Sabtu, 30 Maret 2013

kata cahaya umat..


Sore ini berbeda, dalam perjalanan membangun ilmu di kampus juang aku menikmati gelegar guntur dan guruh bersahutan. Menyambut tumpahan air hujan yang dibawa awan mendung. Detik kepulangan ku diiringi pelukan gerimis yang ku tampung dengan berjuta pinta doa untuk dapat rejeki baik. Rejeki baik yang dapat tetap menjaga kualitas ibadah dan akhlaq. Beserta seorang yang membri bintang kehidupan segera hadir melengkapi ruang kisah ini.
Berjalan di sebuah pemondokan putri di sudut kota Gede. Pertama kali menjejakkan kaki di pesantren yang katanya tempat para santri mendapat siraman ilmu yang menyenangkan. Hanya berpikir ilmu dan ilmu. Belum memikirkan betapa rumitnya kehidupan yang dianugrahi suka dan duka.
Menaiki anak tangga yang tingginya tidak proporsional, ditambah basahnya lantai karena hujan membuat hati ku sedikit menyempit. Ruangan sempit dengan aroma kurang sedap, ditambah banyaknya barang tidak sesuai. Kamar berukuran kurang lebih 5x5 meter digunakan untuk hampir 20 anak.
Napas ku tercekat, gelap di sudut ruangan karena listrik tidak mengalir. Makan hanya dengan lauk seadanya, di tengah ruangan pengap yang dikelilingi rak buku, lemari pakaian dan gantungan baju. Apa harus begini tempat pembetukan karakter anak-anak yang nantinya menjadi cahaya umat? Dididik di tempat yang tidak layak dan terlalu tidak memanusiakan. Bukan sederhana dan kebersahajaan yang tampak. Tapi lorong sempit kita memandang hidup yang keras ini.
Ataukah hanya lorong yang baik dapat diterima sesuai dengan harga yang sesuai?
Kehidupan ini tidak anya sebatas harga, tapi cahaya umat hanya dapat cemerlang dengan mengilmui sistem aturan Islam. Tidak terjebak sebatas ritus yang nyaris mematikan fungsi kekhalifahan kita..
Belajarlah di tempat yang memang layak memuliakan ilmu dengan sikap yang anggun menatap dunia sebagai jembatan firdaus.

Kegelisahan sepulang dari sebuah pesantren yang penuh dengan dinamika hidup yang terlalu apa adanya.

Senin, 18 Maret 2013

hmm....



Dalam jalan setapak ini, aku meyakini bukanlah dua jalan berbeda.
Sebab semua beriring menemani di rona keteraturan yang telah diatur oleh Maha Pengatur.
Kita hanya menyelaraskan ritme yang mampu kita sesuaikan.
Lapangkan hati, terima segalanya dengan semangat menjadi seseorang yang dinanti.
Dinanti karyanya, kata yang mudah dilupakan namun dengan karya kita akan meninggalkan jejak.
Kehidupan dengan segala konstelasinya merupakan bahasa.
Tidak jarang kesulitan yang kita alami disebabkan kekurangbersyukurnya kita memandang.
Mengenggam cita, berlari menuju cintaNya, lalu kita akan menjalani jalan setapak ini dengan indah.
Genggaman cita dan langkah laju kita beriringan pada sudut kehidupan.
Sudahkah kita berjalan dengan langkah benar?
Keyakinan menjalankan kebenaran yang kata orang, kini telah nisbi..
Ah, benarkah itu?
Kebenaran itu sebuah jalan yang pasti, bukannya ketidakpastian ku pikir.
Memperjuangkan kebenaranlah yang akan terasa nisbi, bila kita merasa diri kita benar.
Yang ada adalah kebenaran itu sendiri yang menari menemukan pahlawan-pahlawan yang mampu.

Senin, 11 Maret 2013

segenggam koin cinta


Mendapat amanah adalah proses kita mengui diri akan tingkat integritas yang kita miliki. Bukan sekedar tampak manis, namun tampilan yang ada adalah cerminan niat diri. Kemarin kala, seorang teman mengamanah rupiah zakat profesi dan sedekahnya. Amanah ini menjadi bagian untuk menjembatani ruang yang belum terisi.
Geliat kajian membaca Al Qur’an di masjid kampung salah satu sudut kota Yogyakarta. Memandang anak-anak yang berlarian tanpa arah, hanya karena jumlah pendamping belajar dengan anaknya tidak seimbang. Tiga orang pendamping yang menangani sekitar 25-30 anak. Tidak jelasnya metode dan tahapan yang digunakan membuat semua berjalan sporadis tanpa target. Para pendamping yang kehadirannya tidak menentu jadwalnya membuat warna semakin tidak jelas. Ditambah tidak adanya ruang untuk meningkatkan kualitas pendampingan baca tulis Al Qur’an.
Yang terjadi pada anak-anak juga memprihatinkan, tidak semua memiliki buku baca tulis sendiri. Entah, apakah kedua orang tuanya terlalu tidak ada waktu untuk sekedar menyiapkan isi tas anaknya? Alasannya, tas akan dipermainkan. Dilempar dan tidak dijaga, sehingga para pendamping membuat anak-anak hanya menggunakan buku yang disediakan masjid. Apa itu tidak membuat anak-anak tidak belajar apa itu nilai bertanggung jawab? Jika hal ini tidak diupayakan, anak-anak mungkin akan menganggap bahwa dirinya tidak layak mengemban sebuah tanggung jawab kehidupan.
Kemudian yang mampu ku gapai baru sebatas mengumpulkan koin untuk dapat menambah pemenuhan kebutuhan anak-anak akan buku baca dan buku doa. Gayung bersambut hanya karena sebuah niat menjejakkan karya. Beberapa teman mempercayakan amanah untuk mengelola koin demi koin yang berat terbawa. Merasa seperti hidup di jaman dinasti dengan alat tukarnya sekantong koin.
Seorang sahabat perjuangan di jalan Allah memberi Rp. 50.000 dari penghasilannya mengajar. Si kembar manis dari Raja Ampat memecah tabungan koin kecil Rp. 146.000. Sekuntum bunga yang bertahan dalam tiga ruang Rp. 20.000. Bunda Khonsa yang simpati pada program koin cinta masjid Rp.23.000.
Dana yang dialokasikan untuk seluruhnya untuk pembelian buku Iqro’, buku doa pilihan sehari-hari dan laundry mukena yang lama beraroma tidak sedap. Segenggam cinta kita memberi indah pada pelangi kehidupan. Terima kasih cinta, telah menerbitkan cinta dalam hati. Semoga dibalas lebih baik oleh Maha Cinta.

Azzahro Jannah  

Jumat, 08 Maret 2013

“TERUS BERJUANG, MBA’”



Awalnya, kami semua tim berencana untuk ke Jakarta menemui Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri di kawasan Menteng. Berdasarkan kebutuhan, ternyata ijin dari atasan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada hanya untuk tiga orang. Lalu hanya three musketeers yang berangkat, Pak Puthut, Pak Awan, dan (Pak) Anto.  Aku pun merencanakan hal lain. Namun sehari sebelum berangkat, (Pak) Anto mengatakan untuk keberangkatan ku jadi, dengan dana Sekolah Pasar.
Ya, Sekolah Pasar yang kini berganti nama dengan Sekolah Pasar Rakyat dengan nakhoda Pak Puthut. Pertemuan di gedung Anggrek kompleks Kementrian Perdagangan tidak seperti harapan. Ruang kami untuk menjelaskan jalan juang kami hanya dibatasi lima menit pengantar, video durasi lima belas menit hanya ditampilkan tujuh menit, dan tiga menit paparan singkat tambahan.
Ternyata ada banyak pihak yang dihadirkan dalam pertemuan ini. Secofindo, Aprindo, APPSI, IKAPI dan Danamon peduli. Tentu waktu yang harus terbagi. Mungkin seharusnya bukan pertemuan Sekolah Pasar, namun “Perang Pasar”. Bagaimana tidak, pasar rakyat yang disejajarkan dengan pasar modern ditambah bank swasta yang ku dengar ada dana asing juga. Pembahasan hanya sebatas pasar bersih, pasar sehat, pasar rapi. Bukannya nasib belasan juta pedagang yang menggantungkan hidup sehari-hari di pasar. Atau kita benar-benar akan menggantungkan nasib mereka dalam tiupan angin ketidakpastian?
“Kami hanya menerima kritikan positif, yang negatif disimpan dulu”. Waduh, harapan untuk jalan ini ternyata dipatahkan begitu saja oleh kalimat tadi yang disampaikan di sela diskusi. Sederatan berkas yang kami bawa tidak ada artinya dengan peryataan bahwa “Revitalisasi pasar meningkatkan 50-80% omset pedagang”. Ah, kami tidak bisa mempertanyakan validasi data yang diucapkan. Konsep pasar mandiri yang kami usung hanya menjadi angin yang keluar melalui sela pendingin ruangan.
Di luar gedung, kami bertemu dua orang pedagang dari Pasar Klewer, Solo. Cerdas, kesan pertama yang ku tangkap saat berbincang tentang “drama” yang barusan kami saksikan. Ada nuansa ketidakadilan yang dirasakan pedagang di lapangan selama ini. Hampir tidak ada kesesuaian ku rasa. “”, kutipan ini membuat ku kembali berpijak. “Patah hati” terhadap pemimpin bukan berarti kita meninggalkannya sama sekali dalam kekeliruan. Namun itulah jalan juang kita yang nyata!! Karena kesalahpahaman terhadap masalah akan membuat masalah baru.
Seminggu kemudian, kurang lebih kami dikunjungi rombongan dari Pasar Klewer yang mana ke dua Bapak yang kami temui di Jakarta juga hadir. Pak Abdul Kadir, dia hanya ingin sebuah ruang untuk dapat di dengar lalu dapat menikmati kebijakan pimpinan negara kita secara bijak.
Keterlambatan ku menemui mereka karena harus ke kampus dan ke dokter. Menyesal rasanya tidak dapat lebih lama bercerita. Perbincangan seru dan antusias, mengharap kami bagian dari akademisi yang bahasanya mudah dipahami rakyat untuk diterjemahkan pada pemerintah. Bukan pekerjaan mudah, tetap selalu penuh perjuangan.
“TERUS BERJUANG, MBA’”, kalimat penutup saat perpisahan dengan rombongan pedagang Pasar Klewer ini yang berharap kami bisa menjadi jembatan kebutuhan mereka. Aku hanya diam, merenungi kalimat itu. Seperti sebuah amanah perjuangan dari suara jutaan pedagang yang kini entah seperti apa?
Tulisan ini, tidak hendak menjatuhkan satu pihak pun yang tersebut disini. Hanya sebuah kegelisahan yang membentur idealita dengan realita masyarakat. Kini saatnya menyiapkan jawaban untuk Maha Pencipta, “apa yang sudah kamu lakukan untuk mencintai Ku dalam perjuangan ummat?”.
Semoga perjuangan ini selalu dapat duduk dengan ikhlas.

Minggu, 03 Maret 2013

kesalahan berbagi



Semangat berbagi, semangat membahagiakan orang lain terkadang perlu kita lihat lebih mendalam. Tak jarang rasa mengasihani menjadikan seseorang terjebak pada pola yang menghancurkan kepribadian. Di jalanan kita mudah menemukan peminta-minta, pengamen, atau penjaja jualan mereka. Kini bukan ingin berkata mereka salah. Sistem masyarakat kita masih banyak yang perlu dibenahi. Waktu melihat peminta-minta dengan keterbatasan fisik, rasa iba menyeruak. Namun, tidak sedikit orang yang memiliki keterbatasan yang kurang lebih sama namun dapat menempatkan diri sebagai pribadi berprestasi dengan segala kemampuan yang dimiliki. Rasa iba kita justru meruntuhkan sendi-sendi ketahanmalangannya untuk dapat memuliakan diri.
“Bukan memberi ikan, namun kailnya”. Kata bijak tersebut memang tidak mudah dilakukan, perlu kerja cerdas untuk melakukannya. Karena kita lebih mudah untuk melakukan hal yang praktis. Sadarkah kita, bila hanya “ikan” yang kita beri maka akan mematikan potansi luar biasa yang diberi Maha Pencipta? Secara tidak langsung mengecilkan ciptaan sang Maha.
Apalagi melihat mereka yang masih bugar dan memiliki fisik seperti pada umumnya. Semakin bertanya hati kita untuk memberi. Bukan karena keadaan, tapi mental yang terbangun selama ini. Kita diciptakan lebih kuat dari keadaan, bukannya kalah dengan keadaan. Kita yang mengalahkan keadaan dengan segala potensi yang kita miliki. Bukan kecerdasan intelektual saja ukuran kemampuan seseorang. Masih banyak ruang yang belum optimal kita kembangkan.
Berbagi yang salah adalah semangat menghancurkan dunia perlahan. Berbagi dengan semangat mendidik, sehingga suatu waktu mereka akan menjadi pribadi mandiri. Tidak terus menerus pada tempat yang sama. Ada semangat meningkatkan diri. Bila hari ini menerima “ikan”, esok berusaha mencari “ikan” sendiri, kemudian lusa memberi “ikan” untuk orang lain.
Aku masih belum padanan kata yang tepat untuk menggantikan kata kasihan. Karena aku tidak mau menjadi bagian dari orang yang “membunuh” perlahan orang lain dengan “senjata” kasihan.