Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan
RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan
Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang
dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui
artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia
pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir,
bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah
kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:“Dahulu, mereka girang
gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di
medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam
satu negara yang merdeka, yang mereka
inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua
orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit
bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada
semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya
sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya...”.
Ungkapan Natsir
yang telah mendapat gelar kepahlawanan ini, kiranya masih terjadi sekarang. Kita telah kesulitan untuk menemukan sosok pendidik yang
benar-benar melakukan pengabdiannya hanya untuk mencerdaskan bangsanya. Jika hal ini terus-menerus tidak disikapi dengan bijak, maka masa depan bangsa kita terancam. Semua orang
akan berinteraksi dengan asas untung dan rugi. Bila tidak mendapat keuntungan, maka interaksi itu tidak akan berjalan dengan baik.
Setiap pribadi kita memiliki peran dalam pendidikan sebagai pelanjut estafeta perjuangan. Masih belum terbangunnya kebanggaan sebagai pendidik di bangsa kita. Makna pendidik sekarang agak rancu dengan pengajar. Pendidik memiliki peran memanusiakan manusia untuk menuju manusia seutuhnya sesuai Amanah negara dalam
Pasal 3 UU No. 20/2003, bahwa: “Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Sedangkan pengajar hanya mengajar dari tidak tahu menjadi tahu. Hanya menyentuh ranah kognitifnya saja. Afektif dan psikomotorik tidak menjadi perhatian, padahal antara kognitif, afektif dan psikomotorik haruslah berjalan bersamaan. Refleksi untuk para mahasiswa ilmu pendidikan yang menjadi bakal calon pendidik masa depan pun belum bisa mencerminkan profil ideal pendidik
yang dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Pemahaman terhadap dasar-dasar ilmu pendidikan sendiri kurang menjadi perhatian. Padahal sebagai calon pendidik, kita seharusnya menghargai pendidikan dengan nilai setinggi-tingginya.
Keberadaan kita
yang membawa pengetahuan bukan sekedar transfer of
knowledge, tetapi juga
transfer of value. Tidak sekedar mengejar nilai angka semata, namun nilai yang mampu kita aplikasikan dalam kehidupan sehar-hari sesuai amanah Undang-undang yaitu menjadi manusia seutuhnya. Pengkajian nilai-nilai ini masih sering diabaikan, sehingga kekhawatiran bangsa akan moral menjadi alasan terbentuknya konsepsi pendidikan berkarakter. Problem
pendidikan kita sudah jauh amat kompleks. Dahulu,
pendidikan kita
yang masih terbatas alat dan fasilitas mampu membentuk karakter tangguh seperti HOS
Cokroaminoto, Ahmad Dahlan, Jenderal Soedirman dan tokoh-tokoh perjuangan bangsa yang lainnya.
Mereka semua terbukti memberikan kontribusi nyata untuk bangsanya dengan idealisme yang dimilki.
Tidak malah hanyut dengan realitas yang
berbenturan idealisme.
Namun sekarang,
pendidikan kita
yang telah dilengkapi dengan berbagai kemajuan teknologi dan fasilitas yang luar biasa masih belum membuktikan hasil yang diharapkan.
Contoh sederhananya dengan adanya budaya mencontek, itu merupakan latihan dini untuk berani berbuat korupsi pada tataran yang lebih tinggi.
Belajar kembali memaknai
pendidikan sebagai media pembentuk karekater pribadi yang mengaplikasikan
nilai-nilai kebaikan. Pendidik yang lemah dedikasinya akan membentuk anak didik
yang lemah semangat belajarnya. Terus menerus belajar hingga akhir napas terhenti,
meninggalkan dunia lebih baik dari awal ditemukan. Sebuah goresan dari pencarian makna pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar