Jumat, 28 Februari 2014

Pelangi Aishi



Kata Pengantar

Segenggam cinta dari Abah dan Ibu
Ingin sekali rasanya dapat Abah dan Ibu yang mengantarkan setiap karya yang ku buat. Tiap lembar dan kata sebagai prasasti cinta kami. Keempat anak yang telah dibesarkan dalam kesederhanaan. Melantunkan nyanyian kehidupan untuk dapat merebut esok yang lebih baik. Hingga banyak khilaf menjadi hikmah berharga selayaknya mutiara yang cantik.
Air mata, tawa, kecewa. Berganti seiring dengan berkali kami harus berpindah rumah. Mengganti suasana untuk sekedar dapat melihat matahari pagi. Bersekolah kemudian menjadikan Abah dan Ibu mulia dihadapan Maha Pencipta. Cinta kami hanya segenggam, bila dibanding bertahun peluh dari kerasnya hidup.
Sebuah bangunan kecil yang berdiri lebih dari usia seperempat abad ku, menjadi saksi betapa keras usaha Abah untuk tetap menjaga kehidupan kami. Lingkar kesedihan Ibu setiap kali kami mengecewakan tak membuat kami menjadi terbuang.
Mungkin memang kemarin kita tidak memiliki cita itu, namun waktu semakin mendewasakan. Kerinduan kelakar dan perbincangan seru diantara keletihan menghadapi dunia yang tak pernah berhenti untuk terus menguji kami. Hanya dengan saling menguatkan cinta, kami berempat dapat tetap berdiri. Segala keterbatasan membuat kami harus berani berjuang untuk jadi lebih baik di mata kehidupan.
Terima kasih, Abah dan Ibu telah mengijinkan kami menjadi bagian dalam kehidupan. Sehingga kami terus belajar dari apa yang telah kami lewati. Semoga kami berempat dapat diampuni dan mampu mengelola rejeki yang baik agar ibadah dan akhlaq kami tetap terjaga.
Karena cinta pada Allah, doa ini tetap mengalir...

                                                                        Tanah rantau, menapaki pelajaran kehidupan.

Pelangi Aishi



  bismillahirrohmanirrohim
Tulisan ini dedikasikan semua anak di dunia yang indah dengan senyum kalian...

Alhamdulillah, Ar-Rohman dan Al-Mulk Rabb semesta alam yang menjadikan perjalanan ikhlas ini memiliki arti. Salam dan solawat untuk Rasulullah Muhammad Saw, bapak para anak-anak di seluruh dunia yang terlahir tanpa ayah atau ibu. Beliau menghadiahi kita kebersamaan di surga untuk para pecinta anak-anak spesial. Abah dan ibu yang memberi kesempatan mengajarkan aku untuk belajar bagaimana menjadi seorang anak. Fiki, Dian dan Vivi, ketiga adik ku yang luar biasa membuat ku bangga mencintai kalian sebagai kakak. Semua orang yang sempat hadir dalam tiap detik hidupku untuk mengajarkan arti dan bagaimana hidup, terima kasih atas semua cinta dan persahabatan. Dewi Susilowati, Fatimah Azzahra, Lily Retno dan Rebecca Stephanie yang menjadikan aku semangat dan punya arti untuk membangun kerajaan Al-Khonsa sebagai rumah anak-anak bibit mujahidin. Segenap cinta dari jingga yang mewarnai biru ku. Terima kasih telah memilih ku dan melengkapi cerita ku. Semoga tulisan kecil ini membuat kita semakin mencintai anak-anak penghias dunia sebagai jalan menuju pengabdian pada Pencipta. Anak-anak menjadikan dirinya bintang di dunia tanpa harus menyalahkan angin dan kabut. Tanpa anak-anak, dunia akan sepi tak bermakna.
Mungkin hampir tak pernah kita bertanya, “apa dirimu bahagia menjadi anak ku?”. Anak-anak terlahir bagai kertas putih yang membawa masing-masing keunikannya. Tak bisa dibandingkan apalagi disamakan dengan anak lain. Keberadaannya menjadi bintang biru di hati yang menyinari langkah hidup yang penuh dengan kejutan. Banyak anak kini kehilangan peran orang tua secara fisik dan psikis. Secara fisik, bisa jadi karena Allah mengambil waktunya hidup. Namun tak sedikit para orang tua menabur benihnya tanpa memikirkan nasib anak yang ditinggalkan. Entah alasan ekonomi atau apapun, anak tak kuat menanggung “hukuman” kesulitan orang tua menjalani hidup. Peran anak adalah menjadi anak-anak yang berani tegar bermimpi dan mewujudkannya untuk menjadi pengabdi Penciptanya. Bila kehilangan peran orang tua secara psikis adalah “hukuman” terberat pada anak yang memiliki orang tua namun sulit disentuh waktunya. Sedang disisi lain, anak punya kewajiban menghormati orang tua yang belum sempat mengajarkan bagaimana kewajiban orang tuanya.
Hak anak tak sebatas nafkah materi, namun juga pendidikan. Yang menjadikan anak mampu melewati hidup dengan bertanggung jawab pada pilihan-pilihannya. Keluarga menjadi institusi pendidikan terkecil dan pertama untuk anak. Maka tentu para calon ayah dan calon ibu harus belajar menjadi orang tua jauh sebelum memutuskan untuk menjadi orang tua. Menjadi orang tua adalah karir terlama dalam rentang umur kita. Namun tak banyak yang menyadari pentingnya sekolah untuk orang tua. Mungkin bisa dimaklumi, masih sedikit orang tua yang sukses berkarir menjadi orang tua. Sebab menjadi orang tua tanpa gelar yang bisa disiapkan. Orang tua biologis dan ideologis adalah peran maha karya yang tak terlalu mendapat penghargaan, nobel ataupun sertifikat. Pembelajaran seumur hidup, belajar dari apa yang kita lihat dan dengar di sekitar kita.
Dalam perjalanan ini, melihat dan mendengar bagaimana anak-anak berjuang mencari dirinya di tengah arus jaman yang makin membuat samar. Seorang anak membutuhkan teman yang dapat dijadikan teladan dan penuntun menghadapi hidup. Teladan pertama itu adalah orang tua, sayangnya kini orang tua berubah menjadi sekotak layar berwarna yang banyak mengajari hidup yang semu. Mengidolakan orang-orang yang tak patut diteladani moralnya.
Tingginya tingkat kehamilan tidak diinginkan juga membuat masa depan pemuda sekarang hanya sibuk mengurus hal-hal yang tidak produktif. Anak tak mengerti apapun namun harus menghadapi kenyataan terbuang oleh lingkungan yang tidak mengharap kehadirannya. Setitik harap untuk tidak mencaci kegelapan terus, tulisan ini mengharap untuk semua anak dapat memperjuangkan kemuliaan kehidupannya sebagaimanapun latar belakang yang mewarnai. Sebab semua anak berhak atas kehidupannya dan kebahagiaannya.
Sejak dini kita mewarnai kebaikan di tiap hati anak J
                                                                       
Detik belajar memaknai kesalahan. Khilda Maulidiah

Kamis, 13 Februari 2014

hanya ingin bercerita



Ingin bercerita dengan mu, sebuah hati yang diam-diam ku rindu
Kemudian mengingat tiba-tiba gaya mu diam-diam menyimpan rasa hampir purnama kesekian
Tapi kesibukan mu, cuek mu yang membuat aku tak bisa memahami mu
Kemarin pertama aku berpikir untuk menerima mu di tengah hujan yang tak kunjung menghangat
Lama, mampu ku menerima mu yang tak ku tahu mengapa ada setitik nyaman bercerita dengan mu

Setelah menerima mu, dirimu pun tenggelam dalam rintik hujan yang menyatu pada tanah
Hilang dan kembali kosong…
Jarak kita yang jauh membuat kita tidak memiliki kesempatan berkompromi
Hujan terus saja hadir menderas dan mengantar gelegar
Aku belum meyakini rasa yang dirimu antar di tiap nama yang terkirim
Merindukan hujan yang membuat kita kembali bercerita
Pelangi yang ada bersama tawa kita

Bisa kah aku kemudian menerima mu dan melengkapi lembaran hidup kita
Untuk menua dan merantai mimpi pada hujan malam ini