Rabu, 22 Mei 2013

sebuah cita



Angin….
Hembusan  angin, datanglah temani tarian hujan ku.
Menatap esok dengan yakin, bahwa “rumah senyum” itu akan mewujud nyata.
Sebuah rumah sederhana tampilannya dengan sejuta mimpi dan karya nyata dari anak-anak bumi.
Tak lagi menangisi badai, karena mereka akan belajar berdiri di dalamnya.
Menunjukkan pada dunia, bahwa kebahagiaan adalah hak setiap anak.
Kebahagiaan berkarya untuk Islam dan ummat Islam.
Idealisme langit yang diterjemahkan oleh realitas sosial.
Angin...
Maha Karya dari cintaNya, menepikan hati pada sebuah sudut ketidakmengertian.
Mengapa aku terlahir seperti ini?
Sejenak ku diam, memahami dan menghayati.
Rencana kehidupan adalah menjadikan kita manusia sempurna.
Lahir dari kebaikan dan kembali pada kebaikan setelah melewati banyak keburukan.
Kini, aku bisa memiliki senyum yang indah.
Senyuman yang tulus menghapus luka yang ada.
Cukuplah aku merasakan perjalanan ini, tidak untuk mu teman.
Keluarga tidak berbatas darah, namun juga cinta kita pada Maha Cinta.
Di rumah senyum, keluarga akan menghapus sekat dan tembok.
Cinta kita padaNya mencipta karya.
Semoga... Amal jariyah, ilmu bermanfaat dan anak-anak ideologis yang sholih tetap semarak mewarnai pertemuan kita.

Jumat, 17 Mei 2013

social movement, katanya


Perubahan social, tugas yang memang tak mudah namun juga sama sekali bukan suatu kemustahilan. Seiring jalan juang ini, aku ditemukan dengan berbagai rupa karakter mewarnai pelangi hari. Perubahan social menjadi agenda beberapa golongan, yang amat tajam analisis sosialnya. Dan itu sangat menusuk bagi pemimpin negeri yang nyaris tak pernah melakukan kebenaran. Diskusi yang dihadiri oleh berbagai gerakan perubahan social dari perwakilan provinsi dan luar negeri membuat suatu kesan tersendiri. Menggunakan tiga bahasa pengantar berbeda, tapi tetap dapat menangkap maksud dan target yang akan diperjuangkan. Obrolan konstruktif memetakan kebutuhan masyarakat langsung dengan tanpa membabi buta.
Kita kini bukan berbicara muslim sosialis, itu seperti air dan minyak yang sudah berbahan dasar berbeda. Menjadi muslim adalah I’tikad menghamba sepenuhnya dengan Penciptanya, kemudian berimplikasi pada pengabdian pada lingkungan sekitarnya. Kesolihan adalah perwujudan amal solih, tidak sebatas ritualitas belaka. Sebab cinta bukan hanya antara aku dan kamu, tapi kita.
Belajar mencintai keseimbangan dengan berperilaku sederhana. Cukup bekerja, cukup istirahat. Cukup ibadah, cukup beramal. Cukup memberi dan cukup menerima.
Berubahnya kondisi social hanya dapat terwujud dari rasa kebersamaan kita melangkahkan tujuan kaki-kaki kecil kita. Bila kita hanya ribut internal dengan membahas sekelumit permasalahan teknis yang tidak substantive, maka akan perlahan membunuh kita. Perjuangan ini menuntut pribadi-pribadi tangguh menjawab tantangan jaman yang terus berlari. Sebab jalan perjuangan ini tidak membutuhkan pribadi yang terus mengkritik secara destruktif tanpa solusi nyata.
Yang perlu kita sadari bersama adalah sebuah ideologi yang membawa orang-orang di dalamnya yang hidup tanpa ideologi....
Pilihannya hanya skeptic atau peduli….       

Rabu, 15 Mei 2013

refleksi hari bangkit Pelajar Islam Indonesia ke 66


4 Mei 1947
Tanggal ini sejarah pergerakan pelajar Islam di Indonesia mulai bergerak dan berdetak. Dengan semangat menyatukan dualisme pelajar. Antara pelajar santri yang membatasi keilmuan dan kajian ritualitas Islam, namun lemah pada keilmuan teknologi dan perubahan social. Dan pelajar sekolah umum yang sama sekali tidak menyentuh kajian Islam. Tokoh pelajar ketika itu, Joesdi Ghazali dan teman-temannya yang hingga kini kita tidak mengetahui sisi kehidupannya secara mendalam. Yang kita tahu hanya karya besarnya dalam jalan dakwah ini, Pelajar Islam Indonesia (PII). Jalanku, jalan mu dan jalan kita.
Banyak tokoh besar bangsa dididik melalui system kaderisasi yang terus mengembangkan diri untuk dapat menjawab dinamika social. Pengembangan potensi diri untuk dapat menemukan jawaban untuk apa kita hidup dan apa yang kita lakukan dalam hidup? Kemudian menerjemahkan pada internalisasi keislaman pada keseharian sebagai implikasi penghambaan pada Maha Pencipta.
Nilai-nilai yang telah terinternalisasi ini kemudian di eksternalisasi melalui kebermanfaatan kita di lingkungan sekitar kita. Seperti pohon yang membuahkan hasilnya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan yang lebih baik. Lalu beriring waktu kita akan memahami konseptualisasi nilai Islam yang integral dan universal untuk menjadikan kita sebagai pengelola dunia.
4 Mei 2013
Bergerak, terus bergerak… PII oh PII dikau ku cinta.
Usia mu menginjak tahun ke 66, berpeluh dan berdarah untuk perjuangan ini. Di hari bangkit kali ini, kaki kecil kami menjejakkan kaki di kota Yogyakarta. Kota kelahiran sebuah organisasi pelajar tertua di Indonesia. Namun, kita tidaklah ingin hanya romantisme sejarah. Kami long march sepanjang jalan dari Masjid Syuhada hingga bundaran Universitas Gadjah Mada. Masjid Syuhada yang merepresentasikan perdaban Islam dimulai dari masjid, lembaga pendidikan, lembaga pengelolaan harta hingga perpustakaan. Yang banyak kini, masjid tidak lagi mewakili suara masyarakat yang ingin perikehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Dan Universitas menjadi symbol peradaban pendidikan di kota pelajar ini.
Kami bukan sekedar orasi meneriakkan ketimpangan masalah dan kondisi pelajar. Kami menawarkan solusi untuk dapat bersama-sama menolong bangkitnya pelajar Indonesia dari “ketertindasan” pendidikan. Pelajar tidak hanya membutuhkan asupan kognitif, afektif dan psikomotorisnya jugakering. Menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sepenuh hati, membangun semangat perjuangan untuk harapan esok lebih baik.
Kemudian kami melanjutkan dengan seminar internasional di gedung Fakultas Ilmu Budaya dengan tema “Budaya Melayu Budaya Islam” pembicara utama oleh Prof. Dr. Mohtar Naim. Kesederhanaan rangkaian acara PII dimana pun selalu gempita dengan Lantunan lagu Indonesia Raya yang beriring  Mars PII. Diskusi yang kembali berbatas waktu juga tak kurang menghiasi dinginnya gedung acara.
Acara sore kami, semua mencari kegiatan masing-masing. Bersama beberapa teman, aku menemani menikmati senja di kota Yogyakarta yang eksotik budaya. Berjalan dari Pojok Beteng Wetan hingga Masjid Gedhe Kauman membuat kaki lecet dan terguyur rintik hujan. Pertama kali berjalan kaki sejauh itu, lelahnya belum hilang dari Long March pagi tadi. Seolah bentuk napak tilas…
Menemani makan camilan dan menikmati mitos pohon beringin di alun-alun kidul, sholat di masjid Gedhe Kauman tempat I’tikaf salah seorang pendiri PII dan aku menyerah untuk harus berjalan lagi kembali ke Yayasan Kemaslahatan Ummat (YKU) sebagai markas PII Yogyakarta Besar. Kami pun menumpang andong yang sangat kereeeen. Senangnya mengenang masa kecil yang dulu sering naik cidomo di  Mataram NTB. Perjalanan melelahkan hari ini akan menjadi indah saat badan lelap istirahat.
Hari kedua, acara refleksi Hari Bangkit (Harba) di gedung DPRD Yogyakarta. Dihadiri beberapa keluarga besar PII yang lama tak menghirup semangat perjuangan di PII. Dan pagi ini, benar-benar mata ini berkaca-kaca dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Mars PII. Bersamatokoh-tokoh Indonesia yang juga pernah berjuang dalam PII.
Sorenya menikmati Taman Sari, eksotika Keraton Yogyakarta. Makanbakso last order di jalan taman siswa dan menikmati Tugu Yogyakarta di malam hari. Sekedar berfoto dan benar-benar menjadi tour guide. Lalu menyewa odong-odong unyu di seputaran alun-alun kidul. Menikmati lantunan pengamen yang merdu dengan segelas es susu. Sudah lama ingin ke Taman Sari dan naik odong-odong akhirnya terwujud juga hari ini.J
Menemani jalan-jalan tamu Yogyakarta ini memang tidak ada matinya, tengah malam kami semua meluncur ke penginapan di Kaliurang. Menikmati dinginnya… Untuk besok paginya ke Plawangan taman nasional. Air terjun yang berubah menjadi air merembes setelah erupsi merapi. Dan terakhir ke makam Mbah Marijan yang membuat kulit terbakar dan kaki lelah mendaki lembah.
Setiap perjalanan selalu mengajarkan banyak hal untuk kita maknai. Karena hidup ini terlalu indah bila kita tidak memaknainya dengan cara yang indah.
Tugas kita kini, tetap menjadikan PII sebagai pergerakan dakwah pelajar atau hanya sebatas melanjutkan tanggung jawab sejarah.... Menajamkan kembali pisau analisa sosial untuk menjawabnya dengan sikap yang tepat.
Dan kenangan hari ini menjejakkan banyak kisah, menikmati Yogyakarta sebagai awal sejarah kiprah PII.


Minggu, 12 Mei 2013

teruntuk LASKAR PEMIMPIN



Assalamu’alaikum Laskar Pemimpin...
Hati ini merindukan keluhan teman-teman yang protes dengan segala yang terjadi selama kita bertemu dan bicara. Kerinduan ini menggerakkan jemari ku untuk menulis jejak kebersamaan kita yang indah, teman.
Aku mengawalinya dengan sebuah keputusan untuk ikut bergabung mengelola pelatihan Al Azhar yang tanggalnya bertepatan dengan ujian tengah semester di kampus. Ya, aku menyiapkan semua perkuliahan dan kehidupan pribadi ku untuk dapat mendampingi para pemimpin yang luar biasa. aku tidak ingin setengah hati menjalani apa yang ku cinta. Pelatihan PII dimana pun selalu menjadi kecintaan ku. PII (Pelajar Islam Indonesia) menjadi bagian yang membentuk ku untuk lebih memaknai hidup dengan perjuangan bagi anak-anak dunia.
Pelatihan kepemimpinan PII juga mengajari aku untuk memiliki keluarga yang bersama bercita-cita untuk kehidupan yang lebih indah. Kali ini, pelatihan PII berbeda dari biasanya. PII diundang Yayasan Pesantren Islam Al Azhar untuk Latihan Lanjutan Kepemimpinan OSIS se-Indonesia, tentu akan berbeda implementasi dari pelatihan PII yang biasa kami lakukan.
Tanggal 27 April 2013, kereta yang menjemput ku di stasiun Lempuyangan Yogyakarta menjemput ku pukul 17.10. Padahal ku lihat di web PJ KA pukul 19.30, jadi masih bisa menemani teman-teman di komunitas Sekolah Pasar Rakyat siaran di Jogja TV. Ternyata pukul 16.00, teman-teman tim instruktur dari Jawa Timur sudah berada di Solo. Artinya kurang lebih sejam sampai di stasiun Lempuyangan, posisi ku saat ini di Wonosari Bantul. Akhirnya harus terpaksa meninggalkan siaran teman-teman untuk dapat tepat waktu sampai di stasiun.
Alhamdulillah, tepat waktu dengan kereta api itu sungguh sesuatu J.
Ada Kang Mahrus, Yunda Dewi keduanya sudah kenal sebelumnya di Bali. Yunda Rima dan Kang Adit pertama bertemu, ditambah dua orang ustadz tim Bahasa Arab yang hingga kini saya tidak ingat namanya (maafkan daya ingat saya). Sepanjang perjalanan berbincang banyak hal, ide-ide mengubah dunia bisa juga menjadi topik seru di gerbong kereta api malam itu. Hingga menjelang tengah malam, satu per satu kita tertidur. Alam bertasbih menemani jalan juang ini, teman.
Pukul 02.00 dini hari, gerbong merapat di stasiun Pasar Senen. Tidur hanya beberapa jam, kemudian melangkahkan kaki kecil ini menuju markas pelajar terkeren versi PII di menteng raya 58 Jakarta Pusat. Mempertahankan mata hingga dapat sholat subuh dengan berbincang di asrama PII wati yang imut. Dan esok pagi langsung coaching instruktur dengan semua yang sudah hadir, Kang Afif, Kang Helmi, Kang Erlan, Yunda Khusnul, Yunda Tika dan ustadzah Puput. Kecuali Yunda Nani dan Yunda Femina yang sedang di perjalanan, kami berbincang menyiapkan acara esok.
Gempita pembukaan acara Latihan Lanjutan Kepemimpinan di gedung kampus pusat Al Azhar menyambut kami yang hadir dengan berbagai harapan di mata peserta. Kami berangkat kemudian menuju Cigombong, Bogor di gedung diklat Yayasan Pesantren Al Azhar. Sepanjang perjalanan menyiapkan hati dan meluruskan niat ini untuk ibadah. Agar hati ini dikuatkan dengan segala uji dan coba yang terjadi.
Udara sejuk menyambut kami serombongan orang yang ingin esok lebih indah dengan warna-warni cita yang kami bangun. Kami masuk ke asrama untuk merapikan barang yang kami bawa lalu menikmati makan siang di ruang makan, walau tanpa diiringi hembusan angin dingin puncak yang ku harap. Hehe, Bogor kini tidak sedingin kata orang. Lalu peserta diminta mengisi beberapa perangkat untuk memenuhi persyaratan kepesertaan. Siang ini, pertama kalinya aku bertemu dengan ke 29 anak yang akan belajar bersama selama empat hari ini. 
Muhamad Raihan Fadilah
Muhammad Izzatul Wildan
Nurul
Anindita
Amanda Putri Charissa
Farah Almira Syahira
Nadindra Paramadeya Parwoko
Dita Savana Aqsalia
Shafira Fadillah
Laksita Ashiila Widanti
Lani Diana Paulus
Adela Damika Putri
Mecca Muncar Widyarifa
Muhammad Ghiffari Fachreziansyah
Farrel Akbar Ghifari
Muhammad Rizki Galuh Pratama
Muhammad Fauzan Daffairuzi
Maulana Gibran
Helmi Nur Syaifullah
Imam Reza Syachputra
Hazel Raditya Mizumareru
Alvan Defara Indrasta
Ananda Findez Amar
Muhammad Berdauno
Ghazy Prima Daffa
Reflian Krisna R.
Mutiara Ramadani
Muhammad Randi Susila Bakti
Muhammad Kenzo

Walau terkesan kurang manusiawi, ruangan yang disiapkan kurang kondusif karena masing-masing kelompok akan saling menganggu dan jumlah anak yang terlalu banyak. Aku mengkhawatirkan ada seorang anak saja yang tidak dapat saya dampingi maksimal. Teman, tangan ini hanya terbatas kata untuk mengubah dunia. Langkah kaki ini terlalu kecil untuk menjangkau impian di birunya langit. Hanya keyakinan pada Maha Indah yang kan mengindahkan perjalanan ini pada pinta ku. Dua rakaat sholat hajat memberi kekuatan dan keyakinan ikhtiar tangan dan kaki ini. Insya Allah...
Maafkan bila ada nama yang salah dan tak teringat di memory ini. Namun pertemuan kita akan menjadi lembar indah yang sulit terlupa teman...
Sore pertama ini, kita bertemu pertama kali sebagai kelompok 1. Aku bersyukur, angka 1 selalu spesial untuk ku. Anak pertama yang lahir di hari pertama bulan November, itu yang membuat aku mencintai angka 1 yang tidak akan ada duanya. Di gazebo kita melingkar untuk berbincang rencana selama kegiatan di sini. Perkenalan singkat dengan menceritakan tujuan datang menjadi pencairan suasana di tembok hati kita masing-masing. Dan hal terindah adalah “LASKAR PEMIMPIN” menjadi nama kelompok kita.
Kebanggaan hati kecil ini untuk ke 29 anak istimewa yang Allah titipkan pada ku.
Aku melihat, mendengar, merasa, menghirup gelegak ruang kebaikan di tiap tatapan, kata dan segala pikiran ketika duduk bersama ke 29 LASKAR PEMIMPIN. Hingga kekesalan teman-teman ingin aku menyebut nama, Siti Aminah Zubaidah yang memiliki 7 orang “Muhammad” muda dan 22 orang sahabatnya. Gelar terkeren yang aku miliki, tentu tak sekeren bila dibandingkan “jempol-jempol”. Hehe.. peace untuk observer kelompok 1 terunyu yang pernah bekerja sama dengan ku.
Ingin sebenarnya bercerita banyak hal, namun waktu kita berbatas. Dari kejauhan hanya untaian doa yang bisa ku ucap, semoga LASKAR PEMIMPIN dapat mengawali sebuah cita-cita yang ingin terwujud. Sebuah “Rumah Senyum” untuk semua anak dunia yang broken home, broken society and broken family agar tetap menginspirasi kehidupan dengan menjadi Abdillah yang membanggakan Penciptanya.
Semua yang di dapat selama kebersamaan kita tidak akan ada artinya tanpa amal sholih yang kita upayakan. Dan di akhir pagi itu kita bersama mengikat hati ini, agar tetap dapat bersilaturahim. Menjadikan diri sebagai pemimpin yang mengubah dunia!! Bukan nama yang ingin aku ingat, tapi karya apa yang kita tinggal untuk kehidupan? Tidak hanya sibuk pada permasalahan diri, tapi kebermanfaatan kita untuk Islam. Semoga ini menjadi amal jariyah, anak (ideologis) yang sholih dan ilmu yang bermanfaat.
Maafkan aku tidak bisa memberi lebih dari ini...
Terima kasih untuk ke 29 bintang yang berpijar di sudut kelam langit, Allah sayang pada kita J dan pada tim instruktur yang luar biasa mendampingi ku belajar.
Sebab dunia hanya untuk orang-orang yang mengistimewakan Allah dalam tiap laku hidupnya.

                                                                Jejak cinta Laskar Pemimpin “Khilda Maulidiah”     

     

Senin, 06 Mei 2013

cinta orang tua sama dengan cinta pasangan


Dari proses pertemuan dengan beragam karakter manusia yang rata-rata mengalami masalah yang sama, namun berbeda warna menyikapinya. Tapi ada sebuah garis yang ku pikir tidak berubah. Di waktu aku menilai seorang perempuan yang mencintai ayahnya, di waktu yang sama ia akan sangat menghargai suami nya. Dan begitu juga dengan seorang laki-laki yang menghargai ibu nya akan menjadi sangat mencintai istrinya.

Cinta dan penghargaan adalah sebuah  rentang proses yang tetap terus harus dijaga untuk sebuah pengabdian.

Cinta pada orang tua kita adalah hal kecil yang besar akibatnya. Walau kini mungkin tak banyak diantara kita sebagai anak yang telah dapat hidup di kaki sendiri untuk sejenak memberi waktu  yang kita miliki untuk membahagiakan kedua orang tua kita.

Ingatkah, saat kita menangis pertama menghirup oksigen dunia?? Kedua orang tua kita tersenyum diantara derai air matanya. Mengusap tubuh kita yang masih beraroma anyir darah, bahkan tak segan untuk memeluk.

Lupakah kita, saat dulu sering bertanya banyak hal yang aneh dan berulang kali ditanya. Kedua orang tua kita tidak pernah bosan menjawabnya.

Kini... ketika kedua orang tua kita hadir menjenguk kita. Tidak jarang kita bermuka masam dan merasa akan terganggu. Dan bentakan kecil untuk semua pertanyaan yang mereka ajukan pada kita menjadi beban melewati hari.

Sadarkah kita, bila kehidupan ini berputar pada sebuah poros yang akan mengambalikan kita pada titik dimana kita berasal?

Saat esok, kita telah mendampingi seseorang yang kemudian menjadikan kita sempurna dengan anak yang kita miliki. Akankah kita siap diperlakukan seperti itu?

Terus berupaya menjadikan diri kita mencintai dan menghargai kedua orang tua kita, untuk sebuah kisah esok dalam istana yang kita bangun.

Untuk Ayah, Ibu... yang suatu hari aku akan menemukan pangeran ku yang menjadikan aku putri dalam kerajaannya. Kalian berdua tetap menjadi raja dan ratu di hati yang kalian bangunkan dengan segenap cinta dan penghargaan.