Di jalan ini, aku diperkenalkan bagaimana hidup. Selalu
tentang perjalanan yang tak pernah terbayangkan. Jejak ini terus melaju,
berkali jatuh, berkali menangis. Tangan ini hanya mampu melakukan sebuah karya.
Maknanya, ternyata Maha Benar yang tentukan.
Pagi ini, membuka mata dengan secercah harapan. Akan jingga
yang mengganti seekor ikan. Setelah ku pikir, jingga pun tak tepat disandingkan
dengannya. Di sebelah hati, ada air. Iya, seperti air yang menjadi sumber
kehidupan. Langkah ku yang semakin mendekat dan terus meyakinkan diri akan
kehidupan yang lebih baik.
Air, akan mengalir di setiap celah yang harus dilewati.
Sepi hanya cukup dengan gemericik air, jingga akan semakin
berwarna pelangi, ikan pun menari. Dan nyaris tak ku sadari kehadirannya.
Berjalanlah terus. Di setiap kota dengan aliran air yang menyemarakkan
kehidupan.
18.18-08.05.2015
Detik demi detik menikmati mu, menatap mu, dan tetap aku tak
tau bagaimana rasa ku. Cukup diam saja, lihat di dalam bola mata ku. Diri mu
akan mengerti. Sebab kata terlalu miskin menceritakannya. Di mata mu, aku
melihat sinar ku yang lama terpendam penjahat.
Tapi, aku pun baru ingin mengingat mu ketika aku jatuh dan
butuh bercerita. Melihat semak kemunafikan yang menjijikkan mengular di
sepanjang jalan. Di depannya mengerikan, menutupi borok yang lebih buruk.
Kemunafikan yang selalu berwadah gelap berjelaga. Ternyata aku tidak cukup
mampu menghadangnya. Dengan jingga maupun air yang ku miliki. Pelangi dalam
wadah berjelaga tetap tidak tampak.
Kemunafikan adalah warnanya sendiri.
Sudahlah, kita berganti topic yang membahagiakan saja.
Merajut sekuntum mahkota bunga putih di atas kerudung. Mungkin sudah habis
waktu ku bertarung disini. Aku harus melihat lebih dekat, menyiapkan diri
menjadi ibu bukan sekedar istri.