Sabtu, 01 November 2014

menjadi pembelajar

Pendidik, merupakan pilihan. Jalan yang kita pilih untuk menggenapi tugas kemanusiaan kita. Dalam perjalanannya, kita diminta dan dituntut mengerti. Setiap hal yang terjadi dan dialami selalu dimaknai dengan hikmah. Hikmah yang mengantarkan kita pada sebuah makna. Menjadi manusia sempurna yang Allah lihat. Kemudian mencukupi rizqi kehidupan yang telah ditentukannya.
Orang tua, dewasa dengan hikmah. Instruktur, gelar sepanjang usia yang terus disempurnakan dengan proses tiada henti.
Menjadi pembelajar, terus belajar, belajar terus. Hingga tidak ada satupun tersisa untuk belajar. Seperti wasiat bunda Khodijah sebelum menutup usianya, “bila tulang ku masih berguna untuk Islam, berikanlah”. Seperti kata Kholid bin Walid, “lebih menyenangkan berdiri siaga menjaga perbatasan daripada bersenang-senang dengan perempuan”. Seperti itu kira-kira kalimat yang aku ingat tentang dua tokoh besar yang sangat mengagumkan.
Tadi, aku mendengar… Mengagumi orang yang telah tiada lebih bijaksana. Karena kita dapat banyak belajar dari kerasnya hidup yang mereka lalui hingga dapat memuliakan nama mereka. Sebab mengagumi orang yang masih hidup banyak kecewanya.
Sejarah, mengajarkan kita banyak hal. Hingga kita dapat lebih hati-hati melangkah. Dan lebih tajam menyiapkan masa depan.
Aku telah tidak memiliki apapun, hanya segenggam cita-cita untuk menggenggam dunia yang masih membuat aku tetap tersenyum optimis. Menjadi santri di pesantren, tinggal di kampung Inggris, bekerja di papua, belajar di Malaysia dan Jerman, haji backpacker dengan suami, memberikan sekolah alam untuk anak-anak, rumah senyum, kampung pelajar, kerajaan al khonsa,istri dan ibu terbaik, anak dan kakak terbaik, guru peradaban yang terus bergerak membangun peradaban demi Izzul Islam wal Muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar