Minggu, 27 Oktober 2013

jamu ku

Sebuah cerita dari sudut senja kota Gudeg Yogyakarta yang kaya akan warisan budaya Indonesia. Beberapa kali memang sering jalan-jalan ke pasar rakyat, melihat dan menyentuh langsung kehidupan geliat ekonomi kerakyatan. Rakyat yang dimaksud adalah rakyat yang bergerak setiap hari untuk menjalani hidup di tengah gempuran jaman. Bukan rakyat yang memikirkan orang dan lingkungan sekitarnya. Seringnya kami menyusuri jalanan di pasar rakyat membuat kami memahami makna perjuangan yang sulit diceritakan dengan lembaran kata. Hingga di satu titik, eksploitasi pasar rakyat semakin menjadi. Gempuran berbagai tawaran dari pasar swasta yang lebih modern, yang kini menjadi pusat kebudayaan baru. Semua tampilan gaya hidup ditawarkan secara masif hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dan tidak disangka, banyak aktifis pro rakyat yang mudanya berteriak kini menjadi bagian penting dari gerbong penipu rakyatnya sendiri. Tanpa kami sadari, wajah dan pakaian kami yang tidak seperti warga pasar pada umumnya membuat kami seolah tidak berbeda dengan para eksploitator itu. Disini langkah ku terhenti. Berpikir sejenak untuk tetap dapat membaur dengan warga namun tetap pada prinsip sabut kelapa yang pernah diajarkan pada ku. Seorang fasilitator itu bersikap seperti sabut kelapa, tidak tenggelam sepenuhnya, namun juga tidak mengapung sepenuhnya. Tenggelam pada arus yang menghilangkan kepribadiannya dan juga tidak membatasi ruang dengan tegas. Sabut kelapa yang berada di tengah antara permukaan dan dasar air. Posisi paling bersih dari debu dan kotoran hingga menjalankan tugas dengan garis prinsip yang jelas. Duduk di seorang pedagang jamu merupakan pilihan nyaman untuk menikmati pasar rakyat. Di tengah himpitan sesaknya pasar rakyar dari kebijakan yang tidak bijak di lapangan. Segelas kecil jamu dengan mendengarkan kisah dari pedagang jamu yang telah puluhan tahun menggeluti usaha jamu merupakan nyanyian tersendiri. Pesimis, minder dan diam. Rasa itu yang ku simpulkan dari rangkaian kisahnya. Tidak ada kebanggaan menjadi seorang pedagang kecil di pasar rakyat yang napasnya kini tersengal. Apalagi kebanggan menjadi pedagang jamu yang berpuluh tahun tidak berkembang. Tetap dengan beberapa botol bekas minuman merek perusahaan internasional dan sebuah meja kecil. Saat istrahat malam, penghuni wisma sofie berkumpul untuk berkisah perjalanan hari ini. Sepulang dari sebuah cafe jamu di jalan kaliurang, menginspirasi kami untuk dapat melatih kami berwirausaha. Ya, menjual jamu. Tentu malam ini kita membangun kekuatan ideologinya. Tanpa landasan ideologi, perjalanan ini mungkin akan tidak mudah kita jalani. Menjual dengan semangat “one day one jamu”, meminum jamu merupakan bagian dari kecintaan kita pada kekayaan bumi Indonesia. Jamu merupakan pilihan utama untuk semua kebutuhan tubuh kita, bukan herbal alternatif. Perlahan, lamat-lamat kami memproses jamu dari membeli bahan dan peralatan. Kuali berbahan genteng tanah liat, gelas batok kelapa, parut, kunyit, asam, gula jawa dan gula tebu. Kami menjual dengan botol ukuran 330 ml dengan harga Rp. 5.000. Diawal ini kami bisa memproduksi 10 botol sekali produksi, dengan warna kekuningan yang mewarnai kuku cantik kami. Di tengah kesibukan kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) mahasiswi wisma sofie, produksi dan marketing produk. Berjualan hal ideologis memang butuh penjelasan ekstra bagi beberapa orang yang belum memahaminya. Berbeda dengan teman-teman di Sekolah Pasar Rakyat yang bermarkas di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, tanpa banyak berkisah mereka menjadi pelanggan tetap dengan segenap omelan dan kritiknya untuk meningkatkan mutu produksi. Ke berbagai pasar rakyat yang kami datangi pun menjadi perbandingan harga bahan produksi, sungguh kami mendapat banyak kisah. Harga kunyit kisaran Rp. 4.000-8.000, hingga di Rp. 3.000 membuat tercengang. Berapa keuntungan petaninya? Padahal dengan seiring banyaknya teman yang bertanya khasiat jamu kunyit asam ini kami juga belajar mencari tahu. Dengan mengetik di kitab canggih mbah google “manfaat kunyit asam”, kita akan menemukan berbagai khasiat luar biasa dari rimpang satu ini. membaca satu per satu manfaat kunyit asam membuat kita memahami betapa eksotika kekayaan Indonesia terpendam hanya ketidaktahuan kita akan apa yang kita miliki selama ini... Semakin semangat rasanya mengembangkan jamu sebagai wirausaha sosial, konsep yang sedang dikembangkan oleh beberapa komunitas di Indonesia sebagai jawaban tantangan kapitalisme global. Cita-cita ini nantinya akan mengembangkan pengrajin jamu seluruh Indonesia untuk dapat mengejar prosedur operasional standar produksi. Mendidik masyarakat Indonesia untuk terus belajar mengistimewakan Indonesia dari hal kecil di sekitar kita. Untuk semua bunda, cerita anak kurang gizi maupun malnutrisi hanya akan menjadi masa lalu. Karena dari dapur kita, kita bisa menyehatkan dan mencerdaskan anak-anak kita. Terima kasih, Ibunda yang selalu menginspirasi ;) Kami mencintai mu karena Allah mencintai mu... Bunga-bunga wisma sofie, FathiaLestari, KhildaMaulidiah, LilyRetnoA., RahmiWijayanti, Nurdana-Nurdani. Be inspire great mother ya!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar