Selasa, 18 Juni 2013

kisah dari Surat Luqman

Dari sekian banyak ayat dalam Al Qur’an, beberapa ayat menegaskan tentang bagaimana sikap kita menjadi pendidik. Konsep pendidik yang kita pahami disini diartikan sebagai orang tua di rumah dan guru di sekolah. Pendidik merupakan tugas besar kita bersama untuk dapat melanjutkan peradaban manusia. Transfer seorang pendidik tidak hanya sebatas pengetahuan kognitif, nilai afektif dan psikomotorik juga penting. Untuk menerjemahkan pengetahuan menjadi aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Al Qur’an sebagai pedoman hidup muslim menjadi acuan pertama dan utama untuk kita dapat menjalankan tugan kependidikan. Salah satu ayat yang menjadi rujukan yakni Surat Al Luqman : 13. Dalam ayat ini diterjemahkan sebagai berikut ;
“Dan (ingatlah) Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anak ku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Seperti halnya ayat-ayat yang lain dalam Al Qur’an, sebuah ayat mengandung hikmah yang amat luas. Tidak sebatas asbabun nuzulnya, secara kontekstual semua ayat dapat menjadi sandaran hukum selama peradaban manusia masih menajalankan eksistensinya.
Ayat tersebut di atas diturunkan saat Rasulullah SAW menyampaikan Surat Al An’am : 82 yang mengisahkan orang musyrik akibat kemusyrikannya, para sahabat merasa kesulitan untuk menghindarkan keimanan dari kezaliman. Kemudian Rasulullah SAW membacakan ayat ini yang mengisahkan seseorang yang bernama Luqman menasehati anaknya.
Luqman adalah seorang biasa yang dimuliakan Allah dengan menjadikan namanya sebuah Surat dalam Al Qur’an. Hikmah Luqman adalah menjadi seorang ayah pendidik yang berperan untuk anaknya. Sebagai seorang pendidik kita pun sangat dianjurkan untuk dapat meneladani Luqman. Pelajaran pertama yang penting diajarkan pada anak-anak kita adalah ketuhidan. Pengesaan Allah sebagai pencipta dan kita sebagai makhluknya yang butuh untuk hanya menghamba padaNya. Kebutuhan akan beribadah merupakan hal paling inti dalam menjalani amanah kehidupan ini.
Menyekutukan Allah adalah sebuah kesalahan yang sulit terampuni kecuali dengan rakmatNya. Bentuk menyekutukan Allah di jaman sekarang banyak terjadi di sekitar kita. Allah sebagai tuhan sering kita “perlukan” saat di tempat ibadah saja, ataupun saat kita memiliki keperluan tertentu. Namun tak jarang ketika kewajiban kita sebagai makhluk tidak berjalan sesuai.
Menaati kedua orang tua kita juga menjadi urutan selanjutnya setelah menjaga keimanan pada Allah. Orang tua menjaga kita sedari janin di rahim hingga kita dapat menentukan pilihan kehidupan setelah dewasa. Menaati kedua orang tua kita hanya sebatas sesuai ajaran Allah. Bila ada yang tidak berkesesuaian maka kita dapat menolak dengan cara yang baik. Sehingga bentuk dakwah pada kedua orang tua lebih pada hikmah. Sebab kedua orang tua kita banyak yang cenderung belum siap untuk dikoreksi, apalagi oleh anak-anaknya.
Jadi dalam ayat ini mencakup peran pendidik pada anaknya dan peran anak menyikapi nasehat orang tuanya ataupun gurunya.
Permasalahan masyarakat sekarang ini cukup luas bila dikaitkan dengan konsep ideal ayat ini. Selain bntuk kesyirikan modern yang berupa banyaknya penyalahgunaan teknologi sehingga bentuk penghambaan baru juga banyak. Allah, agama, dan semua yang berhubungan dengan ini menjadi sesuatu yang tidak prioritas.
Ketika penghambaan kita kepada selain Allah, maka konsep hidupnya akan tidak terarah. Sikap ketaatan pada kedua orang tua juga menjadi hal langka, apalagi guru. Kewibawaan pendidik menjadi tergeser dengan segala bentuk tuhan-tuhan baru.
Ditampilkan sosok Luqman yang menjadi pendidik juga mengajarkan kita, bahwa ayah juga memiliki peran mendidik anaknya. Peran ayah selain mencari nafkah sebagai kepala keluarga, mendidik anak dan istrinya yang akan menjadi amal jariyah dari hidupnya. Sehingga antara ayah, ibu dan para guru bersinergi dengan untuk mendidik anak yang cerdas sekaligus memiliki aqidah yang baik.
Tugas dan peran kependidikan menjadi tanggungjawab kita bersama. Semua orang menjadi bagian dari tunutunan untuk orang lain, bila kita menampilkan hal baik maka kita juga member teladan yang baik. Sebab sebuah teladan mengalahkan seribu kata-kata. Cinta kita pada Allah juga berkorelasi langsung dalam hubungan kita dengan makhluk ciptaanNya yang lain. Hubungan dengan orang tua, guru, orang-orang di sekitar kita dan alam semesta.
Peran kekhalifahan dan abdillah menjadi optimal dengan menjaga aqidah kita yang kemudian juga akan mengontrol akhlaq kita. Baiknya kualitas aqidah kita dapat tampak dari bagaimana kualitas hubungan kita dengan sesama makhluk Allah yang lain.     

Referensi
Al Qur’an terjemah Indonesia   


Sabtu, 15 Juni 2013

bukannya aku tidak tahu



Bukannya aku tidak tahu, pak…
Bila sayuran yang telah berbau asam, tandanya sudah mulai rusak dan tidak layak.
Namun bila tidak aku makan, perut ku yang kecil ini akan protes.
Biarlah, apa yang terjadi nanti..
Aku hanya ingin tetap bertahan menatap matahari terbenam senja.

Bukannya aku tidak tahu, bang..
Ban yang telah kempes itu berarti bocor dan harus ditambal.
Tapi receh di kantong celana ku berteriak untuk hanya menambah angin.
Walau mungkin itu hanya bertahan beberapa meter.

Sekalipun begini, ibu ku tidak pernah mengajari ku untuk menjual diri ku dengan perbuatan buruk.
Entah dalam keadaan lapar yang melilit di tengah malam atau tengah siang.
Aku tidak berniat untuk menyalahkan keadaan dengan mengambil milik orang lain.
Aku hanya berharap, kemuliaan dari yang menciptakan aku di bumi.
Bukan mengemis pada manusia lain yang juga tidak lebih baik keadaannya.

Tapi yang benar-benar yang baru ku tahu adalah ternyata, seorang yang menyebalkan hari-hari ku mengidap gangguan mental.
Anak itu dengan tanpa rasa malunya memanggil semua teman sekelas sekenanya.
Mengumbar kegilaan dengan ucapan sayang terus-menerus.
Ah, anak itu pernah dipukul guru kelasnya yang kemudian menggejala pada syaraf otaknya.
Jadilah ia anak yang hampir tuna grahita, artinya memang keterbelakangan pada kecerdasan sosialnya.
Masih saja, tangan bicara…
Padahal otak kita akan tajam dengan kata-kata yang baik.
Ya cukup kata-kata yang baik.
Kata-kata yang buruk apalagi dengan bumbu pukulan justru menumpulkan otak.

Bagaimana masa depan anak itu nanti??
Pernahkah kita memikirkan buah yang kita tanam hari ini?
Masalah hanya akan selesai dengan duduk bersama dan membuka hati untuk dapat saling mengerti dan memahami, kemudian akan dapat saling menolong.

Anak-anak  adalah bintang, menyinari hari kita dengan kerlip karyanya..
Mengubah dunia kita lebih gempita…

Kebutuhan anak tidak sebatas pada makanan, pakaian dan tempat tinggal di lingkungan yang baik.
Hati dan akalnya diberi asupan untuk dapat berperan menjadi manusia.
Saat mata ini menangkap sebuah paradox.


Senin, 10 Juni 2013

menemukan jejak yang terserak

PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syaria’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.

                                                                                                                Jakarta, 22-06-1945
Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin. (Panitia Sembilan).

Saya mengutipkan piagam Jakarta diatas yang kini tergantikan oleh pancasila. Sebagai orang yang pernah menjadi bagian keluarga besar PII Bali, yang kini harus jauh meninggalkan Bali untuk sebuah makna. Perjalanan perjuangan ini memang hanya akan usai di penghujung umur kita. Perjuangan teman-teman Bali yang masih di tempat yang sama membuat kita merenungkan sebuah arti dari pergerakan. PII yang mengajarkan kita arti perjuangan dengan pergerakan. Namun tidak sedikit dari kita masih terjebak dengan masalah pribadi yang memang tak kunjung usai.
Pergerakan kita berjalan sendiri-sendiri, semangat berjama’ah hanya menjadi hiasan kata-kata.
Saya hanya ingin kita mengingat kembali semangat lahirnya PII sebagai sebuah pergerakan. Bulan mei di semua wilayah garapan PII menjalankan “ritual” harba dari tahun ke tahun. Adakah kita merasa PII masih punya kontribusi nyata terhadap ummatnya yang kita sebut pelajar?
Perjuangan jilbab di Bali masih dalam titik yang sama. Di wilayah lain justru “sengketa” internal yang tak berujung. Antara juni-juli serentak melaksanakan training kaderisasi seluruh wilayah. Apa yang kita bahas di dalamnya? Adakah kita membahas kondisi pelajar sekarang yang dikepung dengan berbagai hal negative?
Pelajar narkoba, miras, pergaulan bebas, UN, dan entah apa lagi masalah mereka?
Lupakah kita materi akhlak di training? Atau justru kita malah berpikir training tidak memberi kontribusi untuk calon pemimpin masa depan. Kita tentu lelah mendengar berbagai cerita pemimpin muslim kita tidak berprilaku Islami? Jangan kaget bila esok pemimpin kita non Islam karena hilangnya kepercayaan pada amanah pemimpin Islam.
Kita punya dalil, namun tak banyak yang menjalankannya. Pisau analisis social kita rapuh. Kita masih melingkar di ruang yang masih jauh dari pelajar. Lingkup pergerakan kita dalam titik nadir, atau mungkin beberapa tahun lagi kita menjadi saksi sejarah PII menjadi “fosil” di museum.
PII mengukir sejarah dengan pena, darah dan air mata. Masihkah kita mempersembahkan letih, lelah dan pedihnya perjuangan untuk Allah? Hanya karena semangat fi sabilillah, Indonesia bisa merdeka. Bila telah satu tujuan, kita tidak perlu lagi banyak kata. Segera bergerak untuk dapat menggerakkan.
Ibadah kita juga menuntut kebermanfaatan kita untuk semua makhluk Allah. Lingkungan social kita menanti sebuah cahaya yang kita buat untuk menerangi gelapnya hari. Bila kita tidak menyadari adanya musuh eksternal, maka musuh itu akan hadir di lingkungan internal kita.
Sebuah refleksi untuk para pejuang Islam…



Senin, 03 Juni 2013

menengok jejak sejarah



PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syaria’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.

                                                                                                                Jakarta, 22-06-1945
Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin. (Panitia Sembilan).

Saya mengutipkan piagam Jakarta diatas yang kini tergantikan oleh pancasila. Sebagai orang yang pernah menjadi bagian keluarga besar PII Bali, yang kini harus jauh meninggalkan Bali untuk sebuah makna. Perjalanan perjuangan ini memang hanya akan usai di penghujung umur kita. Perjuangan teman-teman Bali yang masih di tempat yang sama membuat kita merenungkan sebuah arti dari pergerakan. PII yang mengajarkan kita arti perjuangan dengan pergerakan. Namun tidak sedikit dari kita masih terjebak dengan masalah pribadi yang memang tak kunjung usai.
Pergerakan kita berjalan sendiri-sendiri, semangat berjama’ah hanya menjadi hiasan kata-kata.
Saya hanya ingin kita mengingat kembali semangat lahirnya PII sebagai sebuah pergerakan. Bulan mei di semua wilayah garapan PII menjalankan “ritual” harba dari tahun ke tahun. Adakah kita merasa PII masih punya kontribusi nyata terhadap ummatnya yang kita sebut pelajar?
Perjuangan jilbab di Bali masih dalam titik yang sama. Di wilayah lain justru “sengketa” internal yang tak berujung. Antara juni-juli serentak melaksanakan training kaderisasi seluruh wilayah. Apa yang kita bahas di dalamnya? Adakah kita membahas kondisi pelajar sekarang yang dikepung dengan berbagai hal negative?
Pelajar narkoba, miras, pergaulan bebas, UN, dan entah apa lagi masalah mereka?
Lupakah kita materi akhlak di training? Atau justru kita malah berpikir training tidak memberi kontribusi untuk calon pemimpin masa depan. Kita tentu lelah mendengar berbagai cerita pemimpin muslim kita tidak berprilaku Islami? Jangan kaget bila esok pemimpin kita non Islam karena hilangnya kepercayaan pada amanah pemimpin Islam.
Kita punya dalil, namun tak banyak yang menjalankannya. Pisau analisis social kita rapuh. Kita masih melingkar di ruang yang masih jauh dari pelajar. Lingkup pergerakan kita dalam titik nadir, atau mungkin beberapa tahun lagi kita menjadi saksi sejarah PII menjadi “fosil” di museum.
PII mengukir sejarah dengan pena, darah dan air mata. Masihkah kita mempersembahkan letih, lelah dan pedihnya perjuangan untuk Allah? Hanya karena semangat fi sabilillah, Indonesia bisa merdeka. Bila telah satu tujuan, kita tidak perlu lagi banyak kata. Segera bergerak untuk dapat menggerakkan.
Ibadah kita juga menuntut kebermanfaatan kita untuk semua makhluk Allah. Lingkungan social kita menanti sebuah cahaya yang kita buat untuk menerangi gelapnya hari. Bila kita tidak menyadari adanya musuh eksternal, maka musuh itu akan hadir di lingkungan internal kita.
Sebuah refleksi untuk para pejuang Islam…