Dan, dari semua yang terjadi adalah sebuah pelajaran. Dalam
tiap jejak yang terbuat dan tertinggal, mendidik anak sebagai formalitas yang
berujung pada kehampaan. Kemudian bekerja di tim yang terjebak sistemnya
sendiri.
Kemudian, kaki memilih untuk bersentuhan dengan puncak
idealism. Karang besar yang melindungi pohon kehidupan dari benturan ombak.
Bertahan duduk disini, melihat dan memperhatikan 37 orang
yang memilih mengambil amanah untuk kembali membangun wilayahnya. Hanya, masih
kuatir. Mampukah kita menjadi jembatan jariyah dalam dialektika dan diskursus?
Melelahkan, untuk sebuah pekerjaan ideal.
Pertarungan Islam yang selalu saja dia katakana “normative”.
Apa salahnya kita mengembalikan sumber belajar dari sandaran Qur’an dan Hadis?
Dunia ini sudah terlalu berasap dan berdebu dengan pemikiran yang menyerang
Islam sebagai bentuk radikalisme dan ekstrimisme. Beberapa orang mengira mampu
berjuang dengan meninggalkan sumber mutlak ajaran.
Mereka pikir siapa? Berbagai penelitian, filsafat, teori
yang saling bertolak belakang sesuai kepentingan hanya kemudian menjadi sampah
otak. Dan di sisi lain, kita lihat dogma ajaran yang membatasi ruang berpikir.
Belum bisa bahasa sudah merasa pantas membuat hukum.
Perjuangan ini bukan hanya karena Islam butuh kita. Islam
hanya bagian dari scenario besar untuk melihat ukuran keimanan. Kita yang
membutuhkan Islam sebagai jembatan penjemput peradaban. Ini urusan peradaban…
peradaban yang mengantarkan kita pada kebenara mutlak yang kini sering
diingkari. Belajar dari sumber yang jujur menerima kebenaran. Hari ini seperti
menyelam untuk sebuah mutiara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar