Minggu, 05 Juli 2015

idealisme


Idealisme, adalah pilihan mutlak untuk menempatkan diri.
Seringkali kita tidak menyadari kemudian, idealisme mana yang mau dipertahankan?
Pelajaran hari ini mengajarkan akan sebuah idealisme hanya akan berjalan di orang yang tepat
Namun, idealisme adalah idealisme…
Yang akan terus menemukan di pundak mana idealisme tegak
Pada akhirnya bukan hasil, tapi proses mempertahankan dan menyikapi sebuah idealisme
Idealisme di pundak orang yang memilih idealisme yang memang menjadi bagian dari jalan yang diyakini
Dalam idealisme, menuntut air mata, keringat, dan bahkan darah
Kita tahu itu, berkali-kali idealisme akan terus berbentur dengan kenyataan yang ada
Bagaimana idealisme idealisme  terus harus bergerak
Apa yang sudah dibangun sekarang, pada akhirnya harus ditinggal
Berganti dengan hal lain, amanah lain, pekerjaan lain

Idealisme…  

Selasa, 23 Juni 2015

berkisah tentang kemunafikan


Di jalan ini, aku diperkenalkan bagaimana hidup. Selalu tentang perjalanan yang tak pernah terbayangkan. Jejak ini terus melaju, berkali jatuh, berkali menangis. Tangan ini hanya mampu melakukan sebuah karya. Maknanya, ternyata Maha Benar yang tentukan.
Pagi ini, membuka mata dengan secercah harapan. Akan jingga yang mengganti seekor ikan. Setelah ku pikir, jingga pun tak tepat disandingkan dengannya. Di sebelah hati, ada air. Iya, seperti air yang menjadi sumber kehidupan. Langkah ku yang semakin mendekat dan terus meyakinkan diri akan kehidupan yang lebih baik.
Air, akan mengalir di setiap celah yang harus dilewati.
Sepi hanya cukup dengan gemericik air, jingga akan semakin berwarna pelangi, ikan pun menari. Dan nyaris tak ku sadari kehadirannya. Berjalanlah terus. Di setiap kota dengan aliran air yang menyemarakkan kehidupan.
18.18-08.05.2015
Detik demi detik menikmati mu, menatap mu, dan tetap aku tak tau bagaimana rasa ku. Cukup diam saja, lihat di dalam bola mata ku. Diri mu akan mengerti. Sebab kata terlalu miskin menceritakannya. Di mata mu, aku melihat sinar ku yang lama terpendam penjahat.
Tapi, aku pun baru ingin mengingat mu ketika aku jatuh dan butuh bercerita. Melihat semak kemunafikan yang menjijikkan mengular di sepanjang jalan. Di depannya mengerikan, menutupi borok yang lebih buruk. Kemunafikan yang selalu berwadah gelap berjelaga. Ternyata aku tidak cukup mampu menghadangnya. Dengan jingga maupun air yang ku miliki. Pelangi dalam wadah berjelaga tetap tidak tampak.
Kemunafikan adalah warnanya sendiri.
Sudahlah, kita berganti topic yang membahagiakan saja. Merajut sekuntum mahkota bunga putih di atas kerudung. Mungkin sudah habis waktu ku bertarung disini. Aku harus melihat lebih dekat, menyiapkan diri menjadi ibu bukan sekedar istri.

Jumat, 03 April 2015

letakkan sejenak


Ku letakkan sejenak cengkeraman ku, terhadap kekhawatiran itu.
Apapun, ini lebih pada sebuah ujian dalam sebuah proses peningkatan kualitas diri.
Memilih, untuk tetap menapaki perjalanan yang telah ku mulai.
Hingga akhir yang baik…
Yakinlah, kemampuan yang ada menjadi alat yang akan sangat memudahkan.
Berjalan, terus berjalan. Jangan berhenti.
Semua hanya iluminasi dan ilusi optic.
Ada hal substantive dan esensi, teruslah berjalan agar menemui yang “nyata”.
Masih banyak yang belum diketahui.
Suatu hari nanti akan ada hikmah tersendiri.
Semoga dimudahkan dan diberkahi…

Rabu, 25 Februari 2015

ayah..


Ayah,
Ananda mu sedang belajar memahami. Setiap kata dan laku Ayah…
Sekian puluh tahun mengenal Ayah, ternyata ananda mu belum juga bisa memahami. Marah mu, bentakan mu adalah cara mu melindungi dari sengat dunia. Yang waktu kemarin membuat ku sempat tidak menyukai mu.
Ayah,
Ananda mu memang belum bisa menjadi anak sholiha. Namun, lihat Ayah… aku telah berusaha semaksimal usaha yang bisa ku lakukan untuk membuat Ayah bangga pada ku. Sebab, yang ku tahu untuk menjadi sholiha hanya dengan bakti dan do’a untuk mu.
Ayah,
Ananda mu, hanya ingin ridho mu. Karena aku tau, ridho mu ridho pencipta ku. Sehingga tiap langkahku tenang dan menenangkan.
Ayah, terima kasih telah menjadi Ayah dalam hidup ku…

Untuk semua Ayah, yang menolong ku setiap perjalanan.
Calon Ayah, dan anak-anak yang berterimakasih pada Ayah nya yang melengkapi hidup

Senin, 23 Februari 2015

guru peradaban


Guru peradaban…
Dia yang tetap melangkah dalam “internal development”, bukan dia yang mengejar kesenangan. Karena dia tahu, hidup adalah memperjuangkan sesuatu. Dan sesuatu itu, adalah Rabb nya, Allah. Bukan karena Rabb nya butuh perlindungan, tapi dia tahu dengan memperjuangkan titah langit dia akan tetap ditolong Nya.
Dia tidak tahu apapun, selain setiap pekerjaan yang dilakukan ikhlas untuk Nya dan sesuai dengan perintah Nya. Dia benar-benar ingin membangun peradaban dengan mendidik, dengan memantaskan diri menjadi guru. Guru yang menggerakkan langkah-langkah kecil pemuda dan pemudia muslim untuk menegakkan kebenaran sesungguhnya.
Tidak diperbudak dan memperbudak. Tapi mengabdi dan mengelola.
Dia melepas napas untuk memenuhi tugas penciptaannya. Siapa yang mau menjadi produk gagal karena tidak menjalani tugas penciptaan? Dia pernah jatuh, tersungkur bahkan terkapar. Tapi dia tahu, Allah sedang mengajari sesuatu. Suatu hal yang akan memuliakan di suatu hari nanti sebagai sarana bertemu pencipta nya.
Dia, hanya tertarik pada konstruksi bangun peradaban.
Walau badannya mulai letih, menua. Dia masih memiliki azzam, menyambut kematian yang indah. Guru peradaban, teknisi manusia untuk membentuk pribadi-pribadi beradab. Kemanapun langkahnya, guru peradaban hanya melihat الله
Dari Nya, untuk Nya, pada Nya…

dan


Dan, dari semua yang terjadi adalah sebuah pelajaran. Dalam tiap jejak yang terbuat dan tertinggal, mendidik anak sebagai formalitas yang berujung pada kehampaan. Kemudian bekerja di tim yang terjebak sistemnya sendiri.
Kemudian, kaki memilih untuk bersentuhan dengan puncak idealism. Karang besar yang melindungi pohon kehidupan dari benturan ombak.
Bertahan duduk disini, melihat dan memperhatikan 37 orang yang memilih mengambil amanah untuk kembali membangun wilayahnya. Hanya, masih kuatir. Mampukah kita menjadi jembatan jariyah dalam dialektika dan diskursus?
Melelahkan, untuk sebuah pekerjaan ideal.
Pertarungan Islam yang selalu saja dia katakana “normative”. Apa salahnya kita mengembalikan sumber belajar dari sandaran Qur’an dan Hadis? Dunia ini sudah terlalu berasap dan berdebu dengan pemikiran yang menyerang Islam sebagai bentuk radikalisme dan ekstrimisme. Beberapa orang mengira mampu berjuang dengan meninggalkan sumber mutlak ajaran.
Mereka pikir siapa? Berbagai penelitian, filsafat, teori yang saling bertolak belakang sesuai kepentingan hanya kemudian menjadi sampah otak. Dan di sisi lain, kita lihat dogma ajaran yang membatasi ruang berpikir. Belum bisa bahasa sudah merasa pantas membuat hukum.
Perjuangan ini bukan hanya karena Islam butuh kita. Islam hanya bagian dari scenario besar untuk melihat ukuran keimanan. Kita yang membutuhkan Islam sebagai jembatan penjemput peradaban. Ini urusan peradaban… peradaban yang mengantarkan kita pada kebenara mutlak yang kini sering diingkari. Belajar dari sumber yang jujur menerima kebenaran. Hari ini seperti menyelam untuk sebuah mutiara.