Selasa, 23 Juni 2015

berkisah tentang kemunafikan


Di jalan ini, aku diperkenalkan bagaimana hidup. Selalu tentang perjalanan yang tak pernah terbayangkan. Jejak ini terus melaju, berkali jatuh, berkali menangis. Tangan ini hanya mampu melakukan sebuah karya. Maknanya, ternyata Maha Benar yang tentukan.
Pagi ini, membuka mata dengan secercah harapan. Akan jingga yang mengganti seekor ikan. Setelah ku pikir, jingga pun tak tepat disandingkan dengannya. Di sebelah hati, ada air. Iya, seperti air yang menjadi sumber kehidupan. Langkah ku yang semakin mendekat dan terus meyakinkan diri akan kehidupan yang lebih baik.
Air, akan mengalir di setiap celah yang harus dilewati.
Sepi hanya cukup dengan gemericik air, jingga akan semakin berwarna pelangi, ikan pun menari. Dan nyaris tak ku sadari kehadirannya. Berjalanlah terus. Di setiap kota dengan aliran air yang menyemarakkan kehidupan.
18.18-08.05.2015
Detik demi detik menikmati mu, menatap mu, dan tetap aku tak tau bagaimana rasa ku. Cukup diam saja, lihat di dalam bola mata ku. Diri mu akan mengerti. Sebab kata terlalu miskin menceritakannya. Di mata mu, aku melihat sinar ku yang lama terpendam penjahat.
Tapi, aku pun baru ingin mengingat mu ketika aku jatuh dan butuh bercerita. Melihat semak kemunafikan yang menjijikkan mengular di sepanjang jalan. Di depannya mengerikan, menutupi borok yang lebih buruk. Kemunafikan yang selalu berwadah gelap berjelaga. Ternyata aku tidak cukup mampu menghadangnya. Dengan jingga maupun air yang ku miliki. Pelangi dalam wadah berjelaga tetap tidak tampak.
Kemunafikan adalah warnanya sendiri.
Sudahlah, kita berganti topic yang membahagiakan saja. Merajut sekuntum mahkota bunga putih di atas kerudung. Mungkin sudah habis waktu ku bertarung disini. Aku harus melihat lebih dekat, menyiapkan diri menjadi ibu bukan sekedar istri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar