Senin, 03 Juni 2013

menengok jejak sejarah



PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syaria’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.

                                                                                                                Jakarta, 22-06-1945
Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin. (Panitia Sembilan).

Saya mengutipkan piagam Jakarta diatas yang kini tergantikan oleh pancasila. Sebagai orang yang pernah menjadi bagian keluarga besar PII Bali, yang kini harus jauh meninggalkan Bali untuk sebuah makna. Perjalanan perjuangan ini memang hanya akan usai di penghujung umur kita. Perjuangan teman-teman Bali yang masih di tempat yang sama membuat kita merenungkan sebuah arti dari pergerakan. PII yang mengajarkan kita arti perjuangan dengan pergerakan. Namun tidak sedikit dari kita masih terjebak dengan masalah pribadi yang memang tak kunjung usai.
Pergerakan kita berjalan sendiri-sendiri, semangat berjama’ah hanya menjadi hiasan kata-kata.
Saya hanya ingin kita mengingat kembali semangat lahirnya PII sebagai sebuah pergerakan. Bulan mei di semua wilayah garapan PII menjalankan “ritual” harba dari tahun ke tahun. Adakah kita merasa PII masih punya kontribusi nyata terhadap ummatnya yang kita sebut pelajar?
Perjuangan jilbab di Bali masih dalam titik yang sama. Di wilayah lain justru “sengketa” internal yang tak berujung. Antara juni-juli serentak melaksanakan training kaderisasi seluruh wilayah. Apa yang kita bahas di dalamnya? Adakah kita membahas kondisi pelajar sekarang yang dikepung dengan berbagai hal negative?
Pelajar narkoba, miras, pergaulan bebas, UN, dan entah apa lagi masalah mereka?
Lupakah kita materi akhlak di training? Atau justru kita malah berpikir training tidak memberi kontribusi untuk calon pemimpin masa depan. Kita tentu lelah mendengar berbagai cerita pemimpin muslim kita tidak berprilaku Islami? Jangan kaget bila esok pemimpin kita non Islam karena hilangnya kepercayaan pada amanah pemimpin Islam.
Kita punya dalil, namun tak banyak yang menjalankannya. Pisau analisis social kita rapuh. Kita masih melingkar di ruang yang masih jauh dari pelajar. Lingkup pergerakan kita dalam titik nadir, atau mungkin beberapa tahun lagi kita menjadi saksi sejarah PII menjadi “fosil” di museum.
PII mengukir sejarah dengan pena, darah dan air mata. Masihkah kita mempersembahkan letih, lelah dan pedihnya perjuangan untuk Allah? Hanya karena semangat fi sabilillah, Indonesia bisa merdeka. Bila telah satu tujuan, kita tidak perlu lagi banyak kata. Segera bergerak untuk dapat menggerakkan.
Ibadah kita juga menuntut kebermanfaatan kita untuk semua makhluk Allah. Lingkungan social kita menanti sebuah cahaya yang kita buat untuk menerangi gelapnya hari. Bila kita tidak menyadari adanya musuh eksternal, maka musuh itu akan hadir di lingkungan internal kita.
Sebuah refleksi untuk para pejuang Islam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar