PIAGAM
JAKARTA 22 JUNI 1945
“Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syaria’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Jakarta,
22-06-1945
Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul
Kahar Muzakkir, H. A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr.
Muhammad Yamin. (Panitia Sembilan).
Saya
mengutipkan piagam Jakarta diatas yang kini tergantikan oleh pancasila. Sebagai
orang yang pernah menjadi bagian keluarga besar PII Bali, yang kini harus jauh
meninggalkan Bali untuk sebuah makna. Perjalanan perjuangan ini memang hanya
akan usai di penghujung umur kita. Perjuangan teman-teman Bali yang masih di
tempat yang sama membuat kita merenungkan sebuah arti dari pergerakan. PII yang
mengajarkan kita arti perjuangan dengan pergerakan. Namun tidak sedikit dari
kita masih terjebak dengan masalah pribadi yang memang tak kunjung usai.
Pergerakan
kita berjalan sendiri-sendiri, semangat berjama’ah hanya menjadi hiasan
kata-kata.
Saya
hanya ingin kita mengingat kembali semangat lahirnya PII sebagai sebuah
pergerakan. Bulan mei di semua wilayah garapan PII menjalankan “ritual” harba
dari tahun ke tahun. Adakah kita merasa PII masih punya kontribusi nyata
terhadap ummatnya yang kita sebut pelajar?
Perjuangan
jilbab di Bali masih dalam titik yang sama. Di wilayah lain justru “sengketa”
internal yang tak berujung. Antara juni-juli serentak melaksanakan training
kaderisasi seluruh wilayah. Apa yang kita bahas di dalamnya? Adakah kita
membahas kondisi pelajar sekarang yang dikepung dengan berbagai hal negative?
Pelajar
narkoba, miras, pergaulan bebas, UN, dan entah apa lagi masalah mereka?
Lupakah
kita materi akhlak di training? Atau justru kita malah berpikir training tidak
memberi kontribusi untuk calon pemimpin masa depan. Kita tentu lelah mendengar
berbagai cerita pemimpin muslim kita tidak berprilaku Islami? Jangan kaget bila
esok pemimpin kita non Islam karena hilangnya kepercayaan pada amanah pemimpin
Islam.
Kita
punya dalil, namun tak banyak yang menjalankannya. Pisau analisis social kita
rapuh. Kita masih melingkar di ruang yang masih jauh dari pelajar. Lingkup
pergerakan kita dalam titik nadir, atau mungkin beberapa tahun lagi kita
menjadi saksi sejarah PII menjadi “fosil” di museum.
PII
mengukir sejarah dengan pena, darah dan air mata. Masihkah kita mempersembahkan
letih, lelah dan pedihnya perjuangan untuk Allah? Hanya karena semangat fi
sabilillah, Indonesia bisa merdeka. Bila telah satu tujuan, kita tidak perlu
lagi banyak kata. Segera bergerak untuk dapat menggerakkan.
Ibadah
kita juga menuntut kebermanfaatan kita untuk semua makhluk Allah. Lingkungan
social kita menanti sebuah cahaya yang kita buat untuk menerangi gelapnya hari.
Bila kita tidak menyadari adanya musuh eksternal, maka musuh itu akan hadir di
lingkungan internal kita.
Sebuah
refleksi untuk para pejuang Islam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar