Kamis, 27 November 2014

denting


Denting…
Menyambut keluarga baru itu sebuah perasaan yang campur baur. Antara senang dengan hadirnya tapi juga khawatir bisakah beribadah melaluinya? Seperti sebuah perjalanan yang pasti menemui jalan menanjak, menurun atau berkelok. Menyambut keluarga baru menjadi sebuah kepastian. Setiap orang menginginkan seseorang yang istimewa mendampingi setiap jejak perjalanan. Seseorang yang bisa dilimpahkan kasih, berbagi sayang. Bisa kepada Ayah, Ibu, saudara, pasangan hidup, anak mungkin juga sahabat. Yang ku tahu, itu semua media kita mendekatkan diri pada Allah.
Denting…
Semakin dekat saatnya, semakin kita harap-harap cemas. Dan ternyata, kepingan hidup harus kembali menyadari diri. Darimana kita berasal, bagaimana kita tumbuh dan seperti apa kita menjalani hidup untuk sebuah cita. Semua itu tidak terlepas dari diri kita. Semua…
Dentingan, hati.
Dengan segala sesuatu yang kita terima, bersyukurlah. Ada yang belum menemukan apa yang kita miliki. Dengan segala sesuatu yang kita punya, bersabarlah. Ada secercah kebaikan di dalamnya. Dengan segala sesuatu yang kita miliki, amalkanlah. Hingga tidak lagi tersisa apapun yang kamu miliki selain Ridho Allah saja.
Denting-denting…

Minggu, 23 November 2014

sepi dalam rintik


Tiba-tiba…
Di tengah kesibukan ku, aktifitas ku yang padat dan nyaris tidak memberi waktu aku sendiri… Sedemikian luar biasa amanah yang diberikan dan dipercayakan pada ku. Menjaga nilai etis dan keilmuan sebagai seorang muslim. Dengan kiprah dan tanggung jawab yang menyertai warisan untuk generasi selanjutnya.
Sesungguhnya, hidup ku… mati ku… hanya untuk Nya. Maha Pencipta ku.
Semua yang ku lakukan selalu berupaya dengan pertimbangan rido Mu dan ikhlas ku. Di satu titik, aku mencari apa sebenarnya tugas ku? Melihat berbagai ketimpangan. Mendengar semua kebusukan. Merasakan hal buruk menimpa. Dan aku ternyata sebutir debu yang hanya memiliki segenggam niat ikhlas, kemudian kaki kecil yang masih mampu tetap berjalan. Walau kaki ku sudah tidak normal lagi berjalan sejak kecelakaan semasa kecil.
Berjalan… terus berjalan. Yang ku tahu hanya itu saja. Hingga aku menyadari waktu ku telah selesai.
Petualangan ku yang pada akhirnya mengembalikan ku pada sebuah titik balik. Kembali padaNya yang menjadi alasan ku tetap berjalan. Aku takut, aku salah memilih. Aku khawatir meninggalkan generasi yang kesulitan menjejak makna.
Dan kini saatnya semakin dekat. Waktu ku mulai habis. Aku akan bergerak di tempat selanjutnya. Memulai semua dari awal. Belajar menjadi seseorang yang lain. Dituntut dan menuntut umur. Umur yang membatasi sepi. Karena aku bukan sendiri, ada seorang lain yang berupaya diterima oleh ku. Menunggu ku dalam ketidakpastian jawaban. Walau memang mungkin nama kita berdua yang akan menjejak sebuah sejarah kehidupan baru.
Sepi ku bukan kegalauan rindu, sepi ku karena doa yang bernyanyi adalah sebuah tanya. Mampukah aku mendampinginya untuk menikmati ibadah ini? Dengan tetap menyediakan sebagian waktu kita untuk kerja-kerja ideal. Kerja-kerja tanpa kompensasi, hanya ingin membuat sebuah narasi di hari akhir nanti. Berjalan berdua, belajar menyamakan langkah. Memainkan irama dan nada yang tepat untuk harmoni kehidupan lain.
Di langit, malam ini, bulan sepi.
Geliat Yogya 9.05 pm 9.10.14 14.12.35      

Senin, 10 November 2014

Islamic Thought and Civilization


Eh, udah 26 aja…
Banyak hal yang terjadi, tapi kali ini kita cerita santai aja ya tanpa seni berbahasa yang puitis. Hanya ingin menulis aja. Di tengah kesibukan pikiran dengan berbagai tugas di PII, Sekolah Pasar dan kuliah yang mulai menyiapkan amunisi untuk akhir yang indah. Akhir periode untuk sebuah perjalanan…
Mulai dengan skripsweet yang memang punya target jadi sebuah buku yang bermanfaat untuk keluarga besar Sekolah Pasar. PII yang udah di ujung periode, ternyata semakin banyak tugas yang harus disusun untuk menyiapkan generasi yang lebih baik.
Mempersiapkan acara pemuliaan sunnah dan menggenapi addin di tengah kesibukan ini…
Status baru, peran baru, tugas baru, rumah baru, lingkungan baru, kegiatan baru…
Seiring perjalanan ini, banyak hal yang harus bisa disiapkan. Mau segera pulang, menyusun penelitian Sejarah Islam Bali, menyiapkan ITC Building (Islamic Thought and Civilization) – ada yang mau jadi sponsor ya?? Untuk diskusi, kajian, secretariat bersama pelajar Islam Bali, program pendidikan masyarakat, pengembangan dan kajian masyarakat seperti fungsi Islamic centre bedanya lebih maksimal penggunaan untuk gerakan Islam Bali. Berkontribusi untuk masyarakat Bali. Menampilkan wajah Islam dengan konstruksi sosial yang membangun masyarakat.

Aamiin..
Selamat menempuh cita-cita J

Sabtu, 01 November 2014

dalam kisah "Hijab Love Stories"



bismillahirrahmanirrahiim
Jilbab Prestasi
Aku mendengar kisah ini langsung dari Amalia D. Maghris, seorang teman yang sama-sama menuntut ilmu di kota pelajar Yogyakarta. Masa-masa kami dulu di pulau dewata membuat kami masih saling bertukar cerita. Apa yang dialami kurang lebih hampir sama dengan beberapa pelajar putri yang bersekolah di Bali. Keinginan untuk membagi cerita ini karena cukup miris dengan apa yang kami lihat di Yogyakarta yang tidak ada tekanan berjilbab. Aku meminta ijin padanya untuk ikut berbagi dengan menuliskannya. Berniat untuk menginspirasi...
Kami berasal dari keluarga sederhana yang melihat jilbab biasa saja. Bahkan beberapa anggota keluarga kami masih kurang nyaman dengan jilbab. Sebab masih terasa represi dari rezim orde baru yang membatasi atribut keagamaan. Kami sama-sama anak pertama yang memiliki adik, sehingga ada rasa tanggung jawab lebih untuk dapat menjadi contoh yang baik.
Kami berdua dipertemukan dalam sebuah pelatihan kepemimpinan di Denpasar saat masa liburan sekolah. Aku menjadi salah satu pengelola kelas, biasa disebut instruktur dalam organisasi pelajar yang kami laksanakan tiap tahun. Kegiatan rutin yang mengundang seluruh pelajar Islam untuk melatih kemampuan memimpin. Amalia menjadi salah satu peserta, diantara yang lain Amalia cukup memiliki potensi menjadi penggerak untuk lingkungannya.
Untuk ukuran pelajar Islam di Bali, kajian keIslaman dan organisasi kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Otonomi daerah yang kemudian membatasi gerakan secara terbuka ditambah tendensi  pasca bom Bali yang mendeskreditkan Islam secara tidak adil. Kesamaan yang juga membuat kami dekat secara personal adalah rasa keberIslaman yang didobrak seusai mengikuti pelatihan kepemimpinan tersebut. Tantangan masyarakat juga cukup membuat kami menyadari, salahkah kita menunjukkan keberIslaman kita?

Saat itu Juni 2005, undangan pelatihan aku terima dari salah satu pengurus remaja masjid. Karena tidak mudah mencari anak yang bersedia mengikuti kegiatan seminggu penuh aku pun menjadi salah satu kandidat. Kekecewaan terhadap tidak diijinkannya aku untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika merasa ada penyaluran. Orang tua terlalu khawatir untuk melepas aku pergi ke negara yang mereka kira “mengerikan”. Padahal sebagai tujuan wisata dunia, Bali pun tidak kalah “mengerikan”.
Pendobrakan internalisasi Islam yang aku terima setelah pelatihan membuat aku untuk menargetkan peningkatan kualitas ibadah setelahnya. Ramadan menjadi titik penting, rambut sebahu ku potong hingga sekitar 1 cm. Ini ku lakukan untuk “memaksa” diri untuk terus menutup saat bertemu dengan orang non mahrom. Efektif untuk ku, dengan alasan ini aku bisa menajwab saat saudara ku yang lain melihat kejanggalan diri ku.
Tepat pada tahun ketiga SMA, jilbab ku hingga kini tetap memahkotai kepala ku.
Ada hal luar  biasa yang ku alami. Tekanan tahun pertama dan kedua SMA ketika berseragam jilbab cukup kuat. Seragam sekolah ku paling berbeda dari yang lain sehingga mendapat banyak julukan yang membuat kesal namun tidak mampu diselesaikan.
“pocong siang-siang”, “ninja”, “tidak punya daun telinga”, “sok suci” dan lainnya.
Umpatan itu sama sekali terhenti saat sudah berupaya menata hati seiring dengan jilbab yang ku kenakan. Mengurangi sikap yang justru nantinya menjelekkan jilbab lalu Islam. Perubahan penampilan diiringi perubahan sikap. Keluarga menerima dan semakin mendukung aktifitas ku berorganisasi.
Tentu pilihan ini berkonsekuensi, jilbab harus bisa dibuktikan dengan prestasi. Tahun terakhir di SMA itu aku tutup dengan lima besar terbaik. Merasa terlambat sadar, tapi daripada tidak sama sekali. Keimanan kita mendukung keilmuan kita, begitu juga sebaliknya. Kajian jilbab secara perintah di Al Qur’an yang ternyata sama wajibnya dengan solat. Sehingga itu menjadi implikasi dari ketauhidan penggunanya. Dikuatkan dengan penemuan terkini secara psikologis, sosial dan kesehatan.
Dalam psikologi perempuan, kita ingin dihargai. Menutup aurat merupakan upaya menghargai diri sehingga lingkungan akan menghargai. Hati menjadi tenang karena kemudian tidak terjebak dengan mode tapi lebih ke kualitas otak dan hati. Hal yang dilakukan jilbaber semestinya lebih produktif tidak konsumtif dari apa yang ada. Tentu prestasi mudah diraih.
Secara sosial, masyarakat akan menjaga sikap bila berhadapan dengan orang yang menjaga diri dari sembarangan pandangan. Sikap yang terjaga akan menjadi contoh lingkungan sekitarnya. Ledakan seks bebas dapat ditekan dengan menjaga pandangan. Masyarakat sebagai kumpulan individu berprestasi kemudian semestinya akan membentuk diri sebagai masyarakat berperadaban.
Dan menurut kesehatan banyak manfaat yang diperoleh dari tertutupnya kulit perempuan dari snegatan matahari dan debu langsung. Disini aku meyakini akan kuasa Allah Maha pengatur yang jauh lebih paham kita sebagai ciptaan-Nya. Aturan yang dibuat sesuai dengan fitrah. Seperti buku petunjuk penggunaan peralatan elektronik yang menyesuaikan dengan kondisi peralatannya. Al Qur’an dan Assunah sebagai petunjuk menjadi manusia pun telah sangat komprehensif mengatur kehidupan manusia. 
Hal ini juga kurang lebih dialami Amalia, kepulangan dari pelatihan kepemimpinan dari organisasi yang sama dengan ku itu membuatnya memilih jilbab. Amalia beberapa kali diskusi dengan ku dan beberapa teman satu organisasi untuk menyiapkan perijinan menggunakan jilbab di sekolah. Kepala sekolah tidak memberi jawaban tegas, boleh atau tidak. Kemudian Amalia tetap “nekat” menggunakan jilbab di sekolah. Tantangannya adalah membuat seragam khusus yang tidak disediakan di sekolah. Biaya dan kegelisahan hati menyiapkan reaksi seisi sekolah dengan penampilan “baru” Amalia dengan jilbab.
Hari pertama, Amalia seperti “makhluk asing” yang mendapat sorotan banyak mata. Ya, karena dia pertama yang berbeda. Amalia meminta teman-teman satu gerakan organisasi untuk doa dan dukungan agar dikuatkan. Amalia menginjak tahun ketiga juga saat itu. Proses yang dilalui tidak semulus aku yang telah bersekolah di sekolah Islam. Sekolah Amalia umum dan menemui seorang guru yang tendensius melarang Amalia mengikuti mata pelajarannya. Beberapa kali diskriminasi dialami dengan pemberian nilai yang buruk dan tidak dianggap kehadirannya.
Disini nampak, Allah akan memberi kekuatan bagi siapa yang berjalan menegakkan agama-Nya.
Amalia memborong berbagai prestasi yang diikutinya. Selain terkenal karena jilbab yang digunakannya, sejumlah prestasi membuat label “serakah” prestasi disandangnya. Ini bagian dari bentuk tanggung jawab terhadap pilihan. Berjilbab dan berprestasi adalah sebuah keniscayaan. Iman disandingkan dengan ilmu menjadi cahaya tersendiri bagi pemiliknya. Konsekuensi keimanan kita adalah amal yang dikuatkan ilmu tersebut.
Beberapa adik kelas Amalia mengikuti jejaknya untuk menutup aurat, karena label “jilbab prestasi” menjadi gengsi tersendiri. Keberlanjutan ini menjaga nilai Islam di tengah kepungan otonomi daerah yang ternyata hanya mengakomodir kebebasan berekspresi dengan meninggalkan atribut beragama. Kebebasan yang membatasi bukan kebebasan sebenarnya. Mendukung rok mini harusnya seimbang dengan mendukung jilbab. Kebebasan apa yang diperjuangkan, bila ternyata masih dibatasi seperti ini?
Memang kami belum sepenuhnya benar, tapi kami berupaya benar di hadapan Pencipta kami. Agar tidak “menyesal” menciptakan kita.
Jilbab bukan simbol, tapi sebuah eksistensi sebagai muslimah. Tanpa jilbab, masihkah identitas muslimah pantas? Sebab Islam berarti tunduk, muslimah tentu tunduk dengan aturan Islam. Jilbab bukan pembatas ekspresi, justru ruang berekspresi seluas-luasnya menjadi perempuan. Sebab perhiasan mewah dibungkus kotak yang cantik, tidak diobral dengan murah.
Waktu hijrah ke berbagai tempat yang membebaskan penggunaan jilbab, bahkan mewajibkan jilbab justru terasa jilbab kering makna. Rambut depan dan ekor rambut yang sengaja ditampakkan. Kerudung tipis dan baju membentuk tubuh. Bahkan hanya sebagai bagian dari mode terkini. Keimanan seseorang diukur dari seberapa lebar jilbabnya.
Jilbab, bukan aturannya yang salah. Tapi penggunanya yang tidak mengikuti aturan pemakaian sehingga terjadi mal praktek dan gangguan pada lingkungan sekitar. Jilbab sebagai garis tegas untuk menjaga konsistensi kita memperbaiki diri.
Perempuan, muliakan diri dengan jilbab prestasi 


cerita ini disampaikan tidak utuh untuk menjaga hak penerbit bukunya :)





menjadi pembelajar

Pendidik, merupakan pilihan. Jalan yang kita pilih untuk menggenapi tugas kemanusiaan kita. Dalam perjalanannya, kita diminta dan dituntut mengerti. Setiap hal yang terjadi dan dialami selalu dimaknai dengan hikmah. Hikmah yang mengantarkan kita pada sebuah makna. Menjadi manusia sempurna yang Allah lihat. Kemudian mencukupi rizqi kehidupan yang telah ditentukannya.
Orang tua, dewasa dengan hikmah. Instruktur, gelar sepanjang usia yang terus disempurnakan dengan proses tiada henti.
Menjadi pembelajar, terus belajar, belajar terus. Hingga tidak ada satupun tersisa untuk belajar. Seperti wasiat bunda Khodijah sebelum menutup usianya, “bila tulang ku masih berguna untuk Islam, berikanlah”. Seperti kata Kholid bin Walid, “lebih menyenangkan berdiri siaga menjaga perbatasan daripada bersenang-senang dengan perempuan”. Seperti itu kira-kira kalimat yang aku ingat tentang dua tokoh besar yang sangat mengagumkan.
Tadi, aku mendengar… Mengagumi orang yang telah tiada lebih bijaksana. Karena kita dapat banyak belajar dari kerasnya hidup yang mereka lalui hingga dapat memuliakan nama mereka. Sebab mengagumi orang yang masih hidup banyak kecewanya.
Sejarah, mengajarkan kita banyak hal. Hingga kita dapat lebih hati-hati melangkah. Dan lebih tajam menyiapkan masa depan.
Aku telah tidak memiliki apapun, hanya segenggam cita-cita untuk menggenggam dunia yang masih membuat aku tetap tersenyum optimis. Menjadi santri di pesantren, tinggal di kampung Inggris, bekerja di papua, belajar di Malaysia dan Jerman, haji backpacker dengan suami, memberikan sekolah alam untuk anak-anak, rumah senyum, kampung pelajar, kerajaan al khonsa,istri dan ibu terbaik, anak dan kakak terbaik, guru peradaban yang terus bergerak membangun peradaban demi Izzul Islam wal Muslimin.