bismillahirrahmanirrahiim
Jilbab Prestasi
Aku mendengar kisah ini langsung dari Amalia D. Maghris, seorang teman yang
sama-sama menuntut ilmu di kota pelajar Yogyakarta. Masa-masa kami dulu di
pulau dewata membuat kami masih saling bertukar cerita. Apa yang dialami kurang
lebih hampir sama dengan beberapa pelajar putri yang bersekolah di Bali.
Keinginan untuk membagi cerita ini karena cukup miris dengan apa yang kami
lihat di Yogyakarta yang tidak ada tekanan berjilbab. Aku meminta ijin padanya
untuk ikut berbagi dengan menuliskannya. Berniat untuk menginspirasi...
Kami berasal dari keluarga sederhana yang melihat jilbab biasa saja. Bahkan
beberapa anggota keluarga kami masih kurang nyaman dengan jilbab. Sebab masih
terasa represi dari rezim orde baru yang membatasi atribut keagamaan. Kami
sama-sama anak pertama yang memiliki adik, sehingga ada rasa tanggung jawab
lebih untuk dapat menjadi contoh yang baik.
Kami berdua dipertemukan dalam sebuah pelatihan kepemimpinan di Denpasar
saat masa liburan sekolah. Aku menjadi salah satu pengelola kelas, biasa
disebut instruktur dalam organisasi pelajar yang kami laksanakan tiap tahun.
Kegiatan rutin yang mengundang seluruh pelajar Islam untuk melatih kemampuan
memimpin. Amalia menjadi salah satu peserta, diantara yang lain Amalia cukup
memiliki potensi menjadi penggerak untuk lingkungannya.
Untuk ukuran pelajar Islam di Bali, kajian keIslaman dan organisasi kurang
mendapat dukungan dari pemerintah. Otonomi daerah yang kemudian membatasi
gerakan secara terbuka ditambah tendensi
pasca bom Bali yang mendeskreditkan Islam secara tidak adil. Kesamaan
yang juga membuat kami dekat secara personal adalah rasa keberIslaman yang
didobrak seusai mengikuti pelatihan kepemimpinan tersebut. Tantangan masyarakat
juga cukup membuat kami menyadari, salahkah kita menunjukkan keberIslaman kita?
Saat itu Juni 2005, undangan pelatihan aku terima dari salah satu pengurus
remaja masjid. Karena tidak mudah mencari anak yang bersedia mengikuti kegiatan
seminggu penuh aku pun menjadi salah satu kandidat. Kekecewaan terhadap tidak
diijinkannya aku untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika merasa ada
penyaluran. Orang tua terlalu khawatir untuk melepas aku pergi ke negara yang
mereka kira “mengerikan”. Padahal sebagai tujuan wisata dunia, Bali pun tidak
kalah “mengerikan”.
Pendobrakan internalisasi Islam yang aku terima setelah pelatihan membuat
aku untuk menargetkan peningkatan kualitas ibadah setelahnya. Ramadan menjadi
titik penting, rambut sebahu ku potong hingga sekitar 1 cm. Ini ku lakukan untuk
“memaksa” diri untuk terus menutup saat bertemu dengan orang non mahrom.
Efektif untuk ku, dengan alasan ini aku bisa menajwab saat saudara ku yang lain
melihat kejanggalan diri ku.
Tepat pada tahun ketiga SMA, jilbab ku hingga kini tetap memahkotai kepala
ku.
Ada hal luar biasa yang ku alami.
Tekanan tahun pertama dan kedua SMA ketika berseragam jilbab cukup kuat.
Seragam sekolah ku paling berbeda dari yang lain sehingga mendapat banyak
julukan yang membuat kesal namun tidak mampu diselesaikan.
“pocong siang-siang”, “ninja”, “tidak punya daun telinga”, “sok suci” dan
lainnya.
Umpatan itu sama sekali terhenti saat sudah berupaya menata hati seiring
dengan jilbab yang ku kenakan. Mengurangi sikap yang justru nantinya
menjelekkan jilbab lalu Islam. Perubahan penampilan diiringi perubahan sikap.
Keluarga menerima dan semakin mendukung aktifitas ku berorganisasi.
Tentu pilihan ini berkonsekuensi, jilbab harus bisa dibuktikan dengan
prestasi. Tahun terakhir di SMA itu aku tutup dengan lima besar terbaik. Merasa
terlambat sadar, tapi daripada tidak sama sekali. Keimanan kita mendukung
keilmuan kita, begitu juga sebaliknya. Kajian jilbab secara perintah di Al
Qur’an yang ternyata sama wajibnya dengan solat. Sehingga itu menjadi implikasi
dari ketauhidan penggunanya. Dikuatkan dengan penemuan terkini secara
psikologis, sosial dan kesehatan.
Dalam psikologi perempuan, kita ingin dihargai. Menutup aurat merupakan
upaya menghargai diri sehingga lingkungan akan menghargai. Hati menjadi tenang
karena kemudian tidak terjebak dengan mode tapi lebih ke kualitas otak dan
hati. Hal yang dilakukan jilbaber semestinya lebih produktif tidak konsumtif
dari apa yang ada. Tentu prestasi mudah diraih.
Secara sosial, masyarakat akan menjaga sikap bila berhadapan dengan orang
yang menjaga diri dari sembarangan pandangan. Sikap yang terjaga akan menjadi
contoh lingkungan sekitarnya. Ledakan seks bebas dapat ditekan dengan menjaga
pandangan. Masyarakat sebagai kumpulan individu berprestasi kemudian semestinya
akan membentuk diri sebagai masyarakat berperadaban.
Dan menurut kesehatan banyak manfaat yang diperoleh dari tertutupnya kulit
perempuan dari snegatan matahari dan debu langsung. Disini aku meyakini akan
kuasa Allah Maha pengatur yang jauh lebih paham kita sebagai ciptaan-Nya. Aturan
yang dibuat sesuai dengan fitrah. Seperti buku petunjuk penggunaan peralatan
elektronik yang menyesuaikan dengan kondisi peralatannya. Al Qur’an dan Assunah
sebagai petunjuk menjadi manusia pun telah sangat komprehensif mengatur
kehidupan manusia.
Hal ini juga kurang lebih dialami Amalia, kepulangan dari pelatihan
kepemimpinan dari organisasi yang sama dengan ku itu membuatnya memilih jilbab.
Amalia beberapa kali diskusi dengan ku dan beberapa teman satu organisasi untuk
menyiapkan perijinan menggunakan jilbab di sekolah. Kepala sekolah tidak
memberi jawaban tegas, boleh atau tidak. Kemudian Amalia tetap “nekat”
menggunakan jilbab di sekolah. Tantangannya adalah membuat seragam khusus yang
tidak disediakan di sekolah. Biaya dan kegelisahan hati menyiapkan reaksi seisi
sekolah dengan penampilan “baru” Amalia dengan jilbab.
Hari pertama, Amalia seperti “makhluk asing” yang mendapat sorotan banyak
mata. Ya, karena dia pertama yang berbeda. Amalia meminta teman-teman satu
gerakan organisasi untuk doa dan dukungan agar dikuatkan. Amalia menginjak
tahun ketiga juga saat itu. Proses yang dilalui tidak semulus aku yang telah
bersekolah di sekolah Islam. Sekolah Amalia umum dan menemui seorang guru yang
tendensius melarang Amalia mengikuti mata pelajarannya. Beberapa kali
diskriminasi dialami dengan pemberian nilai yang buruk dan tidak dianggap
kehadirannya.
Disini nampak, Allah akan memberi kekuatan bagi siapa yang berjalan
menegakkan agama-Nya.
Amalia memborong berbagai prestasi yang diikutinya. Selain terkenal karena
jilbab yang digunakannya, sejumlah prestasi membuat label “serakah” prestasi
disandangnya. Ini bagian dari bentuk tanggung jawab terhadap pilihan. Berjilbab
dan berprestasi adalah sebuah keniscayaan. Iman disandingkan dengan ilmu
menjadi cahaya tersendiri bagi pemiliknya. Konsekuensi keimanan kita adalah
amal yang dikuatkan ilmu tersebut.
Beberapa adik kelas Amalia mengikuti jejaknya untuk menutup aurat, karena
label “jilbab prestasi” menjadi gengsi tersendiri. Keberlanjutan ini menjaga
nilai Islam di tengah kepungan otonomi daerah yang ternyata hanya mengakomodir
kebebasan berekspresi dengan meninggalkan atribut beragama. Kebebasan yang
membatasi bukan kebebasan sebenarnya. Mendukung rok mini harusnya seimbang
dengan mendukung jilbab. Kebebasan apa yang diperjuangkan, bila ternyata masih
dibatasi seperti ini?
Memang kami belum sepenuhnya benar, tapi kami berupaya benar di hadapan
Pencipta kami. Agar tidak “menyesal” menciptakan kita.
Jilbab bukan simbol, tapi sebuah eksistensi sebagai muslimah. Tanpa jilbab,
masihkah identitas muslimah pantas? Sebab Islam berarti tunduk, muslimah tentu
tunduk dengan aturan Islam. Jilbab bukan pembatas ekspresi, justru ruang
berekspresi seluas-luasnya menjadi perempuan. Sebab perhiasan mewah dibungkus
kotak yang cantik, tidak diobral dengan murah.
Waktu hijrah ke berbagai tempat yang membebaskan penggunaan jilbab, bahkan
mewajibkan jilbab justru terasa jilbab kering makna. Rambut depan dan ekor
rambut yang sengaja ditampakkan. Kerudung tipis dan baju membentuk tubuh.
Bahkan hanya sebagai bagian dari mode terkini. Keimanan seseorang diukur dari
seberapa lebar jilbabnya.
Jilbab, bukan aturannya yang salah. Tapi penggunanya yang tidak mengikuti
aturan pemakaian sehingga terjadi mal praktek dan gangguan pada lingkungan sekitar.
Jilbab sebagai garis tegas untuk menjaga konsistensi kita memperbaiki diri.
Perempuan, muliakan diri dengan jilbab prestasi
cerita ini disampaikan tidak utuh untuk menjaga hak penerbit bukunya :)