melanjutkan tanggung jawab sejarah.... Menajamkan kembali pisau analisa sosial untuk menjawabnya dengan sikap yang tepat.
Dan kenangan hari ini menjejakkan banyak kisah, menikmati Yogyakarta sebagai awal sejarah kiprah PII.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar