Selasa, 21 Januari 2014

jejak serambi Mekkah

Perjalanan ini dimulai dari keputusan menjadikan ku sebagai bagian tim training di serambi Mekkah, ya propinsi DI Aceh yang istimewa. Sebuah propinsi yang memiliki eksotika tersendiri, berada di ujung barat kepulauan Indonesia. Berangkat dari kota gudeg, tempat menuntut ilmu dari tanggal 10 November 2013. Walau acara masih tanggal 15 November 2013 di Banda Aceh, karena berbagai hal harus berangkat lebih awal. Kehabisan tiket kereta api yang kini tidak mudah di dapat yang sesuai dengan kantong mahasiswa cukup membuat kebingungan. Beruntung dapat kereta Krakatau yang bertepatan hari ini resmi digunakan, sebuah kisah sendiri. Menghabiskan sebuah bacaan novel dengan sesekali menikmati eksotika persawahan di sisi jendela kereta... indah. Sampai di jakarta istirahat untuk esok pagi segera ke bandara. Ketakutan akan kemacetan parah kota jakarta, membuat kami bertiga tim training terlalu pagi dan akhirnya kelaparan. Menunggu jadwal pesawat menghilangkan rasa kantuk yang harusnya dapat dibalaskan dalam pesawat. Sesampainya di bandara Sultan Iskandar Muda kami disambut tuan rumah yang sangat ramah. Bentuk gedung di bandara seperti masjid karena ada kubah di atasnya. Menyusuri kota Banda Aceh hingga ke lokasi training memperlihatkan kita budaya asli masyarakat setempat. Bersyukur masih banyak terdapat persawahan yang menyejukkan mata. Suhu yang cukup gerah menyambut kami di gedung lokasi kegiatan. Benturan budaya dan paradigma kami lalui selama 10 hari proses training. Melelahkan sebenarnya, terjebak dalam kegalauan menuntut proses ideal di tengah keterbatasan teknis. Kajian proses training kali ini membawa kita pada konsep dakwah dalam kearifan lokal. Perda syariat yang diberlakukan masih menjadi polemik isu elitis. Mayarakat umum masih banyak yang belum memahami. Penegakannya pun masih terkendala teknis di lapangan. Penurunan nilai agama justru turun setelah terpaan tsunami 2004 silam. Banyak bukti betapa terbatasnya manusia dalam bencana ternyata belum cukup menyadarkan keMahaan. Daerah konflik berpuluh tahun juga menyisakan rangkaian luka yang tak mudah hilang. Pergerakan masyarakat masih terbatas. Di sini kami tahu, luka psikologis tidak mudah sembuh. Ruang kosong ruhiyah itu memahamkan kami bahwa kuatnya perjuangan tokoh Aceh di dorong oleh kondisi masyarakat yang ketika itu ditekan secara eksternal. Ya, lagi-lagi kita tahu betapa pentingnya mendefinisikan siapa musuh kita. Untuk tahu langkah apa yang akan kita lakukan apakah sudah sesuai dengan garis yang kita perjuangkan. Sekali lagi, kita belajar. Di tiap perjalanan kita belajar untuk memahami tipologi seseorang yang terbentuk dari latar belakang yang menjadi bagian pendewasaan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar