Senin, 23 Februari 2015

dan


Dan, dari semua yang terjadi adalah sebuah pelajaran. Dalam tiap jejak yang terbuat dan tertinggal, mendidik anak sebagai formalitas yang berujung pada kehampaan. Kemudian bekerja di tim yang terjebak sistemnya sendiri.
Kemudian, kaki memilih untuk bersentuhan dengan puncak idealism. Karang besar yang melindungi pohon kehidupan dari benturan ombak.
Bertahan duduk disini, melihat dan memperhatikan 37 orang yang memilih mengambil amanah untuk kembali membangun wilayahnya. Hanya, masih kuatir. Mampukah kita menjadi jembatan jariyah dalam dialektika dan diskursus?
Melelahkan, untuk sebuah pekerjaan ideal.
Pertarungan Islam yang selalu saja dia katakana “normative”. Apa salahnya kita mengembalikan sumber belajar dari sandaran Qur’an dan Hadis? Dunia ini sudah terlalu berasap dan berdebu dengan pemikiran yang menyerang Islam sebagai bentuk radikalisme dan ekstrimisme. Beberapa orang mengira mampu berjuang dengan meninggalkan sumber mutlak ajaran.
Mereka pikir siapa? Berbagai penelitian, filsafat, teori yang saling bertolak belakang sesuai kepentingan hanya kemudian menjadi sampah otak. Dan di sisi lain, kita lihat dogma ajaran yang membatasi ruang berpikir. Belum bisa bahasa sudah merasa pantas membuat hukum.
Perjuangan ini bukan hanya karena Islam butuh kita. Islam hanya bagian dari scenario besar untuk melihat ukuran keimanan. Kita yang membutuhkan Islam sebagai jembatan penjemput peradaban. Ini urusan peradaban… peradaban yang mengantarkan kita pada kebenara mutlak yang kini sering diingkari. Belajar dari sumber yang jujur menerima kebenaran. Hari ini seperti menyelam untuk sebuah mutiara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar