Rabu, 25 Februari 2015

ayah..


Ayah,
Ananda mu sedang belajar memahami. Setiap kata dan laku Ayah…
Sekian puluh tahun mengenal Ayah, ternyata ananda mu belum juga bisa memahami. Marah mu, bentakan mu adalah cara mu melindungi dari sengat dunia. Yang waktu kemarin membuat ku sempat tidak menyukai mu.
Ayah,
Ananda mu memang belum bisa menjadi anak sholiha. Namun, lihat Ayah… aku telah berusaha semaksimal usaha yang bisa ku lakukan untuk membuat Ayah bangga pada ku. Sebab, yang ku tahu untuk menjadi sholiha hanya dengan bakti dan do’a untuk mu.
Ayah,
Ananda mu, hanya ingin ridho mu. Karena aku tau, ridho mu ridho pencipta ku. Sehingga tiap langkahku tenang dan menenangkan.
Ayah, terima kasih telah menjadi Ayah dalam hidup ku…

Untuk semua Ayah, yang menolong ku setiap perjalanan.
Calon Ayah, dan anak-anak yang berterimakasih pada Ayah nya yang melengkapi hidup

Senin, 23 Februari 2015

guru peradaban


Guru peradaban…
Dia yang tetap melangkah dalam “internal development”, bukan dia yang mengejar kesenangan. Karena dia tahu, hidup adalah memperjuangkan sesuatu. Dan sesuatu itu, adalah Rabb nya, Allah. Bukan karena Rabb nya butuh perlindungan, tapi dia tahu dengan memperjuangkan titah langit dia akan tetap ditolong Nya.
Dia tidak tahu apapun, selain setiap pekerjaan yang dilakukan ikhlas untuk Nya dan sesuai dengan perintah Nya. Dia benar-benar ingin membangun peradaban dengan mendidik, dengan memantaskan diri menjadi guru. Guru yang menggerakkan langkah-langkah kecil pemuda dan pemudia muslim untuk menegakkan kebenaran sesungguhnya.
Tidak diperbudak dan memperbudak. Tapi mengabdi dan mengelola.
Dia melepas napas untuk memenuhi tugas penciptaannya. Siapa yang mau menjadi produk gagal karena tidak menjalani tugas penciptaan? Dia pernah jatuh, tersungkur bahkan terkapar. Tapi dia tahu, Allah sedang mengajari sesuatu. Suatu hal yang akan memuliakan di suatu hari nanti sebagai sarana bertemu pencipta nya.
Dia, hanya tertarik pada konstruksi bangun peradaban.
Walau badannya mulai letih, menua. Dia masih memiliki azzam, menyambut kematian yang indah. Guru peradaban, teknisi manusia untuk membentuk pribadi-pribadi beradab. Kemanapun langkahnya, guru peradaban hanya melihat الله
Dari Nya, untuk Nya, pada Nya…

dan


Dan, dari semua yang terjadi adalah sebuah pelajaran. Dalam tiap jejak yang terbuat dan tertinggal, mendidik anak sebagai formalitas yang berujung pada kehampaan. Kemudian bekerja di tim yang terjebak sistemnya sendiri.
Kemudian, kaki memilih untuk bersentuhan dengan puncak idealism. Karang besar yang melindungi pohon kehidupan dari benturan ombak.
Bertahan duduk disini, melihat dan memperhatikan 37 orang yang memilih mengambil amanah untuk kembali membangun wilayahnya. Hanya, masih kuatir. Mampukah kita menjadi jembatan jariyah dalam dialektika dan diskursus?
Melelahkan, untuk sebuah pekerjaan ideal.
Pertarungan Islam yang selalu saja dia katakana “normative”. Apa salahnya kita mengembalikan sumber belajar dari sandaran Qur’an dan Hadis? Dunia ini sudah terlalu berasap dan berdebu dengan pemikiran yang menyerang Islam sebagai bentuk radikalisme dan ekstrimisme. Beberapa orang mengira mampu berjuang dengan meninggalkan sumber mutlak ajaran.
Mereka pikir siapa? Berbagai penelitian, filsafat, teori yang saling bertolak belakang sesuai kepentingan hanya kemudian menjadi sampah otak. Dan di sisi lain, kita lihat dogma ajaran yang membatasi ruang berpikir. Belum bisa bahasa sudah merasa pantas membuat hukum.
Perjuangan ini bukan hanya karena Islam butuh kita. Islam hanya bagian dari scenario besar untuk melihat ukuran keimanan. Kita yang membutuhkan Islam sebagai jembatan penjemput peradaban. Ini urusan peradaban… peradaban yang mengantarkan kita pada kebenara mutlak yang kini sering diingkari. Belajar dari sumber yang jujur menerima kebenaran. Hari ini seperti menyelam untuk sebuah mutiara.